Wednesday 31 March 2010

sebuah peluk

dan ketika aku hanya ingin mendapatkan sebuah pelukan...

maka hanya itulah yang memang ku butuhkan.


[sedang merindukan sebuah pelukan amat sangat, pelukan entah siapapun]

Monday 29 March 2010

Hanya Sebuah Cerita, Bukan Berita, Apalagi Berita Jayus

Kok belum tidur, sayang?

Aku belum ngantuk, bunda....

Ini udah malem loh, besok pagi sekolah khan? Kamu kok kelihatannya murung banget?

Aku sedih, bunda...

Sedih kenapa?

Aku di sekolah diejek temen-temen, bunda.. Aku gak mau masuk sekolah lagi... Sekolah itu isinya jahat semua... Katanya ayah sama bunda itu temennya Jayus.. Katanya Jayus itu jahat, ambil uang rakyat, jadi ayah sama bunda juga jahat.. Emangnya begitu ya, bunda? Kenapa ayah sama bunda dibilang jahat sama mereka? Padahal ayah khan ayah paling baiiiiiiiiik sedunia.. Bunda juga.. Iya khan, bunda? Mereka yang jahat ngejek-ngejek aku begitu...

Hmmm, mereka cuma gak tau, sayang... Gini, gimana kalo bunda ceritain sebuah cerita buat kamu?

Cerita apa, bunda?

Cerita` tentang sebuah kerajaan di suatu hutan jaman dahulu kala.

Waaaah, ada rajanya dong, bunda? Rajanya mirip ayah gak?

Hoho9, ada rajanya, tapi gak mirip ayah, mau diceritain gak nih?

Mau mau mauuuu, bundaaaa....

Ehm, ehm... Once upon a time.... Pada jaman dahulu kala... Di sebuah hutan terdapatlah sebuah kerajaan binatang. Kerajaan ini dipimpin oleh seekor singa yang amat bijaksana.

Waaah, singanya besar, bunda? Aku suka lihat singa, kerennnn.... Aummm...

Hehe, iya.. Singa itu besar, besaaaaaaaaarrrr sekali. Nahh, Singa ini dibantu oleh para staf kerajaan lainnya. Ada Jerapah si sekretaris kerajaan, Macan si bendahara kerajaan, Tikus si kepala dewan rakyat, Gajah si hakim kerajaan, Buaya si penjaga keamanan kerajaan, dan masih banyak lagi staf kerajaan lainnya.

Monyet jadi apa, bunda?

Monyet? Umm, Monyet jadi anggota penghibur kerajaan, seperti kamu yang selalu suka melihat topeng monyet bukan?

Iya, iya, monyet lucu, bunda...

Nah kita lanjut ya ceritanya.. Jadi suatu ketika Buaya si penjaga keamanan kerajaan menemukan adanya suatu kejanggalan dalam kerajaan. Kemudian Buaya membeberkan kejanggalan ini di depan publik, di depan seluruh warga kerajaan hutan tersebut. Dalam pidatonya itu Buaya menyebut beberapa pihak yang ikut andil dalam kejanggalan yang terjadi tadi.

Kejanggalan itu apa, bunda? Aku gak ngerti....

Hmm, kejanggalan apa yaa,, gini, kamu tahu khan, sayang, kalau orang jahat harus dihukum dengan setimpal?

Iya, iya, aku tahu.. Orang jahat harus dihukum...

Nah kejanggalan ini seperti membela yang jahat, melindungi yang jahat, jadi ada yang jahat dalam kerajaan itu, salah seorang warganya, tapi bukannya dihukum malah dilindungi, nahh yang melindungi si orang jahat ini yang kemudian diketahui oleh si Buaya.

Trus, bunda? Yang lainnya gak tau?

Iya, jadi ada orang jahat, orang yang seharusnya dihukum malah dilindungi oleh beberapa pihak yang disebutin sama Buaya tadi...

Loh? Termasuk Buaya juga, bunda?

Iya, jadi ada Buaya lain yang juga disebut, ada Gajah, juga ada Lebah...

Lebah? Lebah kerjanya jadi apa, bunda? Aku suka madu... madu khan yang buat lebah ya, bunda?

Iya, madu yang manis.. Nah, tapi Lebah yang ini tugasnya mengumpulkan sedikit bagian hasil dari panen rakyat yang memang menjadi bagian untuk kerajaan. Jadi rakyat yang punya makanan, panen, juga harta yang banyaaaaak diwajibkan untuk memberikan sedikit bagiannya untuk kerajaan. Nah, bagian-bagian yang udah dikasih oleh rakyat ke kerajaan ini digunakan untuk seluruh kegiatan kerajaan, termasuk menggaji para staf kerajaan, membangun fasilitas umum, membiayai seluruh belanja kerajaan..

Fasilitas umum itu apa, bunda? Yang bikin siapa?

Fasilitas umum itu seperti jalanan, jembatan, pelabuhan, terminal, sekolah, rumah sakit, dan masih banyak lagi.. Yang bikin tentu aja kerajaan juga, tapi yang melaksanakan itu Sapi si pekerja umum, dia bersama sapi lainnya membuat jalanan, terminal, dan segala macam itu. Para sapi ini bertanggung jawab atas tersedianya fasilitas-fasilitas umum ini.

Oh? Bukannya Singa yang tanggung jawab, bunda? Jadi jalanan di depan rumah kita itu fasilitas umum ya? Aku boleh lewat situ khan, bunda?

Betul sekali, sayang, kamu boleh lewat kapan aja, khan ayah sama bunda bayar pajak, jadi kita berhak menikmatinya.

Pajak? Pajak itu apaan lagi, bunda?

Itu semacam panen bagian kerajaan tadi, gunanya sama, dipungut untuk membiayai negara. Hanya saja bentuknya uang, bukan panen seperti di kerajaan hutan.

Ohh... balik cerita tadiii, bundaa....

Oh ya, Singa bertanggung jawab untuk semuanya, tapi tanggung jawab secara teknisnya ada pada para Sapi. Bukan pada Lebah si pengumpul bagian panen kerajaan atau Macan si bendahara kerajaan. Lebah hanya bertanggung jawab atas pengumpulannya aja, dan Macan bertanggung jawab atas keluar-masuknya bagian panen yang dikumpulkan tadi. Kenapa? Karena rakyat mengumpulkannya langsung ke celengan kerajaan yang dipegang oleh Macan tadi.

Ahh, bundaaa... aku gak ngerti....

Hmm, gini, jadi Lebah bekerja untuk memberitahu rakyat untuk mengumpulkan sebagian kecil dari hasil panen mereka untuk kerajaan dan mencatat siapa saja yang sudah mengumpulkan dan berapa besarannya, kemudian rakyat mengumpulkannya langsung kepada Macan yang langsung dimasukkan ke dalam celengan. Nah, dari celengan ini nanti setiap tahunnya direncanain mau dibuat apa aja selama setahun itu, seperti yang bunda bilang tadi, mau dibuat bayar gaji staf kerajaan, bikin fasilitas umum, dan masih banyak lagi. Nahhh, setelah direncanain, trus dibagi-bagi deh ke Sapi buat dibikinin fasilitas-fasilitas umum tadi.. Begitu...

Oh, gitu.... Aku juga punya celengan. Hehe.. Setiap hari ku isi supaya penuh...

Bagus itu, kamu emang anak bunda yang paling hebat...

Trus yang jahat tadi apa?

Oh ya, kita balik lagi ya.. jadi khan ada rakyat yang punya banyaaaaaaaaaaak sekali harta, panennya juga melimpah, tapi dia gak mau mengumpulkan sebagian kecil dari hartanya itu untuk kerajaan, rakyat yang ini kebetulan seekor serigala. Serigala ini kemudian mencoba untuk menyuap seekor Lebah yang kebetulan bertugas untuk mengumpulkan bagian kerajaan dari si Serigala. Serigala merayu Lebah agar Serigala dibolehkan mengumpulkannya jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya. Dan sebagai imbalannya Lebah akan diberi sedikit bagian dari Serigala. Karena keimanannya yang tipis dan jumlah yang diberikan cukup banyak, akhirnya Lebah yang lemah tadi terkena rayuan Serigala, Lebah ini menerima tawaran dari Serigala.

Kok Lebahnya mau sih, bundaaa? Itu khan gak boleh ya, bunda?

Tentu aja gak boleh.. Nah kemudian masalah ini diketahui oleh seluruh rakyat. Walaupun hanya baru seekor Lebah itu saja yang bisa diketahui, sedangkan Gajah atau Buaya atau staf kerajaan lainnya belum diketahui lagi siapa saja yang terlibat. Akibatnya adalah seluruh rakyat marah mengetahui bahwa si Lebah yang satu tadi itu mempunyai banyak persediaan makanan di rumahnya hasil dari imbalan yang diberikan oleh si Serigala tadi.

Marah-marah semua, bunda? Ngamuk-ngamuk? Cakar-cakaran?

Iya, semuanya marah-marah. Beberapa yang mengerti bagaimana persoalannya pun marah, tapi tak sedikit yang tak paham ikutan memberi komentar dimana-mana, walaupun pada hakikatnya seluruh rakyat punya hak untuk berkomentar, tapi tentunya komentar yang berdasar pada ilmu dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan komentar asal yang hanya memperkeruh keadaan.

Memangnya mereka komentar apa, bunda?

Banyak sekali, sayang. Mereka jadi mengeneralisir seluruh Lebah lainnya yang sudah susah payah mengumpulkan sedikit panen dari rakyat untuk kerajaan agar dapat membiayai seluruh kegiataan kerajaan malah disamakan secara keseluruhan kalau Lebah lainnya juga sama dengan Lebah yang menerima imbalan dari Serigala tadi. Lebah lainnya dibilang sudah memakan panen yang sudah dikumpulkan rakyat untuk diri sendiri dan keluarganya. Padahal para Lebah sama sekali tak pernah menyentuh panen bagian kerajaan tersebut.

Oh iya yaaa, khan panennya tadi ada di celengannya macan ya, bundaaa...

Nah iya, kamu emang pinter, sayang... Sampai-sampai ada yang memprovokasi untuk gak lagi mengumpulkan bagian panen kerajaan, melakukan boikot-boikot yang sebenarnya malah membuat perekonomian kerajaan menjadi lumpuh karena tak ada lagi dana yang masuk untuk berbagai kegiatan kerajaan. Mereka malah mengikuti jejak si Serigala yang gak mau mengumpulkan bagian panen kerajaan tadi. Jadinya sama saja dengan si Serigala..

Loh kok gitu? Kok malah ikutan Serigala jahat? Seharusnya khan gak begitu ya, bunda?

Iya.. Seharusnya.. Para Lebah juga malah disalahkan dan dimintai pertanggungjawabannya terhadap fasilitas umum yang buruk dimana-mana, padahal itu bukan lah tanggung jawab para Lebah. Tapi rakyat tidak tahu, dan mungkin memang kurang informasi mengenai fungsi dan tanggung jawab berbagai staf kerajaan. Ditambah para Burung Beo yang suka menceritakan berbagai berita yang belum tentu benar dan sahih.

Burung Beo? Mereka jadi apa, bunda? Burung Beo khan lucu, pinter ngomong..

Burung Beo ini yang menyebarkan berita ke seluruh penjuru hutan. Jadi seluruh rakyat bisa tau berbagai macam berita. Tapi yah kadang Burung Beo berlebihan dengan kata-kata dalam beritanya hanya agar rakyat mau mendengarnya terus-terusan mengoceh. Walau begitu tak semua Burung Beo suka mengoceh tak jelas, banyak juga yang memberitakan hal yang benar juga membantu meluruskan hal-hal yang simpang siur dan belum jelas yang beredar di perbincangan rakyat kerajaan.

Haha9, temenku ada yang suka bicara gak bener, dia suka mengada-ada, bunda.. Jadi dia dijulukin si pembual...

Nah itu, kamu gak boleh ya seperti itu, sayang...

Iya, bunda. Berbohong itu khan dosa. Trus gimana ceritanya, bunda? Emangnya singa gak ngapa-ngapain?

Tentu aja Singa ambil tindakan. Sebagai seorang raja yang selalu harus bijaksana dalam memimpin kerajaannya, maka Singa segera memerintahkan kepada para Buaya untuk mencari Lebah, Gajah, juga Buaya lain yang memang sudah terlibat, dan tentunya juga Serigala agar ditangkap secepat mungkin.

Ketangkep gak, bunda? Aku jadi gemes sama Serigala, Serigala jahat... curang, gak mau ngumpulin panennya. Padahal rakyat yang lain mau ngumpulin panennya... huh.. gemes juga sama Lebah, Gajah, Buaya yang jahat juga...

Ketangkep dong. Walaupun pada awalnya susah buat menangkap mereka, tapi berkat dukungan seluruh staf kerajaan dan rakyatnya, akhirnya mereka berhasil ditangkap. Kemudian para penjahat ini diadili di depan seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali. Panen yang memang ada di rumah Lebah, Gajah, dan Buaya tadi segera diambil dan diamankan oleh staf kerajaan.

Waaaah, hebat...

Iya, hebat, raja, staf kerajaan, dan seluruh rakyat bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan ini. Para Buaya yang bekerja tanpa lelah untuk mencari para penjahat itu, para Gajah yang menghakimi dengan adil, juga para Tikus yang mewakili rakyat dengan arif. Tidak saling tuduh dan saling hujat, apalagi mencaci maki pihak lainnya yang bahkan tidak melakukan hal yang buruk dan sudah menjalankan pekerjaannya dengan baik. Karena seharusnya memang kita berpikir jernih dan tenang dalam menghadapi suatu permasalahan. Tidak gegabah, tidak terprovokasi, dan tidak men-generalisir sesuatu hanya karena bagian dari sesuatu itu melakukan keburukan. Karena masih banyaaaaaak sekali Serigala, Lebah, Gajah, dan Buaya yang baik dan gak jahat.

Men-generalisir itu apa sih, bunda? Bunda nihhh... aku gak paham bunda ngomong apa.... Aku juga gak ngerti provokasi....

Hmm, begini, seperti temanmu yang tadi mengejek-ngejek kamu di sekolah, kamu jadi sedih, kamu jadi berpikir kalau dia jahat. Tapi kamu khan gak boleh mengatakan kalau temanmu yang lain juga jahat seperti dia, apalagi sampai kamu gak mau sekolah dan bilang kalau sekolahmu itu isinya orang jahat semua hanya karena seorang atau beberapa orang temanmu berbuat jahat.

Tapi khan dia emang jahat. Besok kalau aku masuk sekolah aku bakal diejek-ejek lagi. Aku gak mau, bunda....

Lohh, kamu khan gak salah, kenapa malah gak mau sekolah? Kalo mereka mengejek-ejek dan menjelek-jelekkan kamu, biarin aja, anggap saja hanya burung beo yang pengen diperhatiin sama kamu. Yang penting khan kamu gak buat salah apa-apa, khan?

Gak, bunda.. Aku gak nakal kok....

Pasti dong... Khan anak bunda,... Jadi, besok masuk sekolah khan?

Hu um...

Sekarang bobo ya?

Bunda....

Ya?

Aku kangen ayah.....

Bunda juga kangen ayah....

Ayah kapan pulang, bunda?

Hmmm, nanti ayah pulang kok...

Hari ulang tahunku ayah pulang?

Insya Allah, bulan depan ulang tahunmu ya, mau kado apa, sayang?

Aku gak mau kado, aku cuma mau ayah pulang...

Sabar ya, sayang.... Nanti ayah pulang. Ayah khan harus kerja, dan harus nabung supaya bisa pulang...

Kenapa kita gak tinggal bareng aja, bunda?

Khan bunda harus kerja juga disini?

Kenapa ayah gak kerja disini aja, bunda? Kenapa malah di Mau... Mau... Mau apa, bunda?

Maumere...

Iya, Maumere... Itu jauh ya, bunda, dari Aceh sini?

Jauh, jauh sekali.. Tapi kamu khan sayang ayah? Jadi ayah selalu dekat sama kamu, di sini, di dalam hati kamu... Kamu berdoa aja ya supaya ayah cepat pindah tugas ke sini, bareng sama kita.

Iya, bunda. Aku sayang bunda... sayang ayah juga...

Bunda juga sayang kamu.. bobo yaaa....
=========================

Padamu negeri kami berjanji...
Padamu negeri kami berbakti...
Padamu negeri kami mengabdi...
Bagimu negeri jiwa raga kami.....

P.S.: Untuk temen-temen pajak, kita harus tetap semangat yaaa, keep the good work!!!
We're Fiscuses, and We're NOT Corruptors!!!

Untuk temen-temen yang lain, saya tau kalian bisa berpikir jernih dengan tidak men-generalisir dan terbawa provokasi yang sama sekali tak berdasar. Berikan kami kesempatan untuk menunjukkan bahwa instansi kami memang sedang berproses menuju reformasi birokrasi secara keseluruhan. Kami juga membutuhkan dukungan serta peran aktif kalian semua untuk bisa membangun Indonesia. Kalau ada yang menyimpang, segeralah laporkan pada yang berwenang, bukan hanya diam dan malah menyindir-nyindir dengan kalimat yang menyakiti hati. Kalian juga penerus bangsa ini, kita lah tonggaknya, jangan sampai tonggak ini teracuni.

Dan tugas kita jauh lebih berat dari sekedar itu, karena kita bukan ada di kerajaan hutan sana, tapi kita bisa mengajak semuanya untuk bisa bahu-membahu persis seperti seluruh rakyat[termasuk raja dan staf kerajaannya] di kerajaan hutan, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

SEMANGATTTT!!!

Monday 22 March 2010

Cintaku Terhalang Sekat


Siang ini aku harus berhasil mengajaknya makan. Harus. Sudah hampir seminggu ide ini bercokol di kepalaku sejak pertama kali aku melihatnya. Kemana diriku yang playboy itu eh? Kalau cuma perkara makan siang begini saja aku tak berkutik sama sekali. Oh oke, aku bukan playboy, cuma cowok yang agak urakan dengan style yang amat santai, yang biasanya dengan mudah bisa menggaet cewek manapun yang aku mau.

Tapi Diar beda. Tiap kali aku ingin bicara dengannya entah kenapa sepertinya ia malah jadi beralih kepada hal lain. Diar, anggota tim baru sekaligus paling junior di tim kreatifku. Kami berempat adalah anggota tim B di perusahaan iklan yang baru saja merintis ini. Seluruh anggota tim, yang berarti aku dan Diar juga dua orang lainnya, punya ruangan khusus untuk tiap tim. Meja kami sebenerannya masih menjadi satu, hanya saja diberi sekat setinggi satu koma dua meter di tiap sisi yang bersisian dengan anggota lainnya. Jadi seperti sebuah persegi besar yang dibelah menjadi empat persegi lainnya yang lebih kecil. Walaupun begitu kami masih bisa saling bersenda gurau, dan bila berdiri maka akan terlihat yang lainnya. Mejaku tepat di sebelah kiri meja Diar, jadi seharusnya dengan mudah aku bisa berbincang dengannya.

Siang ini aku harus berhasil mengajaknya makan siang.

*

Huff, sampai kapan aku hanya mampu mengintip ke mejanya? Kenapa aku tak mencoba untuk menyapanya lebih dahulu saja? Arrrghh, hal itu adalah hal yang amat tabu untuk seorang wanita. Apa kata teman-temanku nanti kalau aku sungguhan melakukan hal itu? Terlebih apa kata dunia kalau sampai orang sekantor mengetahuinya. Tidak. Tidak akan.

Tapi kalau aku tak bisa mendekatinya, buat apa dong aku susah-susah berhasil diterima di kantor ini? Padahal tujuanku melamar di kantor ini hanya ingin mendekatinya, mendekati Adri, kakak kelasku yang sudah kusukai sejak kuliah dulu. Belakangan aku tahu dia bekerja di kantor ini. Hmm.. Mungkin aku bisa mulai mendekatinya siang ini, mengajaknya makan siang mungkin?

Hei, dia khan hanya ada di meja sebelahku, persis di sebelah kananku, lalu kenapa perkara ini jadi susah sekali kelihatannya?? Apa karena sepertinya dia tak pernah melihatku? Kenapa tiap kali ku ajak bicara dia malah membelokkan pembicaraan pada si cowok di sebelahku itu, cowok yang berantakan dan kelewat santai itu? Yang berbeda sembilanpuluh derajat dengan Adri itu. Aduh, siapa ya namanya? Aku masih gak hapal....

*

Baiklah. Aku sudah memutuskan, aku akan mengajaknya makan siang hari ini. Yah, walaupun selama dua tahun ini kami sering makan siang bersama, tapi itu khan selalu dengan teman-teman yang lainnya. Selama dua tahun ini aku tak berani mengajaknya makan siang, padahal sudah tak terhitung perbincangan yang ku mulai untuk mengajaknya.

Gayanya yang santai selalu bisa membuatku tenang. Aku yang terlalu mudah panik dan perfeksionis. Aku yang selalu rapi. Ardi yang selalu bisa membuat orang lain tertawa dengan gurauan dan cerita lucunya yang sepertinya tak pernah habis itu.

Hari ini, aku gak akan membuang-buang waktu lagi. Tak peduli apa kata orang nanti. Bahkan bagaimana tanggapanmu nanti. Apapun yang akan terjadi nanti, aku tak akan menyesalinya. Aku harus bisa menyelesaikan urusan ini hari ini juga. Kenapa juga yah aku tak langsung menempati meja di sebelahnya sebelum si anak baru yang centil ini masuk dan menguasai tempat yang ku inginkan sejak lama, dasar centil. Jangan-jangan dia juga suka Ardi? Oh, tidak. Jangan harap.
Wah, lima menit lagi jam makan siang. Harus berhasil.

*

Akhirnya jam berdentang dua belas kali. Di waktu yang bersamaan ketiga orang tadi bangun serempak dari duduknya. Saling melihat rikuh. Bingung hendak mengatakan apa, seolah saling melempar bola panas kepada yang lainnya agar bicara lebih dulu.

Ard..

Eh, Diar..

Mas Adri..

[aduh, kenapa dia malah manggil cowok itu sih? Khan aku duluan yang manggil?]

[tuh khan, dasar ganjen, dia pasti udah berganjen-ganjen duluan deh tadi, meja mereka khan sebelahan]

[arrggghh, kenapa jadi orang itu sihhh...]

Hei, kalian gak mau makan siang?

Eh mas Idar... Mau kok.. Yang lain?

Gak deh, aku gak laper. Kamu, Di?

[plis jawab enggak.....]

Laper sih, tapi... nanti deh, duluan aja..

[sial, kenapa harus muncul sih?]

So, kamu gimana, Diar?

Mau sih.. Mas Idar mau makan siang?

Iya nih. Mau bareng?

Umm, boleh deh, yuk?

[yahh, jadinya kok sama orang ini sihh.. aduh]

Yuk, Ard, Dri, kami duluan yaaa...

[hahaha9, payah kalian ini...]

*

Nah seharusnya begitu. Dasar cecunguk bodoh. Masa mengajak makan siang seorang cewek saja gak mampu semua gitu? Halah, bertekuk lutut seketika itu juga sang wanita membuka mulut?? Begitu? Cih.. Bagaimana kau bisa dapat pasangan yang cantik dan menarik kalau begitu?

Lihat lah aku, seorang Idar, yang hanya butuh tidak lebih dari lima menit tanpa berpikir rumit sebelumnya mampu mengajak Diar yang cantik ini. Hahahaha9. Jangan kira aku tak memperhatikan gelagat kalian berdua, hai para cecunguk. Percuma hanya berpikir dan berpikir saja di meja itu. Kalian pikir aku hanya bekerja saja tanpa melihat kelakuan kalian? Hei, mejaku khan masih ada di sebelah kalian, tepat di kanan kiri kalian, Adri dan Ardi, ingat itu.

*

Mau makan apa, Diar?

Umm, apa aja sih.. Oh ya, mas Idar, katanya istri mas Idar habis melahirkan ya? Katanya udah sebulan
lalu? Aku baru tahu, mas.. Selamat yaaa...

Hah? Oh iya.. Makasih, Diar..

Loh? Kok mas Idar malah gelapan begitu?

Eh, gak apa-apa. Umm, aku gak jadi makan kayaknya, Diar.. Tiba-tiba sakit perut. Kamu makan sendiri gak apa khan?

[sial, maafkan aku, istriku... ku mohon, aku khilaf barusan, padahal kamu sudah menyiapkan bekal makan siang untukku meski tubuhmu belum pulih benar]

Oh, ya udah.. Gak apa...

[cowok-cowok kantor ini kenapa sih? aneh semua begini, ck ck ck....]

Seseorang itu Kamu


Ketika permintaan tentang "seseorang yang biasa saja dengan segelas air putih dan sebutir obat flu di tangannya" terdengar seperti konsep yang amat besar dan jauh,

maka apakah sepotong "hai" dari seberang sana juga merupakan keinginan yang berlebihan?



Ku mohon, jangan katakan "iya" sebagai jawaban dari pertanyaan sederhanaku ini...


Apakah ini berlebihan?
Bahkan mungkin memang seharusnya tak ku bayangkan?


Entah magnet apa yang selalu berhasil menarikku kembali untuk sekali lagi menggurat wajahmu di langit-langit kamarku.
Tanpa sadar ini sudah mulai menjadi kebiasaan ketika tubuhku mulai bosan dengan jadwal rutinnya.
Ketika tubuhku hanya ingin berlindung di bawah hangatnya selimut, yang terjadi malah aku mulai menorehkan garis dan lengkung di sudut dindingku yang masih kosong, yang kemudian garis dan lengkung itu merupa wajahmu.


Katakan padaku bahwa ini tidak berlebihan...


Bahwa aku sedang tidak berada dalam keadaan menuju ketidakwarasan permanen hanya karena aku menginginkan sepotong "hai" darimu.


Apakah itu jadi berlebihan?


Sungguh aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri.


Suaramu yang entah sudah berapa abad absen dari ruang dengarku.


Ketika aku hanya ingin mendengarmu berceloteh tentang apa saja, apa saja, perkara tak penting sekalipun.
Yang seringnya hanya samar-samar ku simak, karena aku sibuk mengurai tiap bunyi yang keluar dari mulutmu.


Hanya mendengarmu bicara, membiarkan suaramu memenuhi ruang dengarku sedikit demi sedikit.


Karena ternyata ribuan wajahmu yang sudah terpeta jelas di tiap dinding dan langit-langit kamarku tak lagi cukup untuk membentuk wajah nyatamu yang tersenyum kepadaku seperti sore itu.


Karena ternyata memutar ulang rekaman suaramu ratusan kali bahkan aku sampai hapal tiap jedanya itu masih tak cukup mengobati kerinduan pendengaranku.


Jadi, ketika dirimu menjelma nyata di hadapku adalah sebuah konsep yang absurd,
apakah sepotong "hai" jadi begitu berlebihan??


Katakan padaku bahwa permintaanku ini tak berlebihan kepada seseorang yang selalu berpikir sederhana layaknya soal satu ditambah satu...


Beginikah sakit flu?


Atau aku hanya terlalu merindukanmu?


[hanya ocehan seseorang yang sedang terkena flu... (--") ]

Sunday 21 March 2010

Si Gadis Hujan


Sore yang basah begini, di dalam sebuah bis, apa kira-kira yang bisa kita bicarakan? Jangan ajak aku bicara soal politik, aku tak pernah berminat. Dan kali ini juga aku sedang tak ingin bicara soal permasalahan global atau apapun yang membuat pusing. Hmm,, bagaimana kalau bicara soal cinta? Bukankah cinta tak pernah habis dibicarakan? Dan walaupun kadang membuatmu pusing, tapi kau selalu ingin bicara soal cinta, lagi dan lagi. Ya khan?

Bicara soal cinta ya, hmm... Selama ini aku sudah berkelana kemana-mana. Dari satu tempat ke tempat lain. Banyak hal yang ku lihat. Beragam macam, beragam makhluk. Tak sedikit pula macam-macam cinta yang ku saksikan. Dari cinta seorang laki-laki pada wanita pujaannya, cinta seorang ibu pada anaknya, cinta kumbang pada bunga mekar, bahkan cinta langit pada bumi.

Tapi jangan tanya aku apakah aku pernah jatuh cinta atau mencintai sesuatu, bahkan mungkin seseorang. Aku tak pernah merasakannya. Lagipula, aku tak yakin aku bisa jatuh cinta. Hmm..

Sampai ketika sore itu, sore yang basah lainnya, basah seperti sekarang ini karena langit sedang mencurahkan segenap cintanya kepada sang bumi yang merengek meminta derai hujan kasih dari langitnya. Langit tentu saja dengan senang hati membasahi buminya, memberi kehidupan dengan curahannya.

Sore itu aku merasakan ada sesuatu yang berdesir di dalam sana. Aku tertegun menyaksikan pemandangan indah yang ada di depanku. Aku sempat bingung sejenak, makhluk apakah yang ada di depanku sekarang. Mungkinkah dia seorang bidadari? Ah, tapi dia tak bersayap. Aku belum pernah melihat bidadari. Tapi kata orang-orang bidadari itu bersayap. Kalau begitu berarti dia adalah seorang gadis. Gadis yang amat cantik. Karena gadis-gadis yang selama ini pernah ku lihat tak ada yang secantik itu.

Aku hanya bisa memandanginya. Lagipula, memangnya aku mampu berbuat apa? Jadi aku hanya terus memandanginya sepanjang sore itu. Gadis itu terus duduk di situ, di tangga masuk kantornya, kau tahu khan lobi depan sebelum pintu masuk yang selalu ada benda persegi panjang bertuliskan kata "Welcome"? Nah di situlah, tak jauh dari benda persegi panjang tadi, dia, gadis itu, duduk memandangi rinai hujan yang turun menderas. Gadis itu seperti berada di tempat lain, bukan di bumi yang sama denganku.

Dia terlihat amat khusyu menekuri tiap rinai hujan. Seolah dia mampu bicara dan berbagi cerita dengan mereka. Kadang dia tersenyum, tapi tak jarang dia terlihat hampir menangis. Belakangan aku malah pernah melihatnya tertawa. Sesekali dia membentangkan tangannya, mencoba merasakan rinai hujan membasahi dirinya. Kadang dia juga memejamkan matanya, mencoba membaui bumi yang basah.

Dan aku? Aku masih terus memandanginya. Tak hanya sore itu, tapi juga sore-sore basah berikutnya. Dia, masih seperti pertama kali, tak pernah menghiraukanku, tak menganggap aku ada, kurasa dia malah tak sadar aku ada. Dia hanya selalu bergegas keluar dari ruangannya, dan duduk di situ, di dekat benda persegi panjang itu, tiap kali hujan turun. Setelah itu dia akan memulai ritualnya menonton hujan.

Tapi itu bukan masalah bagiku, selama aku masih bisa memandanginya melihat hujan. Entahlah apakah seperti ini yang dinamakan jatuh cinta? Karena aku akan kecewa bila tak melihatnya sekali saja dalam sehari. Dan aku akan merasa amat senang tiap kali melewatkan satu sore lainnya lagi dengan memandanginya.Aku tak tahu sampai kapan aku akan seperti itu.

Tapi kemudian aku tahu ujung penantianku. Sore ini. Ya, sampai akhirnya sore ini datang.

Kini aku bersamanya, bersamanya menikmati rinai hujan yang turun. Aku sampai kelelahan bersorak kegirangan dalam diam. Betapa indah sore ini. Walaupun kali ini bukan di depan kantornya. Tapi di dalam sebuah bis yang melaju pasti ke suatu terminal di sepetak tempat di ibukota sana.

Sore ini aku bersamanya. Tak sengaja ikut bersamanya. Angin tadi sore agak kencang sewaktu dia bergegas melewatiku. Dan ya, terima kasih untuk angin yang kebetulan menerbangkanku ke atas sepatunya.


Oh ya, kenalkan, namaku debu.


Dan menurutku tak ada kebetulan. Jadi, angin tadi memang ditakdirkan untuk membawaku padanya, gadis hujanku.


-aku, sebutir debu yang kebetulan, oh bukan kebetulan tapi ditakdirkan, untuk menempel di keset lobi sebuah kantor, yang kini berhasil mendarat di sepatu gadis yang kucintai-

Wednesday 17 March 2010

[kalau bisa, baca ini bulan depan]


Oi.

Oi juga. Ada apa?

Met ultah yaaaa.... :)
Wish you all the beeeeeest!!! Hehe..

Hehe, padahal gw udah mau siapin palu buat ke rumah lu.

Wakz? Kok gitu? Harusnya lu malah traktir gw.. Masa malah dibawain palu?

Iye, buat mukul lu.

Kok?

Yee, kamu khan biasanya lupa.

Aih,, kapan gw lupa??

Namanya aja udah rozz_lupa...

Luph. Lagian yaa, ada juga lu yang gak pernah ingat kapan gw ultah. Huhuhu9.

Lu khan 21 September khan? hehehe,

Abis liat di fb lu yak? Ngakuuuuu!! Karena gw gak pernah dapet ucapan met ultah dari lu!

Ah? Masa?

Iya.

Berarti hape gw yang eror.

Ah, alasan.

Perlu dibanting nih hape.

Hape aja lu salahin, wuu...

Hehe.. Kadonya mana?

Traktirannya dulu mana?

Ya udah, kapan kita main?

.....

[penggalan percakapan dengan seorang teman lama yang berulangtahun hari ini]

***000***


Kapan kamu ulangtahun?
Minggu depan?
Bulan depan?
Atau lusa?

Jangan-jangan malah kemarin?
Atau minggu kemarin?
Atau bulan kemarin?
Atau entah kapan?

Tapi kamu khan gak mungkin ulangtahun setiap hari?
Beritahu aku, jadi aku bisa mengucapkan met ultah pada hari yang tepat.



Tapi apa itu masih penting?
Kurasa tidak lagi.
Mungkin memang tak pernah penting.



Hai, met ulangtahun.
Moga kebahagiaan dan kebaikan selalu menyertaimu.


[tak apa khan kalau aku mengucapkannya lebih awal sebulan? atau malah dua bulan? atau malah telat sekalipun. aduh, aku lupa kapan kamu berulangtahun... huff.. lagipula kamu khan gak akan bisa baca ucapan ini, jadi tak apa lah..]

Saturday 13 March 2010

Tantri, Nama Seribu Pelangi

Ari hampir menyelesaikan packingnya. Tak banyak yang dibereskan, toh dia hanya sebentar saja disana, hanya sekedar untuk menghadiri acara pernikahan wanita yang amat dicintainya selama ini, Tantri. Paling-paling hanya tiga hari, itupun sebisa mungkin dia tak bertatap muka hanya berdua saja dengan wanita itu. Cukup sehari saat pernikahannya saja, takkan lebih dari itu.

Ari berhenti membereskan bajunya ketika tiba-tiba dia melihat ada selembar foto jatuh dari bawah tumpukan bajunya. Foto itu, foto dirinya bersama Tantri, gadis lugu dan polos, anak si mbok yang bekerja untuk ayah ibunya di desa. Dalam foto itu mereka terlihat amat senang, seperti kakak beradik.

Ari masih ingat ketika pertama kali dirinya dan kedua orang tuanya pindah ke desa. Eyang kakung meninggal beberapa bulan sebelumnya, dan meninggalkan warisan berupa beberapa usaha daerah yang harus segera diambil alih oleh ayahnya, karena selain eyang putri hanya tinggal bersama para pengurus rumah tangga, ayahnya juga adalah anak tunggal, sama seperti Ari yang juga anak tunggal, ditambah usaha ayahnya di kota memang sedang tak mulus, bisa dikatakan hampir bangkrut. Jadi ayahnya memutuskan untuk pindah ke rumah eyang dan meneruskan usaha keluarga di desa. Ari tak punya pilihan, waktu itu dia baru saja masuk sekolah menengah atas. Saat para remaja sedang bersuka cita, merasa mulai dewasa hanya karena perubahan dari biru menjadi abu-abu. Tapi Ari tak mungkin tinggal di kota sendirian, ayahnya gak akan mengijinkan anak semata wayangnya tinggal sendirian.

Saturday 6 March 2010

Biru

Rasanya tiba-tiba langit jadi berwarna cerah.


Biru.....


Aku sudah bosan dengan gelayut kelabu di langitku.


Yap.


Kini biru.




Langitku biru.


Ku rasa aku akan mimpi indah malam ini.. :)

Lara Maya


Aku mematikan televisiku dengan malas. Semakin hari semakin tak ada yang menarik dan berisi dari acara-acara yang disuguhkan berbagai stasiun televisi. Tak juga seperti siang di akhir pekan begini. Rasanya perutku mual melihat anak-anak kecil itu didandani macam-macam lalu kemudian disuruh bernyanyi lagu orang-orang dewasa yang aku yakin seratus sembilanbelas persen tak ada dari satupun anak-anak itu yang paham arti lagu yang mereka nyanyikan. Apalagi anak kecil yang barusan menyanyi, oh aku bukan ingin mencela atau menghina, suaranya amat buruk, ditambah lagunya tentang cerita seorang pemuda yang sudah lelah mengejar-ngejar seorang gadis. Astagaaa, umurnya bahkan belum genap sepuluh tahun, tapi lagunya begitu, ckckck. Tak habis pikir aku.

Akhirnya aku memutuskan untuk bersiap-siap ke mall, lagipula aku sudah janjian untuk makan siang di sana bersama. Aku meraih ponselku, memencet speed dial suamiku.

Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi.

Ah, paling dia sudah di jalan menuju mall, pastinya sudah bersama putri kecil kami, Kayla. Setiap Sabtu pagi Kayla pergi les piano, biasanya aku yang menjemput, tapi kali ini suamiku sekalian jalan dari bertemu temannya sekalian menjemput Kayla. Aku menyelesaikan dandananku, hanya pulasan bedak saja dan lipstik tipis, lagipula aku tak begitu suka berdandan macam-macam.

"Pak, anter saya ke mall yak..." Kataku pada pak Min, sopir keluarga kami.

"Umm, iya, bu... Mall yang mana?" Tanya pak Min dengan halus.

"Mall yang biasa, ayo cepat, pak, nanti Kayla keburu laper nunggu saya." Kataku tak sabar.

Sedan hitamku meluncur lancar di jalan protokol. Aneh juga siang akhir pekan begini kok lancar ya... Biasanya kota ini selalu ramai, padat, dan macet tentunya. Aku melamun memandang jalan di luar. Aneh, rasa kangen berlebihan pada suamiku dan Kayla tiba-tiba merambati nadi-nadiku, berdesir kencang. Aku jadi sedikit tidak nyaman. Tapi buru-buru ku tepiskan rasa itu, baru tadi pagi aku melihatnya, tapi kok udah kangen begini. Senyum simpul tercermin dari kaca jendela, membuatku kembali tenang.

"Bu, sudah sampai.." Kata pak Min membuyarkan lamunanku.

"Ah iya, pak. Pak Min pulang aja, nanti saya bareng bapak sama Kayla." Kataku membalas.

"Tapi, bu..."

"Gak apa-apa, makasi ya, pak.." Jawabku sambil menutup pintu dan bergegas meninggalkan pak Min yang belum juga beranjak. Aku tak mau membuat orang-orang terkasihku menunggu kelaperan.

Aku kembali mencoba menghubungi ponsel suamiku, tapi lagi-lagi belum aktif. Mungkin baterenya habis. Dia memang sering tak memperhatikan hal-hal remeh tapi penting seperti itu. Aku mau tak mau jadi tersenyum lagi, betapa walaupun dia seperti itu, aku amat mencintainya, dialah matahari bagi tata suryaku, bagi bumiku, juga bagi Kaylaku.

Aku melewati lobbi mall yang hari ini amat penuh sesak. Sepertinya sedang ada lomba model atau kecantikan atau bernyanyi atau entah lah apa, aku tak peduli. Tapi, apa? Oh Tuhan,, lihat itu, anak-anak kecil itu. Ya ampun. Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Ternyata memang sedang ada lomba kecantikan, tapi pesertanya anak-anak umur lima sampai sepuluh tahun. Bayangkan!! Anak umur segitu berdandan layaknya wanita umur duapuluhlima, melenggak-lenggok di atas panggung, dengan bibir merah menor dan pakaian ketat warna-warni. Kasihan mereka, apa yang dipikirkan orangtuanya sampai membawa anaknya ke ajang seperti itu, ajang lomba-lombaan semu. Dimana anak-anak itu dibentuk menjadi serupa boneka palsu dengan dandanan palsu hanya untuk mendapat gelar juara palsu hingga para orangtua-terutama mungkin ibunya- akan mendapat decak kagum dan pujian-pujian palsu karena anak mereka sudah berhasil menang kontes kecantikan palsu. Cih.

Aku tak akan membiarkan siapapun membawa Kayla mengikuti lomba-lombaan semu itu. Kelak para anak-anak kecil ini akan tumbuh dengan sendirinya, pada waktunya, jadi untuk apa kita-para ibu- menanamkan di benak mereka yang masih lugu dan polos kalau kecantikan bisa diukur-ukur dengan angka-angka atas siapa yang berdandan paling pintar dan paling mirip dengan wanita dewasa. Kasian. Kaylaku tak boleh seperti itu, aku bergidik memikirkannya, cepat-cepat ku usir pemandangan barusan dari pelupuk mataku, jangan sampai tersisa sedikitpun.

Setelah aku berhasil melewati reriuhan penonton yang amat padat, akhirnya aku sampai juga di restoran favorit Kayla. Dia selalu memilih untuk makan di restoran ini tiap kali kami berjalan-jalan ke mall. Mereka belum datang, jadi aku langsung saja duduk di tempat favorit kami. Pelayan datang menghampiriku menanyakan apakah aku ingin memesan sesuatu, ku bilang kalau aku sedang menunggu suami dan putriku.

Sudah hampir dua jam aku menunggu mereka, sudah ratusan kali juga aku mencoba menghubungi suamiku, sudah dua gelas iced lemon grass ku habiskan, tapi mereka tak kunjung tiba, jam makan siang sudah berlalu sejak tadi. Aku mulai cemas menunggu mereka. Tak sengaja aku malah melihat adikku di luar restoran ini, entah habis belanja atau apa tapi kok sendirian yah dia? Belum selesai aku berpikir, dia juga malah melihatku dan menghampiriku.

"Eh, kamu kok ada disini, Ga?" Tanyaku

"Gak apa-apa. Sengaja mau jemput mbak. Mbak,, kita pulang yuk.." Jawab Arga yang malah membuatku bingung.

"Jemput aku? Pulang? Lohhh, aku lagi nunggu Kayla sama mas Harry." Kataku tambah bingung.

"Mbak... mau sampai kapan mbak kayak gini...? Kayla sama mas Harry udah meninggal, mbak..."

"Eh kamu jangan ngaco ya, Ga.. Bercandamu gak lucu." Kataku sambil sedikit tertawa.

"Mbak, istighfar, mbak.. Mereka udah meninggal. Mbak harus ikhlas.." Suara Arga lirih.

"Ga! Kamu jangan asal kalo ngomong!! Aku gak suka ya kamu bercanda kayak gini! Sudah sana pergi aja. Aku lagi nunggu Kayla sama mas Harry. Jangan sampe aku marah-marah sama kamu di sini, Ga!" Bingungku hilang, kini malah berganti amarah. Berani benar dia berkata kalau suami dan putriku sudah meninggal, pake suruh-suruh aku istighfar segala pula.

"Astagfirullahalazim... Mbak, istighfar, mbak.. Aku tahu mbak sayang banget sama mereka, tapi kalo mbak kayak gini terus juga mereka nanti bakal sedih di alam sana, mbak.. Ayo pulang, mbak.." Kali ini Arga malah menarik tanganku, mencoba menyeretku pulang.

"Ga!!! Lepas!! Heh, aku ini mbakyumu, Ga! Jangan kurang ajar kamu ya. Gini, kamu gak perlu minta maaf, aku udah maafin kamu, tapi kamu cepet pergi dari sini." Kataku sambil mencoba melepaskan pegangan tangan Arga yang semakin kuat.

"Mbak,,, udah dua tahun, mbak. Kejadian hari itu emang berat banget. Tapi kenyataannya adalah mereka udah meninggal karena kecelakaan lalu lintas waktu perjalanan kesini, mbak. Ayolah, mbak.. Aku tahu mbak sedih, tapi mau sampe kapan mbak terus-terusan dateng ke sini trus nunggu mereka berjam-jam kemudian aku nyusulin mbak buat jemput mbak pulang. Tadi pak Min sms aku lagi, mbak minta dianter kesini lagi, yang kalaupun pak Min gak sms, aku juga udah tahu mbak ada disini setiap siang." Arga melepaskan tanganku, berkata panjang lebar yang tak aku mengerti.

Mataku perih, rasanya kelopak mataku penuh cairan yang merangsek untuk membanjir. Aku tak mampu lagi menahannya, bulir-bulir bening itupun menetes kemudian menjadi aliran yang menderas. Aku jatuh terduduk. Kaku. Sayatan-sayatan di hatiku tambah dalam, tambah perih. Aku masih tak mengerti kata-kata Arga. Tapi aku merasa amat merindukan Kayla dan mas Harry. Mungkin itu mengapa aku menangis.

"Aku mau di sini, Ga. Aku gak mau mereka kecewa nanti mereka sampe sini aku malah gak ada..." Sahutku setengah berbisik sambil menghapus airmataku. Entah Arga mendengarnya atau tidak. Aku juga tak bermaksud dia bisa mendengarnya.

"Ya udah. Kalo gitu aku mau ikutan mbak di sini, nunggu Kayla dan mas Harry. Mbak minum dulu ya, biar tenang." Kata Arga pasrah sambil menyerahkan sebotol air mineral. Entah dia mendapatkannya dari mana. Mungkin tadi dia membawanya, aku tak memperhatikan.

Aku meneguknya, dan gelap.

Blup, blup, blup....

Dan aku terantuk begitu saja, tanpa isyarat atau firasat


, terjerembap dalam deret rapi tuturmu.


Hmmm, penuh.


Tak menemukan satu kata pun yang mampu mewakili.


Jadinya aku mau tak mau menyadari ternyata diriku hanya serpih.




Aku terantuk


, tapi bukan jatuh terduduk.







Aku terantuk





, dan jatuh tenggelam dalam lautan pikirmu.






[kalimat-kalimat ini pun tak lekat menyuratkannya]