Sunday 20 April 2014

Marry you...

Ya. Tetiba terpikir untuk menulis ini. Bukan karena hal khusus sih atau mungkin bisa juga begitu. Tapi sebetulnya saya sedang kebelet pipis saat memutuskan untuk menulis ini, barangkali bisa membuat saya lupa dengan kebelet pipis saya tadi. Ohya saya sedang dalam perjalanan pulang dari liburan singkat akhir pekan ini. Sejak tadi hujan dan saya di dalam bus ac. Sempurnalah segala faktor pemicu kebelet pipis.

Sudahlah, cukup deh yah membahas kebelet pipisnya. Entah bagaimana saya tetiba teringat kata-kata banyak orang di sekitar saya. Ya, tentang menikah tentunya. Si Anu bilang 'Kenapa sih belom nikah juga?' Si Itu bilang 'Makanya move on dong, nikah sana. Udah umur berapa coba?' Si Ini bilang 'Cepetan nikah. Ntar keburu tua. Mau punya anak umur berapa coba? Perempuan tuh makin tua makin susah punya anak loh.' Si TaukDehSiapaLagi bilang 'Iya loh, nikah gih trus punya anak jadi nanti kamu pensiun anakmu udah gede, udah selesai kuliah dan bla bla bla'

Begitulah kurang lebih yang harus saya dengar setiap hari. Bosan? Bohong banget kalau saya bilang saya gak bosan. Kesal? Wajar kali yah kalau saya kesal. Risih? Yaiyalah, pusing kali yah lama-lama dengarnya.

Iya memang betul, saya tau pasti pada mikirnya 'ih mereka ngomong begitu kan karena peduli kali sama luuuu. Lu aja yang gak sadar-sadar juga!' Iya saya tau kok. Saya tau orang-orang di sekitar saya bilang begitu karena peduli terhadap saya, atau ekstrimnya karena sayang sama saya (saya yang ge-er atau emang betul begitu bukan? Peduli kan tanda sayang. Bukan begitu?) Nah saya tau dan paham sekali kalau maksud semua orang yang pernah menasehati saya atau sekedar bertanya itu tujuannya baik. Saya paham sekali. Dan terima kasih banget karena sudah peduli sedemikian rupa terhadap saya.

Tapi lagi-lagi, ini adalah hidup saya. Pertama saya mau tanya, memangnya siapa sih yang gak mau menikah? Bohong banget kalau saya bilang saya gak mau menikah. Bahkan mungkin sejak saya masih lima tahun, saat awal mula masa-masa saya dicekoki oleh segala macam cerita dongeng tentang seorang putri dan pangeran yang selalu dan melulu berakhir bahagia, mungkin sejak saat itu saya pun punya mimpi untuk bisa berakhir bahagia dengan dinikahi oleh pangeran tampan saya. Saya kira banyak anak perempuan yang juga seperti saya. Putri dengan gaun cantik bersama pangeran tampan berkuda putih.

Hanya saja itu impian anak umur lima sampai sepuluh atau lima belas tahun yah? Meski setelahnya kisah putri cantik dan pangeran tampan berubah menjadi versi masing-masing yang lebih masuk akal. Saya sendiri punya mimpi untuk bisa bertemu pangeran saya yang meski belum tentu tampan tapi saya berharap bisa bahagia dengannya. Dan itu masih saya jaga sampai sekarang, sampai detik ini.

Bagi saya, bagi pemahaman dan mimpi saya yang hanya terbatas pada diri saya, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diukur-ukur. Bahwa saya harus menikah pada saat umur saya segini atau segini. Bagi saya pernikahan haruslah terjadi ketika saya siap. Tapi itupun belum cukup, karena apalah artinya saya siap kalau tak ada seorangpun pangeran yang juga siap menikah dengan saya? Tak lantas saya bisa menikah sendirian bukan?

Misalpun ada seorang pria (sudah cukup menyebut-nyebut pangeran, saya hampir muntah ini) yang merasa dirinya siap untuk menikah, tak lantas dia siap untuk menikah dengan saya bukan? Atau sebaliknya.

Pernikahan manusia, tentunya berbeda jauh dari perkawinan misalnya kucing. Pernikahan manusia bukanlah sekedar kawin lalu bereproduksi dan punya anak sebanyak-banyaknya. Bukan seperti itu kan?

Pernikahan itu sendiri, menurut pemahaman saya yang awam ini, adalah salah satu tanggung jawab terbesar yang diambil manusia sepanjang hidupnya. Memiliki seorang anak atau lebih merupakan salah duanya. Keduanya adalah tanggung jawab yang amat besar.

Jadi pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan umur, dengan angka-angka. Memiliki anak apalagi.

Saya sungguh punya mimpi sendiri. Bahwa nanti saya akan menikah dengan seorang pria yang betul-betul mencintai saya. Yang betul-betul ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama saya. Dalam segala macam keadaan. Seorang pria yang mungkin akan mengeluh karena saya kurang mampu merapikan rumah tapi akan tetap memaafkan saya dan ikut membantu saya. Seorang pria yang mungkin agak kurang romantis pada saya tapi saya akan selalu bisa memakluminya asalkan dia selalu mau berusaha memperbaiki diri. Atau entah apa lagi. Seorang pria yang memang benar-benar siap menghabiskan sisa hidup dengan saya. Seorang pria yang tak hanya menjanjikan akan membahagiakan saya dunia akhirat, tapi juga mengusahakannya.

Saya akan menikah karena itu. Bukan karena saya harus segera punya anak sebelum umur tigapuluh atau karena orang-orang akan bilang saya perawan tua. Saya toh tak pernah merasa bahwa wanita hanyalah alat reproduksi yang hanya menambah jumlah manusia yang sudah banyak ini di dunia.

Bukan. Jangan salah paham dulu. Saya bukan mengatakan kalau orang yang menikah bertujuan punya anak itu salah. Enggak loh. Saya gak bilang gitu. Saya juga kepengin punya anak sendiri. Anak yang lahir dari rahim saya sendiri, dari benih pria yang saya cintai. Tapi tak lantas, semestinya, buat saya itu saya jadikan alasan saya menikah. Bukan seperti itu.

Karena itu, saya bukannya tidak ingin menikah. Apalagi punya anak. Saya sungguh ingin menikah dan punya anak.

Hanya saja, saat ini belum waktunya untuk saya merasakan keduanya. Jadi tolong, alih-alih bertanya soal yang itu-itu saja, alangkah saya akan lebih berterimakasih bila diganti dengan mendoakan saya agar saya dimudahkan, agar saya bisa seperti yang lain. Begitu mungkin lebih bisa menyejukkan hati.

Bukannya saya sedih selalu ditanya seperti itu. Saya hanya tak tahu lagi harus menanggapi apa. Setiap orang punya takdirnya masing-masing, yang mesti kita lakukan ya hanya menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Berusaha, berdoa, dan berserah. Hidup yang diberi Tuhan hari ini, nikmat Tuhan sehari ini lagi, semoga itu bisa mencukupkan rasa syukur kita padaNya tanpa melulu mempertanyakan yang bahkan belum terjadi.

Saya percaya bahwa rancanganNya, takdir yang sudah dituliskanNya untuk saya itu indah. Jauh lebih indah dari yang mampu saya impikan. Jadi kamu kamu kamu dan kamu, tenang saja, tak usah bertanya seperti di atas itu, tolong saja doakan saya untuk selalu bisa bersyukur dan berserah pada Tuhan. Terima kasih untuk itu.

Sementara itu, saya akan selalu menengadahkan tangan, memohon padaNya yang maha membolak-balik hati, agar selalu menguatkan hati pangeran saya hingga dia siap nanti. Tolong sampaikan padanya ya Rabb, saya masih menunggunya di sini.

Nah sampai di mana saya sekarang? Sepertinya saya sudah lupa kalau tadi kebelet pipis? Tapi gak sih, masih kebelet pipis. Untunglah tol sedang tak begitu ramai. Fiuhh...

Thursday 17 April 2014

Gapuraning Rahayu, Kp. Rambutan - Pangandaran

Aku bahagia. Bahkan hanya dengan melihatmu tertidur pulas di sampingku. Meskipun aku iri juga, bagaimana caranya kamu bisa tertidur dengan hawa panas seperti ini? Udara yang terperangkap dalam ruang sempit ini hanya berputar-putar di situ-situ saja. Membuatku ingin melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuh. Tapi sayang aku tak bisa melakukannya.

Kamu masih tertidur lelap di sampingku ketika aku menuliskan ini. Sesekali ku lirik lampu dengan sinar biru yang berkeredep. Katamu sinarnya cukup menerangi tapi juga cukup nyaman untuk tidur. Cocok sekali untuk menjadi lampu kamar tidur. Begitulah.

Aku tak sabar menunggu esok tiba, melakukan berbagai rencana yang sudah ku persiapkan. Melihatmu terpesona akan kejutan yang ku harap mampu membuatmu jatuh hati. Tak sabar untuk segera merasakan sensasi adrenalin yang meningkat cepat, deras sederas sungai di musim penghujan. Tak sabar untuk membagi segala yang telah ku rasakan, yang telah ku alami.

Tapi aku masih harus sabar, hari pun masih sore. Aku masih akan bersabar seperti yang selalu. Seperti yang selama ini. Seperti yang telah. Seperti pintamu, meski aku bahkan sudah melakukannya jauh sebelum itu. Aku akan selalu sabar. Seperti aku bersabar menunggu doaku terjawab satu-satu. Doa yang ku panjatkan dalam tiap sujudku, dalam tiap leretan ingatanku tentangmu, tentang kita. Setiap kali setiap hari.

Aku tahu, bahwa hidup tak selamanya. Bahwa gagasan tentang 'kita' pun mungkin saja akan retak di tengah jalan. Atau mungkinkah kita akan tetap bergandengan sampai ujung jalan itu? Tapi hidup tak pernah akan jadi selamanya. Karena kehidupan ini tak abadi. Walau begitu, itu tak mengapa.

Aku ingin belajar untuk memahami dan menerima dengan hati ikhlas bahwa bisa jadi nanti jalan kita akan bercabang. Ketika aku memilih ke kanan dan kamu memilih ke kiri. Atau sebaliknya. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi toh bukan berarti kita tak bisa menikmati hari ini kan? Bukan berarti kita jadi lupa untuk mensyukuri apa yang kita dapatkan sekarang kan? Hidup toh begitu indah.

Ya, hidup ini indah. Indah sejak dahulu, sejak sebelum kita bertemu untuk kali pertama. Pertemuan kita yang pertama itu, di sebuah kota kecil dengan udara yang cukup panas. Jujur saja setiap kali aku teringat tentang hari itu aku selalu tertawa, masih saja heran dengan diriku sendiri yang begitu gila-gilaan mencintaimu sekarang ini. Padahal saat itu kamu betul-betul gak oke, kamu bukan tipe pria yang akan membuat para wanita terpesona pada pandangan pertama. Juga pada pandangan kedua atau ketiga.

Tapi begitu aku lupa sejak kapan aku jatuh hati berkali-kali kepadamu. Sejak pandangan yang keberapa? Sejak pertemuan kita yang keberapa? But who's counting anyway?

Nyatanya, jatuh hati bukan statistik yang bisa diukur, bukan matematika yang bisa dikalkulasikan. Keberapa, sebanyak apa, sedalam apa, sebesar apa. Jatuh hati hanyalah jatuh hati. Terjadi begitu saja. Beberapa mungkin bisa mengingat bagaimana mereka jatuh hati pertama kali, beberapa mungkin lupa meski tak pernah bermaksud untuk itu. Aku? Entah lah apakah aku bisa mengingat pertama kali jatuh hati padamu? Atau tidak?

Mungkinkah itu ketika senja menjelang malam di kicir raksasa pinggir laut Jakarta? Ketika itu kita sedang berada di puncaknya, aku begitu jatuh hati dengan segala gemerlap lampu taman bermain itu, dengan latar belakang laut yang maha luas dan lepas. Mungkinkah saat itu aku sebetulnya jatuh hati padamu alih-alih pada gemerlap lampu?

Atau mungkinkah ketika malam itu, satu dari sekian malam yang kita habiskan bersama. Malam-malam kita menghabiskan waktu untuk saling menatap layar komputer jinjing kita. Malam itu entah apa yang jadi topik perbincangan kita sampai-sampai tiba pada saat kamu harus mengucapkan terima kasih kepadaku dengan gaya kokoh-kokoh lengkap dengan bungkukan kepala dan kepalan tangan. Aku masih ingat wajahmu saat melakukan hal itu. Tak sanggup menahan tawa saat kamu melakukannya. Rasanya lucu sekali melihatmu begitu.

Atau entahlah sejak kapan. Aku tak ingat persis kapan jatuh hati kepadamu pertama kali. Yang aku tahu hanyalah sejak saat itu, sejak kali pertama aku jatuh hati padamu, sejak itu aku berkali-kali jatuh hati padamu. Kalau kamu tanya mengapa, aku sendiri tak tahu mengapa. Padahal sebetulnya kamu masih gak se-oke itu juga bukan? Kamu yang sama sekali gak romantis, cuek, dan cenderung masa bodoh terhadapku.

Tapi seolah aku sungguh dibutakan. Entahlah. Aku hanya begitu larut jatuh hati padamu. Ataukah aku hanya takut memulai hidup dengan ketiadaan eksistensimu dalam keseharianku? Rasanya membayangkannya saja aku sudah menggidik.

Hanya saja aku tak boleh terlarut terlalu jauh seperti yang selalu kamu bilang bukan? Kamu seolah membentengi hatimu agar tak luber kemana-mana. Bendungan yang menahan perasaanmu itu, mungkinkah aku mampu menghancurkannya? Membuatnya mengalir dengan sewajarnya. Seperti sungai hatiku yang kubiarkan menderas setiap kali.

Kamu seolah takut untuk menjadi carut marut ketika segalanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Atau kamu hanya sedang memagari hati dan dirimu dari apa yang mungkin terjadi? Padahal bisa jadi kebahagiaan besar lewat di luar batas pagar besimu.

Ah sudah, aku mengantuk juga melihatmu masih saja terlelap. Aku akan mencoba tidur juga. Mungkin begitu. (09.02 PM)

Baru sebentar dan aku sudah kesal. Tak bisakah kamu bersikap sedikit lembut? Atau memang kamu tak pernah bisa? Menyebalkan. (10.12 PM)