Halo, kamu.
Well, hari ini aku memutuskan untuk menulis surat cinta untukmu. Yah mungkin bukan surat cinta sih, hanya surat biasa saja. Semacam sebuah surat yang ditulis oleh seorang kawan kepada kawannya yang sudah lama tak bersua. Kira-kira sudah berapa lama kita tak berjumpa? Setahun kah? Ah lebih sepertinya. Hampir dua tahun ku kira sejak saat terakhir kali kita bertemu.
Jadi, apa kabarmu sekarang? Ku dengar kamu semakin indah, semakin memperbaiki diri, semakin cantik. Ah ya, aku tetiba mengingatmu karena aku sedang mengerjakan tugas kuliahku sekarang ini, makanya aku jadi teringat padamu. Back to my statement before this, aku mendengar dari orang-orang bahwa sekarang kamu sudah banyak berubah. Eh yah aku tahu juga sih karena perubahanmu memang sangat drastis saat kita berjumpa terakhir kali itu. Sekarang kamu jadi jauh lebih cantik, terawat, dan mewah.
Dibandingkan dengan dahulu saat aku masih bersamamu, kamu jauh berbeda. Kamu yang dahulu seadanya, sederhana, bahkan agak kusam. Tapi aku, kamu selalu tahu, aku selalu mencintaimu bagaimanapun keadaanmu. Ya, aku bahkan amat bersedih saat mendengar beritamu yang terakhir kali. Saat dimana dirimu sudah sedemikian cantik, terawat, dan bahkan amat sangat layak kalau tidak mau ku bilang mewah (ya, standar mewah yang ku punya mungkin memang terlalu gampang yah, tapi kamu memang sekarang mewah). Saat kamu bahkan jadi sedemikian pantas, tapi malah mereka (yang entah dengan alasan apa, aku tak paham) malah –sepertinya- menyia-nyiakanmu.
Mereka memutuskan untuk hanya menerima sedikit sekali orang-orang yang beruntung bisa bersamamu, itupun hanya untuk waktu setahun. Oh, sekarang pun aku masih tak mengerti mengapa harus begitu. Dalam ketidakmengertian dan sedih itu, aku jadi tambah bersyukur sempat bersamamu selama tiga tahun kemarin. Ya, aku merasa amat beruntung bisa mengenalmu dan bersama denganmu. Meski aku harus melepaskan keinginanku untuk bisa bersama denganmu lagi tahun ini. Ya, aku memang melepaskan kesempatanku untuk bersama denganmu lagi. Mungkin sudah bukan jatah kita lagi untuk bersama?
Ah ya, bagaimana dirimu sekarang? Merasa sepikah? Ku harap tidak. Setidaknya masih ada mereka yang beruntung untuk bersama denganmu.
Hmmm, sudah cukup tentang dirimu sekarang. Aku malah jadi teringat saat-saat bersama denganmu dulu. Bagaimana aku pertama kali mengenalmu. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, bertahun lalu. Hari itu aku bersama dengan teman-temanku menjumpaimu, ingin mengenalmu secara langsung, bukan hanya dari kata orang-orang bahwa kamu lah yang terbaik, kamu lah yang menjadi idaman. Dan tebak, kesederhanaanmu saat itu tak mengurangi keinginanku untuk bersama denganmu.
Jadi setelah pertemuan pertama itu, aku mulai bermimpi untuk bisa bersama denganmu. Aku berusaha dan berdoa untuk bisa mewujudkan mimpiku itu. Dan tahukah kamu bagaimana perasaanku saat aku mengetahui bahwa aku bisa bersama denganmu waktu itu? Bahwa Tuhan mengabulkan doaku untuk bisa bersamamu. Aku bahagia sekali, amat sangat malah. Aku pulang dengan senyum sumringah, tak sabar ingin berbagi berita dengan kedua orangtuaku meski sebenarnya aku sudah mengabari lewat telpon. Tapi tetap saja rasanya aku ingin segera pulang dan memeluk mereka dengan bahagia, bahagia karena berhasil mendapatkan mimpiku.
Setelahnya, kita melewati banyak hal, suka duka, susah senang, canda tawa, juga tangis dan seribu rasa lainnya. Tiga tahun bersamamu bukan lah saat yang mudah, tapi juga bukan saat yang menyakitkan. Itu sungguh menyenangkan. Belajar bersamamu, tumbuh menjadi lebih dewasa bersamamu. Ah, ingatkah kamu saat aku begitu berdebar-debar menantikan pengumuman apakah aku masih layak untuk tetap bersamamu atau kah aku harus terpaksa pulang ke rumah dan berhenti menjalani petualangan kita?
Enam kali aku harus merasakan debar-debar yang amat menegangkan. Enam kali itu pula aku merasa lega saat aku ternyata masih layak terus bersama denganmu sampai akhir. Sampai kali keenam yang penghabisan. Kali keenam yang menandakan bahwa sudah sampai waktunya aku harus berpisah denganmu. Bahwa waktu yang diberikan padaku untuk belajar darimu sudah selesai. Bahwa aku harus mulai menerapkan apa yang pernah kamu berikan padaku. Bahwa aku harus mulai membuktikan pada orang-orang kalau kamu sudah memberiku hal-hal yang dapat dijadikan modal dan pegangan untuk berbakti pada negeri.
Oh, aku mencintaimu, masih seperti dulu. Dan aku akan selalu mencintaimu. Semoga kamu selalu bisa jadi yang terbaik.
Kepada kamu –kampusku yang sederhana dan bersahaja- kutuliskan surat ini. Ku harap, meski sekarang mungkin tak seramai dahulu, meski sekarang hanya sedikit saja orang beruntung yang bisa belajar denganmu, semoga kamu masih selalu memberikan yang terbaik untuk mereka hingga mereka pun bisa jadi yang terbaik.
Selamat sore, kamu. :)
Thursday, 19 January 2012
Wednesday, 18 January 2012
Mencintaimu, Sekali Lagi.
Halo, kamu.
Ah, begini, mungkin kamu akan bertanya-tanya mengapa tetiba aku menulisimu surat. Awalnya karena semalam aku tidak sengaja menemukan suatu ajang yang diberi judul 30harimenulissuratcinta yang sedang berlangsung di salah satu jejaring sosial. Yah sebenarnya aku biasa saja sih mengingat sekarang aku sudah hampir tak pernah lagi menulis (iya, aku rindu menulis, menulis dengan penuh semangat seperti dulu). Tapi kemudian seorang teman mengajakku untuk ikut meramaikan ajang ini. Yah, itung-itung mencoba menemukan kembali kegairahan yang dulu selalu kurasakan. Hoho.
Nah, oke, aku sudah memutuskan untuk ikut, tapi lalu kemudian, kepada siapa aku harus menulis surat cinta? Kemudian berbagai nama bermunculan, dari yang paling dekat denganku sampai kepada benda-benda bahkan aku sempat berpikir untuk menulis surat cinta untuk diriku sendiri. Tapi kok rasanya aku sedang tak ingin menulisi diriku sendiri, karena tanpa kutulisi pun aku sudah tahu apa yang aku rasakan.
Kemudian kamu muncul tanpa ku minta (well, mengingat memang kamu akhir-akhir ini selalu datang sepanjang hari tanpa bisa dicegah). Dan eh, jujur, aku jadi tetiba teringat masa-masa mesra kita dahulu. Masa-masa aku begitu mengagumimu. Masa-masa aku begitu suka memperhatikanmu. Masa-masa kita sering berbincang seperti sepasang sahabat yang saling mengerti, saat aku selalu menceritakan segalanya padamu, dan meski kamu tak pernah memberiku solusi, kamu selalu mampu menyejukkanku dengan merdunya nyanyianmu. Ya, masa-masa itu.
Karena itu lah aku menulisimu surat ini. Semoga kamu tidak marah padaku karena sudah begitu lama tak lagi menemuimu, berbincang padamu, bahkan saat kamu selalu hadir tanpa diminta. Semoga kamu masih akan selalu bersedia menyanyikan lagu merdumu untukku, meski belakangan ini aku mengabaikan nyanyianmu. Oh, betapa ternyata aku rindu bermesraan denganmu seperti dulu. Apa kamu juga merindukanku?
Ya, aku begitu merindukanmu. Ingatkah kamu saat orang-orang menganggapku aneh karena tiap kali kamu datang, aku akan tergesa-gesa keluar untuk menjumpaimu, mendengarmu bernyanyi, lalu kemudian mulai berceloteh apa saja yang bisa ku celotehkan. Ah, orang-orang ini hanya tak mengerti apa yang ku rasakan saat bersamamu. Tapi bagaimana mungkin mereka tak merasakan keindahanmu? Padahal kamu begitu menakjubkan bahkan tanpa perlu membuktikannya pada siapa-siapa.
Belum lagi hadiah yang terkadang kamu berikan selepas kunjunganmu itu. Oh, hanya saja orang-orang memang lebih menyukai hadiahmu padahal sebelumnya bersungut-sungut memakimu yang tetiba datang dan mengganggu acara mereka. Yah, terkadang aku juga hampir memakimu manakala kamu datang tak tepat waktu, tapi kemudian aku mengingat bagaimana kamu mampu memberiku kenyamanan, jadi aku akan lebih tenang dan melupakan kemarahanku. Tuhan bahkan begitu baik karena selalu mengirimkanmu kepadaku. For a thousand times.
Dan kini aku malah melupakanmu, sibuk dengan segala kegiatanku dan tak menghiraukanmu. Tak lagi seperti dulu. Apakah kamu masih terus mengirimkan rinduku untuknya? Rindu yang selalu ku titipkan padamu tiap kali kita berjumpa. Rindu yang ku harap bisa kamu sampaikan padanya. Tapi malam ini, biarlah hanya ada aku dan kamu saja, hanya kita berdua. Biar rinduku kali ini hanya ku ronce untukmu saja. Meski roncean rindu ini pun masih tak cukup untuk membalas ribuan rintik cinta yang kamu berikan untukku. Tapi ku harap kamu mau menerimanya.
Jadi sekarang biarkan aku mengatakan ini padamu. Izinkan aku sekali lagi untuk kembali mencintaimu seperti dulu. Ya, aku jadi ingin sekali berdansa lagi denganmu malam ini. Tapi well, aku cukup sadar untuk tidak dikira gila oleh orang-orang yang mungkin tetiba melihatku mandi hujan malam-malam. Jadi, cukuplah surat ini yang ku tulis untukmu. Dan maukah kamu menyelimutiku dengan kesejukanmu dalam mimpi indah malam ini? Aku tahu, kamu tak perlu menjawab.
Kepada kamu -ribuan rintik cinta yang menjelma dalam tetes-tetes air dengan lagu paling merdu- surat ini ku tuliskan.
Nah. Sudah. Selamat malam, kamu. :)
Subscribe to:
Posts (Atom)