Friday 1 August 2014

Hei, kamu. Iya. Kamu.

"Aku suka tulisanmu tentang seseorang di kereta?"

"Hm? Seseorang di kereta?"

"Iya. Tentang seseorang yang masih terus percaya bahwa pada akhirnya ia akan menemukan belahan jiwanya."

"Memangnya aku pernah menulis seperti itu?"

"Iya. Yang endingnya kurang lebih 'aku masih memegang tiket keretaku, memastikan bahwa tujuanku memang benar. Apa kamu juga masih memegangnya?' Yah kurang lebih seperti itu. Aku tak ingat pasti."

"Ahhh yaaa... Aku ingat sekarang. Seseorang di kereta, si penumpang tunggal di keretanya sendiri."

"Iya."

"Aku juga masih terus di keretaku. Ah mungkinkah kita akhirnya bisa bertemu?"

"Hm?"

"Tentu saja tidak. Bukankah yang kamu pegang sekarang tiket pesawat? Dan bukan tiket kereta? Ya kan?"

~~~~

Kamu tahu, begitupun hatiku tahu. Aku di dalam keretaku, menuju stasiun tujuanku. Sedang kamu di pesawatmu menuju bandara tujuan singgahmu.

Yang aku tak tahu adalah, apakah setelah aku sampai di stasiun itu aku akan melanjutkan perjalananku entah menuju kemana lagi? Seperti juga denganmu, sesampainya di bandara itu, lantas apa yang akan kamu lakukan kemudian?

Mungkin memang kita takkan pernah bisa bersinggungan dalam perjalanan masing-masing. Meski bisa saja ternyata kita punya tujuan akhir yang sama.

Namun demikian, bilapun tujuan kita ternyata sama, aku pun masih tak tahu apakah kita bisa sampai bersamaan dan akhirnya bertemu di sana atau lagi-lagi hanya berselisih jalan?

Kita tak pernah tahu ke mana takdir akan membawa. Begitupun dengan aku, dengan kamu.

Bukan. Aku tidak sedang mereka-reka akan seperti apa nanti. Jalinan benang takdir terlalu rumit untuk bisa ku pilin dengan jari.

Selain itu, aku cukup mengerti seberapa dalam kamu pernah terluka. Luka hati yang masih saja kamu bawa hingga kini. Entah racun apa yang pernah kamu telan hingga membirukan sedemikian rupa hatimu yang tak nyata wujudnya itu. Kamu toh tidak sedang berlebihan memuja kesakitan bukan?

Dan kamu juga cukup memahami apa yang tertera di permukaan hatiku yang lebam ini. Hingga mungkin tak perlu lagi kata untuk ku letakkan di dalam bibirmu tentang carut marut yang masih membuatku mati rasa.

Aku masih di keretaku, dengan setumpuk kenangan yang masih mengepul, panas dan berkabut. Kamu pun masih di pesawatmu dengan sebongkah hati yang kamu bilang sudah tak lagi berfungsi.

Lalu yang bisa ku lakukan hanyalah mengucapkan selamat jalan dan berhati-hatilah meski mungkin kini kamu tak lagi punya hati.

Dan ku rasa meski kita berpergian dengan cara berbeda, bukan tak mungkin kita akan bertemu. Suatu saat nanti. Atau mungkin tidak sama sekali.

Yah, toh aku masih di sini, memegang erat tiketku seraya mencoba mengusir kabut kenangan agar pemandangan di luar mampu ku nikmati.

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^