Bagaimana bila akhirnya ku cinta
kau?
Dari kekuranganmu, hingga
lebihmu...
Bagaimana bila
semua benar terjadi?
Mungkin
inilah yang terindah....
Suara merdu Bunga Citra Lestari
masih terdengar sayup-sayup dari ruang dengarku, bahkan setelah aku meninggalkan
tempat fotokopi di seberang kantor. Ah ya, seandainya kamu tahu bahwa kantorku
ini agak sedikit ajaib, lebih tepat disebut agak tua sebenarnya, karena semua
barang-barang yang ada di kantor ini hampir rata-rata sudah berumur lebih
daripada masa pakai seharusnya. Jadi tidak heran bila tiba-tiba mesin fotokopi
mengadat, ac mengeluarkan hawa panas alih-alih sejuk, atau genset yang juga
ikutan mati ketika listrik terkena jatah pemadaman bergilir. Seperti hari ini
ketika aku harus meng-kopi laporan yang sudah dengan susah payah ku selesaikan
kemarin sore, tiba-tiba saja mesin fotokopi itu berhenti berdengung dan diam
bergeming untuk waktu yang entah siapa yang tahu akan sampai berapa lama. Jadinya
dengan terburu-buru aku menuruni satu demi satu anak tangga dari lantai tiga
menuju lantai satu. Ah ya, di kantorku juga tidak ada lift alasannya karena
untuk pengadaan sebuah lift, kantor ini haruslah minimal memiliki empat lantai.
Beruntungnya aku, ruanganku terletak di lantai tiga.
Tak sempat menenangkan degup
jantungku yang masih berdetak lebih kencang karena aku sedikit berlari sambil
menuruni tangga, aku langsung menuju tempat fotokopian di depan kantor, takut
didahului oleh orang lain yang mungkin saja sedang terburu-buru juga. Bukannya aku
tidak sabar mengantri, hanya saja laporan ini masih harus melewati proses
penjilidan softcover setelah difotokopi. Tidak tanggung-tanggung, laporan ini
terdiri dari tiga buah laporan dan harus diperbanyak sebanyak lima belas set
berkas. Tiga dikali lima belas adalah empat puluh lima set berkas laporan yang
harus ku tunggu untuk diperbanyak dan dijilid. Yah, bukan angka yang sedikit
yang tentunya membutuhkan waktu yang juga tidak sedikit. Tapi aku hanya akan
menyerahkannya saja, lalu setelah itu ku tinggalkan dan nanti sore ku ambil
sebelum waktu pulang kantor tiba.
Dan di sanalah, setelah lama tak
mendengar lagu itu, entah angin apa yang membuatku begitu memperhatikan lirik
lagu tersebut. Padahal ini bukan kali pertama aku mendengarnya, tapi entah
mengapa kali ini lagu tersebut mampu membuatku memikirkan tentang kamu. Persis seperti
judulnya, Tentang Kamu.
Tentang kamu, dari mana aku harus
memulainya? Aku sendiripun terkadang masih tak percaya dengan segala hal
tentang kamu yang tiba-tiba saja masuk dalam keseharianku. Bukankah segalanya
terjadi begitu cepat sampai aku tak menyadari kapan semua ini bermula? Ah, aku
jadi terseret arus deras kenangan. Bahkan bukan kenangan bertahun-tahun lalu,
ini adalah kenangan sebulan dua bulan lalu. Iya, rasanya memang baru dua bulan
terakhir ini ketika kali pertama kita tak sengaja bercakap-cakap. Bahkan bukan
dalam dunia nyata, tapi dunia maya.
Hahaha, iya, rasanya aku ingin
tertawa sendiri bila mengingatnya. Betapa selama ini aku melulu sinis pada
orang-orang yang mengaku jatuh hati padahal bahkan belum saling bertemu. Betapa
selama ini aku seringnya berkhayal tentang perjumpaan pertama bak cerita
sinetron yang kadang kebanyakan gula itu. Seperti pasangan yang tak sengaja
berjumpa saat mobil mereka tak sengaja saling menyerempet yang malah kemudian
berkenalan dan saling bertukar nomor telepon atau akun media sosial. Atau
pasangan lain yang tak sengaja bertubrukan saat keluar dari ruang kelas di
kampus kemudian buku-buku berserakan, berkenalan, lalu saling bertukar nomor
telepon atau akun media sosial. Atau pasangan ala Rangga-Cinta yang bertemu di
perpustakaan atau toko buku, yang tangan keduanya tak sengaja bersentuhan
ketika berbarengan mengambil buku yang sama, saling melempar senyum, berkenal,
lalu bertukar nomor telepon atau akun media sosial. Ya, ku kira tadinya aku
bisa jadi salah satu dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan acak tadi yang
kadang manisnya bisa membuat diabetes bahkan sebelum mengkonsumsinya.
Nyatanya adalah aku tak sengaja
melihat status di salah satu akun media sosialmu yang ketika itu kurang lebih
berbunyi, “Well, friends, i didnt bring my phone with XL number, so if you
wanna contact me, please contact me to my Simpati. Thanks”. Ya, sejujurnya
saja, aku tak sengaja melihat statusmu itu, dan karena waktu itu aku sedang
iseng saking bosannya mendengarkan rapat yang seolah tak akan pernah berakhir,
alih-alih aku berusaha untuk fokus, aku malah meninggalkan komentar di statusmu
itu. Bahkan aku jadi satu-satunya orang yang mengomentari statusmu itu. “Ehh,
tapi aku gak punya nomor Simpati kamu?” yang kamu balas dengan, “Ku kirim di
message aja ya..” Wohoo, aku tak menyangka akan mendapatkan balasan seperti itu
sebetulnya. Karena well, pertama, aku bahkan tak pernah tahu baik nomor Simpati
atau XL atau nomor teleponmu yang entah mana lagi. Kedua, kita bahkan tak
pernah bercakap-cakap lewat messenger akun media sosial, juga tidak di dunia
nyata. Ketiga, ya karena kita bahkan tidak saling mengenal secara personal di
dunia nyata. Aku hanya tahu bahwa kita satu almamater, bahwa kamu juga alumni
dari kampusku. Aku bahkan tidak menyadari kalau kita berbeda angkatan.
Setelahnya, kamu benar-benar
mengirimkan nomor teleponmu melalui messenger akun media sosial itu, seperti
yang sudah kamu katakan. Bingung harus apa, aku malah menyimpan nomormu di
dalam telepon selularku, kemudian me-refresh aplikasi chattingku, dan voila!,
aku menemukan namamu di sana. Ya tentu saja, karena sudah ku simpan sesaat
sebelumnya. Jadinya aku menyapamu lewat aplikasi chatting itu. Tak menyangka
bahwa kamu akan merespon dengan ramah. Karena yah aku terkadang malah bersikap
kurang ramah pada orang-orang iseng yang tidak jelas tujuannya tapi tetap nekad
mengirimkan pesan ini itu di media sosial.
Bermula dari satu percakapan yang
mengantarkan pada entah berapa banyak lagi percakapan yang terjadi berikutnya,
meski seringnya akulah yang memulai percakapan-percakapan itu. Bahkan terkadang
aku bertanya-tanya, mungkinkah kamu terganggu dengan segala omonganku yang tak
jarang isinya tak penting itu. Tapi entah bagaimana, aku hanya tak mampu lagi
menahan diriku untuk tidak mengirimkan pesan elektronik kepada kamu, kepada
nomor teleponmu yang tak sengaja begitu saja kudapatkan. Entah bagaimana, aku
jadi mulai terbiasa menunggu balasanmu yang membuat telepon selulerku
berdenging-denging. Entah bagaimana, lagu-lagu yang ku dengar jadi membuatku
malah memikirkanmu. Entah bagaimana, senyumku mengembang mana kala kamu lebih
dahulu mengirimiku pesan elektronik, yang entah mengucapkan selamat pagi atau
rekaman suaramu sedang menyanyikan entah lagu apa lagi yang kadang pertama
kalinya ku dengar. Entah bagaimana, bahkan ketika kamu lupa lirik lagu tertentu
tapi kamu tetap merekamnya dan mengirimkannya padaku dan malah membuatku
tertawa senang dan melupakan sejenak macet yang sedang ku hadapi, alih-alih
mengerutkan dahi seperti yang biasa akan kulakukan setiap kali ada orang yang
salah menyanyikan lirik satu lagu. Entah bagaimana, kamu menjadi bagian dari
keseharianku.
Dan Bunga Citra Lestari membuatku
jadi memikirkanmu, memikirkan tentang kamu, memikirkan tentang diriku. Memikirkanmu
yang kini melulu muncul tiap kali ada satu lagu yang tak sengaja ku dengar. Memikirkan
tentang kamu yang semakin lama semakin banyak ku ketahui, tentang makanan
kesukaanmu, lagu kesukaanmu, kebiasaan baikmu, kebiasaaan burukmu, atau tentang
selera humormu, tentang indomi yang begitu kamu agung-agungkan sebut sebagai
pahlawan penyelamatmu tiap kali kelaparan dan tidak menemukan makanan yang
cocok dengan seleramu. Memikirkan tentang diriku yang mulai terbiasa dengan
kehadiranmu, diriku yang jadinya mulai sering melamun sambil tersenyum, diriku
yang selama ini takut untuk lagi-lagi carut marut seperti sebelumnya. Bukankah sudah
ku katakan padamu, ah bukan soal aku yang terkadang merasa seperti remah-remah
rempeyek, tapi soal hatiku yang pernah bengkak biru lalu kemudian carut marut
tidak karuan. Aku hanya tak ingin merasakan carut marut itu sekali lagi. Aku hanya
tak ingin kembali seperti dulu lagi, kehilangan diriku karena kehilangan orang
lain yang ku kira takkan pernah menyakitiku. Aku hanya tak ingin merasa kecewa,
sekali lagi.
Tapi lagu
itu terus menerus berputar di kepalaku, bahkan ketika aku sudah kembali di
mejaku dan mulai menekuri layar empat belas inchi di hadapanku, dengan satu
tumpuk berkas pekerjaan yang harus segera ku selesaikan. Lagu itu masih terus
berputar di kepalaku, memaksaku untuk berhenti melakukan apapun yang ku coba
lakukan untuk menghentikan lagu itu. Jemari tanganku menggantung di atas
keyboard, alih-alih membuka file pekerjaan, aku malah membuka browser,
memasukkan keyword, beberapa saat kemudian lagu tersebut sudah sempurna
terdownload di komputerku. Kini lagu itu bukan hanya berputar berulang-ulang di
kepalaku, tetapi memang secara harfiah dia berputar lagi dan lagi, memenuhi
ruang dengarku yang sudah seharian ini hanya mendengarkan satu lagu itu.
Ku
tak bisa menebak
Ku
tak bisa membaca
Tentang
kamu...
Kau
buatku bertanya s'lalu dalam hatiku
Tentang
kamu...
Tentang
kamu..
Bagaimana
bila akhirnya ku cinta kau?
Dari
kekuranganmu hingga lebihmu
Bagaimana
bila semua benar terjadi?
Mungkin
inilah yang terindah
Begitu
banyak bintang seperti pertanyaanku tentang kamu...
Tentang
kamu.....
P.S. : Picture was taken from
here