Saturday 29 December 2012


Bersamamu, hidup layaknya kembang api. Menyala-nyala, berwarna-warni, gemerlapan, indah.
Namun pada akhirnya toh kembang api mati. Dan langit kembali gelap, sepi.


Akhir pekan menjelang pergantian tahun sudah datang. Aku masih menunggu ketukan di pintu. Mungkin kamu akhirnya kembali pulang. Ah tapi mungkin kamu memang sudah pulang, hanya saja bukan lagi ke rumah ini. Rumah yang dulu pernah memerangkap segala tawa dan tangis kita. Rumah tempat segala kenangan bermula dan berakhir, mengendap di dasar.

Tentu saja, bagaimana mungkin aku masih berpikir kamu akan pulang ke sini padahal kita sudah sepakat untuk berjalan masing-masing. Sendiri-sendiri. Dengan janji akan terus berbahagia meski tak lagi bersama-sama. Yah, aku masih ingat malam itu. Ketika kita akhirnya sepakat bahwa kita memang terlalu lelah untuk terus saling menyeimbangkan dua dunia yang sama sekali berlawanan. Bahwa salah satu dari kita masing-masing tak ada yang sanggup menyeberangi jurang di antara kita untuk bisa terus bersama. Semuanya kelewat memeras hati dan perasaan. Jadi di situlah kita, di sofa kesayangan kita, saling mengangguk pelan dan berusaha tersenyum sambil sesekali menghembuskan napas, berat.

Setelah itu kamu hanya tinggal semalam di rumah kita. Aku di kamar, dan kamu di sofa itu. Esoknya, bahkan sebelum embun subuh mencium dedaunan, aku mendengar suara langkah kakimu yang mengendap keluar rumah, tanpa berusaha membangunkanku untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal. Kita toh tidak butuh ucapan selamat tinggal?

Coklat hangatku sudah lama dingin. Derit jarum panjang terus saja mengingatkanku bahwa malam semakin larut. Mungkin kamu bahkan sudah lama terjatuh tidur dan bermimpi indah. Rumah mana yang kamu tuju pulang? Aku masih saja bertanya-tanya.

Hangatkah di sana? Apakah lebih hangat dari rumah kita? Sekarang rumah ini bahkan jadi sedingin pagi pertama di musim semi. Yah, belum sedingin musim dingin memang. Kenangan yang disimpan menyelamatkannya dari kedinginan yang membekukan. Hanya sedingin pagi pertama di musim semi. Ingatkah kamu tentang pagi itu? Pagi pertama musim semi, waktu itu pukul sembilan pagi saat orang-orang sibuk lalu lalang di sepanjang Kings Road Fortress Hill untuk bekerja, sekolah, atau apapun kegiatan mereka hari itu. Dan kita ikut dalam arus orang-orang, ikut masuk ke dalam tram yang akan membawa kita ke Victoria Park, tempat diadakannya festival bunga yang diadakan setiap musim semi.

Lebih dari seratus jenis bunga bermekaran bersamaan. Kita begitu bahagia melihat bunga-bunga itu. Aku ingat saat kamu bergumam ‘Ahh, mama pasti senang kalau ada di sini. Sayang kejauhan kalau harus dibawa ke Jakarta, jadi gak bisa dijadiin oleh-oleh yah bunganya.’ Lalu aku menyeletuk asal mendengar kalimatmu tadi, ‘Aku mau bunga. Kamu belum pernah kasih aku bunga.’ Tapi alih-alih kamu membelikanku bunga, kamu hanya berkata ‘Ih. Gak ah. Beli aja sendiri.’ Hahahaha, apa sih yang aku pikirkan saat itu? Bodoh sekali memintamu membelikanku bunga. Sama bodohnya seperti ketika aku memintamu membelikanku boneka, atau apapun hal sepele yang pernah aku minta yang sebetulnya sejak awal aku tahu takkan pernah aku dapatkan.

Jarum panjang sudah sempurna menjumpai jarum pendek. Sedangkan aku masih belum juga menjumpaimu mengetuk pintu rumah kita. Haruskah aku masuk ke kamar sekarang? Karena sepertinya sia-sia saja menunggumu di sofa ini. Sofa yang dulu pernah menjadi tempat favorit kita berdua. Aku lupa sudah berapa lama sofa ini menjadi terlalu luas untuk ku nikmati sendirian.

Aku melihat ke sekeliling rumah, semuanya masih sama seperti ketika kita menatanya bersama bertahun lalu. Kamu pergi tanpa membawa apa-apa. Meninggalkan semuanya di sini, memberikan segala beban kenangan sepenuhnya kepadaku. Kepada rumah ini. Semua benda sepele yang pernah kita beli bersama, entah memang dibutuhkan atau hanya karena kita menyukai benda-benda itu. Sekarang mereka semua seolah menatapku, bertanya padaku mengapa aku tak bergegas saja melupakan semuanya dan memulai dari awal. Mereka bahkan mungkin sudah melupakanmu. Tentu saja, yang mereka lihat hanya aku yang tiap kali melulu melongok melalui jendela barangkali akhirnya kamu kembali pulang. Lagipula, memangnya benda-benda sungguhan bisa bertanya? Aku memang aneh.

Aku menghembuskan napas berat sekali lagi. Teringat ketika akulah satu-satunya alasan dan selalu menjadi tempatmu kembali pulang. Kenangan itu manis sekali. Kelewat manis. Bagaimana kamu mengatakannya padaku, bahwa akulah tempatmu menuju, tempatmu kembali pulang. Lupakah kamu tentang itu? Rasanya iya.

Aku juga teringat malam tahun baru kita yang pertama. Kita baru saja pulang menonton pertunjukan teater, di dalam taksi dan terjebak kemacetan yang luar biasa. Bagaimana tidak, seluruh kendaraan total berhenti, memutuskan untuk parkir di jalan raya dan menonton kembang api yang mulai menyala di langit gelap menandakan tahun telah berganti. Sopir taksi yang baik hati meminta kita untuk keluar saja dan membayar ongkosnya, karena kalau kita terus tinggal di dalam situ entah berapa argo yang harus kita bayarkan untuk parkir sepanjang malam. Akhirnya kita memutuskan untuk berjalan kaki. Padahal kita sama-sama sudah lelah sekali. Dan rasanya aku hanya ingin duduk di jalanan bersama orang-orang, ikut menikmati pesta kembang api tahun baru. Tapi alih-alih setuju, kamu malah terus berjalan dan mengomeliku. Seolah yang ku minta kelewat besar dan berlebihan. Padahal apa susahnya duduk di jalanan dan mencoba menikmati pesta kembang api? Toh orang lain pun seperti itu. Jadi aku hanya mengikutimu pulang sambil terus menggerutu sepanjang jalan.

Aku jadi berpikir, selama bersamamu, aku selalu berusaha untuk bisa memahamimu, untuk bisa menyeimbangimu. Tapi pernahkah kamu mencoba untuk memahamiku? Untuk menyeimbangiku? Atau aku sudah mulai lupa segala yang pernah kamu coba lakukan untukku? Karena malam ini, hampir-hampir segala kenangan yang muncul di hadapanku hanyalah tentang kamu yang begitu menyebalkan dan tak pernah mau mencoba memahamiku. Ataukah memang selama ini kamu tak pernah manis kepadaku? Kalau pernah, mengapa aku lupa?

Aku bahkan ingat wajahmu saat aku marah-marah protes tentang bagaimana buruknya kamu memperlakukan aku yang malah hanya kamu jawab dengan kalimat yang membuatku semakin sedih. ‘Karena itu kamu. Dan bukan wanita yang lain. Kalau wanita yang lain, aku gak akan jahat.’ Yang bisa kusimpulkan hanyalah dari sudut pandangmu aku memang layak diperlakukan buruk olehmu.

Mengapa aku tak bisa mengingat hal-hal manis yang pernah kamu lakukan untukku? Apa sekarang aku betul-betul sudah melupakan kenangan manis itu? Mengapa yang tinggal hanyalah kepedihan? Atau mungkin kamu membawa segala kenangan manis itu bersamamu saat keluar dari rumah ini malam itu?

Satu-satunya kenangan manis yang mampu ku ingat hanyalah aku pernah jadi alasan sekaligus tempat satu-satunya kamu kembali pulang. Itu mengapa aku masih saja terus duduk di sofa ini. Menunggumu mengetuk pintu rumah kita. Rumah kita yang sekarang menjadi sedingin pagi musim semi.

Mungkin kamu sudah menemukan rumah yang lain dan tak ingat lagi jalan menuju rumah ini. Yah itu mungkin saja. Nah.. Aku akan masuk ke kamar saja sekarang. Sofa ini semakin dingin.

Omong-omong…

Kamu, pernahkah sekali saja memikirkanku?

Aku… memikirkanmu. Selalu.

Selamat tahun baru, kamu.