Saturday 29 December 2012


Bersamamu, hidup layaknya kembang api. Menyala-nyala, berwarna-warni, gemerlapan, indah.
Namun pada akhirnya toh kembang api mati. Dan langit kembali gelap, sepi.


Akhir pekan menjelang pergantian tahun sudah datang. Aku masih menunggu ketukan di pintu. Mungkin kamu akhirnya kembali pulang. Ah tapi mungkin kamu memang sudah pulang, hanya saja bukan lagi ke rumah ini. Rumah yang dulu pernah memerangkap segala tawa dan tangis kita. Rumah tempat segala kenangan bermula dan berakhir, mengendap di dasar.

Tentu saja, bagaimana mungkin aku masih berpikir kamu akan pulang ke sini padahal kita sudah sepakat untuk berjalan masing-masing. Sendiri-sendiri. Dengan janji akan terus berbahagia meski tak lagi bersama-sama. Yah, aku masih ingat malam itu. Ketika kita akhirnya sepakat bahwa kita memang terlalu lelah untuk terus saling menyeimbangkan dua dunia yang sama sekali berlawanan. Bahwa salah satu dari kita masing-masing tak ada yang sanggup menyeberangi jurang di antara kita untuk bisa terus bersama. Semuanya kelewat memeras hati dan perasaan. Jadi di situlah kita, di sofa kesayangan kita, saling mengangguk pelan dan berusaha tersenyum sambil sesekali menghembuskan napas, berat.

Setelah itu kamu hanya tinggal semalam di rumah kita. Aku di kamar, dan kamu di sofa itu. Esoknya, bahkan sebelum embun subuh mencium dedaunan, aku mendengar suara langkah kakimu yang mengendap keluar rumah, tanpa berusaha membangunkanku untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal. Kita toh tidak butuh ucapan selamat tinggal?

Coklat hangatku sudah lama dingin. Derit jarum panjang terus saja mengingatkanku bahwa malam semakin larut. Mungkin kamu bahkan sudah lama terjatuh tidur dan bermimpi indah. Rumah mana yang kamu tuju pulang? Aku masih saja bertanya-tanya.

Hangatkah di sana? Apakah lebih hangat dari rumah kita? Sekarang rumah ini bahkan jadi sedingin pagi pertama di musim semi. Yah, belum sedingin musim dingin memang. Kenangan yang disimpan menyelamatkannya dari kedinginan yang membekukan. Hanya sedingin pagi pertama di musim semi. Ingatkah kamu tentang pagi itu? Pagi pertama musim semi, waktu itu pukul sembilan pagi saat orang-orang sibuk lalu lalang di sepanjang Kings Road Fortress Hill untuk bekerja, sekolah, atau apapun kegiatan mereka hari itu. Dan kita ikut dalam arus orang-orang, ikut masuk ke dalam tram yang akan membawa kita ke Victoria Park, tempat diadakannya festival bunga yang diadakan setiap musim semi.

Lebih dari seratus jenis bunga bermekaran bersamaan. Kita begitu bahagia melihat bunga-bunga itu. Aku ingat saat kamu bergumam ‘Ahh, mama pasti senang kalau ada di sini. Sayang kejauhan kalau harus dibawa ke Jakarta, jadi gak bisa dijadiin oleh-oleh yah bunganya.’ Lalu aku menyeletuk asal mendengar kalimatmu tadi, ‘Aku mau bunga. Kamu belum pernah kasih aku bunga.’ Tapi alih-alih kamu membelikanku bunga, kamu hanya berkata ‘Ih. Gak ah. Beli aja sendiri.’ Hahahaha, apa sih yang aku pikirkan saat itu? Bodoh sekali memintamu membelikanku bunga. Sama bodohnya seperti ketika aku memintamu membelikanku boneka, atau apapun hal sepele yang pernah aku minta yang sebetulnya sejak awal aku tahu takkan pernah aku dapatkan.

Jarum panjang sudah sempurna menjumpai jarum pendek. Sedangkan aku masih belum juga menjumpaimu mengetuk pintu rumah kita. Haruskah aku masuk ke kamar sekarang? Karena sepertinya sia-sia saja menunggumu di sofa ini. Sofa yang dulu pernah menjadi tempat favorit kita berdua. Aku lupa sudah berapa lama sofa ini menjadi terlalu luas untuk ku nikmati sendirian.

Aku melihat ke sekeliling rumah, semuanya masih sama seperti ketika kita menatanya bersama bertahun lalu. Kamu pergi tanpa membawa apa-apa. Meninggalkan semuanya di sini, memberikan segala beban kenangan sepenuhnya kepadaku. Kepada rumah ini. Semua benda sepele yang pernah kita beli bersama, entah memang dibutuhkan atau hanya karena kita menyukai benda-benda itu. Sekarang mereka semua seolah menatapku, bertanya padaku mengapa aku tak bergegas saja melupakan semuanya dan memulai dari awal. Mereka bahkan mungkin sudah melupakanmu. Tentu saja, yang mereka lihat hanya aku yang tiap kali melulu melongok melalui jendela barangkali akhirnya kamu kembali pulang. Lagipula, memangnya benda-benda sungguhan bisa bertanya? Aku memang aneh.

Aku menghembuskan napas berat sekali lagi. Teringat ketika akulah satu-satunya alasan dan selalu menjadi tempatmu kembali pulang. Kenangan itu manis sekali. Kelewat manis. Bagaimana kamu mengatakannya padaku, bahwa akulah tempatmu menuju, tempatmu kembali pulang. Lupakah kamu tentang itu? Rasanya iya.

Aku juga teringat malam tahun baru kita yang pertama. Kita baru saja pulang menonton pertunjukan teater, di dalam taksi dan terjebak kemacetan yang luar biasa. Bagaimana tidak, seluruh kendaraan total berhenti, memutuskan untuk parkir di jalan raya dan menonton kembang api yang mulai menyala di langit gelap menandakan tahun telah berganti. Sopir taksi yang baik hati meminta kita untuk keluar saja dan membayar ongkosnya, karena kalau kita terus tinggal di dalam situ entah berapa argo yang harus kita bayarkan untuk parkir sepanjang malam. Akhirnya kita memutuskan untuk berjalan kaki. Padahal kita sama-sama sudah lelah sekali. Dan rasanya aku hanya ingin duduk di jalanan bersama orang-orang, ikut menikmati pesta kembang api tahun baru. Tapi alih-alih setuju, kamu malah terus berjalan dan mengomeliku. Seolah yang ku minta kelewat besar dan berlebihan. Padahal apa susahnya duduk di jalanan dan mencoba menikmati pesta kembang api? Toh orang lain pun seperti itu. Jadi aku hanya mengikutimu pulang sambil terus menggerutu sepanjang jalan.

Aku jadi berpikir, selama bersamamu, aku selalu berusaha untuk bisa memahamimu, untuk bisa menyeimbangimu. Tapi pernahkah kamu mencoba untuk memahamiku? Untuk menyeimbangiku? Atau aku sudah mulai lupa segala yang pernah kamu coba lakukan untukku? Karena malam ini, hampir-hampir segala kenangan yang muncul di hadapanku hanyalah tentang kamu yang begitu menyebalkan dan tak pernah mau mencoba memahamiku. Ataukah memang selama ini kamu tak pernah manis kepadaku? Kalau pernah, mengapa aku lupa?

Aku bahkan ingat wajahmu saat aku marah-marah protes tentang bagaimana buruknya kamu memperlakukan aku yang malah hanya kamu jawab dengan kalimat yang membuatku semakin sedih. ‘Karena itu kamu. Dan bukan wanita yang lain. Kalau wanita yang lain, aku gak akan jahat.’ Yang bisa kusimpulkan hanyalah dari sudut pandangmu aku memang layak diperlakukan buruk olehmu.

Mengapa aku tak bisa mengingat hal-hal manis yang pernah kamu lakukan untukku? Apa sekarang aku betul-betul sudah melupakan kenangan manis itu? Mengapa yang tinggal hanyalah kepedihan? Atau mungkin kamu membawa segala kenangan manis itu bersamamu saat keluar dari rumah ini malam itu?

Satu-satunya kenangan manis yang mampu ku ingat hanyalah aku pernah jadi alasan sekaligus tempat satu-satunya kamu kembali pulang. Itu mengapa aku masih saja terus duduk di sofa ini. Menunggumu mengetuk pintu rumah kita. Rumah kita yang sekarang menjadi sedingin pagi musim semi.

Mungkin kamu sudah menemukan rumah yang lain dan tak ingat lagi jalan menuju rumah ini. Yah itu mungkin saja. Nah.. Aku akan masuk ke kamar saja sekarang. Sofa ini semakin dingin.

Omong-omong…

Kamu, pernahkah sekali saja memikirkanku?

Aku… memikirkanmu. Selalu.

Selamat tahun baru, kamu. 

Tuesday 27 November 2012


Sampai beberapa jam lalu aku masih berpikir bahwa semua akan kembali baik-baik saja, seperti dulu, seperti sebelumnya. Mengira kamu akan menyesal lalu segera memencet speed dial nomerku yang masih tersimpan dalam ponsel pintarmu. Berkata bahwa kamu salah telah membiarkan semua jadi begitu berantakan. Bahwa kita masih bisa memperbaiki segalanya. Bahwa tak sedetikpun mampu kamu lewati tanpa berpikir tentang kita. Tentang segala yang pernah kita punya. Lalu kemudian aku akan berkata bahwa itu semua sudah berlalu dan kita masih bisa kembali baik-baik saja dan melupakan segala sedu sedan yang tak perlu. Bahwa kita masih punya jutaan detik yang tersisa untuk kita. Bahwa kita akan kembali bahagia bersama-sama.

Dan kamu akan berterimakasih padaku karena tetap setia dan tak pernah pergi saat kamu bahkan sudah jauh meninggalkanku. Kemudian aku akan menjawab bahwa itu bukan apa-apa. Bahwa aku melakukan itu semua dengan tulus hati dan tak berharap apapun juga. Lalu kita akan tertawa-tawa lagi seperti dulu. Kamu akan bernyanyi lagi untukku. Dan aku akan menceritakan segala yang terjadi hari ini. Kita akan saling lempar untuk menutup telepon lebih dulu. Persis seperti dulu.

Well yeah. Aku terlalu banyak menyimpan kenangan yang tidak perlu sepertinya. Bahkan mungkin aku sama sekali tak pernah ada dalam daftar speed dial-mu. Karena saat ini, aku tahu bahwa kamu memang sudah melupakan segala konsep tentang kita. Bahwa bagimu konsep itu sudah jadi semacam hal yang kelewat usang. Jelas aku yang terlalu banyak menghabiskan waktu menonton drama Korea yang kadang kelewat mustahil. Memangnya ada cowok semanis figur yang berusaha ditampilkan oleh para aktor Korea itu? Bukan fisiknya tentu saja. Tapi sifatnya. Mengapa hal-hal di luar akal begitu masih laku dijual dan memiliki banyak penggemar? Aku salah satu penggemar setianya. Sayangnya.

Begini. Kamu bahagia bukan? Aku bukan ingin mendoakanmu selalu berbahagia. Aku hanya ingin bisa memaafkanmu. Memaafkan diriku sendiri. Memaafkan kita. Memaafkan segalanya yang pernah ada. Aku hanya ingin hatiku tenang. Tak lagi melulu soal kamu. Aku lelah. Jujur saja.

Pernah aku berpikir tentang menemui seorang hipnotis. Mungkin dengan begitu akan lebih mudah. Tapi tentu saja, aku takkan sanggup membayarnya. Harganya mahal bukan? Dan aku sedang dalam masa penghematan. Bukannya aku masih kepingin lebih lama lagi mengingat-ingat tentang kita atau apa. Hanya saja, rasanya aku gagal sekali kalau sampai membutuhkan jasa seorang hipnotis.

Aku lelah bahkan hanya dengan melihat namamu bertengger online di jajaran daftar nama teman-temanku. Aku lelah bolak-balik menghapus namamu dari daftar kontak ponselku. Aku lelah melihat segala hal yang bahkan tak ada kaitannya denganmu namun mampu membuatku teringat padamu. Aku lelah dengan semua itu. Aku lelah berurusan denganmu yang kini bahkan hanya serupa kenangan usang. Well yeah, tak bisakah kamu minggat saja dan pergi entah kemana?

Mungkin aku bisa memulainya dengan membencimu. Tapi dari mana aku harus mulai membencimu? Seharusnya patah hati punya buku panduan yang dimiliki oleh semua penderitanya. Setidaknya aku bisa mencontek beberapa tips.

Oh, hari sudah mulai tumbang. Aku harus pergi. Dan kamu? Yah terserah kamu mau melakukan apa. Memangnya tulisanku masih ada artinya buatmu?

Thursday 4 October 2012

masih tentang kamu....


Hei, kamu. Masih di sana kah?
Bagaimana aku harus mengatakan ini? Bahwa tetiba saja aku sudah mulai memenuhi satu lagi dinding kosong yang sudah lama ku tinggalkan. Lembab. Baru saja ku sentuhkan telapak tanganku pada mukanya. Sudah selama itukah aku pergi?

Mungkin saja. Tapi, apakah kamu masih terus ada di sana? Seperti selama ini yang masih tetap aku kira-kira saja. Bahwa kamu masih di sana, duduk nyaman di atas sofa kesayanganmu sambil memandangi layaryang terus berpendar, membaca segala coretanku dengan tokoh utama dirimu sendiri. Atau mungkin kah kamu pun sedang menuliskan satu kisah kepada kisah lainnya yang sesungguhnya hanyalah tentangku saja?

Ummm, yah... kadang aku menerka-nerka.. apakah kamu lebih suka membaca atau menulis.. Apakah bila kamu lebih suka membaca, sukakah kamu dengan racauanku yang melulu tentangmu? Atau bila kamu suka menulis, apakah itu melulu tentangku? Karena jujur saja, kebanyakan racauanku yang tidak jelas ujung pangkalnya ini, selalu melulu tentangmu. Karena kamu memang masih tak berujung pangkal. Haha, maafkan aku karena memberikanmu predikat seperti itu.

Kelak bila kamu sudah berujung pangkal, aku pun akan tahu. Kamu juga. Apa sekarang ini kamu juga sedang menulisiku? Atau malah sudah berlabuh dalam mimpi indah di negeri antah berantah?

Nanti, ketika semesta menerima titahNya untuk membuat satu konspirasi yang akan mempertemukan aku dan kamu, ku harap... ku harap... ah entah. Aku tak tahu harus berharap apa. Kita lihat saja nanti.

Aku belum bosan untuk terus menulisimu. Meski terkadang aku menghilang begitu saja. Bukan berarti aku melupakanmu. Aku bahkan selalu menebak-nebak bagaimana kamu. Tak selalu sih, hanya sering saja. Aku tak mau kamu jadi besar kepala. 

Aku belum lelah berjalan menuju ke arahmu. Ku harap kamu pun begitu. Tak perlu berlari. Mari kita nikmati saja perjalanan ini. Layaknya perjalanan dengan kereta api senja yang lamat-lamat mengantarkan kita ke tempat tujuan. Entah di persimpangan yang mana kereta kita akan bertemu. Aku masih memegang tiketku erat-erat. Meski aku tahu akulah penumpang tunggal di keretaku sendiri. Entah. Hanya ingin memastikan bahwa tujuanku memang sesuai dengan yang tertera pada tiket yang masih ku jaga ini. Kamu?

Kamu, jangan menyerah ya... Begitupun aku.
Ketika permintaan 'saya sendirian dan mati lampu di sini, maukah kamu sebentar saja menemani saya?' menjadi tak lagi sederhana dan berakhir dengan tanpa jawaban, maka apalagi?

Maka segala yang saya butuhkan memang hanyalah Engkau. Saya bahkan tak membutuhkan deretan sepuluh angka untuk bisa berbicara denganMu. Saya bahkan hanya perlu berbicara saja, dan saya tahu Engkau selalu mendengarkan. Lalu mengapa saya masih saja berharap pada ciptaanMu untuk menemani saya bicara?

Padahal saya bisa selalu memintaMu untuk menemani saya. Bahkan sejatinya Engkau selalu bersama saya. Maka mengapa saya masih merasa sepi?

Tuhan, saya percaya padaMu. Saya percaya pada semua rancanganMu. Bahkan saya percaya Engkau sedang melihat saya mengetik ini sekarang, di kamar yang tanpa cahaya apapun selain pendar layar sepuluh inchi yang sebentar lagi pun akan redup.

Tuhan, saya gak pernah takut gelap, seperti sekarang, saat mati lampu begini. Saya juga gak pernah takut sendirian seperti sekarang. Saya hanya takut kesepian.

Tapi bersamaMu tak ada kesepian bukan? Seharusnya. Tapi Tuhan, barusan ada suara-suara yang saya tidak tahu itu berasal dari mana. Saya hanya takut kesepian....

Tuhan, saya tahu Engkau selalu menjaga saya... Tapi bolehkah saya minta seorang teman saja yang selalu bisa bersama saya? Bahkan dalam gelap padam listrik begini? Seorang teman yang akan menemani saya bahkan tanpa saya minta....

Tuhan, permintaan saya gak berlebihan kan?

Wednesday 8 August 2012



I’ll become a flowerpot that sits on your small windowsill
Though I can’t speak or want anything at all
I’ll be able to see you smile and feel your touch once a while
And I’ll be the one gazing at your face as you sleep


Hai, kamu.


Apa kabar pagi? Pagiku menyenangkan. Ku harap pagimu juga menyenangkan. Ah tentu saja, bahkan aku sudah melihatmu tersenyum sejak baru saja datang tadi. Meski aku tak tahu apa yang membuatmu tersenyum begitu cerahnya di pagi yang lumayan dingin ini. Ah iya, aku memperhatikanmu, tentu saja. Seperti biasanya, setiap hari, sepanjang hari.

Seperti yang ku katakan tadi, pagiku menyenangkan sampai aku mendengar satu lagu menyedihkan yang diputar olehnya. Dia, orang yang duduk di sebelah partisimu. Ah kamu pasti tak memperhatikannya. Sedang aku? Aku punya waktu sepanjang hari untuk memperhatikan siapa saja yang ingin ku perhatikan. Dan pagi ini sebenarnya aku sedang sibuk memperhatikan orang-orang yang kembali datang ke tempat ini, tempat mencari penyambung hidup bagi beberapa orang. Beberapa orang lainnya ku perhatikan hanya mencari kegiatan untuk membunuh waktu saja.

Lalu kemudian kamu datang dengan senyum matahari pagimu itu. Kamu selalu begitu ceria dan bersemangat, mungkin karena kamu kelebihan dosis vitamin atau bagaimana? Hehe. Aku hanya bercanda. Hanya saja melihatmu setiap hari selalu seperti itu semakin membuatku memujamu. Dan asal kamu tahu saja, bukan hanya aku yang memuja-mujamu tapi ada seseorang yang bahkan diam-diam mencintaimu selama ini.

Well yah, dia yang duduk di partisi sebelahmu. Tentu saja kamu tak akan pernah sadar dengan perasaannya. Karena dia bahkan tak pernah berusaha untuk menyatakannya padamu. Bahkan untuk mengajakmu bicara saja dia tak pernah berani. Entah apa yang membuatnya begitu takut. Padahal dia selalu bercerita padaku kalau dia begitu menyukaimu dan segala macam itu. Itu dilakukannya setiap sore bila kamu sudah pulang. Bercerita padaku maksudnya, kalau soal menyukaimu dan segala macam itu dia lakukan setiap detiknya.

Sepertinya dia terlalu terbawa oleh lagu yang pagi ini diputar ulang entah untuk keberapa ribu kali olehnya. Apa kamu tahu? Lagu itu bercerita tentang seseorang yang bermimpi untuk bisa menjadi sebuah pot bunga di jendela orang yang dia cintai. Alasannya karena dia ingin bisa terus melihat senyum orang itu setiap hari. Meski dengan begitu dia jadi tak bisa berbicara atau melakukan apapun untuk menunjukkan perasaan pada orang itu. Baginya cukup untuk bisa melihat wajah orang itu tiap malam sebelum tidur, bisa merasakan sentuhannya setiap kali orang itu terbangun di pagi hari.

Ya, dia betul-betul ingin menjadi sebuah pot bunga. Sebuah pot bunga yang diam saja di jendelamu, berharap kamu melihatnya sesekali di sela waktu sibukmu itu. Aku tahu karena dia sendiri yang mengatakannya padaku pada hari pertama aku bertemu dengannya. Ku kira awalnya dia hanya bercanda. tapi lama kelamaan ku rasa dia benar-benar berkhayal begitu dari kesenangannya memutar lagu yang itu-itu juga. Padahal menurutku mudah sekali untuk mengatakan perasaannya padamu. Kamu kan hanya duduk di partisi sebelahnya? Hanya berjarak satu meter darinya? Aneh sekali.

Coba saja lihat sekarang, dia sedang diam-diam memperhatikanmu yang masih sibuk menyapa orang-orang di sana sini. Ku harap kamu sempatkan sedikit waktumu untuk menyapanya juga. Bukan aku mau mengatur-aturmu atau apa, tapi ada baiknya kamu memberinya sedikit perhatian untuk membuatnya bisa tersenyum juga sepertimu pagi ini. Ah, aku kasihan padanya sebenarnya.

Tapi lihat, bahkan ketika kamu sudah menyapanya pun dia hanya bisa diam mematung. Kenapa dia tak menyapamu balik? Sesulit itukah? Ku rasa dia sungguh-sungguh menghayati khayalannya untuk menjadi pot bunga. Tidakkah dia tahu bahwa kamu tak punya pot bunga di jendela kamarmu bahkan di seluruh sudut rumahmu? Tidakkah dia tahu bahwa kamu bahkan tak suka bunga atau tanam-tanaman apapun. Alasannya praktis, kamu tak punya cukup waktu untuk merawat mereka. Waktumu yang 24 jam sehari itu sudah kamu habiskan untuk kegiatan lain yang menurutmu jauh lebih penting ketimbang merawat bunga atau tanam-tanaman.

Dan tidakkah dia tahu bahwa meskipun kemudian khayalannya itu terwujud kamu bahkan hanya akan meletakkannya di jendela ruangan kantor yang digunakan bersama ini? Bahwa bahkan dia sama sekali tak akan pernah mampir di rumahmu untuk satu malam saja? Apalagi bermimpi bisa melihat senyummu sebelum tidur. Aku kasihan padanya. Sangat kasihan malah.

Seandainya aku bisa menjadi dirinya, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa bicara padamu, mengatakan segala yang ingin kukatakan, segala yang mungkin hanya akan tersimpan selamanya dalam diriku. Aku yang juga memujamu sejak mula-mula tahu persis rasanya ditolak begitu saja olehmu. Padahal aku begitu bahagia di hari pertama berjumpa denganmu.

Namun yang terjadi adalah kamu langsung meletakkanku begitu saja di sini. Yah, seandainya dia tahu bahwa menjadi pot bunga sama sekali tak menyenangkan. Aku bisa jamin dia akan menyesal, aku tahu rasanya. Seperti rasa yang ku rasakan beberapa bulan lalu, hari pertama itu, hari aku dijadikan sebagai kado ulang tahunmu yang ternyata sama sekali tidak kamu harapkan.

Salahnya, bukan salahku, dia yang membeliku, mengelilingi tubuhku dengan pita warna-warni, untuk kemudian diberikan padamu hari itu. Dikiranya aku akan bisa mewakili dirinya ada di salah satu sudut jendela kamarmu. Yah, dia kurang beruntung, salah perkiraan.

Pada akhirnya aku hanya terduduk di sini, di salah satu sudut jendela ruang kantormu ini.

Dan dia, masih berani-beraninya berkhayal untuk menjadi pot bunga. Manusia malang.

Omong-omong, selamat pagi, kamu. 

Wednesday 15 February 2012

[menepi]


Terkadang saya benar-benar mengira bahwa semua pertemuan pasti akan menjumpai perpisahan, cepat atau lambat. Diawali dengan sebuah pertemuan yang biasa saja. Saya berteman dengan si Pulan yang ternyata juga berteman dengan kamu. Lalu kemudian kita saling bertemu pertama kali karena si Pulan mengadakan suatu acara dan mengundang semua temannya. Jadi kita bertemu di situ dan berkenalan. Sebagai teman tentunya.

Dan seperti cerita kebanyakan yang dipersingkat dengan kalimat ‘hari berganti minggu, minggu berganti bulan’ yah begitu pula dengan cerita kita. Saya dan kamu berteman, bahkan jauh lebih akrab ketimbang kamu dengan si Pulan. Saya sendiri tak pernah mengira kita akan bisa sedekat itu. Mungkin karena kita punya hobi yang sama.

Kemudian kamu memutuskan untuk memberanikan diri mengutarakan apa yang kamu rasakan saat itu. Kamu merasa kalau sayalah wanita yang selama ini kamu cari. Sayalah wanita yang bisa membuat kamu merasa nyaman. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti, kamu hanya ingin mengatakan apa yang memang ingin kamu katakan saat itu. Yah, kamu memang terkadang kelewat jujur sampai saya jadi percaya semua yang kamu katakan adalah jujur.

Jadi kita memulai sesuatu yang baru. Bukan pertemanan yang kemarin. Saya jadi sering memikirkan kamu. Kita jadi semakin sering berkomunikasi. Saya tertawa pada apa saja yang kamu lakukan, apapun itu asal kamu yang melakukan jadi terlihat lucu buat saya. Bahkan kadang hanya membayangkannya saja sudah bisa membuat saya tertawa.

Kita jadi saling memanggil dengan panggilan lucu-lucu, panggilan sayang. Saya jadi semakin sering menulis tentang kamu. Menulisimu berlembar-lembar puisi padahal saya tahu kamu tak suka puisi. Kamu jadi tambah hobi berkaraoke lewat telepon genggammu dengan saya yang setia mendengarkan di ujung satunya. Kita jadi terlihat seperti sepasang kekasih yang benar-benar sedang jatuh hati.

Tapi kemudian kalimat ‘hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan blablabla’ itu kembali datang. Kali ini rasanya tidak menyenangkan seperti yang sebelumnya. Karena seperti alur cerita manapun, setelah klimaks kemudian akan disusul dengan antiklimaks sampai akhirnya selesai.

Kita tak lagi saling memanggil dengan panggilan sayang, mungkin pada akhirnya kita sadar kalau panggilan-panggilan itu terdengar konyol. Rasanya jadi aneh memanggilmu dengan segala panggilan itu. Tak ada lagi karaoke lewat telepon genggam di malam hari. Tak ada lagi puisi-puisi. Bahkan nomer teleponmu lebih sering absen ketimbang hadir di catatan log telepon genggamku.

Lambat laun segalanya mulai kembali seperti saat kita tak saling mengenal. Perlahan kamu menghilang. Mungkin kamu tetap ada di situ, tapi jadinya… biasa saja. Kamu ada atau tidak ada rasanya tak berbeda. Karena saya mulai terbiasa kembali sendiri. Atau mungkin, saya berusaha untuk terbiasa?

Saya lupa rasanya jatuh hati pada kamu. Mungkin memang itu yang kamu mau. Mungkin ini saatnya perpisahan dari pertemuan itu terjadi? Pertemuan yang akan menjumpai perpisahan. Saya tidak tahu. Saya hanya tahu kalau saya….

….rindu kamu..

yang dulu.

Thursday 19 January 2012

Kamu, Selalu Di Hati

Halo, kamu.


Well, hari ini aku memutuskan untuk menulis surat cinta untukmu. Yah mungkin bukan surat cinta sih, hanya surat biasa saja. Semacam sebuah surat yang ditulis oleh seorang kawan kepada kawannya yang sudah lama tak bersua. Kira-kira sudah berapa lama kita tak berjumpa? Setahun kah? Ah lebih sepertinya. Hampir dua tahun ku kira sejak saat terakhir kali kita bertemu.

Jadi, apa kabarmu sekarang? Ku dengar kamu semakin indah, semakin memperbaiki diri, semakin cantik. Ah ya, aku tetiba mengingatmu karena aku sedang mengerjakan tugas kuliahku sekarang ini, makanya aku jadi teringat padamu. Back to my statement before this, aku mendengar dari orang-orang bahwa sekarang kamu sudah banyak berubah. Eh yah aku tahu juga sih karena perubahanmu memang sangat drastis saat kita berjumpa terakhir kali itu. Sekarang kamu jadi jauh lebih cantik, terawat, dan mewah.

Dibandingkan dengan dahulu saat aku masih bersamamu, kamu jauh berbeda. Kamu yang dahulu seadanya, sederhana, bahkan agak kusam. Tapi aku, kamu selalu tahu, aku selalu mencintaimu bagaimanapun keadaanmu. Ya, aku bahkan amat bersedih saat mendengar beritamu yang terakhir kali. Saat dimana dirimu sudah sedemikian cantik, terawat, dan bahkan amat sangat layak kalau tidak mau ku bilang mewah (ya, standar mewah yang ku punya mungkin memang terlalu gampang yah, tapi kamu memang sekarang mewah). Saat kamu bahkan jadi sedemikian pantas, tapi malah mereka (yang entah dengan alasan apa, aku tak paham) malah –sepertinya- menyia-nyiakanmu.

Mereka memutuskan untuk hanya menerima sedikit sekali orang-orang yang beruntung bisa bersamamu, itupun hanya untuk waktu setahun. Oh, sekarang pun aku masih tak mengerti mengapa harus begitu. Dalam ketidakmengertian dan sedih itu, aku jadi tambah bersyukur sempat bersamamu selama tiga tahun kemarin. Ya, aku merasa amat beruntung bisa mengenalmu dan bersama denganmu. Meski aku harus melepaskan keinginanku untuk bisa bersama denganmu lagi tahun ini. Ya, aku memang melepaskan kesempatanku untuk bersama denganmu lagi. Mungkin sudah bukan jatah kita lagi untuk bersama?

Ah ya, bagaimana dirimu sekarang? Merasa sepikah? Ku harap tidak. Setidaknya masih ada mereka yang beruntung untuk bersama denganmu.

Hmmm, sudah cukup tentang dirimu sekarang. Aku malah jadi teringat saat-saat bersama denganmu dulu. Bagaimana aku pertama kali mengenalmu. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, bertahun lalu. Hari itu aku bersama dengan teman-temanku menjumpaimu, ingin mengenalmu secara langsung, bukan hanya dari kata orang-orang bahwa kamu lah yang terbaik, kamu lah yang menjadi idaman. Dan tebak, kesederhanaanmu saat itu tak mengurangi keinginanku untuk bersama denganmu.

Jadi setelah pertemuan pertama itu, aku mulai bermimpi untuk bisa bersama denganmu. Aku berusaha dan berdoa untuk bisa mewujudkan mimpiku itu. Dan tahukah kamu bagaimana perasaanku saat aku mengetahui bahwa aku bisa bersama denganmu waktu itu? Bahwa Tuhan mengabulkan doaku untuk bisa bersamamu. Aku bahagia sekali, amat sangat malah. Aku pulang dengan senyum sumringah, tak sabar ingin berbagi berita dengan kedua orangtuaku meski sebenarnya aku sudah mengabari lewat telpon. Tapi tetap saja rasanya aku ingin segera pulang dan memeluk mereka dengan bahagia, bahagia karena berhasil mendapatkan mimpiku.

Setelahnya, kita melewati banyak hal, suka duka, susah senang, canda tawa, juga tangis dan seribu rasa lainnya. Tiga tahun bersamamu bukan lah saat yang mudah, tapi juga bukan saat yang menyakitkan. Itu sungguh menyenangkan. Belajar bersamamu, tumbuh menjadi lebih dewasa bersamamu. Ah, ingatkah kamu saat aku begitu berdebar-debar menantikan pengumuman apakah aku masih layak untuk tetap bersamamu atau kah aku harus terpaksa pulang ke rumah dan berhenti menjalani petualangan kita?

Enam kali aku harus merasakan debar-debar yang amat menegangkan. Enam kali itu pula aku merasa lega saat aku ternyata masih layak terus bersama denganmu sampai akhir. Sampai kali keenam yang penghabisan. Kali keenam yang menandakan bahwa sudah sampai waktunya aku harus berpisah denganmu. Bahwa waktu yang diberikan padaku untuk belajar darimu sudah selesai. Bahwa aku harus mulai menerapkan apa yang pernah kamu berikan padaku. Bahwa aku harus mulai membuktikan pada orang-orang kalau kamu sudah memberiku hal-hal yang dapat dijadikan modal dan pegangan untuk berbakti pada negeri.

Oh, aku mencintaimu, masih seperti dulu. Dan aku akan selalu mencintaimu. Semoga kamu selalu bisa jadi yang terbaik.

Kepada kamu –kampusku yang sederhana dan bersahaja- kutuliskan surat ini. Ku harap, meski sekarang mungkin tak seramai dahulu, meski sekarang hanya sedikit saja orang beruntung yang bisa belajar denganmu, semoga kamu masih selalu memberikan yang terbaik untuk mereka hingga mereka pun bisa jadi yang terbaik.

Selamat sore, kamu. :)

Wednesday 18 January 2012

Mencintaimu, Sekali Lagi.

Halo, kamu.

Ah, begini, mungkin kamu akan bertanya-tanya mengapa tetiba aku menulisimu surat. Awalnya karena semalam aku tidak sengaja menemukan suatu ajang yang diberi judul 30harimenulissuratcinta yang sedang berlangsung di salah satu jejaring sosial. Yah sebenarnya aku biasa saja sih mengingat sekarang aku sudah hampir tak pernah lagi menulis (iya, aku rindu menulis, menulis dengan penuh semangat seperti dulu). Tapi kemudian seorang teman mengajakku untuk ikut meramaikan ajang ini. Yah, itung-itung mencoba menemukan kembali kegairahan yang dulu selalu kurasakan. Hoho.

Nah, oke, aku sudah memutuskan untuk ikut, tapi lalu kemudian, kepada siapa aku harus menulis surat cinta? Kemudian berbagai nama bermunculan, dari yang paling dekat denganku sampai kepada benda-benda bahkan aku sempat berpikir untuk menulis surat cinta untuk diriku sendiri. Tapi kok rasanya aku sedang tak ingin menulisi diriku sendiri, karena tanpa kutulisi pun aku sudah tahu apa yang aku rasakan. 

Kemudian kamu muncul tanpa ku minta (well, mengingat memang kamu akhir-akhir ini selalu datang sepanjang hari tanpa bisa dicegah). Dan eh, jujur, aku jadi tetiba teringat masa-masa mesra kita dahulu. Masa-masa aku begitu mengagumimu. Masa-masa aku begitu suka memperhatikanmu. Masa-masa kita sering berbincang seperti sepasang sahabat yang saling mengerti, saat aku selalu menceritakan segalanya padamu, dan meski kamu tak pernah memberiku solusi, kamu selalu mampu menyejukkanku dengan merdunya nyanyianmu. Ya, masa-masa itu.

Karena itu lah aku menulisimu surat ini. Semoga kamu tidak marah padaku karena sudah begitu lama tak lagi menemuimu, berbincang padamu, bahkan saat kamu selalu hadir tanpa diminta. Semoga kamu masih akan selalu bersedia menyanyikan lagu merdumu untukku, meski belakangan ini aku mengabaikan nyanyianmu. Oh, betapa ternyata aku rindu bermesraan denganmu seperti dulu. Apa kamu juga merindukanku?

Ya, aku begitu merindukanmu. Ingatkah kamu saat orang-orang menganggapku aneh karena tiap kali kamu datang, aku akan tergesa-gesa keluar untuk menjumpaimu, mendengarmu bernyanyi, lalu kemudian mulai berceloteh apa saja yang bisa ku celotehkan. Ah, orang-orang ini hanya tak mengerti apa yang ku rasakan saat bersamamu. Tapi bagaimana mungkin mereka tak merasakan keindahanmu? Padahal kamu begitu menakjubkan bahkan tanpa perlu membuktikannya pada siapa-siapa.

Belum lagi hadiah yang terkadang kamu berikan selepas kunjunganmu itu. Oh, hanya saja orang-orang memang lebih menyukai hadiahmu padahal sebelumnya bersungut-sungut memakimu yang tetiba datang dan mengganggu acara mereka. Yah, terkadang aku juga hampir memakimu manakala kamu datang tak tepat waktu, tapi kemudian aku mengingat bagaimana kamu mampu memberiku kenyamanan, jadi aku akan lebih tenang dan melupakan kemarahanku. Tuhan bahkan begitu baik karena selalu mengirimkanmu kepadaku. For a thousand times.

Dan kini aku malah melupakanmu, sibuk dengan segala kegiatanku dan tak menghiraukanmu. Tak lagi seperti dulu. Apakah kamu masih terus mengirimkan rinduku untuknya? Rindu yang selalu ku titipkan padamu tiap kali kita berjumpa. Rindu yang ku harap bisa kamu sampaikan padanya. Tapi malam ini, biarlah hanya ada aku dan kamu saja, hanya kita berdua. Biar rinduku kali ini hanya ku ronce untukmu saja. Meski roncean rindu ini pun masih tak cukup untuk membalas ribuan rintik cinta yang kamu berikan untukku. Tapi ku harap kamu mau menerimanya.

Jadi sekarang biarkan aku mengatakan ini padamu. Izinkan aku sekali lagi untuk kembali mencintaimu seperti dulu. Ya, aku jadi ingin sekali berdansa lagi denganmu malam ini. Tapi well, aku cukup sadar untuk tidak dikira gila oleh orang-orang yang mungkin tetiba melihatku mandi hujan malam-malam. Jadi, cukuplah surat ini yang ku tulis untukmu. Dan maukah kamu menyelimutiku dengan kesejukanmu dalam mimpi indah malam ini? Aku tahu, kamu tak perlu menjawab.

Kepada kamu -ribuan rintik cinta yang menjelma dalam tetes-tetes air dengan lagu paling merdu- surat ini ku tuliskan.

Nah. Sudah. Selamat malam, kamu.  :)