Monday 30 August 2010

Aku Cemburu

Ya, aku cemburu.


Cemburu pada jam bundar dengan model standar dan tanpa merk yang nangkring begitu saja di dinding kamarmu, yang selalu berusaha menyeret ketiga jarumnya untuk menunjukkan waktu yang tepat meskipun sebenarnya tak pernah tepat karena kau sengaja menyetelnya sepuluh menit lebih awal.

Cemburu pada televisi warna yang juga bukan tipe terbaru dan hanya keluaran produk massal yang mudah rusak, yang bahkan hanya diam saja karena setauku pun hanya sekali dua kau nyalakan sewaktu awal-awal membelinya, sepertinya kau hanya ingin menjadikannya pajangan pengisi meja depan ranjangmu yang nyaman itu.

Cemburu pada layar empatbelasinchi-mu -beserta seperangkat alat canggih pendukungnya- yang entah sudah berapa juta detik menghabiskan waktu bermesraan denganmu, yang selalu membalas tatapan antusiasmu, binar matamu yang begitu cerah kala tertarik pada hal-hal yang dia coba berikan padamu, yang tak pernah lelah memaparkan apa saja yang ingin kau ketahui, berbagi banyak hal yang hanya kalian yang tahu.

Cemburu pada selimut lusuhmu yang selalu kau tarik hingga sebatas dagu bahkan terkadang hampir menutupi seluruh tubuhmu manakala malam mengundang angin untuk mampir ke pestanya yang malah mengganggumu yang sedang bermimpi tentang satu lagi perjalanan entah ke tempat yang mana lagi yang mungkin tak pernah ku bayangkan, dia yang memberimu sedikit kehangatan agar kau tetap terlelap dan tak terusik dengan dingin yang menyelinap dari kisi-kisi jendela.

Cemburu pada alarm yang sengaja kau taruh di meja samping ranjangmu -yang juga kau setel sepuluh menit lebih awal-, yang selalu saja kau lirik dengan tatapan benci dan kesal tiap kali sinar pertama mencium embun terakhir yang sempat mampir di pucuk dedaunan, mengingatkanmu bahwa mimpimu harus tertunda lagi karena nyata sudah di ujung mata, dia yang sudah kehilangan huruf S dan N pada kata SNOOZE-nya karena sudah kelewat seringnya kau pencet, yang tetap berdengking-dengking meski kau terus-terusan menghujamkan tatapan tajam padanya.

Cemburu pada benda-benda mati yang entah apalagi yang ada di sekitarmu -yang mungkin tak pernah terpikir olehku-, benda-benda yang entah sudah berapa lama bersama-sama denganmu, benda-benda yang bahkan tak pernah menuntut perhatianmu namun selalu bebas memperhatikanmu yang entah sedang melakukan apa, benda-benda yang mungkin bahkan tak kau sadari keberadaannya yang kau lirik dengan tatapan bingung seraya berpikir kapan kau membawa benda itu ke kamarmu berserta alasan mengapa dia ada di situ, benda-benda yang saling berebut tempat dalam kamarmu yang tak seberapa besar itu.

Cemburu pada entah mainan apalagi itu yang menyita perhatianmu sejak tadi sinar terakhir berpamitan pada bumi hingga entah pukul berapa ini yang pastinya sudah tengah malam, yang membuatmu melupakan segala benda lainnya.


Ya, aku memang cemburu.


Bahkan aku cemburu pada langit-langit kamarmu yang kau jenguk sekerlingan mata sebelum kau mulai merapalkan doa sebelum tidur tiap kalinya tiap kau hendak menjumpai mimpi-mimpimu lagi saat rembulan sedang bersenda gurau dengan bintang-bintang.

Cemburu karena benda-benda itu bisa begitu nyata dan ada di dekatmu meski hanya sesekali terlihat olehmu, bahkan kebanyakan tak mendapat perhatianmu sama sekali.



Tapi itu pun masih lebih baik, setidaknya mereka bisa ada di dekatmu, nyata.



Ya, aku memang sungguh-sungguh cemburu.




[melebai dan meracau tengah malam sebelum tidur, hahaha9]

Ah yaaaa, mau sekalian majang award dari Mbak Fanny, nah si mbak yang suka banget nulis cerpen ini tuh ngasih award karena udah memposting sebanyak 1000postingan! Eh aihhh 1000! Bayangkannnn, banyak banget khaaaannn... Nah ini awardnya:

Makasih ya mbak untuk awardnya... ^^

Dan satu lagi sekalian mau ucapin makasih buat hadiah novelnya karena cerpen saya udah menang di lomba nulis cerpen yang diadain sama si mbak tempo hari lalu. Makasih ya, mbak.. Tadi novelnya udah nyampe loh, heheu... ^^

Friday 27 August 2010

AKU : Putih Biru SMP-ku


Hai, :D
Selamat hari Jumat, well sekarang sudah Jumat lagi yah? Padahal saya Rabu minggu lalu sudah niat mau nulis tapi akhirnya gak jadi karena patah mood saat di tengah[alasan lagiiii…. :p]
Nah sekarang saya mau nulis tentang apa ya?
Begini, saat saya menengok sebentar ke rumah saya yang sudah sekian lama saya tinggalin [hampir dua minggu ya? ha ahhh] dan sudah berdebu itu saya menemukan beberapa pesan di chatbox saya, yang ternyata sama semua isinya. Pesan-pesan ini khusus ditinggalkan di chatbox saya oleh Mbak Reni, Diah, Neng Nuy, Neng Ana, dan Mbak Aishi. Nah loh kok bisa sama? Memang apa isi pesannya?
Jadiii, kelima wanita manis ini mengundang saya untuk ikutan membuat postingan mengenai masa-masa SMP dalam rangka Gerakan SEO Positif yang diselenggarakan karena keprihatinan Manajemen Emosi terhadap kenyataan saat para pengguna internet memasukkan keyword “SMP” yang muncul adalah postingan atau hal apapun itu yang buruk-buruk, yang tidak sepantasnya dan tidak sewajarnya. Nah jadi gerakan ini tu bertujuan untuk menggeser postingan yang buruk itu dengan postingan-postingan yang positif. Oleh karena itu Manajemen Emosi mengajak para blogger untuk ikut berpartisipasi dalam gerakan ini. Dan sebagai penghargaan bagi pra blogger yang sudah membuat postingan positif bertema SMP, Manajemen Emosi memberikan award ini :

Wednesday 25 August 2010

Purnama Jingga






Lalu malam ini lagi-lagi aku bertanya padamu, pada hatimu yang sepertinya selalu hangat –membara namun selalu saja dengan takaran panas yang pas yang membuatnya jadi hangat yang nyaman-, pada derak dedaunan pohon oak yang di batangnya kamu pernah mengguratkan nama kita dengan pisau kecilmu, dedaunan yang saling bergesekan karena angin musim semi. Waktu itu bahkan kamu tak mengindahkan laranganku untuk tidak menggurat batang pohon itu, kamu tak mau tahu kalau hal itu menyakiti pohon oak tadi, padahal apa yang kamu lakukan itu sama sekali tak memberi jaminan kalau kita akan selamanya bisa bersama-sama, berdekatan saling berdampingan satu sama lain seperti nama kita yang kamu guratkan di situ.

Tuesday 10 August 2010

Malaikat Kecilku



Aku masih memandangi bayi mungil yang ada di tanganku, masih merasa takjub melihatnya nyata dalam dekapanku. Takjub bahkan setelah aku menyaksikan sendiri bagaimana dia bisa hadir ke dunia ini, menyaksikan istriku yang berjuang melawan maut untuk melahirkannya. Benar-benar proses yang menegangkan. Aku bahkan ikut berkeringat panas dingin saat memegangi tangan istriku yang memang basah oleh keringatnya, sesekali aku juga mengusap keningnya, menyemangatinya agar terus berjuang.

Nah begini, aku ingin menceritakannya padamu tapi dari mana aku bisa memulai kisah ini. Hmmm, ah ya… jadi kemarin sore mungkin sekitar pukul empat aku dan istriku yang sedang hamil masih berjalan-jalan di taman dekat rumah kami. Kami memang sering berjalan-jalan sore, sekedar mengajak istriku yang sejak hamil jadi suka sekali berjalan-jalan bertelanjang kaki di atas batu-batu kerikil yang memang sengaja dibuat menjadi sebuah track khusus bagi yang ingin berjalan-jalan di atasnya sambil merasakan sensasi refleksinya karena memang itu tujuan pembuatannya. Beberapa orang juga rutin berjalan-jalan di situ, yah meskipun kebanyakan dari mereka mungkin sudah seumur orangtuaku.

Friday 6 August 2010

Menari Bersama Awan




Suasana ramai sekali ketika aku masuk ke ruangan. Bli Kadek hendak membantu mendorong kursi rodaku, tapi aku meyakinkannya bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Para peserta talkshow sepertinya sudah tak sabar karena saat aku masuk mereka semua langsung menatapku. Ruangan yang tadi ramai tiba-tiba senyap, tatapan-tatapan penuh rasa ingin tahu segera menyergapku.
Aku duduk tepat di tengah-tengah meja panjang dengan tumpukan novel terbaruku, menghadap pada semua mata yang memandang tak sabar ingin acara segera dimulai. Tanpa menunggu lebih lama MC  membuka acara. Dan tak terasa sampailah pada sesi tanya-jawab. Mereka sangat antusias bertanya tentang novel terbaruku sesekali diselipi pertanyaan tentang kehidupan pribadiku. Semua berjalan lancar sampai ketika seorang peserta bertanya sesuatu yang sudah tertinggal jauh.
 “Apakah menjadi novelis adalah cita-cita Mbak Saras sejak kecil? Atau ada cita-cita lain yang masih ingin mbak raih? Terima kasih untuk kesempatannya.” tanyanya dengan sopan.