Desember 2010
“Brakkkkk…” Sayup adzan Maghrib masih berkumandang di kejauhan ketika
tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang membuatku sontak menginjak
pedal rem. Bukannya aku sedang melamun atau apa, tapi sekarang sedang
hujan deras dan hari begitu gelap meski senja baru saja turun. Hanya
pendar lampu merah dari kendaraan di depan yang bisa terlihat, itupun
buram, sementara langit seolah tak lagi punya waktu lain untuk
menumpahkan segala beban yang ditanggungnya entah sejak kapan. Dengan
gemetar ku pinggirkan mobilku, menepi ke jalan yang hampir
bertansformasi menjadi sungai deras, ditambah lagi tingkat kemiringan
yang lumayan curam sehingga air yang mengalir dari atas begitu menderas
turun. Lupakan soal payung dan ribuan rintik hujan yang serentak
menghabiskan hangat kering nyaman baju yang kupakai, dengan tergesa ku
hampiri asal suara tadi. Beberapa mobil di belakang ikut berhenti
menunggu orang-orang memindahkan motor serta bagian-bagiannya yang
terlepas, juga si pengendara.
Jantungku berdetak begitu
kencang, mungkin aliran darahku bahkan lebih deras dibandingkan dengan
hujan yang mengenaiku. Beberapa pria yang menolong memindahkan motor
tadi kini satu persatu kembali melanjutkan perjalanan masing-masing,
begitupula mobil-mobil yang ikut berhenti.
“Ini tadi ditabrak? Kenapa gak dikejar yang nabrak?” salah seorang dari mereka bertanya.