Aku bahagia. Bahkan hanya dengan melihatmu tertidur pulas di sampingku. Meskipun aku iri juga, bagaimana caranya kamu bisa tertidur dengan hawa panas seperti ini? Udara yang terperangkap dalam ruang sempit ini hanya berputar-putar di situ-situ saja. Membuatku ingin melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuh. Tapi sayang aku tak bisa melakukannya.
Kamu masih tertidur lelap di sampingku ketika aku menuliskan ini. Sesekali ku lirik lampu dengan sinar biru yang berkeredep. Katamu sinarnya cukup menerangi tapi juga cukup nyaman untuk tidur. Cocok sekali untuk menjadi lampu kamar tidur. Begitulah.
Aku tak sabar menunggu esok tiba, melakukan berbagai rencana yang sudah ku persiapkan. Melihatmu terpesona akan kejutan yang ku harap mampu membuatmu jatuh hati. Tak sabar untuk segera merasakan sensasi adrenalin yang meningkat cepat, deras sederas sungai di musim penghujan. Tak sabar untuk membagi segala yang telah ku rasakan, yang telah ku alami.
Tapi aku masih harus sabar, hari pun masih sore. Aku masih akan bersabar seperti yang selalu. Seperti yang selama ini. Seperti yang telah. Seperti pintamu, meski aku bahkan sudah melakukannya jauh sebelum itu. Aku akan selalu sabar. Seperti aku bersabar menunggu doaku terjawab satu-satu. Doa yang ku panjatkan dalam tiap sujudku, dalam tiap leretan ingatanku tentangmu, tentang kita. Setiap kali setiap hari.
Aku tahu, bahwa hidup tak selamanya. Bahwa gagasan tentang 'kita' pun mungkin saja akan retak di tengah jalan. Atau mungkinkah kita akan tetap bergandengan sampai ujung jalan itu? Tapi hidup tak pernah akan jadi selamanya. Karena kehidupan ini tak abadi. Walau begitu, itu tak mengapa.
Aku ingin belajar untuk memahami dan menerima dengan hati ikhlas bahwa bisa jadi nanti jalan kita akan bercabang. Ketika aku memilih ke kanan dan kamu memilih ke kiri. Atau sebaliknya. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi toh bukan berarti kita tak bisa menikmati hari ini kan? Bukan berarti kita jadi lupa untuk mensyukuri apa yang kita dapatkan sekarang kan? Hidup toh begitu indah.
Ya, hidup ini indah. Indah sejak dahulu, sejak sebelum kita bertemu untuk kali pertama. Pertemuan kita yang pertama itu, di sebuah kota kecil dengan udara yang cukup panas. Jujur saja setiap kali aku teringat tentang hari itu aku selalu tertawa, masih saja heran dengan diriku sendiri yang begitu gila-gilaan mencintaimu sekarang ini. Padahal saat itu kamu betul-betul gak oke, kamu bukan tipe pria yang akan membuat para wanita terpesona pada pandangan pertama. Juga pada pandangan kedua atau ketiga.
Tapi begitu aku lupa sejak kapan aku jatuh hati berkali-kali kepadamu. Sejak pandangan yang keberapa? Sejak pertemuan kita yang keberapa? But who's counting anyway?
Nyatanya, jatuh hati bukan statistik yang bisa diukur, bukan matematika yang bisa dikalkulasikan. Keberapa, sebanyak apa, sedalam apa, sebesar apa. Jatuh hati hanyalah jatuh hati. Terjadi begitu saja. Beberapa mungkin bisa mengingat bagaimana mereka jatuh hati pertama kali, beberapa mungkin lupa meski tak pernah bermaksud untuk itu. Aku? Entah lah apakah aku bisa mengingat pertama kali jatuh hati padamu? Atau tidak?
Mungkinkah itu ketika senja menjelang malam di kicir raksasa pinggir laut Jakarta? Ketika itu kita sedang berada di puncaknya, aku begitu jatuh hati dengan segala gemerlap lampu taman bermain itu, dengan latar belakang laut yang maha luas dan lepas. Mungkinkah saat itu aku sebetulnya jatuh hati padamu alih-alih pada gemerlap lampu?
Atau mungkinkah ketika malam itu, satu dari sekian malam yang kita habiskan bersama. Malam-malam kita menghabiskan waktu untuk saling menatap layar komputer jinjing kita. Malam itu entah apa yang jadi topik perbincangan kita sampai-sampai tiba pada saat kamu harus mengucapkan terima kasih kepadaku dengan gaya kokoh-kokoh lengkap dengan bungkukan kepala dan kepalan tangan. Aku masih ingat wajahmu saat melakukan hal itu. Tak sanggup menahan tawa saat kamu melakukannya. Rasanya lucu sekali melihatmu begitu.
Atau entahlah sejak kapan. Aku tak ingat persis kapan jatuh hati kepadamu pertama kali. Yang aku tahu hanyalah sejak saat itu, sejak kali pertama aku jatuh hati padamu, sejak itu aku berkali-kali jatuh hati padamu. Kalau kamu tanya mengapa, aku sendiri tak tahu mengapa. Padahal sebetulnya kamu masih gak se-oke itu juga bukan? Kamu yang sama sekali gak romantis, cuek, dan cenderung masa bodoh terhadapku.
Tapi seolah aku sungguh dibutakan. Entahlah. Aku hanya begitu larut jatuh hati padamu. Ataukah aku hanya takut memulai hidup dengan ketiadaan eksistensimu dalam keseharianku? Rasanya membayangkannya saja aku sudah menggidik.
Hanya saja aku tak boleh terlarut terlalu jauh seperti yang selalu kamu bilang bukan? Kamu seolah membentengi hatimu agar tak luber kemana-mana. Bendungan yang menahan perasaanmu itu, mungkinkah aku mampu menghancurkannya? Membuatnya mengalir dengan sewajarnya. Seperti sungai hatiku yang kubiarkan menderas setiap kali.
Kamu seolah takut untuk menjadi carut marut ketika segalanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Atau kamu hanya sedang memagari hati dan dirimu dari apa yang mungkin terjadi? Padahal bisa jadi kebahagiaan besar lewat di luar batas pagar besimu.
Ah sudah, aku mengantuk juga melihatmu masih saja terlelap. Aku akan mencoba tidur juga. Mungkin begitu. (09.02 PM)
Baru sebentar dan aku sudah kesal. Tak bisakah kamu bersikap sedikit lembut? Atau memang kamu tak pernah bisa? Menyebalkan. (10.12 PM)
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^