Thursday 5 February 2015

Frittata and orange juice, just like you and me..


Maharani mencoba membuka matanya, sementara denyut di kepalanya terasa semakin nyata, membuatnya semakin pening. Spontan punggung tangannya ia letakkan di dahi, ternyata demamnya belum mereda. Mungkin itu mengapa ia begitu sulit bangun dari tempat tidurnya. Badannya basah kuyup oleh keringat.

Sambil mencoba untuk bangun Maharani mendengar suara-suara dari dapurnya, suara spatula kayu yang bergesekan dengan penggorengan seperti ada seseorang yang sedang memasak. Tapi siapa? Ia kan hanya tinggal sendirian di rumah mungilnya ini. Dan seingatnya semalam ia hanya pulang dari kantor, menggigil kedinginan lalu langsung jatuh tertidur setelah susah payah mengganti baju kantor dengan piyama. Ia sama sekali tak ingat kalau ada tamu yang datang menginap atau orang tuanya atau temannya atau entah siapa. Toh dia memang tidak pernah diijinkan untuk menerima tamu menginap selama ini kecuali sudah memberitahukan orang tuanya lebih dahulu. Setelah susah payah berdiri mencoba menyeimbangkan dirinya, Maharani berjalan menuju dapur dan betapa kagetnya ia menemukan seseorang yang sedang memasak adalah laki-laki itu, laki-laki dari masa lalunya. Laki-laki itu tentu saja membelakanginya tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Maharani untuk bisa mengenalinya. Mengapa ia bisa ada di sini? Sedang memasak pula. Apa yang sudah terjadi? Tenggorokan Maharani terasa begitu kering sampai ia tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata apapun untuk bertanya pada laki-laki yang sedang asik memasak di dapurnya. Belum sempat ia menenangkan detak jantungnya yang semakin berdebar tidak karuan, laki-laki itu berbalik badan, langsung melihat kepadanya.

"Hei... You wake up, honey? Masih pusing yah? Sini aku coba pegang kening kamu." Laki-laki itu spontan berjalan ke arah Maharani yang berdiri mematung. Tangannya sudah menggantung di udara untuk menyentuh kening Maharani ketika Maharani perlahan mundur selangkah.

"Tu.. Tu.. Tunggu.. Nah tunggu dulu. Kamu kenapa ada di sini? What are you doing here? What's happen here?" Akhirnya Maharani mampu berbicara dan mengucapkan pertanyaan yang sejak tadi ingin ia keluarkan.

"Eh? Maksudmu? Atau ini akibat demam? Kamu masih demam banget kalau gitu. Kita harus ke dokter habis ini yah? Please. Semalam kamu janji kalau sampai pagi ini kamu masih demam, kamu bersedia periksa ke dokter. Remember?" Laki-laki itu masih belum memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh Maharani.

"Bukan begitu. Kenapa kamu ada di sini? Aku harus ke kantor. Tapi ini kenapa kamu bisa di sini? Dan kenapa kamu masak?" Maharani tetap tak bergeming dari tempatnya. Ia masih tak bisa mengingat bagaimana laki-laki itu bisa ada di rumahnya.

"Sayang, sepertinya demam kamu ini serius sekali. Aku ini suamimu. Dan kan memang aku biasa masak kalau kamu lagi sakit begini? Sini, coba lihat aku." Laki-laki itu meraih tangan Maharani yang terkulai di sisi tubuhnya. Sontak Maharani melepaskan tangannya yang sekarang malah gemetaran.

"Enggak. Kita bahkan gak pernah kontak. Kamu menghilang begitu aja. Ninggalin aku dengan segala impian masa depan kita berdua. Kamu bahkan gak pernah membalas semua pesanku. Kamu hilang dari kehidupanku seolah kamu gak pernah ada. Seolah impian pernikahan paling indah itu gak pernah kamu ucapkan. No. It's nonsense." Bibir Maharani bahkan bergetar di setiap kalimat yang ia ucapkan. Laki-laki di hadapannya tertegun demi mendengar ucapan Maharani yang begitu menyakitkan.

"Maafin aku, sayang. Aku emang pernah jahat sama kamu. Tapi itu semua mimpi buruk aja. We're married now. You're even pregnant, five months. And the last time i remember, you're still very happy with our life. Did you have a nightmare, honey? It's okay. Sekarang kamu tidur lagi aja yah. Yuk kita ke kamar yah. Setelah itu aku selesein frittata-nya. Sarapan kesukaanmu kan? Frittata with orange juice. Okay? Ohiya, satu lagi, kamu gak perlu ke kantor hari ini. Aku tadi udah sms teman kantormu." Maharani malah semakin membeku mendengar penjelasan dari laki-laki itu. Ia menikah dengan laki-laki itu? Ia bahkan sedang hamil? Rasanya seperti siang bolong. Perlahan ia menggerakkan tangannya, menyentuh perutnya yang ternyata memang jadi lebih buncit, mengapa ia tak menyadarinya tadi sewaktu bangun tidur? Kepalanya lagi-lagi berdenyut hebat, rasa pusingnya semakin bertambah, kenyataan yang ia lihat di depannya juga tak membantu sama sekali. Ia bahkan kini merasakan denyutan lain di perutnya. Apakah itu barusan? Ia sungguh-sungguh sedang hamil? Seperti orang yang sedang mabuk, tak sadar akan keadaan sekitar, Maharani menurut saja ketika dituntun kembali ke kamar. Bahkan ia menurut ketika laki-laki itu menyelimutinya sampai batas dagu. Dan tetap diam saja saat laki-laki itu mencium keningnya yang penuh dengan keringat dingin.

"Wait for couple minutes ya? Your breakfast will be ready asap." Si laki-laki kembali ke dapur, melanjutkan memasak sementara Maharani kembali tertidur, bingung dengan kenyataan yang ada. Segalanya menjadi begitu buram. Seperti potongan masa lalu yang kembali hadir, meski tidak sama persis tapi seperti itu. Potongan puzzle yang sudah lama hilang lalu tiba-tiba kembali dan sudah ada di tempat semestinya. Ia tak ingin berpikir, ah tepatnya ia sedang tak bisa berpikir. Ia hanya ingin memejamkan matanya, mungkin memang ini akibat demam. Ia hanya ingin tertidur dan mungkin ia akan kembali pada kenyataan saat terbangun nanti. Lalu tak lama kemudian ia jatuh tertidur lelap.

Sampai ketika laki-laki itu membangunkannya untuk sarapan. Ternyata ia masih terbangun dengan kenyataan laki-laki itu sebagai suaminya. Akhirnya ia menyerah untuk mengikuti laki-laki itu keluar dari kamar untuk sarapan.

Pusing di kepalanya masih belum mereda sementara mulutnya memaksa mengunyah frittata yang ada di piringnya. Maharani duduk di atas kursi bar juga laki-laki itu yang duduk di seberangnya. Meja bar memisahkan mereka. Di atasnya sepiring besar frittata yang tinggal setengah, orange juice di dalam mug besar favorit Maharani untuknya sementara secangkir teh manis untuk laki-laki itu. Segalanya masih sama dengan yang bisa ia ingat, masih meja bar yang sama, kursi bar yang sama, piring sendok bahkan mug dan cangkir pun masih sama. Hanya keberadaan laki-laki itu saja yang membedakan.

"Kenapa kita gak beli meja makan? Kenapa kita masih makan di sini?" Maharani berusaha mencari tahu letak di mana ada kemungkinan kenyataan ini ternyata tidak seperti yang ia lihat.

"Karena aku suka seperti ini. Kayak gini keren kok. Ngapain kita repot-repot pake meja makan? Ini aja udah cukup. Mau saus lagi?" Jawab si laki-laki dengan santai sambil menawari Maharani saus tomat.

"Kamu masih suka saus tomat? Masih gak suka saus sambal?" Tanya Maharani yang sejujurnya terdengar agak aneh juga di telinganya.

"Well, time flies. But i still the same. Hehehe. Gak suka lah, pedes kan. Udah dong, jangan aneh-aneh gitu ah. Makannya diabisin ya. Terus habis ini kita ke dokter. Oke?" Laki-laki di depannya kini sudah menyelesaikan makannya. Bahkan ia masih seperti dulu, selalu begitu cepat menghabiskan makanannya.

"Kamu, ehh, gak pergi kerja? Ke kantor?" Maharani bertanya takut-takut sambil terus berusaha menghabiskan frittata-nya.

"Hahahah. Kamu makin lucu deh. Udahan dong becandanya. Kan aku masih nyusun thesis nih? Yang artinya aku belum lulus kuliah, yang artinya aku masih tugas belajar, yang artinyaaa... aku gak pergi kerja ke kantor. Udah ah, aku mandi dulu ya. Kamu cepet abisin makannya." Laki-laki itu segera saja menghilang di balik pintu kamar mandi, meninggalkan Maharani yang semakin kebingungan. Tiba-tiba sebentuk ingatan muncul di benaknya bahwa bila ia tidak salah mengingat, laki-laki itu memang sedang menyelesaikan thesisnya sekarang dan baru beberapa bulan lagi lulus. Setelahnya ia akan kembali ditempatkan ulang untuk bekerja lagi. Maharani menggigil saat kesadaran itu muncul. Bukannya ia tidak bahagia dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Semua ini adalah yang ia inginkan sejak lama. Tapi ia begitu ketakutan kalau ternyata ini hanya mimpi saja. Ia begitu takut tiba-tiba terbangun dan mendapati bahwa semua ini hanya bunga tidur semata. Kepalanya kembali berdenyut, rasa pusing dan mual itu datang lagi. Sendok di genggamannya jatuh begitu saja, tepat sebelum tubuh Maharani ikut jatuh terkulai.

~~~~
Maharani mencoba membuka matanya. Kepalanya masih berdenyut-denyut, tangannya gemetar, sementara piyamanya basah oleh keringat dingin. Maharani mencoba melihat ke langit-langit kamarnya seraya menajamkan telinganya. Tapi tak ada suara apapun yang ia tangkap. Hening. Bahkan dengung kulkas yang biasanya terdengar pun kali ini sama sekali tak ada dalam jangkauan ruang dengarnya. Dengan perlahan Maharani bangkit dari tempat tidur, menurunkan kakinya ke lantai yang dingin. Ia melihat sekeliling kamar dan mendapati baju kantornya terserak begitu saja. Perlahan-lahan prasangkanya muncul di permukaan. Spontan ia memegang perutnya, rata. Tangannya semakin gemetar, matanya jadi terasa pedas karena berusaha menahan luapan air yang tiba-tiba menumpuk di layar matanya, menunggu untuk tumpah. Tangannya tak lagi memegangi perut, tapi memegangi jantungnya yang berdetak tak karuan. Mengapa begitu menyakitkan? Mengapa jadi lebih menyakitkan? Seharusnya ia tak boleh membiarkan hal itu terjadi. Demamnya, ini semua pasti karena demam sialan itu. Tak mampu lagi dibendung, airmatanya tumpah begitu saja. Seandainya ia bisa tetap tinggal di sana saja, tak perlu lagi mendapati kesepiannya yang begitu menakutkan. Tapi itu tak mungkin. Tubuhnya ikut bergetar seiring isakannya yang semakin dalam, sakit kepalanya tak lagi ia rasakan digantikan dengan bilah pisau kepedihan yang menyayat jantungnya. Maharani hanya tak ingin terbangun seperti ini.

*photo's taken from google*

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^