“So, how was your holiday? Wasn’t it great, eh?” Maharani meletakkan 
gelas plastik berisi cairan kental berwarna cokelat dengan tambahan 
cream kental berwarna putih sebagai toppingnya yang dijual dengan harga 
agak di luar nalar, sejujurnya. Tapi Maharani hanya bisa tersenyum sinis
 mengetahui bahwa toh setidak masuk akal apapun, nyatanya ia ada di situ
 menyeruput cairan kapitalisnya melalui sedotan ukuran besar yang begitu
 kaku. Toh ia tetap membelinya, lebih kepada seperti ia menyewa kursi 
beserta meja dan tempat tersebut untuk bisa mengobrol santai dengan 
sahabatnya yang baru pulang berlibur. Juga termasuk tisu putih segiempat
 tanpa cela yang tak ketinggalan merek glamour si cairan cokelat 
tertulis di atasnya.
“Well, it was really fun though. I 
never knew that it will going so great, exciting, fun, oh whatsoever you
 called it lah. Rasanya seperti baru aja dicharger ulang, tau gak? 
Seperti hidup. I do really alive, I can even feel my blood running in my
 vein, my heart’s beat, it’s  more than great. I cant help my self from 
smiling everytime. Yah you know, you did it once, didn’t you?” Gadis di 
hadapannya memang terlihat begitu bahagia, itu tak bisa dipungkiri. 
Lihat saja, sejak tadi ia tak berhenti tersenyum, seolah baru saja 
menang undian ratusan atau bahkan milyaran rupiah.
“Yeah, I
 did. I really miss it, anyway. I miss my past life. Miss that feeling 
when I’m travelling around. But well yeah, c’est la vie, ma cherie.. You
 can have it all, but you can't have it all at the same time. You get the 
A, but in other side you have to let the B go. Nah jadi kemana aja 
kemarin? Asik banget kayaknya yah?”
“Banget lah… banyak 
deh, kayak yang gw laporin tiap hari ke lu itu lah… Resume-nya yaaaa, 
hmmm, gak menyesal sudah nekad pergi ke sana meski sendirian. Meski 
tadinya gw nervous karena yah ini Thailand loh, bukan Indonesia, bukan 
juga Singapore atau Malaysia yang masih banyak orang melayunya dan 
tulisannya pun masih jelas huruf Latin, bukan aksara kriwil-kriwil yang 
gw gak tau artinya apa. Tapi overall, gw bahagia banget bisa melakukan 
perjalanan itu kemarin. Lebih dari sekedar manis gurihnya Sticky Rice 
with Mango, atau asam pedasnya Seafood Tom Yam, ohh atau manis nikmatnya
 Mango Rotee, lebih dari itu…. Juga lebih dari sekedar mewahnya Grand 
Palace, lebih dari sekedar cantiknya Phi Phi Island. Sulit, nona. I cant
 find words to describe my feeling. Lebih dari itu semua. Karena gw bisa
 berhasil mengalahkan ketakutan gw, lu tau sendiri gw gampang nyasar, 
kemarin aja gw bergantung banget sama Gmaps. Hahahaha. Seru lah…”
Maharani
 tersenyum mendengarkan cerita sahabatnya yang begitu bersemangat. Ia 
juga tahu betul bagaimana rasanya, persis. Tiga tahun lalu ia juga 
berada di posisi itu. Terpaksa harus pergi sendirian karena sahabatnya 
itu harus menjalani ujian tepat pada saat seharusnya mereka sedang 
menikmati keindahan Phi Phi Island. Dengan sekuat tenaga mengalahkan 
rasa takutnya, ia pun berangkat sendirian, tak tanggung-tanggung pergi 
ke dua negara dan empat kota dalam waktu sepuluh hari. Pengalaman yang 
tak akan pernah ia lupakan. Bahkan sampai pada detail paling kecil 
sekalipun.
“Eh udah ah, kok jadi cerita gw terus sih? Ini 
ceritanya lu masih kekeuh nih mau nyari itu sandal? Lu bukannya udah 
ngobrak-ngabrik mall se-Bekasi ya? Emang gak ada sandal lain gitu?” 
Maharani menghela napas mendengar cerocosan pertanyaan dari sahabatnya 
itu.
“What can I say lah? Lu tau, seperti yang udah gw 
ceritain, sebetulnya ini kayak semacam love at the first sight sih…” 
jawab Maharani asal, malas mencari alasan lain.
“Hahahaha,
 apaan deh. Sama sandal aja pake love at the first sight segala lu. 
Tinggal beli aja sih yang ada, ngapain juga nyari yang gak ada, lu sih 
apa-apa dibikin ribet sendiri. Lagian yang kawin kan sepupu lu? Bukan lu
 kan yak? Gak usah ribet-ribet dah.”
“Eh mulut lu ya… Gak 
gitu, nona. Pertama kali gw lihat sandal ini tuh rasanya gw langsung 
suka aja gitu… manik-maniknya, modelnya, hak-nya, semuanya deh… kayaknya
 yang lain jadi gak ada cantik-cantiknya lah dibanding sandal ini.” 
Maharani sekarang malah sudah melamunkan sepasang sandal cantik yang 
sampai sekarang tak bisa ia temukan.
“Gw udah kelilingin nih mall se-Bekasi, gak ada di mana-mana. Haruskah gw ngelilingin mall di Jakarta?”
“Hahahaha,
 mulai lebay deh… emang bagus banget yah? Harganya berapaan, nona?” kini
 bahkan sahabatnya mulai penasaran dengan sandal yang sedang sibuk 
menari-nari di benak Maharani.
“Bagus banget.. Ehh, 
harganya yah, ehmm, lumayan sih… aslinya gopek, diskon sepuluh persen, 
hehe. Cuma sayang, ukuran gw gak ada. Kan, mengecewakan.”
“Muahahahaha,
 lagak diaaaa… ngapain lu beli sandal harga gopek dah? Itu sandal mau lu
 pake kemana? Kawinannya di Hotel Mulia? Atau Balai Sarbini?”
“Ih
 nyinyir dah… Kawinannya di lapangan doang sih, jadi di deket rumahnya 
ada lapangan luas gitu deh, biasa dipake buat resepsi gitu, tinggal 
pasang tenda aja.” Maharani menjawab sambil menyeruput minumannya yang 
sudah tidak dingin lagi.
“Lah, kan… udah deh, nyerah aja 
lah, pake aja sandal lu yang ada. Atau beli aja sandal murah-murah kan 
banyak tuh… Gopek mah mending buat kita jalan-jalan ke mana kek gitu, 
beli tiket pesawatnya atau keretanya.. Gak penting deh beli sandal harga
 segitu.”
“Hoooh… ya tapi gw kebayang-bayang terus sama 
sandal ini.. gimana dong? Kayak lu gak pernah aja gila sama sandal?” 
dengan bibir manyun, Maharani menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi 
empuk yang sudah hampir satu jam ini ia duduki. Ternyata memang 
mengobrol itu membuat lupa waktu.
“Lahh, emang gak pernah dah… I still have my mind, and the last I checked it’s still on the right track anyway…”
“Eh,
 did you ever hear one English proverbs that say, ‘every shoe has its 
own pair’? Jangan-jangan, gw ini sepatu kiri, dan temen lu yang lagaknya
 lima juta itu adalah sepatu kanannya? Karena itu, bagaimanapun gw coba,
 gak bisa cocok dengan yang lain, yah bukan pasangannya kok.” Maharani 
yang sejak tadi melamunkan sepasang sandal cantiknya, kini tiba-tiba 
berubah arah.
“Hadeuh, bahas itu lagi… Move on lu apa kabarnya ya, nona?”
“Move
 on kok gw. Santai atuh. Ini kan cuma permisalan. Gimana misalnya kalau 
gw ini sepatu, a customized one malah, yang bikinnya emang beneran 
diukur kakinya, bukan sekedar ukuran standar. Yang desainnya juga cuma 
untuk sepatu itu aja, yang manik-maniknya unik dan antik, yang eh yah 
cuma ada buat sepasang itu aja. The real customized handmade pair of 
shoes. Yang bahkan gak akan bisa ditemuin pasangannya di manapun lagi, 
kecuali pasangannya sejak mula-mula, yang dibuat memang untuk jadi 
sepasang, kayak uhmm sepatu-sepatunya Niluh Djelantik itu loh.. Tau kan?
 Atau ekstremnya lagi, kayak sepatunya Cinderella yang bahkan gak ada 
dua-nya di dunia. Nah lu kalau pake sepatu lain sebelah, even yang 
customized kek yang standar kek, emangnya nyaman? Enggak kan? Maksud 
gw,..,”
“Ah udah deh, there’s no such thing like that. You
 are human, so be a human, not a shoe or whatsoever. It’s enough ya, 
you’re not a shoe. Neither he is. Dan kalian, kalau memang kalian 
ditakdirkan untuk jadi sepasang, ya let see then. But for now, he’s just
 your past, so move on. Lagipula, sepatu Cinderella itu emang gak 
bakalan ada dua-nya di dunia, wong satu pasang aja gak ada kok. Itu 
khayalan, kha-ya-lan. Wake up dong.. jangan kayak anak umur lima tahun 
yang masih percaya kalo labu bisa berubah jadi kereta dan upik abu bisa 
jadi ratu.” Sahabatnya langsung memotong perkataan Maharani yang mulai 
mengarah pada topik yang tidak jelas solusinya. Bukannya tidak ingin 
mendengarkan, hanya saja yah memang tidak ada gunanya lagi membicarakan 
hal yang sudah jelas duduk perkaranya.
“Ish, iya iya,,, 
yaudah lah.. Lupakan saja, gw kadang suka ngaco sih memang.. Tapi 
omong-omong, kalo sepatunya Cinderella emang bener-bener pas di kakinya,
 which is like we and the rest of people in the world, know that it’s 
made for her, only her feet that fix with that damn shoes, why did it 
fall off then? Why?”
“Hahahaha… Mana gw tau lah? Peduli 
amat sama Cinderella dan sepatu kacanya yang gak eksis itu. Lagi pula, 
gw gak pernah dengar kata-kata tadi itu. ‘Every shoe has its own pair’. 
Dari mana lu dengar itu? Aneh. Yang gw tahu ya, ‘Try to put yourself in 
my shoes’ ya bukan?”
“Hahahaha bukannya yang bener itu, ‘Life is short, buy the damn shoes!’ setuju kagak?”
“Iyuhhh, belanja lagiiiiii,,, kagak setuju, gw bangkrut nih…”
“Beuhh,
 tau deh yang baru pulang pelesiran sampe bangkrut…. Hahahahah” Hari 
sudah mulai sore ketika kedua sahabat keluar dari kedai kopi yang 
semakin ramai dengan pengunjung. Suatu paradoks yang lagi-lagi membuat 
Maharani tersenyum sinis, merasa heran melihat yang akhir-akhir terjadi. 
Bahkan terlalu banyak terjadi hal-hal yang sepertinya saling 
bertentangan. Entahlah, mungkin orang-orang sudah terlalu lama tidak 
mendapat hiburan. Atau mungkin seperti yang akhir-akhir ini juga sering 
ia dengar, ‘Mungkin mereka cuma kurang piknik’. Hahahaha, jadinya ia 
juga menertawakan diri sendiri yang mungkin saja juga kurang piknik. 
Entahlah.
P.S.: Picture taken from Google
