Wednesday 25 August 2010

Purnama Jingga






Lalu malam ini lagi-lagi aku bertanya padamu, pada hatimu yang sepertinya selalu hangat –membara namun selalu saja dengan takaran panas yang pas yang membuatnya jadi hangat yang nyaman-, pada derak dedaunan pohon oak yang di batangnya kamu pernah mengguratkan nama kita dengan pisau kecilmu, dedaunan yang saling bergesekan karena angin musim semi. Waktu itu bahkan kamu tak mengindahkan laranganku untuk tidak menggurat batang pohon itu, kamu tak mau tahu kalau hal itu menyakiti pohon oak tadi, padahal apa yang kamu lakukan itu sama sekali tak memberi jaminan kalau kita akan selamanya bisa bersama-sama, berdekatan saling berdampingan satu sama lain seperti nama kita yang kamu guratkan di situ.

Aku masih saja ngotot bertanya padamu, pada hatimu yang sepertinya selalu gembira –ceria dan penuh dengan warna-warni yang kadang kelewat menyakiti mataku yang lebih terbiasa dengan monokrom hitamputih-, pada uhu burung hantu atau derik jangkrik yang sesekali terdengar dari kejauhan –memberi sedikit bebunyian untuk malam panjang hening ini yang rasanya akan berakhir lama sekali-.

Dan pertanyaan itu masih selalu sama, tak berubah sejak bertahun lalu, sejak entah berapa purnama yang sudah ku lewati sendirian dalam penantian yang tak berujung ini. Penantian yang terkadang hampir membuatku putus asa, nyaris hilang akal seandainya saja aku tak berkali-kali berpegangan pada satu janji itu, janji yang kamu ucapkan dengan sungguh-sungguh. Janji di malam purnama pertama saat kamu nekat memberanikan diri menyatakan kalimat itu, kalimat yang ku harap tak pernah kamu ucapkan. Karena toh pada akhirnya akan sia-sia saja. Tapi kamu mengucapkannya juga.

Janji yang kamu ucapkan padaku dengan mata coklatmu yang menatap lurus kepadaku yang kemudian hanya mampu tertunduk dan meremas-remas tanganku sendiri dengan gugup. Janji yang ku kira hanya akan membuatku menjadi semakin terpenjara pada mimpi kita yang kelewat tinggi layaknya sebuah khayalan anak kecil akan sebuah negeri dongeng dengan pangeran dan putri serta seperangkat ornamen-ornamen pendukungnya. Dan kamu malah mengangkat daguku untuk bisa melihat langsung ke dalam mataku yang terasa amat perih karena susah payah menahan bendungan air yang terus saja mendesak ingin tumpah. Kamu tersenyum, meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja, tersenyum manis yang membuatku menjadi semakin gelisah. Seleret pedih melewati hatiku yang ribut sejak sore itu, rasanya merana sekali saat itu, saat aku menyadari aku jatuh hati padamu persis bersamaan dengan terseraknya kepingan-kepingan hatiku yang patah. Ya, aku jatuh hati sekaligus patah hati padamu dalam satu waktu.

Jatuh hati padamu seperti menikmati secangkir teh cammomile hangat di sore hari yang sejuk karena gerimis yang turun satu-satu. Namun seketika saat aku baru saja hendak menyesapnya lagi sembari merasai hangat yang menguar dari sisi luar cangkirku yang mungil mengalirkannya ke tiap pori-pori kulitku yang kedinginan, tiba-tiba saja gerimis itu berubah menjadi hujan badai dengan angin ribut yang meluluhlantakkan teras belakangku yang kelewat rapuh karena tak berpelindung sama sekali, terbuka lebar-lebar seperti memberi undangan pada si hujan badai untuk menyapu habis segala yang sempat disambarnya hanya dalam hitungan detik. Dan aku, aku hanya mampu terdiam membisu menyaksikan semua itu, melihat cangkir mungilku sudah tak berbentuk, pecah berkeping-keping. Dan aku tau saat itulah aku patah hati, patah hati yang tak bisa ku hindari.

Tapi janjimu itu seperti pelangi, pelangi yang hadir sesaat setelah hujan badai mereda. Pelangi yang memberiku warna-warni cerah seperti yang selalu kamu lakukan selama ini. Yang selalu saja terjadi tiap kali aku jatuh hati dan patah hati berkali-kali padamu, setiap detiknya setiap kalinya. Membuat mata monokromku lambat laun terbiasa dengan warna-warnimu yang cerah itu, menggantikan hitam putih yang selama ini selalu menggelayut memenuhi keseharianku.

Pelangimu yang terlihat begitu indah. Pelangi yang kemudian mulai luruh seiring purnama jingga yang mulai menampakkan diri, siap naik pentas. Purnama jingga yang kemudian bersinar begitu anggunnya dengan panggung langit malam yang cerah sehabis badai. Dan kalimatmu, janji kebahagiaan yang kamu ucapkan dengan tegas dan hati-hati itu, tertulis di seluruh langit-langit jiwaku. Bersemayam menunggu perwujudannya dalam nyata. Menunggu enampuluh purnama jingga lainnya yang harus dilalui untuk bisa terwujud. Ya, enampuluh purnama jingga sudah berlalu. Tepatnya tadi malam, tadi malam yang ku lalui seorang diri, berteman dengan setumpuk kenangan usang yang sudah kelewat rapuh untuk ku buka lagi satu-satu. Malam yang lagi-lagi ku isi dengan mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga. Sama persis dengan malam ini. Dan kamu, tidak juga datang.

Entah, mungkin kamu lupa dengan janjimu itu. Mungkin kamu salah menghitung bilangan enampuluh purnama. Mungkin ternyata janji seindah pelangi setelah hujan badai waktu itu hanyalah omong kosong belaka. Mungkin saja aku yang terlalu banyak berkhayal tentang hal-hal yang kelewat muluk. Tapi aku tak lupa kalau kamu berjanji padaku.

Dan pertanyaan itu jadi terjejak di sana sini, menghantuiku siang malam, begitupun malam ini. Malam setelah purnama jingga yang keenampuluh. Merongrong pikiranku yang sudah lelah untuk sekedar berpikir jernih. Terus-terusan menempati tiap dinding yang selalu saja ku coba untuk tak melihatnya. Tapi kemudian pertanyaan itu ribut dan ramai di dalam kepalaku. Menggema laksana rekaman kaset yang diputar berulang-ulang dalam sebuah goa gelap yang sepi dan sunyi.


-Mengapa kita melakukan ini?
Mengapa kamu melakukan ini?
Mengapa aku melakukan ini?
Untuk apa?-


Dan aku terisak perlahan menyadari diriku yang terlalu naïf dan bodoh. Memaki diriku sendiri sampai aku kehabisan perbendaharaan kata makian yang bisa ku sematkan pada diriku yang tergugu sedih. Hatiku semak, sesak. Susah payah menahan bendungan di mataku yang kemudian tumpah begitu saja sampai badanku gemetar karenanya. Terhempas. Lalu suaramu yang merdu dan selalu ceria itu seketika memenuhi ruang dengarku yang sejak tadi hanya terisi oleh isakku sendiri. Bertalu-talu, menggantikan gema yang tadi sempat ramai.

“Tiang mejanji sareng ragane, gek..”

Dan aku hanya bisa berharap kamu ingat kalimat itu. Entah, mungkin bukan malam tadi, pun bukan malam ini. Mungkin entah kapan, purnama jingga entah yang keberapa. Tapi semoga kamu ingat.


[menunggu purnama yang ternyata sedang enggan naik pentas malam ini, haha.. Selamat malam semua :D]

5 comments:

  1. ceritanya sedih... panantian... apakah ada yg sedang ditunggu olehmu cantik? ^^

    ReplyDelete
  2. baca dari atas ke bawah mentok di kalimat ini.
    “Tiang mejanji sareng ragane, gek..”

    hihihi google translit aja nyerah, ros..

    ReplyDelete
  3. Lg menanti kepastian ni mba??xixi

    ReplyDelete
  4. Manusia memang suka lupa sama janjinya..

    ReplyDelete
  5. Lagi menanti siapa gerangan dirimu Say? :-)

    Btw maap yah baru sempet mampir lagi. Soalnya kemaren 2 hari ngendon di hospital, dan sekarang lagi masa pemulihan neh

    Met puasa yah Jeng. Gimana, udah ada batal belom?

    ReplyDelete

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^