“Maaf, bu? Tapi kita sudah hampir satu jam muter-muter
Jakarta? Ibu mau saya antar kemana?” Pak sopir taksi lagi-lagi menanyakan hal
yang sama satu jam belakangan ini. Yang lagi-lagi ku jawab dengan jawaban yang
sama, “Jalan terus aja, pak. Muter Sudirman lagi yah..”Dan pak sopir taksi
kembali diam melanjutkan menyetir. Malam ini jalanan Jakarta masih seperti
biasa, ramai dan padat. Seolah semua orang butuh untuk keluar saat itu juga, memadati
jalanan ibukota yang memang tak pernah lengang. Mobil pribadi, motor, busway,
bus dalam kota, sepeda, bahkan delman ikut meramaikan suasana jalan.
Aku masih belum ingin pulang. Belum ingin kembali ke
hangatnya rumah. Aku hanya ingin terus melihat pendar-pendar cahaya lampu yang
berwarna-warni dari gedung-gedung pencakar langit Jakarta ini. Gedung-gedung
yang melulu membuatku teringat padamu. Betapa kita begitu suka duduk di atap
sebuah gedung untuk menikmati pemandangan yang terhampar di hadapan kita. Pada seribu
satu malam yang pernah mampir dalam kehidupan kita. Kita yang dahulu berarti
aku dan kamu, bersama-sama. Pada satu malam ketika ribuan pendar cahaya yang
terpantul di mata kita. Satu malam kita hanya saling menatap dan tersenyum. Tanpa
banyak kata, tanpa banyak rayu. Lagipula, siapa yang membutuhkan kata-kata lagi
ketika kita masing-masing mampu membaca apa yang tertera di hati?
Ah. Sudah. Aku sedang tak ingin semak hati. Malam ini aku
hanya ingin sekali lagi melihat pendar-pendar cahaya. Mencoba mencari setitik
cahaya yang sama yang pernah terpantul di matamu, mencoba mencari warna-warni
itu. Bukan hanya hitam putih yang membosankanku. Mataku yang berubah menjadi
monokrom sejak kamu memutuskan untuk benar-benar pergi.