Ari hampir menyelesaikan packingnya. Tak banyak yang dibereskan, toh dia hanya sebentar saja disana, hanya sekedar untuk menghadiri acara pernikahan wanita yang amat dicintainya selama ini, Tantri. Paling-paling hanya tiga hari, itupun sebisa mungkin dia tak bertatap muka hanya berdua saja dengan wanita itu. Cukup sehari saat pernikahannya saja, takkan lebih dari itu.
Ari berhenti membereskan bajunya ketika tiba-tiba dia melihat ada selembar foto jatuh dari bawah tumpukan bajunya. Foto itu, foto dirinya bersama Tantri, gadis lugu dan polos, anak si mbok yang bekerja untuk ayah ibunya di desa. Dalam foto itu mereka terlihat amat senang, seperti kakak beradik.
Ari masih ingat ketika pertama kali dirinya dan kedua orang tuanya pindah ke desa. Eyang kakung meninggal beberapa bulan sebelumnya, dan meninggalkan warisan berupa beberapa usaha daerah yang harus segera diambil alih oleh ayahnya, karena selain eyang putri hanya tinggal bersama para pengurus rumah tangga, ayahnya juga adalah anak tunggal, sama seperti Ari yang juga anak tunggal, ditambah usaha ayahnya di kota memang sedang tak mulus, bisa dikatakan hampir bangkrut. Jadi ayahnya memutuskan untuk pindah ke rumah eyang dan meneruskan usaha keluarga di desa. Ari tak punya pilihan, waktu itu dia baru saja masuk sekolah menengah atas. Saat para remaja sedang bersuka cita, merasa mulai dewasa hanya karena perubahan dari biru menjadi abu-abu. Tapi Ari tak mungkin tinggal di kota sendirian, ayahnya gak akan mengijinkan anak semata wayangnya tinggal sendirian.
Pagi itu memang agak canggung untuk Ari. Biasanya dia senang datang ke rumah ini, untuk liburan dan menengok eyangnya, sekedar berlibur selama seminggu. Tapi kali ini berbeda, dia akan tinggal disini entah untuk berapa lama, tak ada yang tahu batas waktunya. Ditambah dirinya merasa amat kelelahan akibat dari perjalanan selama 12 jam dengan mobil ditambah dirinya memang tidak mudah tidur dalam kendaraan. Setengah perjalanan lebih dia habiskan dengan memandangi pemandangan di luar, hanya menatap tanpa ekspektasi apapun juga tak ada pretensi di dalamnya, kosong, tak ada bara, api, bahkan walau hanya sepercik.
Mbok Darno dengan tanggap dan cekatan langsung menyambut ketiga majikannya yang terlihat amat lelah. Sedang suaminya segera mengambil dan membawa masuk koper-koper yang tak seberapa banyak, karena barang-barang lainnya sudah dikirim terlebih dahulu melalui jasa pengiriman barang.
"Sugeng rawuh, den mas.. Ibu sampun nenggo den mas lan ndoro ayu. Unjukanipun kalian sarapan enjing sampun jumawis wonten mejo dahar.." Kata Mbok Darno sambil memberi isyarat kalau eyang putri juga sudah menunggu lama.
"Nggih, maturnuwun, mbok. Dalem bade siram rumiyin. Ibu wonten pundi?" Jawab ayah Ari kemudian mencari eyang.
Setelah mandi, Ari segera ikut sarapan bersama. Mbok Darno membuatkan soto ayam, tahu tempe bacem, serta ayam goreng, ditambah teh manis hangat untuk sarapan pagi itu. Saat tengah asik menikmati sarapannya, sekilas Ari melihat Tantri. Biasanya Tantri langsung menyapa Ari kalau dia sedang liburan. Setelah itu Tantri pasti akan memintanya untuk bercerita tentang Jakarta, tentang apa saja. Kadang Ari sampai kecapaian menceritakan ini itu. Tapi entah hari itu sejak Ari sampai Tantri belum menyapanya sama sekali.
"Hai, Tantri. Sini sarapan bareng." Ajak Ari sungguh-sungguh.
"Ah jangan, biar Tantri makan di dapur saja.." Potong mbok Darno cepat sebelum Tantri sempat menjawab. Padahal Ari juga ayah-ibunya tak pernah keberatan bila Tantri makan bersama, tapi mbok Darno tak pernah mengijinkan Tanrtri, mbok Darno selalu saja pakewuh.
Semakin hari Ari dan Tantri semakin akrab. Tantri selalu bertanya apa saja pada Ari. Bagi Tantri, Ari adalah jendela dunianya, Ari mampu menjawab apa saja pertanyaan Tantri. Tak pernah habis takjub dan kagum pada Ari. Sebaliknya bagi Ari, Tantri adalah seorang gadis desa yang lugu dan polos, namun selalu ingin tahu, belajar ini itu, menyerap segala hal yang Ari katakan. Ari amat menyukai mimik muka Tantri ketika Tantri terkagum-kagum atas penjelasannya, Tantri akan mengatakan, "Oh.. Begitu ya? Wah..." dengan "oh" panjang, matanya membulat berbinar, mulutnya ternganga kemudian berubah jadi senyum yang mengembang sambil mengangguk-angguk takzim.
Pujian-pujian yang dilontarkan Tantri untuk Ari juga selalu jujur dan tak mengada-ada. Seperti sore itu ketika mereka berdua sedang berboncengan naik sepeda motor sepulang mereka bermain.
"Kamu hebat yah, bisa naik motor.." Puji Tantri polos.
"Ah, biasa aja, semua anak seusiaku di kota pasti bisa naik motor." Jawab Ari.
"Oh ya? Semuanya?" Kali ini Tantri malah bertanya.
"Umm.. Eh.. Iya.. Kebanyakan sih bisa.." Jawab Ari ragu. Waktu itu tahun 80an akhir, saat motor masih menjadi barang mewah. Ari memang agak berlebihan dengan kalimatnya, karena yang terjadi adalah hanya orang-orang yang memiliki uang berlebih yang amat banyak yang mampu membeli motor.
Atau seperti sore lainnya ketika Ari sedang membaca buku berbahasa Inggris yang tak lain tak bukan adalah kisah Romeo and Juliet karya Shakespear, tiba-tiba Tantri sudah ada di hadapannya, memperhatikannya membaca.
"Aku juga pingin bisa baca buku yang pake bahasa Inggris seperti itu.." Celetuk Tantri menyadarkan Ari.
"Ini mudah kok, ceritanya bagus loh. Kamu juga bisa baca kalau mau.." Ujar Ari sambil menutup bukunya.
"Kamu ini tahu semuanya ya, pinter bikin puisi juga lagi, pokoknya hebat.." Puji Tantri tulus, senyumnya yang manis selalu mengembang tiap kali memuji Ari.
"Ah, kamu bisa aja, Tan.."
"Iya, sungguhan.. Aku suka banget puisimu yang judulnya Bulan Biru. Bagus.."
"Oh ya? Makasi.. Kamu suka bagian mana?"Tanya Ari berusaha menyembunyikan rasa senangnya karena dipuji bertubi-tubi seperti itu.
"Umm, suka semuanya.. Terutama pas bait 'aku masih disini, memandang bulan biru yang sama, seperti malam itu, malam kita menikmati secangkir yang terakhir'.. Aku suka itu.. Tapi, emang yang diminum apa sih? Secangkir teh? Kopi? Atau?" Tanya Tantri menggantung.
"Secangkir apa yaaa, maumu apa?" Ari malah balik bertanya, dia memang hobi meledek Tantri yang tak jarang malah tidak sadar kalau sedang diledek.
Ari memang suka menulis, menulis apa saja. Dan entah sejak kapan Tantri menjadi pembaca pertamanya sekaligus pendengarnya juga. Dan mungkin jadi yang terakhir, karena Ari tak pernah mengirimkan tulisan-tulisannya. Ayahnya tak suka Ari menulis. Ari adalah anak tunggal yang akan meneruskan usaha keluarganya kelak. Ayahnya tak pernah mengijinkannya menjadi penulis.
Begitulah. Setiap hari mereka habiskan bersama, selain itu Tantri memang tinggal di rumahnya. Tiap kali Ari membawa Tantri kedunianya, mereka seperti menyusuri labirin-labirin gelap namun beratapkan langit yang bertaburan cahaya bintang. Tantri mempercayakan penuh dirinya dibawa Ari memasuki tiap labirin dimana Tantri menemukan hal baru yang menghiasi seluruh labirin. Begitu pula sebaliknya, Ari tak pernah menolak diajak berkeliling menjejaki tiap keping impian-impian Tantri, menyusuri jalan hatinya yang lapang, luas, dan bebas, layaknya mereka sedang bersepeda di jalan suatu pedesaan dengan siluet gunung di ujung sana, diapit sawah di kanan dan kiri jalan. Sejauh mata memandang hanya indah yang terlihat.
Ari dan Tantri sudah amat dekat seperti kakak beradik yang tak bisa dipisahkan lagi. Namun entah sejak kapan Ari tak lagi bisa menganggap Tantri sebagai adiknya, Tantri lebih dari itu. Mungkin sama dengan sejak Tantri jadi pembaca dan pendengar cerita-ceritanya.
Ari tersadar dari lamunan masa lalunya. Sejurus kemudian dia mengembalikan foto tadi ke lemari. Ternyata waktu tak juga menghilangkan rasa itu. Rasa yang coba dia lupakan, tapi alih-alih hilang, rasa itu malah mengendap di dasar sana. Dasar yang sepertinya tak berujung. Terkunci dengan gembok karatan karena si pemilik kunci tak ingat kalau pernah memiliki kunci itu. Bahkan mungkin tak pernah sadar.
Ari jadi memikirkan hal-hal yang telah banyak berubah sejak kepergiannya kembali ke Jakarta untuk berkuliah sampai kini dia telah menjadi salah seorang manajer keuangan yang handal. Ayahnya masih cukup kuat untuk terus memegang kendali usaha keluarga, jadi Ari tak perlu khawatir harus kembali menetap di sana.
Ari menatap kembali undangan berwarna ungu muda itu. Ya, lusa nanti Tantri akan menikah dengan seorang pemuda sederhana di desa. Pemuda itu cukup baik, orangnya santun, dia adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah. Cerita ibu Ari panjang lebar tentang calon Tantri yang ujungnya menanyakan lagi pada Ari kapan dia akan menikah, rasanya kuping Ari pekak mendengar pertanyaan yang itu-itu juga. Tantri, hmm Tantri lagi, Tantri memang tipikal gadis desa yang sederhana. Dengan desakan kedua orangtua Ari, Tantri akhirnya mau kuliah jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Kini Tantri sudah menjadi guru sebuah PAUD di dekat rumah. Tinggal impiannya yang satu itu saja yang belum dicapainya, impiannya untuk menikah dan memiliki sebuah keluarga.
"Kamu mau nikah kapan? Sama siapa? Temenku ada yang suka sama kamu loh.." Tanya Tantri sambil menggoda Ari ketika mereka sedang mengobrol seperti biasa di beranda pada suatu malam.
"Belum tahu. Hehe. Emang kamu mau nikah sama siapa, Tan? Sama aku aja gimana?" Ari malah balik menggoda Tantri.
"Wahaha9, kamu ini kok malah ngawur sih? Mana boleh kita nikah? Haha9.. Bercandamu lucu.." Tawa Tantri meledak, lepas, tanpa beban. Padahal Ari tak bercanda.
Seandainya dirinya boleh memilih, maka dia akan memilih Tantri tanpa berpikir panjang. Hanya Tantri satu-satunya orang yang ingin ia nikahi. Entah sejak kapan ide itu tertanam di kepalanya, yang kemudian bertumbuh dengan suburnya tanpa perlu disiram apalagi diberi pupuk. Tapi semua yang ada, semua orang, keadaan, semuanya tak akan pernah mengijinkannya menikahi Tantri. Lagipula tak pernah sekalipun Ari mendapat isyarat apa-apa dari Tantri, walau hanya sekelebat. Sepertinya Tantri memang hanya menganggapnya sebagai kakak. Ari terkesiap. Bodoh benar dirinya berpikir begitu, pikiran ngawur macam apa itu.
Tapi apakah dirinya memang salah selama ini? Kenapa Tantri selalu mengikutinya seolah dialah pusat tata surya dari seorang Tantri? Dirinya, seorang Ari, mungkinkah dirinya hanya salah paham? Kalau memang iya, ingin sekali dia mendengarnya langsung dari mulut Tantri bahwa dirinya sudah salah paham tentang yang terjadi selama ini, mengatakan bahwa dirinya sudah mengkhayalkan hal yang bukan-bukan. Yah, sudahlah. Ari tak lagi ingin tahu apakah dirinya salah paham atau apa. Ari menarik napas dalam. Berat. Rasanya sesak sekali.
Ari masih melamun ketika dering telpon rumahnya mengagetkannya. Dengan langkah gontai dan malas Ari mengangkat telpon yang tak juga berhenti berdering.
"Halo..." Sapa Ari dengan malas.
"Halo.. Selamat siang.. Bisa bicara dengan Ariana Larasati?" Tanya suara di seberang sana samar-samar. Ari tertegun. Suara itu, suara yang amat dia kenal. Suara yang bahkan masih dia hapal walau sudah lama sekali tak mendengarnya. Suara yang amat dia rindukan.
"Tantri..?" Tanya Ari seketika setelah sadar dari arus memori tiga detiknya.
"Iya, mbak.. Ini mbak Ari? Ya ampun, mbaak.. Akhirnya aku bisa juga bicara sama kamu. Apa kabarnya? Undanganku sudah sampai khan? Kamu bisa dateng khan? Bisa dateng pas midodareni juga khan? Aku kangen banget sama kamu.. Tahun kemarin juga kamu pulang tapi katanya ibu aku gak boleh ganggu kamu karena kamu juga cuma pulang sebentar dan banyak acara.." Tantri terus saja nyerocos, memberondong Ari, tanpa memberikan celah untuknya memotong. Tantri memang begitu sejak dulu, cerewet dan selalu punya persediaan pertanyaan segudang.
"Kabarku baik, Tan.. Iya maaf, aku emang sibuk banget. Iya aku dateng kok. Selamat ya, Tan.. Kamu mau ku kasih kado apa?" Ari mencoba menjawab pertanyaan Tantri, berusaha terdengar wajar, padahal hatinya bertambah remuk. Kepulangannya tahun lalu itu sebenarnya dia tak begitu sibuk, tapi dia sengaja menghindari Tantri.
"Ah, mbak.. Kamu datang saja sudah lebih dari cukup, lebih berharga dari kado apapun di dunia ini. Hehe.."
"Sejak kapan kamu pinter ngegombal, Tan? Hahaha.."
"Lupa,. Hee.. Tapi itu sungguhan kok, mbak. Aku sungguhan pingin kamu dateng."
"Iya, Tan... Nanti sore aku berangkat.."
"Umm.. Kamu kapan nikah?" Tanya Tantri malah membekukan ruang hati Ari yang tadi mulai mencair.
"Hmm, kamu duluan deh, Tan. Hehe.. Lagian aku belum punya calon.." Ujar Ari hambar.
"Ah, masa iya? Kamu khan cantik, pinter juga. Pasti banyak laki-laki yang berlomba mendapatkan cintamu tow.." Celetuk Tantri jujur. Yah, memang benar. Tak kurang dari selusin laki-laki yang mengejar cintanya. Ada yang serius, ada juga yang sekedar coba-coba. Pernah juga dirinya mencoba berpacaran dan membuka hati. Tapi tak satupun mampu memenangkan hatinya, karena hatinya sudah tertinggal di tempat yang tak terjangkau, jauh, dalam labirin-labirin yang sudah lama tak lagi dia jejaki.
Seandainya ada orang yang bisa ku pilih sebagai pengantiku, itu hanya kamu, Tantri. Hanya kamu.. Batin Ari lirih, tak terucap, hanya mengambang serupa uap panas lalu hilang tergesek udara.
"Hahaha9, bisa aja kamu ini, Tan.. Emang aku apaan pake pada lomba segala? Hehe.. Eh udah dulu ya. Aku mau lanjut packing. Abis itu ke bandara. Pesawatku take off jam 4. Nanti malem kita bisa ngobrol kayak dulu. Ok?" Ari buru-buru mengakhiri percakapan itu, berharap dengan begitu dia bisa menghilangkan rasa itu. Setidaknya memendamnya untuk tiga hari mendatang agar tak meledak. Semoga.
[Tantri. Sebuah cerpen yang saya tulis tadi siang di bawah pohon mangga, duduk di atas rumput, dengan hamparan sawah hijau dan langit biru sebagai pemandangan yang amat sejuk di pandang. Oh ya, sungguhan saya tulis loh, pake pulpen dan kertas, hehe. Trus saya salin di hape biar bisa di-posting. Hee.. Dan menulis yang sungguhan nulis tu capek euy, repot pula harus ngetik ulang, hoho. Tetep lah, halaman elektronik lebih praktis. Tapi kapan lagi khan nulis di bawah pohon mangga? Hee..]
P.S.: Postingan ini saya copas dari note di fb saya, sebenernya sih postingan ini sudah saya posting di fb sejak Februari lalu, hehe. Tapi ya sudah tak apa lah...
Selamat bermalam Sabtu!
Semoga malam ini menyenangkan :D
HAPPY WEEKEND!
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^