Friday 20 December 2013

Pergilah saja....

Kamu tahu? Rasanya aku ingin berteriak, ingin memaki sekuat yang aku mampu lakukan. Rasa yang masih ku sembunyikan hingga kini, hampir meledak seperti gunung berapi yang memuntahkan lahar panasnya. Meledak serupa letusan gunung berapi yang tak lagi mampu menanggung panas yang bergejolak di dalamnya. Kini aku bisa bersimpati pada gunung-gunung berapi itu. Betapa mereka bersusah payah menanggung segalanya sampai akhirnya menumpahkan beban panas begitu saja.

Aku mendidih. Mendidih melihatmu datang dan pergi sesuka hatimu. Mendidih merasa menjadi hanya sekedar tempat persinggahan sesaat untuk kemudian kamu tinggalkan lagi. Itupun hanya bila kamu menginginkan untuk singgah di sini. Bahkan terminal bus masih lebih baik karena disinggahi secara teratur dan terjadwal. Sedang aku? Apa aku yang sebenarnya buatmu? 

Aku mendidih. Mendidih ketika bahkan kamu tak sempat membalas satu pesan singkat yang ku kirimkan. Pesan singkat yang buatmu hanyalah sampah. Bahkan sampah masih punya arti, lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Oh ya tentu saja aku tak lupa kalau kamu sibuk 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kamu bahkan sibuk 60 detik semenit. Atau sampai nanodetik pun sibuk? Sampai kamu bahkan tak sempat membalas pesan singkat yang ku kirimkan. Pesan singkat yang buatmu hanyalah sampah.

Aku mendidih. Mendidih ketika bahkan aku sama sekali tak menempatkan perasaanku kepadamu dan kamu memperlakukanku tanpa perasaaan, tapi aku malah mendidih seperti ini. Ku katakan ini padamu, bahwa aku sama sekali tak pernah mencintaimu, merindukanmu, atau apapun itu hal cengeng yang biasanya sering aku lakukan di masa lalu. Tidak. Tidak lagi seperti itu, terutama terhadapmu. Tapi meski begitu, aku masih saja mendidih. 

Aku mendidih. Mendidih karena aku menjadi terbiasa untuk diabaikan. Terbiasa untuk tak didahulukan. Terbiasa untuk tak dianggap ada. Tak penting. Mendidih karena aku membiarkan diriku menjadi seperti itu. Mengapa? Mengapa aku jadi seperti itu? Mengapa aku harus mengemis padamu? Bahkan ketika kamu bukan apa-apa buatku, kamu bukan siapa-siapa, kamu bahkan tidak seberharga itu. Tapi mengapa?

Apakah aku sudah semenyedihkan itu? Apakah aku sudah separah itu? Apa yang harus aku lakukan? Tak bisakah aku lupa ingatan saja tentangmu? Semua tentangmu hilang begitu saja. Tak bisakah?

Ingatkah kamu malam itu? Ketika aku bertanya padamu, ‘akankah kamu berusaha untuk membuatku mengingat tentangmu lagi bila aku tetiba lupa ingatan?’ Dan jawabanmu seperti yang sudah aku kira. Bahwa kamu tak sudi repot-repot untuk mengembalikan ingatanku. Maukah kamu untuk tetap seperti itu bila aku sungguh lupa ingatan? Ku mohon, biarkan saja aku tak lagi mengingat segala tentangmu. Tentangmu yang saat ini ingin sekali ku lenyapkan.

Ingatkah kamu malam itu? Ketika kamu bertanya, ‘haruskah aku pergi selamanya dari hidupmu?’ Malam itu aku tak bisa menjawabnya. Sekarang, bila aku memintamu untuk pergi, bisakah kamu untuk tak pernah kembali lagi? Sama sekali? Jangan pernah lagi datang padaku. Apapun yang terjadi padamu. Atau apapun yang ku katakan padamu bila tetiba aku memintamu kembali. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Meski aku meminta, memohon, dan merajuk padamu. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Meski kamu begitu menginginkannya, meski kamu tak tahu lagi kemana harus pergi kecuali kepadaku. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Bahkan jangan pernah memikirkan ide untuk datang lagi. Pergilah.. dan jangan pernah kembali.

Karena aku sudah lelah. Aku lelah menangisi diriku sendiri yang semakin tak ada artinya di matamu. Aku lelah mengutuki diriku sendiri yang setiap kali luluh lagi. Aku lelah menjadi seperti ini. Apapun namanya. Aku lelah menyia-nyiakan hidupku untuk hal semu yang kamu kepulkan di sekelilingku. 

Pergilah… dan jangan pernah kembali.

Meskipun sekali.

Meskipun sesaat.

Thursday 21 November 2013

Gwenchana... Gwenchanayo....

Yang tersedih adalah bukan ketika tak ada seorangpun di sisimu saat kamu bersedih.

Tetapi adalah ketika tak ada seorangpun di sisimu saat kamu berbahagia.

Dan yang paling menyedihkan adalah ketika tak ada seorangpun di sisimu, tak peduli kamu bersedih atau berbahagia.

Saturday 9 November 2013

Is it?

Is it a mistake that i met you?

Kesalahankah ini karena kita bertemu? Karena kemudian kita jatuh hati? Atau mungkin lebih tepat aku jatuh hati mati-matian kepadamu? Kesalahankah?

Karena jika memang ini kesalahan, apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya? Haruskah aku memperbaikinya? Atau ku biarkan saja?

Kamu.

Kesalahankah aku telah menempatkanmu di tempat terpenting? Sebagai salah satu hal paling berarti bagiku?

Kamu. Segalanya.

Atau mungkin memang aku tak sejatuh hati itu padamu? Karena, yah, aku masih merasa waras. Aku toh tidak sampai melakukan hal-hal gila demi untuk menyampaikan rasa ini kepadamu? Kan?

Tapi dusta bila aku tak mengakui kalau aku jatuh hati padamu. Berkali-kali. Sesering aku patah hati karenamu. Sebanyak kata 'tidak' yang pernah terucap darimu.

I love you this much.
I love you that much.
But, what did i do to prove that? Nothing. I did nothing.

So, it means i love you but not this much.
It means i love you but not that much.
But, still, i love you. Right?
And still, i did nothing to prove it.

That is why you never realized it.
Yeah.

Cause i did nothing to prove it except sat on my bed and cried all night long everytime my heart hurts while thinking bout you.

Cause i did nothing to prove it except wrote it down here, hoped you'll know what i'm feeling.

Kesalahankah ini yang aku lakukan? Jika iya, haruskah aku memperbaikinya? Atau ku biarkan saja?

Karena aku merasa bodoh mengenai ini semua. Semua yang telah terjadi. Bahwa buatmu, berartikah ini? I dont even know what it means for you. You never tell me. Or you did tell me and i didnt notice it?

Tapi apa itu penting sekarang? Bukankah sama saja? Tak peduli berarti atau tidak, kesalahan atau bukan, chapter terakhir toh sudah selesai ditulis?

Tapi suara di belakang kepalaku masih terus bertanya-tanya. Entah mengapa.

Is it a mistake that i met you?
Is it a mistake that i fall in love with you?
Is it?

In wonderland...

Living life with you is like living life in wonderland. It's amazing but still it isn't real.

It's true. And i don't know what should i feel. Should i feel happy that it's amazing or should i feel sad that it isn't real? Well, honestly i don't know.

Every single second i spent with you is like i'm living in a dream. I even feel like i can do everything, everything i want, everything that i don't even dare to think in real world.

With you, it really is in a wonderland. We always go around everywhere, every place that interesting us. It's like there is nothing that we can't do. There is nowhere that we can't visit. The 'impossible' word doesn't exist in this wonderland.

But still. When i wake up, i know that it isn't real. The picture that 'we are together having adventure around the wonderland' is just an imagination.

The wonderland isn't exist.
Even you.

When i wake up, i realize that you aren't even exist. You are just my imagination. Gone at the second i woke up.

You, the person that i love this much, aren't exist.
That adventure isn't exist.
That wonderland too.
And i just dreamt.

Friday 25 October 2013

Tak apa-apa jika pada akhirnya hanya kenangan yang aku punya.
Tak apa-apa jika pada akhirnya hanya kenangan yang tertinggal di sini.

Tak apa-apa.
Tak mengapa.

Pada akhirnya, tak masalah lagi.

Sunday 20 October 2013

Well... goodbye, dear.

Kadang aku bertanya-tanya, pernahkah sekali saja aku melintas di pikiranmu? Sekali saja kamu menyingkirkan segala hal lain dan hanya menyisakan tentangku?

Tapi sepertinya aku tahu, kamu tak pernah, meski hanya sekali, memikirkanku.
Tak pernah, meski hanya sekali, peduli tentangku.

Bahkan ketika aku sudah meminta padamu. Harusnya aku memang tak pernah meminta. Tak pernah ingin. Tak pernah harap.

Mungkinkah bila aku pergi selamanya darimu, kemudian kamu akan peduli?

Ku rasa aku sudah tahu jawabannya.

Saturday 12 October 2013

Nothing.

Harusnya aku memang tak perlu memaksa sejak awal.
Aku memaksakan segalanya. Segalanya yang pada akhirnya memang bukan apa-apa. Segalanya yang pada akhirnya memang sia-sia.

Pendar cahaya laptop masih terus menyinari wajahku yang sudah mulai bosan mengerjakan skripsi yang seharusnya sudah selesai sejak dua minggu lalu. Targetku mundur lagi. Pikiranku mencari-carimu lagi. Mataku masih terpaku pada kedip kursor yang entah bagaimana kuharap bisa memberitahuku tentang kamu.

Kamu. Yang selalu saja sesuka hatimu untuk datang dan pergi.
Kamu. Yang selalu saja sesuka hatimu untuk kembali lalu kemudian menghilang lagi.
Kamu. Yang selalu saja sesuka hatimu.

Sesuka hatimu.
Datang.
Lalu pergi.
Kembali.
Kemudian menghilang lagi.

Segalanya ini memang bukan apa-apa buatmu, kan?

It's nothing. Right?

Monday 7 October 2013

What should i do?

Please tell me.

I dont know what i should do or whatsoever thing that i have to do to fix this.

I messed up everything.

What should i do?
Please tell me....

Sunday 6 October 2013

Fate, destiny, journey, and us.

Do you believe in fate?
I do.

Aku sungguh percaya pada takdir yang berkelitan di tiap lapis detikan waktu. Waktuku, waktumu.
Aku sungguh percaya pada takdir yang seolah bermain-main, bersembunyi untuk kemudian mengagetkanku dengan tiba-tiba, membawa kejutan-kejutan yang selalu saja tak terduga.
Aku sungguh percaya pada takdir yang telah mempertemukan kita senja itu. Di kota kecil yang sama sekali tak menarik. Kota kecil yang mungkin tak akan ku pilih untuk menjadi tempat pertama kita bertemu seandainya aku boleh memilih. Kota kecil tempat segalanya bermula.

Aku percaya pada takdir yang mempertemukan kita pada satu kesempatan itu setelah jutaan kesempatan lain terlewatkan. Kesempatan yang kamu buat. Kesempatan yang aku amini. Membuatku bertanya-tanya hingga kini, bagaimana seandainya jika kamu tak membuat kesempatan itu untuk mungkin terjadi. Bagaimana seandainya aku tak lantas mengamini kesempatan itu agar benar-benar terjadi. Di sana lah takdir campur tangan. Takdir lah yang mempertemukan kita senja itu, dalam kesempatan yang kamu buat dan aku amini.

Aku sungguh percaya pada takdir. Takdir yang terus meronce satu demi satu dalam untaian detikan waktu. Waktuku, waktumu. Sehingga sejauh apapun kita mencoba memisahkan diri, seolah-olah kita adalah kutub magnet yang saling tarik menarik, kita pun berakhir bersama lagi.

Aku sungguh percaya pada takdir. Juga pada takdir yang memisahkan kita. Takdir yang menjadi dinding pemisah. Tinggi dan kokoh. Namun masih saja menyisakan jendela yang terkadang kita gunakan untuk tetap bertemu.

Aku percaya pada takdir. Seperti sekarang. Entah bagaimana, hatiku sepertinya tahu bahwa ini bukan saatnya, belum. Dan bukankah kamu yang selalu berkata "it's worth the wait"? Yah, tak perlu terburu-buru. Nikmati saja. Semoga takdir memberi kita kejutannya yang terbaik.

Do you believe in fate? I do. From the start til the end.

Bagaimana?

Bagaimana?
Bagaimana?
Dan bagaimana?

Bagaimana membuatmu tertawa?
Bagaimana membuatmu tersenyum?
Bagaimana membuatmu bahagia?

Pertanyaan-pertanyaan itu yang melulu berputar-putar di dalam kepalaku.

Mengapa begitu sulit membuatmu tertawa lepas? Membuatmu tersenyum? Membuatmu bahagia?

Seolah kamu memang sudah benar-benar mati rasa. Kehilangan seluruh perasaanmu. Semacam manusia tanpa hati. Seperti yang selalu kamu bilang.

Kalau sudah begitu lantas bagaimana?

Padahal aku hanya ingin membuatmu bahagia. Meski hanya sebentar saja. Tapi bagaimana?

Saturday 5 October 2013

Seperti yang selalu....

Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti yang kamu pernah tahu.

Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti kembang api malam tahun baru yang pernah kita nikmati bersama. Semarak berwarna-warni.

Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti gulali merah jambu yang pernah kamu belikan untukku di pasar malam entah kapan itu. Manis yang lembut.

Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti lagu jazz yang selalu kamu putar berulang-ulang setiap malamnya. Merdu dan damai.

Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti yang pernah kamu tahu.

Hari ini aku bahagia.
Meski semua orang mengatakan bahwa bahagiaku ini semu.

Hari ini aku bahagia.
Dan bila ini semu, mengapa hatiku mendadak merasa hangat? Kesemuankah ini? Atau bahagia?

Terserah lah.
Hari ini aku bahagia.

Monday 30 September 2013

Jangan pergi. Kumohon. Maukah kamu tetap di sini saja?

Karena ketiadaanmu memukul telak hatiku yang sudah sejak lama bengkak biru.

Jangan pergi lagi. Kumohon. Maukah kamu tetap di sini saja?

Wednesday 11 September 2013

It's nothing

Ternyata memang sia-sia.
Bukan apa-apa.
Dan hanya sekedar.

Well, at least now i know what it meant. Maybe i already know it from the beginning. But i just ignore it or whatsoever.

Well, at least now i know...

Tuesday 3 September 2013

Hatiku bengkak biru...

Ya, kamu benar. Karena saat ini bahkan diriku sendiri pun tak lagi bisa ku percaya. Tak ada yang bisa dipercaya lagi bukan?

Aku bahkan tak percaya pada apa yang ku pikirkan di dalam sini. Tak juga percaya pada apa yang ku rasakan di dalam sini. Terlebih lagi saat ini.

Belum pernah aku sangsi pada diriku sendiri. Tapi layar film yang terus menerus diulang meski aku terpejam adalah satu bukti bahwa pada akhirnya tak ada seorangpun yang bisa dipercaya. Bahkan diri sendiri.

Entah. Aku pun tak lagi mampu memerangkap kata-kata agar bisa menyampaikan apa yang tersurat pada tiap baris rangkainya. Memetakan apa yang tersirat dalam tiap rentet untainya.

Namun kemudian aku tersentak. Kata-kata yang ku ronce dengan hati-hati bertubrukan begitu saja dengan dinding yang kamu bangun. Pecah berkeping-keping bahkan sebelum sempat tersampaikan.

Pecah.
Dan hatiku bengkak biru. Memasung rindu. Beralas ragu.

Rasa ini (?)

Dengan ketergesaan dan tanpa pertanda, begitu saja kau meletakkannya di lidahku, menungguku mencecapnya, seraya melihat air mukaku yang kebingungan menerka-nerka rasa apa yang baru saja kau letakkan.

Manis? Ia tidak terasa seperti gulali merah jambu yang sering dibelikan ibuku tiap kali kami berkunjung ke pasar malam hingga ia bisa dikatakan manis. Jadi bukan.

Asin? Ia tak serupa air laut yang seringnya tertelan begitu saja manakala aku asik berenang hingga ia bisa dikatakan asin. Jadi bukan.

Asam? Ia tak membuatku menjengit seperti tiap kali aku memakan mangga muda hingga ia bisa dikatakan asam. Jadi bukan.

Pahit? Ia pun tak membuatku ingin memuntahkannya kembali seperti puyer yang dipaksakan untuk ku minum manakala demam menyerang hingga ia bisa dikatakan pahit. Jadi bukan.

Lalu, rasa apakah ini? Lidahku masih mencecapnya. Masih menerka rasanya. Meminta otakku untuk menggali ingatan mungkin saja entah di tumpukan kenanganku yang menggunung itu pernah terekam rasa ini. Tapi tidak.

Sekali lagi ku coba rasai ia yang baru saja kau letakkan dengan terburu-buru di lidahku. Tapi setiba-tiba kau meletakkannya, setiba-tiba itu pula ia menguap. Lidahku mencecap hambar.

Monday 2 September 2013

Pukul dua dini hari.

Pukul dua dini hari. Aku masih nyalang, kantuk sudah lama pergi. Lalu lintas di dalam sini kelewat bising.

Pukul dua dini hari. Seharusnya aku sudah sejak tadi terlelap. Namun seolah enggan, detak jarum jam mengiris ruang dengarku.

Pukul dua dini hari. Dan yang ku inginkan hanya satu, sejenak lupa akan semua dan jatuh tertidur. Mengapa jadi begitu sulit?

Pukul dua dini hari..

Tuesday 27 August 2013

Geez

Suddenly, i think about you. You just pop up that way in my head. I even start to sleep when you suddenly pop up.

Hmmm, it's a little bit lonely here without you. Do you feel the same when i'm not around? Or is it just me?

Yet i don't know. And i don't want to know honestly.

But.... by chance, are you doing well? Is everything alright?

Hey! Take care. Okay?

Sunday 25 August 2013

Tadi malam...

Semalam aku bermimpi.

Ada kamu.... yang sedang bersamanya.

Bahkan dalam mimpipun, kamu bersamanya.

Semalam aku bermimpi.

Tentang kamu yang sedang bersamanya.

Thursday 15 August 2013

...

Kamu mungkin lupa, tapi aku akan selalu mengingatnya. Tentang hari ini.

This i promise you.

Yeah. This i promise you.

Tuesday 13 August 2013

[untitled]





Bila kamu memutuskan untuk pergi, lantas aku bisa apa?

Kamu datang dengan tiba-tiba, seperti hujan yang mendadak deras di siang hari terik. Tanpa mendung atau awan yang mengabarkan kedatanganmu yang akan. Begitu saja dan basahlah seluruh tanah yang ku jejaki.

Ah tapi saat itu bukan musim panas ketika kamu datang tiba-tiba. Aku ingat, siang itu adalah siang pertama musim semi. Bukan, bukan musim panas gersang. Ya, siang itu adalah musim semi. Musim dingin yang baru saja berjingkat-jingkat pergi masih menyisakan kabut tipis yang dingin menggigiti kulit. Musim semi yang belum sempat merekah karena baru saja tiba. Seperti kuncup mawar yang baru akan mekar beberapa hari lagi. Tapi bukan hari itu.

Sunday 11 August 2013

Because it's me.

"Kenapa putus? Aku salah apa?"

"Karena ternyata kamu sama saja dengan perempuan lain. Kita gak bisa bersama-sama lagi."

--------
"Kenapa kamu selalu jahat terhadapku?"

"Karena itu kamu. Bukan perempuan lain. Kalau dengan perempuan lain aku baik kok, gak jahat."

--------
"Kenapa kamu selalu kasar terhadapku? Padahal kamu bisa selembut itu memperlakukan dia?"

"Tentu saja berbeda. Kamu kan bukan dia."

--------
"Jadi sebenarnya seperti apa?"

"Sebenarnya kamu salah paham. Itu saja."

--------
Jadi aku salah paham. Begitu?

Yang aku pahami dari kamu, kamu, kamu, dan kamu, ya... dari kalian, lelaki-lelaki yang pernah mampir dan mencoret-coret halaman putih buku usangku, hanyalah bahwa aku tak layak untuk kalian perlakukan dengan baik.

Yang aku pahami dari kalian hanyalah bahwa memang salahku karena aku adalah aku, perempuan yang hanya pantas diperlakukan setengah hati atau bahkan tanpa hati.

Yang aku pahami dari kalian adalah bahwa aku tak cukup punya hak untuk mengetahui alasan mengapa aku bersalah karena aku adalah aku sehingga aku pantas diperlakukan dengan buruk sekalipun.

Dan aku cukup paham bahwa apapun alasan kalian untuk berlaku jahat, kasar, setengah hati, atau bahkan tanpa hati sekalipun, itu semua hanya alasan.

It's all okay. Aku masih tetap bisa menegakkan kepalaku ketika berjalan di depan kalian. Aku masih tetap bisa tersenyum manakala bersisian dengan kalian. Aku masih tetap bisa bertanya balik bagaimana kabar kalian ketika kalian menyapa.

Karena aku adalah aku.

Dan entah kapan atau dimana, aku yakin akan ada seseorang yang nantinya akan memperlakukanku dengan layak, dengan pantas, bukan karena seribu satu alasan, tapi karena aku adalah aku.

Dan selama itu, aku akan selalu baik-baik saja. Kalian toh hanya mampir saja. Bukan ingin menetap.

It's all okay.

Sunday 30 June 2013

Be happy, will you?

Katakan saja aku yang sombong dan besar kepala. Percaya diri berlebihan karena pada awalnya mengira bahwa aku mampu memperbaiki carut marut yang sudah ditinggalkan. Mengira bahwa mungkin aku bisa membuatmu sadar bahwa kamu berarti minimal untuk dirimu sendiri. Entah dengan cara apa. Bahwa kamu tak seharusnya menjalani hidupmu seperti yang sudah. Bahwa segalanya masih akan bisa baik-baik saja. Aku yang besar kepala itu mencoba melakukan hal-hal yang ku kira bisa membuatmu menyadari bahwa hidup toh masih begini indah.

Tapi seperti semua yang besar kepala, aku lupa bahwa hanya kamu saja yang mampu mengendalikan hatimu. Bahwa mungkin segala yang aku lakukan memang takkan mampu memperbaiki apa yang sudah terlanjur carut marut di sana, di hatimu yang menurutku masih layak untuk merasa bahagia. Bahwa aku bukan siapa-siapa yang bahkan juga memiliki carut marutku sendiri.

Mungkin seharusnya aku tak pernah memulai untuk peduli pada carut marut yang kamu jaga itu. Mungkin hanya karena aku juga tahu rasanya carut marut. Sampai-sampai aku mengira jika aku mampu membuatmu sadar sedikit saja bahwa kamu masih bisa berbahagia, maka aku juga bisa bangun dari carut marutku sendiri. Mengira dengan mencoba membuatmu bisa bersenang-senang lagi berarti aku juga akan mampu kembali tertawa lepas.

Nyatanya tidak. Memang carut marutku mulai terurai menjadi benang tipis yang mampu ku jalin kembali meski kusut habis-habisan. Tetapi carut marutmu tetap tak bergeming. Malah semakin mengkristal.

Sehingga yang ada hanyalah aku yang sombong dan besar kepala. Dengan segala keangkuhanku. Dengan segala remah-remah yang telah ku lakukan, yang tadinya ku kira akan membuatmu merasa lebih baik. Yang tersisa hanyalah cetak buram diriku yang sok tahu di layar retinamu. Kamu yang sekarang mungkin saja mulai membenciku. Aku yang dengan angkuhnya malah menginjak-injak carut marut yang masih kamu jaga itu.

Mungkin memang seharusnya aku mulai berhenti peduli. Peduli pada segala tentangmu. Kamu toh tidak meminta untuk ku pedulikan. Malah aku yang dengan semena-mena tanpa ijin mengambil tempat yang sebetulnya tak pernah kamu berikan. Aku yang lupa diri. Lupa bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bahkan lebih tak kasatmata ketimbang bayangan masa lalumu.

Maaf karena ternyata aku salah. Maaf atas kelancanganku yang sok tahu ini. Kamu bisa pergi kapan saja. Aku toh tak pernah membukakan pintu. Jadi aku juga tak perlu menutup pintu sehingga kamu bisa tetap tinggal. Dan kamu juga tahu, aku hanya akan ada di sini. Tak kemana-mana.

Dan bila malam ini kamu melangkah pergi, ku harap kamu akan bisa berbahagia. Entah bagaimana.

Friday 28 June 2013

seperti yang selalu, seperti yang melulu

Kalau tiga puluh menitmu saja tak mampu ku menangkan, lalu mengapa aku begitu percaya diri mampu mendapatkan sehari penuh milikmu?

Ku kira aku sudah hilang akal atau mungkin amnesia sesaat ketika tadi ku katakan padamu untuk pergi menemaniku. Entah mungkin aku lupa meletakkan akalku lalu bicara begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Tanpa memikirkan kemungkinan bahwa kamu akan menolaknya. Sekali lagi. Seperti yang sudah. Bahwa kamu lebih memilih melakukan hal lain. Aku lupa kalau kamu bahkan tak bersedia menukar tiga puluh menitmu yang mahal untuk mendengarkan keluh kesahku. Ku rasa aku benar lupa ingatan.

Tapi entah mengapa seolah otakku sengaja terprogram untuk langsung melupakan segala 'tidak' yang pernah keluar dari mulutmu. Seolah itu tak pernah menyakiti hatiku. Seolah itu memang bukan apa-apa, tak masalah. Untuk kemudian esok harinya otakku malah memerintahkanku untuk meminta yang lebih mustahil kamu kabulkan, yang lebih dari yang sudah. Yang sudah ku minta, yang sudah kamu jawab dengan 'tidak'.

Mungkin benar aku hilang akal. Atau hilang ingatan.

Atau mungkin saja, aku hanya membutuhkan kamu ada. Buatku saja.

Wednesday 26 June 2013

Begitu saja cukup...

Aku lelah sekali. Jadi kemarilah. Pinjamkan bahu bidangmu dan biarkan aku mencari setitik damai di sana. Sekadar menyandarkan kepalaku yang bising sekali seharian ini. Lalu lintas di dalamnya kelewat ramai. Ingin rasanya aku membuat lampu merah menyala terus. Meski nyatanya melulu lampu hijau di semua persimpangan yang serentak nyala.

Jadi kini biarlah aku bersandar di bahumu sebentar saja. Kamu boleh menggenggam tanganku kalau memang mau. Meski aku tak yakin ada kehangatan yang bisa kamu temui di sana.

Kita sama-sama lelah. Lalu mengapa tak kita nikmati saja jeda ini bersama? Jeda sekian ratus detik yang belakangan ini sulit sekali mampir.

Kamu tak perlu mencari topik pembicaraan apapun. Aku juga tak perlu sibuk memikirkan jawaban dari bahan obrolan yang susah payah kamu cari tadi. Kita cukup diam saja. Dengan kepalaku yang bersandar di bahumu dan tanganmu yang menggenggam tanganku erat. Sejenak lupakan segala hiruk pikuk dunia.

Begitu saja cukup.

Sunday 23 June 2013

.... tik tok tik tok

Dari sekian puluh kalimat yang bisa aku pikirkan, aku memilih satu kalimat itu yang tadinya ku kira bisa membuatmu mengalihkan perhatianmu sedikit saja kepadaku. Lima belas menit ku habiskan hanya untuk memikirkan kalimat yang tepat. Dengan meneguh-neguhkan hati yang mudah goyah karena belum sepenuhnya mampu berdiri tegak lagi, ku ucapkan satu kalimat itu. Kalimat yang ku pilih dengan hati-hati.

Tapi kamu, seolah tak pernah mendengarnya. Seolah sekalimat yang ku ucapkan hanya serupa desau angin yang bahkan tak terdengar karena jendelamu tertutup rapat. Dan aku hanya serupa kabut transparan, tak terlihat. Karena bahkan gorden jendelamu juga terbentang menghalangi segala pandanganmu agar tetap menekuri layar empat belas inchimu yang juga tak lelahnya menatap balik.

Padahal yang ku minta hanya tiga puluh menit saja. Tiga puluh menit yang hanya buatku saja. Tapi seolah stoples waktumu sudah punya label masing-masing, bahkan sampai satuan detik. Dan ya, tak ada namaku di sana, di antara puluhan label di stoples waktumu. Atau mungkin ratusan. Who's counting anyway?

Lalu aku sadar bahwa tiga puluh menitmu yang mahal itu memang takkan pernah mampu ku menangkan. Dengan cara apapun. Meski dengan kalimat yang berenda-renda atau beronce-ronce sekalipun.

Kakiku sudah lelah berdiri di depan pintumu. Pun tanganku lelah mengetuknya sejak entah kapan.

Aku pergi.

5 watt

Tengah malam dan mataku masih nyalang menekuri tiap jengkal langit-langit kamarku yang sebenarnya sama sekali tak menarik itu. Lihat saja, hanya sebidang plafon  berwarna putih membosankan dengan sebuah lampu halogen menggantung tepat di tengahnya. Jauh dari kata menarik. Jujur saja. Tapi itulah yang kulakukan.

Tepatnya sejak tadi terakhir kalimat perpisahan yang menutup perbincangan elektronik kita. Terakhir kamu bertanya tentang lagu apa yang kira-kira enak didengar untuk pengantar tidur malam ini. Alih-alih menjawab lagu apa, aku malah mengatakan akan tidur sambil memikirkanmu saja. Yang malah kamu tertawakan.

Nyatanya, aku malah sungguhan memikirkanmu. Padahal sudah lewat tiga puluh menit sejak kita berpisah tadi. Memikirkanmu saja tanpa ada kejelasan tentangmu yang mana yang ku pikirkan. Aku juga tak mengerti. Tak mengerti juga untuk apa atau mengapa. Kamu hanya ada di sana saja, mengetuk-ngetuk, bolak-balik, atau malah diam saja di sudut. Tapi kamu ada di sana, di pikiranku yang sampai sekarang berhasil membuatku tetap terjaga, menekuri langit-langit kamarku yang sama sekali tak menarik. Padahal mungkin kamu yang nyata sudah terlelap sejak tadi.

Ah.. Aku juga sudah mulai mengantuk. Bolehkah aku tidur saja? Oh satu kali ini biarkan aku tidur tanpa mimpi. Tolong kamu diam saja di tempatmu, di sudut pikiranku. Tak perlu muncul tiba-tiba dan mengagetkanku dalam mimpi lagi seperti yang sering kamu lakukan akhir-akhir ini. Terima kasih bila kamu mau mengerti.

Nah selamat tidur, kamu.

Friday 14 June 2013

A Day With You



Aku masih mengaduk-aduk bubur ayam yang sekarang sudah tak karuan lagi bentuknya. Rasanya penat sekali. Hari Sabtu cerah begini malah ku awali dengan melamun dan melamun. Tadinya aku berencana untuk tidur sampai siang mengingat lima hari kemarin aku selalu tidur larut malam. Tapi nyatanya sehabis subuh tadi aku tak lagi bisa memejamkan mata dan malah berguling-guling tak jelas di atas tempat tidur. Jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kompleks dan well berakhir di tukang bubur ayam Sukabumi ini. And here I am, mengaduk-aduk bubur ayam yang sudah tak karuan lagi bentuknya.

Ku lirik sekilas telepon genggamku yang sedari tadi bisu. Dan entah, aku jadi teringat kamu. Menimbang-nimbang sebentar, menggelengkan kepalaku mencoba menghalau ide gila yang barusan saja nyasar di kepalaku yang sepagian ini hanya kugunakan untuk melamun. Tapi dorongan itu lebih kuat, dan gelengan kepalaku tak mampu menghilangkannya. Mungkin pasangan di meja sebelah menganggapku agak kurang waras karena menggeleng-geleng sambil bicara sendiri. Haha, biar sajalah. Aku sudah terlajur mencari namamu di log telepon genggamku. Yah, nomermu masih menjadi nomer teratas frequently dialled di telepon genggamku. Bagaimana lagi?

“Halo?” sapamu setelah dering keempat yang membuatku hampir memutuskan sambungan.

“Hai... apa aku membangunkanmu?” tanyaku berbasa-basi. Tentu saja aku tak membangunkanmu, sudah hampir pukul sembilan sekarang. Kamu pasti sudah bangun sejak tadi.

“Hmm, sebenarnya iya. Ada apa?” jawabmu singkat dengan suara masih mengantuk yang membuatku kaget. Tak biasanya kamu tidur sampai sesiang ini.

“Jadi sekarang harus ada apa-apa kalau aku mau nelepon kamu?” tanyaku sambil memonyongkan mulut, cemberut, lupa kalau kamu tak bisa melihatku.

“Bukan begitu.... Tapi..”

“Hahaha, bercanda.. Aku kepengin naik kereta. Kita naik kereta ke Purwakarta. Ya?” cerocosku langsung menyela kalimatmu, sebelum aku berubah pikiran dan menghabiskan waktu seharian ini dengan melamun saja.

Thursday 13 June 2013

It's taste like a cupcake....



Sama kamu, kayak lagi main FTV.

Iya, betulan. Kamu tahu FTV? Film pendek yang alur ceritanya juga pendek, tapi kadang-kadang kelewat manis itu, kelewat mengada-ada. Film yang biasanya ditayangkan siang hari di televisi-televisi swasta. Yah kadang juga malam hari sih. Dan tetiba aku berpikir kalau sedang bersama kamu seperti sedang main FTV, bahwa terkadang ketika bersama kamu, aku seperti sedang main FTV. Seperti ada lampu sorot yang menyinari kita berdua yang entah sedang melakukan apa, dengan roll film yang terus berjalan seiring adegan yang kita lakukan berdua, sutradara yang terus memelototi kita seolah takut kita akan berbuat kesalahan yang tak sesuai dengan skenario, serta para asisten dan tukang-tukang lainnya yang ada di sekitar kita.

Hahaha, sebetulnya bukan seperti itu. Sama sekali aku tak merasakan ada lampu sorot dan sebagainya itu. Tetapi, yang terjadi pada kita yang membuatku berpikir sedang berada dalam sebuah FTV. Yang terjadi pada kita mirip dengan skenario-skenario yang biasanya muncul dalam film pendek itu. Yang aku kira tadinya hanya ada dalam skenario saja. Tetapi, sama kamu, adegan-adegan yang kebanyakan gula itu, ternyata ada nyata. Dan sama sekali tak terasa dibuat-buat, seperti terjadi begitu saja, tanpa skenario ataupun rancangan-rancangan. Mau tak mau aku jadi tersenyum, geli sendiri mengingatnya.

Kamu tak tahu bagian yang mana? Sungguhan? Sini, duduk di sini. Aku kasih tahu bagian mana saja yang membuat aku berpikir sedang ada dalam sebuah FTV. Oh, kamu boleh sambil menghabiskan agar-agar yang memang sengaja aku buat untuk kamu kok. Sembari kamu menghabiskannya, aku akan menceritakan bagian mana saja tadi. Ah tapi kamu harus berjanji untuk tidak tertawa. Lagipula, kamu yang membuat aku merasa seperti itu, seperti sedang main FTV, jadi kamulah pelakunya. Nah begini, kamu sudah siap untuk mendengarnya? Tak perlu melihatku seperti itu, fokus saja pada agar-agarmu, okay?

Sunday 9 June 2013

Untitled





Malam semakin matang, suara alam semakin terdengar dari kejauhan. Derik jangkrik, dekuk burung hantu, bahkan desau angin yang sejak tadi terus saja mengetuk-ngetuk jendela, derak kayu terbakar di perapian serta satu lagu lama yang sedari tadi mengalun dari gramophon tua di sudut ruangan menambah komposisi orkestra malam. Sementara itu, seorang gadis sedang duduk sambil membaca di sebuah sofa yang amat nyaman bersama seorang pemuda yang sedang mengutak-atik sesuatu di tangannya. Sofa merah hati kesukaan mereka berdua.

‘Hei, tidakkah kamu lelah dan mengantuk?’ tanya si gadis pada si pemuda yang masih saja sibuk dengan sesuatu yang sejak tadi diutak-atik.

‘Hmm.. lumayan..’ jawab si pemuda tanpa melihat pada si gadis.

‘Kemarilah... sini...’ tanpa menunggu persetujuan si pemuda, si gadis menarik si pemuda ke dalam dekapannya. Sekarang si pemuda sudah nyaman berada di pangkuannya. 

‘Kamu lelah bukan? Tidurlah..’ titah si gadis sambil mengusap lembut rambut si pemuda yang kini hanya diam saja.

‘Ceritakan dongeng sebelum tidur untukku? Bagaimana?’ pinta si pemuda sambil tersenyum, memasang wajahnya sepolos mungkin.

‘Hmmm, baiklah... tapi setelah itu kamu harus tidur? Deal?’

‘Deal...’

Sudah hampir tengah malam. Api di perapian masih menguarkan kehangatan yang melingkupi ruangan kecil itu. Si gadis masih membelai lembut rambut si pemuda yang sudah siap mendengarkan dongeng sebelum tidur.
‘Ehem.. Ehem..’ si gadis mencoba menjernihkan tenggorokannya sebelum memulai bercerita.
~~oOo~~

Friday 10 May 2013

Jadi, ijinkan aku untuk mencinta yang lain selain kamu.....





“Maaf, bu? Tapi kita sudah hampir satu jam muter-muter Jakarta? Ibu mau saya antar kemana?” Pak sopir taksi lagi-lagi menanyakan hal yang sama satu jam belakangan ini. Yang lagi-lagi ku jawab dengan jawaban yang sama, “Jalan terus aja, pak. Muter Sudirman lagi yah..”Dan pak sopir taksi kembali diam melanjutkan menyetir. Malam ini jalanan Jakarta masih seperti biasa, ramai dan padat. Seolah semua orang butuh untuk keluar saat itu juga, memadati jalanan ibukota yang memang tak pernah lengang. Mobil pribadi, motor, busway, bus dalam kota, sepeda, bahkan delman ikut meramaikan suasana jalan.

Aku masih belum ingin pulang. Belum ingin kembali ke hangatnya rumah. Aku hanya ingin terus melihat pendar-pendar cahaya lampu yang berwarna-warni dari gedung-gedung pencakar langit Jakarta ini. Gedung-gedung yang melulu membuatku teringat padamu. Betapa kita begitu suka duduk di atap sebuah gedung untuk menikmati pemandangan yang terhampar di hadapan kita. Pada seribu satu malam yang pernah mampir dalam kehidupan kita. Kita yang dahulu berarti aku dan kamu, bersama-sama. Pada satu malam ketika ribuan pendar cahaya yang terpantul di mata kita. Satu malam kita hanya saling menatap dan tersenyum. Tanpa banyak kata, tanpa banyak rayu. Lagipula, siapa yang membutuhkan kata-kata lagi ketika kita masing-masing mampu membaca apa yang tertera di hati?

Ah. Sudah. Aku sedang tak ingin semak hati. Malam ini aku hanya ingin sekali lagi melihat pendar-pendar cahaya. Mencoba mencari setitik cahaya yang sama yang pernah terpantul di matamu, mencoba mencari warna-warni itu. Bukan hanya hitam putih yang membosankanku. Mataku yang berubah menjadi monokrom sejak kamu memutuskan untuk benar-benar pergi.

Tuesday 16 April 2013



"Pada akhirnya akan terasa seperti aku tak pernah ada.." -Edward kepada Bella-

atau....

"Kamu pernah ada saja itu sudah cukup." -Luhde kepada Keenan-

Kamu,, memilih yang mana?

Aku... memilih yang belakangan. Aku ingin sekali bisa melepasmu dengan ikhlas dan tulus seperti itu. Aku ingin bisa mengenangmu sambil tersenyum. Tak seperti yang ku lakukan entah berapa kali sejak saat kamu pergi, menangisimu sampai kelelahan dan jatuh tertidur.

Aku ingin sekali bisa melepasmu dengan ucapan selamat tinggal yang layak. Dengan tawa yang selama ini kita bagi bersama.

Kamu, baik-baik saja kah?

Karena aku rasanya tidak bisa baik-baik saja. Aku merindukanmu. Aku ingin sekali bisa melepasmu tanpa perlu lagi merasakan rindu yang seperti ini. Mengapa sulit sekali?

Sudah... Aku hanya ingin bisa melepasmu. Kamu, baik-baik selalu yah....

Iya, kamu pernah ada saja itu sudah cukup.... :)

Tuesday 19 February 2013

Tahu Rectoverso?

Tahu. Bukunya Dee?

Iya. Katanya dibuat movie. Gw juga baru tahu sih...

Oh begitu? Jadinya gimana tuh? Kan cerpen?

Iya, semacam kayak Love Actually.

Oh...

Iya. Eh gitu aja sih.

Nanti nonton ah, kan gak perlu susah-susah lagi kalo mau nonton. 
Gak perlu naik motor tiga jam buat ke bioskop.

Iya.


(Saya kira saya gak tahu apa yang barusan saja saya pikir. Buat apa juga saya bertanya soal ini kepada kamu? Apa sih yang saya pikirkan? Berpikir kamu akan berkata, 'oh ya? let's go to the theatre together then, watch the movie'. Oh God why..... I ruined my own day....)


Thursday 14 February 2013





How should I say this? I feel sooooo happy for you. I really do. It’s just like a dream come true. Your dream. And honestly my wish too. I’m wishing for this, from start to end, wishing you can reach your dream, wishing you can make your dream comes true. I don’t know what to say for more. I just feel like I wanna scream aloud. I feel like my eyes are full of tears that can drop anytime. I want to cry aloud. After this you can just go from that place, just fly to catch your future, your dream, your hope.

I’m so happy bout this even if I’m not a part of it anymore or whatsoever. I know it. I just cant block this feeling which flows inside my heart. I’m so happy that I feel like I want to cry.

I don’t know what to say for more.

In the end I just wanna hug you. Or maybe just want to see you smile happily.

Congratulation, you….

Monday 11 February 2013




Kamu… serupa lollipop, berwarna warni, manis, kadang kelewat manis.

Iya, kamu betul serupa lollipop. Lollipop pelangi yang pernah kamu belikan untukku. Sedang aku persis anak perempuan umur tiga tahun yang terus saja merajuk untuk segera dibelikan lollipop itu. Detik berikutnya aku sudah terbius warna-warni cantik yang meliuk-liuk di seluruh permukaannya, mengira-ngira akan semanis apakah rasanya. 

Aku terus saja membawanya ke sana dan ke mari, kemana-mana. Memegangnya dengan penuh rasa sayang, menjaganya seraya memamerkannya kepada siapa saja yang kebetulan melintas. Begitu bangga mana kali ada mata lain yang iri melihat lollipop yang kupegang.

Aku begitu menyukai lollipopku itu. Meski pada akhirnya aku tak pernah tahu bagaimana rasanya. Karena tebak? Aku tak ingat di mana aku meletakkannya terakhir kali. Lollipopku hilang. Seperti kamu.

P.S. : Saya tidak sedang membicarakan kamu. Iya, kamu. Well, kamu boleh mengaku kalau kamu selalu mengira kamulah yang saya bicarakan. Meski nyatanya, bukan. Well, kadang-kadang iya. Tapi bukan kali ini. Demi lollipop-lollipop yang ada di muka bumi, kamu itu gak manis. Gak pernah manis. Meskipun satu kali.