Saturday 23 August 2014

Every single night....

Kadang aku ingin sekali percaya bahwa kamu hanya sedang sibuk saja seperti biasanya, seperti yang selalu. Tapi nyatanya aku tahu benar bahwa kamu bukan sibuk seperti biasanya, kamu hanya sudah tak lagi peduli.

Kadang aku ingin sekali percaya bahwa kamu hanya sedang membutuhkan sedikit waktu untuk berpikir sendiri, tanpa aku yang melulu merecokimu dengan seribu satu hal konyol yang melintas di pikiranku. Hanya saja kemudian aku sadar bahwa kamu bukan ingin berpikir sendirian, tetapi kamu hanya sudah tak lagi ingin bersamaku sama sekali.

Kadang aku ingin sekali percaya bahwa aku hanya sedang bermimpi buruk karena lupa membaca doa sebelum tidur. Tapi kemudian aku merasa sungguh terjaga sejak tadi, karena bahkan aku tak sanggup memejamkan mata.

Kadang aku ingin sekali percaya bahwa kamu tak pernah benar-benar pergi, bahwa kamu akan datang kembali. Lalu aku menyadari bahwa mungkin kamu memang benar-benar pergi, dan tak akan datang lagi.

Kadang aku ingin sekali percaya bahwa aku masih baik-baik saja.

Hanya saja, setiap kali, seperti ada sengatan aliran listrik yang tiba-tiba mengenai hatiku.

Aku tak pernah baik-baik saja.
Tak juga bisa percaya.

Friday 15 August 2014

Biru : This I Promise You

kita sedang bahagia
jangan buang waktu menerka-nerka akhirnya
tenang aku di sini, selama kau di sisi
aku berjanji mulai hari ini hingga tua nanti
tak kemana-mana
tak kemana-mana



Alunan lagu masih terus berputar sejak tadi, yah memang sudah standar prosedurnya. Walaupun hanya sekedar lagu yang diputar dan diperdengarkan melalui pengeras suara, sudah menjadi standar pelayanan di tempat makan siap saji. Masalah lagu-lagu apa yang diputar ya itu tergantung bagaimana selera si operator tempat makan masing-masing. Semacam untung-untungan. Untung lah kali ini selera si operator lumayan bagus. Meski memang kebanyakan lagu-lagu populer saja. Asalkan jangan lagu aliran dangdut saja pikir seorang laki-laki yang sudah sejam terakhir masih setia duduk di bangku khusus untuk sendirian (oh ya sungguh untuk sendirian, dengan bangku dan meja yang minimalis), masih membolak balik halaman bukunya sesekali sambil terus sibuk mengetik di layar empat belas inchinya. Layar empat belas inchi yang pada waktu lampau pernah dicemburui habis-habisan oleh seorang gadis karena si empunya melulu sibuk menatap layarnya.

Jemari yang sejak tadi lincah menari-nari di atas tuts keyboard si layar empat belas inchi kini menggantung demi mendengar lirik lagu yang baru saja ia dengar. Sedetik tadi hatinya seperti merasakan sesuatu. Semacam rasa yang mampir begitu saja dalam hitungan sepersekian detik saja. Hampir seperti ketika tidak sengaja kena setrum, sekejap namun rasanya masih terus tertinggal, membawanya melintasi bentang waktu yang berbaris acak, di masa lalu. Bertahun lalu. Menghadirkan kembali tawa lepas gadisnya yang begitu bahagia karena berhasil membuatnya ketakutan di rumah hantu.

Bahagia. Satu kata itu yang selalu menghiasi keseharian mereka berdua. Betapa mereka amat mudah bahagia, bahkan dengan alasan-alasan yang kadang kelewat remeh atau malah konyol. Betapa mereka amat mudah tertawa lepas, saling setuju dengan pendapat yang lainnya, saling mengamini dengan permintaan yang lainnya, tak pernah takut untuk jatuh atau terluka karena mencoba hal-hal yang mereka kira akan menyenangkan. Betapa hidup begitu indah dan bahagia adalah keseharian.

Laki-laki itu menghentikan kegiatannya, terlanjur terlarut dalam sungai arus masa lalu. Tumpukan kenangan kebahagiaan yang kelewat deras sudah terlanjur menyeretnya. Alih-alih berusaha untuk melawan arus, ia memilih untuk menikmati sejenak aliran sungai kenangan. Ingatannya cepat melompat pada kenangan satu chapter kisahnya yang bila diingat lagi sekarang cukup konyol.

Tepat empat tahun lalu, hari Minggu yang cerah sejak pagi sampai malam, setelah puas bermain seharian di taman bermain terbesar se-Jakarta, ia dan gadisnya harus pulang dengan menggunakan busway. Penumpang busway tidak begitu banyak, sehingga mereka bisa duduk berdampingan di dalamnya. Dengan menguatkan hati, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang telah dibendungnya sejak beberapa bulan terakhir.

“Err, lu mau jadi cewek gw gak? Kita pacaran aja yuk?” katanya dengan suara pelan, takut penumpang lain ikut mendengar.

“Hah? Maksudnya?” si gadis malah bertanya sangsi, setengah berteriak sambil menaikkan alisnya dan membelalakkan mata.

“Biasa aja dong. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya, kedengeran yang lain. Yaa maksud gw, kita jadian gitu... Gimana?”

“Ih ya ampunnnn.. Hahahaha.. Biruuu, lu lucu banget sih? Kita kan temenan?” si gadis malah tertawa yang membuat beberapa orang menoleh pada mereka.

“Ya emang kita temenan. Makanya gw ngajakin lu pacaran. So far, lu temen yang asik banget buat gw. Gw nyaman banget sama lu. Dan kita juga bersenang-senang kan?”

“Ya tapi kan....” si gadis tidak menyelesaikan kalimatnya, membiarkannya menggantung di udara dan menguap begitu saja.

“Tapi kita beda? Maksud lu itu?” Si gadis hanya mengangguk lemah.

“Ya gw tahu kita beda, gw tahu dan paham. Gw juga tau mestinya gak begini sih. Tapi, gw sayang sama lu...”

“Rei...” kali ini si gadis benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Tetapi setiap kali ia sudah memanggil laki-laki itu dengan panggilan kesayangannya, Rei, itu hanya berarti satu hal, hatinya bimbang.

“Lu mau kan jadi cewek gw?” Tanpa kata, si gadis hanya mengangguk lemah, tak tahu harus bagaimana. Ia hanya tahu bahwa ia juga menyayangi laki-laki yang duduk di sebelahnya. Hanya saja, di antara mereka ada jurang yang entah bagaimana sepertinya sulit untuk diseberangi.

“Gw tahu sekarang kita begini, kita beda. Tapi gw tulus sayang sama lu. Gw serius, meski gw gak tahu nanti gimana. Tapi sekarang, gw sayang sama lu. This i promise you.”

Setelahnya keduanya hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak menyangka akan semudah sekaligus sesulit itu. Mengapa mereka tidak bisa jatuh dengan tanpa beban? Mengapa mereka harus memikirkan jurang yang menganga itu? Dengan apa mereka akan menjembataninya? Yang mereka tahu hanyalah mereka saling menyayangi, saling membutuhkan satu sama lain. Bahwa mereka saling melihat diri masing-masing tercermin pada diri yang satu.

“Lalu, nanti bagaimana, Rei?” tanya si gadis lemah.

“Hmmm, kita lihat aja nanti.”

Dalam dua puluh tiga tahun umurnya, Biru Reitama belum pernah sekalipun berpikir mengenai komitmen jangka panjang dengan makhluk yang bernama wanita. Komitmen jangka panjang yang pernah ia buat terhadap makhluk bernama wanita hanyalah dengan ibu kos-kosan yang ia tempati selama kuliah. Sekadar hubungan sewa-menyewa kamar kos-kosan yang biasanya selalu diperbaharui setiap awal tahun ajaran perkuliahan, juga ketika ia masih dinas di pulau seberang. Selain itu? Sama sekali bukan gayanya.

Tentu saja, setelah malam itu keduanya begitu terlarut dalam gegap gempita yang mereka ciptakan sendiri. Hidup Biru yang tadinya tak jauh dari warna-warna monokrom hitam dan putih, keseharian yang biasa saja, tanpa gejolak, menyenangkan namun kelewat aman. Sejak malam itu, atau mungkin sejak ia mengenal gadisnya, hidupnya jadi lebih berwarna bahkan bisa dikatakan semarak, seperti kembang api di malam tahun baru. Bibirnya tersenyum simpul mengingatnya. Ya benar, ketika itu mereka sedang bahagia. Apalagi yang mereka pikirkan selain bersenang-senang dan bermain?

Biru menghela napas berat. Lagu sudah lama berganti, namun ia masih membiarkan benaknya terus diombang-ambing arus sungai kenangan. Sudah berapa lama sejak ia terakhir kali mendengar suara gadisnya. Sebulan lalu? Sepertinya lebih. Bagaimana itu bisa terjadi lagi, ia pun tak tahu. Atau lebih tepatnya ia enggan untuk mengakui bahwa lagi-lagi ia-lah yang bersalah atas hilang kontak yang entah keberapa kalinya kini. Ya, memang mereka begitu berbahagia bersama, tetapi bukan hanya sekali atau dua kali mereka saling tidak menghubungi satu sama lain. Keduanya kelewat keras kepala untuk mengalah meski akhirnya setiap kali berhubungan lagi mereka akan  kembali seperti sedia kala, seolah tidak ada yang terjadi sama sekali.

Tapi kali ini, Biru tak lagi tahu. Separuh hatinya menyesal sudah membiarkan hal ini berlarut-larut. Mungkin sekarang sudah terlambat baginya untuk mencoba memperbaiki semuanya. Namun separuh hatinya menuding bahwa ia bukan pemeran tunggal yang bersalah atas yang terjadi. Bahwa gadisnya itu juga berperan besar, bahkan mungkin lagi-lagi ini hanya manipulasinya saja. Membiarkannya menghilang lalu kemudian mencarinya kembali dan berdalih bahwa ini semua salahnya. Biru tak tahu ia harus mempercayai hatinya yang mana.

Layar empat belas inchi yang sedari tadi masih saja menatapnya balik tanpa lelah hampir kehabisan daya. Outline skripsi yang harus segera ia selesaikan masih belum berpindah halaman. Padahal niatnya datang ke tempat ini agar bisa konsentrasi mengerjakan outline-nya. Tapi ternyata malam ini hatinya begitu mudah dibelokkan hanya dengan satu lirik lagu.

Alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Biru melihat ke sekeliling. Hari sudah cukup larut malam, namun pengunjung masih saja terus berdatangan. Mungkin nanti di masa depan ia akan membuka tempat makan siap saji 24 jam saja, sepertinya menjanjikan. Saat ia sudah puas melihat berkeliling, dan kembali akan menekuri layar empat belas inchinya, matanya bertemu pandang dengan mata seseorang yang cukup ia kenal, teman sekelasnya sekarang.

“Wah wah wah, bener-bener deh lu high quality jomblo of the year deh. Malam Minggu ini, brooo. Dan lu malah ngerjain tugas di sini, sendirian?? Di meja ini pula? Lu boleh duduk di mana aja, asal jangan di sini deh. Serius gw. Bikin orang lain tahu kalo lu jomblo sekarat, tahu gak?” Kuping Biru yang sedari tadi nyaman dengan lagu-lagu yang diputar, tetiba saja jadi terasa panas mendengar ocehan panjang lebar temannya.

“Sengaja gw duduk di sini. Kalo kejadiannya begini nih, tiba-tiba ada lu atau entah siapa lagi anggota jomblo sekarat lainnya kebetulan ke sini juga, kan gw jadinya gak punya alasan buat nawarin lu duduk bareng gw. Begitu.” Jawab Biru mencoba berusaha santai.

“Hahahaha. Sial lu. Gw gak masuk itungan jomblo sekarat. Gak usah cari temen deh lu.”

“Nah lu juga, ngapain malam Minggu malah ke sini? Itu apa namanya kalo bukan jomblo sekarat?”

“Hahaha. Setannn. Outline lu udah sampe mana?”

“Mestinya sih udah sampe Jogja, gara-gara lu keretanya macet nih.”

“Yah ngaco nih anak. Serah dah. Duluan, bro.”

Alih-alih menjawab, Biru hanya mengibaskan tangannya, menyuruh temannya untuk segera hengkang dari hadapannya. Kenapa juga harus ketemu dia. Kenapa juga bukan cewek cantik nan menawan yang datang ke mejanya, untuk sekadar berkenalan atau menyapa saja. Tapi kalau dipikir-pikir siapa juga yang mau mendatangi meja mahasiswa beasiswa yang kucel dengan kantung mata hitam-hitam karena begadang semalaman begini? Lagi-lagi Biru hanya menghela napas. Kali ini ia bertekad untuk kembali ke niat semula ia datang ke tempat ini. Layar empat belas inchinya sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja. Biru menarik napas seraya memejamkan mata, merasakan udara masuk ke dalam paru-parunya. Ia harus segera menyelesaikan kuliahnya. Setidaknya, ada satu hal yang mampu ia selesaikan dengan baik. Bukan dengan melarikan diri.

Ya, entah bagaimana, hatinya tahu bahwa ia hanya sedang melarikan diri, untuk kesekian kali, dari gadisnya, dari cintanya, dari mimpinya. Dari janjinya. Janji yang terlanjur ia ucapkan. Yang ia tidak tahu, kapan ia akan siap untuk berhenti dari pelariannya dan menghadapi semuanya.

Tuhan,, ampuni hamba.. bantulah hamba...

Hatinya membatin. Ia masih percaya. Tuhan masih mendengarnya. Masih percaya, meski ia tak tahu, kemana akhirnya akan bermuara semua ini, itulah yang digariskan Tuhan untuknya. Untuk gadisnya. Untuk apa yang mereka pernah sebut cinta.

Thursday 14 August 2014

Puteri : A Heart That Won't Be Broken

“Oi, Non. Udah di mana lu? Lama amat yaa? Gw tunggu di toko buku aja yah..” Puteri yang sudah sedari tadi mengelilingi toko buku mulai merasa bosan menunggu sahabatnya yang biasanya hobi on time tapi entah angin apa yang membuatnya telat kali ini.
“Oke, oke.. ini udah di dalam mal kok. Tunggu situ aja. Maap yaaa.. hehe..”
“Ya udah cepet.” Lalu ‘klik’. Puteri kembali berkeliling, melihat satu persatu buku yang disusun dengan rapi sesuai dengan kategori. Sebetulnya sejak tadi tangannya sudah gatal ingin mengambil beberapa novel yang bersampul menarik. Tapi diurungkan niatnya mengingat bahwa baru minggu lalu ia sudah membeli hampir selusin novel. Puteri melanjutkan window shoppingnya ke rak yang memajang kartu-kartu ucapan yang manis-manis. Semanis gulali merah jambu. Ah, mengapa tetiba ia jadi teringat hal itu. Tanpa sadar Puteri menggelengkan kepala, seolah dengan begitu ingatan yang tiba-tiba datang tadi segera menghilang.
“Oi! Udah lama yak? Hehe. Maap ya, sayaaang…” Tanpa berbasa-basi sahabat yang sedari tadi ditunggu tiba-tiba saja mengagetkannya. Membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Bagaimana tidak kalau tadi Puteri sedang asik melamun soal gulali merah jambu dan tiba-tiba saja dikagetkan seperti itu.
“Ish udah deh. Geli gw dengernya.”
“Jiyeeee, yang dibacaaaa… Kayaknya ada yang kepengin cepet-cepet nih?” Puteri langsung saja menaruh kembali kartu ucapan selamat menempuh hidup baru berwarna baby pink dengan hiasan bunga mungil yang menggemaskan.
“Heh. Liat dong yang gw baca apaan. Ini gw lagi milih-milih buat kondangan minggu depan. Sih ada-ada aja deh lu.. Yuk ah gw udah laper.” Sambil memelototkan mata dan memasang wajah kesal Puteri langsung mengambil langkah panjang-panjang, ingin segera keluar dari toko buku yang sudah dikelilinginya hampir tujuh kali. Untunglah masih belum tujuh kali, dia kan sedang tidak latihan thawaf.
“Oi. Tunggu gw dong.. ck..”

Kedua sahabat yang sudah lama tidak bertemu itu segera saja mencair meski tadi sempat kesal. Segera saja mereka sudah asik dengan perbincangan soal segala macam, mulai dari gosip-gosip yang beredar di kantor masing-masing sampai dengan rencana perjalanan mereka yang berikutnya. Hingga jarak dari toko buku ke food court pun tak terasa.
“Enaknya makan apa nih? Lu mau makan apa, Put?”
“Makan orang. Lu mau jadi sukarelawan?”
“Ish.. Ngeri…”
Hari itu mal cukup ramai oleh pengunjung, maklum saja sedang malam Minggu. Food court yang cukup luas dengan pilihan makanan yang cukup beragam dipenuhi orang-orang yang juga bermacam-macam. Segera saja kedua sahabat tadi memilih makanannya masing-masing. Puteri menjatuhkan pilihannya pada paket nasi dan ayam goreng, sedangkan sahabatnya lebih memilih nasi gudeg dengan opor ayam. Setelah membayar makanan dan menerima struk serta nomor meja, keduanya menuju teras luar. Karena sepertinya lebih asik untuk duduk di luar ketimbang di dalam. Selain bisa menonton langsung pertunjukan band yang sedang berlangsung juga lebih cozy.
“Duh, non. Udah lama yah kita gak ke Hard Rock lagi,,, kangen gak sih lu? Jaman-jaman itu…”
“Err, iya sih.. Cuma emang ribet banget mau ke sana. Gw kan gak bisa nyetir, lu juga gak bisa. Repot deh taksi-taksian kayak biasanya itu.”
“Halah, ribet apa emang gak ada duit luuuu?”
“Hahahaha, you know me so well deh yaaaa.. Ekonomi lagi gak okeh. Lu gak baca berita ya? Inflasi naik, harga minyak dunia naik, jumlah jomblo semakin meningkat dan segalanya."
"Haelah. Kebanyakan deh lu ah."
"Omong-omong soal Hard Rock, inget gak lu pertama kali kita ke sana? Jaman masih kuliah dulu, jaman susah."
"Huahaha. Inget! Edan bener kita. Kok bisa sih? Awalnya gimana yah?"
"Awalnya lu ngajakin gw buat ke PRJ, lu kepengin nonton Glenn. Atau siapa ya, Put? Lupa gw."
"Ya Glenn kayaknya sih. Trus kita batalin karena udah kemaleman yah? Tapi udah tanggung di jalanan. Trus entah gimana kok kita malah masuk Hard Rock."
"Nah itu. Kok bisa malah ke situ yah? Padahal bawa duit juga enggak. Dandanan juga sama sekali gak oke. Ya lu bayangin aja kita mau nonton PRJ doang kan, eh kok tau-tau malah ke situ. Jadilah yang paling kucel. Hahaha." Keduanya tertawa geli mengingat kebodohan mereka yang tidak tertolong.
"Iyeh. Belom lagi menunya itu loh. Demi Tuhan deh, kita kan mahasiswa kere. Gak ada duit tapi sok iyeh masuk-masuk. Untung gak diusir."
"Ha ah euy. Itu es jeruk paling mahal pertama kali gw minum deh yah..."
 
"Hahaha. Sama dehhh.."
"Belum lagi kita udah berangkat ngangkot eh giliran pulang bingung. Trus malah lu ngajakin gw ketemuan sama temen-temen gamers lu itu, Put. Yang kita malah muter-muter Senayan lihat orang-orang kebut-kebutan."
"Ih iya edan. Ya kita kan bingung balik ke kosan gimana caranya ya? Jam 2 pagi mana ada bus deh. Naksi ya gak ada duitnya. Hahaha."
"Iyeh. Edan. Malah nunggu pagi bareng temen-temen lu itu di Senayan. Subuh baru pulang."
"Iyaaaa. Oh astaga, kelakuan..."
Keduanya masih tertawa-tawa mengingat kebodohan mereka. Kemudian percakapan di antara keduanya pun seperti biasanya, berganti-ganti topik dengan begitu cepat. Baru saja membicarakan tentang topik A langsung beralih ke topik B, anehnya keduanya sama-sama saling mengerti. Mungkin kalau ada orang lain yang berusaha untuk menguping pun tak bisa mengikuti alur percakapan kedua sahabat itu.
“Eh omong-omong, lu apa kabar sama cowok lu?” Puteri yang masih mengunyah makanannya dengan entengnya bertanya kepada sahabatnya. Yang ditanya malah tersedak karena tidak siap untuk ditanya soal itu. Bukannya tidak ingin menjawab atau apa, hanya saja ia sedang tidak ingin berbicara soal itu.
“Hah? Ya begitulah. Biasaaaa…”
“Maksud lu?”
“Eh, lu sekarang sama siapa?”
“Dih, ditanya malah balik tanya. Ya lu kan tau? Gw mah masih sama cowok gw lah..” Puteri yang kesal karena balik ditanya tanpa mendapat jawaban malah melengos. Kenapa juga malah bertanya balik soal dirinya.
“Maksud gw, selingkuhan lu sekarang siapa? Gak ada gitu? Bohong banget lah. Seorang Puteri Lakshita gitu loooh… hahahaha..”
“Eh mulut lu ya, nyetttt…”
“Huahahaha sewot diaaaa…”
Puteri cemberut, kali ini ia benar-benar kesal terhadap sahabatnya itu. Kenapa juga sih mesti membahas soal itu. Kebetulan band di depan pun sedang memainkan lagu yang benar-benar alay menurutnya. Lagu kok soal selingkuh itu gak selamanya indah. Meski kalau dipikir-pikir ya memang selingkuh itu gak selamanya indah sih, malah bikin pusing kepala.
“Kok jadi bengong lu? Mikirin selingkuhan yang mana lagi nih?”
“Eh mulut lu ya bener-bener deh… Gw tuh juga gak mau kok selingkuh begitu..”
“Nah terus? Kenapa lu malah selingkuh sana selingkuh sini?”
“Lu kan suka Harry Potter ya? Nah Voldemort kan ngebagi-bagi jiwanya jadi tujuh tuh, Horcrux yah namanya. Supaya kalo jiwanya yang satu mati, dia masih ada cadangan yang lainnya.”
“Trus hubungannya sama lu apa ya? Lu selingkuhannya Voldemort atau apa? Lu ngapain sih daritadi sibuk amat ketak-ketik hape? Chatingan sama Voldemort?”
“Dih.. Gw selingkuh juga milih-milih kaliiii..”
“Nah terus?”
“Lu jangan lemot amat gitu dong ah. Ya itu deh, semacam Horcrux itu, hanya aja bedanya gw ngebagi-bagi hati. Jadi kalo cowok yang ini nyakitin gw dan ninggalin gw, kan masih ada cowok yang lain. Jadi hati gw yang hancur gara-gara cowok tadi itu ya udah biarin aja. Toh dia cuma ngancurin sedikit bagian dari hati gw. Sisanya yang lain kan masih banyak.” Jelas Puteri panjang lebar. Meski sebetulnya dirinya sendiri pun tidak yakin dengan prinsipnya itu. Hanya saja, kali ini, untuk sekarang ia benar-benar berharap bahwa prinsipnya itu bisa diandalkan. Bisa menjamin bahwa meskipun ia akan merasa sakit hati, tapi itu akan sekedar saja, tidak seberapa.
“Oh… gitu.. paham deh gw. Jadi lu mencintai dengan membagi-bagi? Cinta lu buat si A itu misal seperempat hati? Cinta lu buat si B itu seperempat hati? Dan seterusnya, begitu?”
“Entahlah, nona.”
"Lu bahagia?"
Puteri menunduk, melihat pada piringnya yang masih menyisakan nasi dan ayam goreng sedikit. Walaupun ia punya prinsip aneh begitu, tapi hatinya tahu bahwa cinta bukanlah statistik yang bisa diukur-ukur. Bahwa ia tidak bisa mencintai laki-laki yang satu dengan seperempat hati, setengah hati, atau bahkan satu kilo hati. Nyatanya cinta tidak bisa diukur dan ditimbang dengan angka-angka atau hal lainnya yang masih kasat mata. Nyatanya cinta tak pernah terasa seperti itu. Karena setiap kali, setiap jatuh lagi, hatinya tetap saja hancur berkeping-keping, carut marut sekali lagi. Tak peduli berapa banyak laki-laki yang mengelilinginya, tetap saja ketika ada yang pergi, hatinya lagi-lagi membengkak biru. Perpisahan bukanlah salah satu hal favorit yang ingin dipilih oleh Puteri. Meski seringnya ia lah yang menyelenggarakannya. Satu perpisahan kepada perpisahan yang lain. Satu pertemuan kepada pertemuan yang lain.
Bukannya ia bahagia dengan yang selama ini ia lakukan. Puteri hanya sedang menjaga hatinya agar tidak hancur sebenar-benarnya hancur. Baginya laki-laki hampir sama saja. Bahwa laki-laki tidak baik jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan laki-laki baik yang semakin langka di luar sana. Bukannya ia sedang sinis, tetapi ia belajar langsung dari laki-laki yang seharusnya memberinya contoh teladan laki-laki paling baik sedunia. Yang ia dapat malah pelajaran mengenai sakit hati dan dikhianati. Dari satu-satunya laki-laki yang ia kira tidak akan mungkin tega menyakitinya.
“Eh, lu kok jadi bengong terus sih?” Puteri disadarkan dari lamunannya oleh suara cempereng sahabatnya yang sekarang sudah sempurna menghabiskan makan malam. Sedang ia sendiri masih belum menghabiskan separoh saja.
“Yeee, siapa juga yang bengong? Udah malem nih, lu gak dicariin sama nyokap?”
“Yaelah, emang gw anak tujuh belas tahun apa? Baru juga jam sepuluh gini..”
“Ish, ini udah setengah sebelas oi. Udah malem ini tauk… Pulang yuk ah?”
“Iya deh yuk.. Lu gak diabisin tuh makannya?”
“Gak usah lah. Udah males gw, gak napsu lagi.”
“Jiyee, diettttt…”
“Apa kata lu dehhh…”
Malam sudah pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, permainan band pun sudah berhenti sejak tadi, pengunjung pun hanya tinggal beberapa orang saja yang masih asik berkumpul dengan kelompoknya. Kedua sahabat pun bersama-sama menuju escalator untuk pulang.
“Lu naik apa ke sini?”
“Naik motor, kenapa, Put?”
“Oh, gak apa-apa. Err.. lu bisa turun sendiri kan yah?” Tiba-tiba saja Puteri menghentikan langkahnya di ujung tangga escalator yang sudah berhenti beroperasi.
“Lah? Lu gak jadi pulang?” Giliran sahabatnya ikut bingung dan berhenti di dekatnya.
“Pulang kok gw, tapi ntaran dulu. Eh, ada urusan bentar.” Jawab Puteri ragu-ragu. Sikapnya yang tadi santai berubah jadi gelisah.
“Eh urusan apaan lu malem-malem gini?”
“Udah ah, gak ngapa-ngapain kok gw. Sebentar aja. Ya? Lu pulang duluan. Oke?” Dengan setengah memaksa, Puteri mendorong punggung sahabatnya untuk pergi.
“Iye iye. Gw duluan ye. Ati-ati lu..”
Puteri menunggu sampai sahabatnya turun dan menghilang ke lorong menuju parkiran. Dengan langkah pasti, Puteri kembali lagi ke area food court yang sudah sepi pengunjung. Di salah satu meja, sudah menunggu seorang laki-laki yang sedari tadi sibuk berbalas pesan chat dengannya. Puteri sengaja memilih bangku di depan si laki-laki alih-alih duduk di sampingnya. Ya, memang ia yang meminta laki-laki itu untuk datang menemuinya di situ sekarang. Tapi entah mengapa ia masih belum siap untuk lebih dekat lagi dengan laki-laki itu. Atau ia hanya sekedar ingin memandang wajah laki-laki itu secara jelas. Entah yang mana. Hatinya belakangan ini memang melulu bimbang.
“Temenmu udah pulang?” tanya laki-laki itu berbasa-basi.
“Udah, barusan kan kamu juga lihat sendiri aku lewat sini sama dia.” Jawab Puteri seadanya.
“Ya gak usah sewot gitu dong. Aku kan cuma tanya.”
“Pertanyaanmu gak mutu.”
“Ya maaf.. trus, kita mau ke mana sekarang?” tanya si laki-laki dengan polosnya, karena sejujurnya ia memang tidak tahu mengapa ia harus jauh-jauh pergi dari kamar kosnya yang nyaman lalu naik bus selama dua jam untuk menemui wanita yang sekarang ada di depannya. Terkadang ia pun bingung mengapa ia begitu mudah menuruti semua permintaan wanita yang ada di depannya itu. Mungkin itu yang dikatakan cinta. Mungkinkah ia benar-benar sudah jatuh cinta? Dengan wanita ini? Si gulali merah jambu.
Sedang Puteri malah melamun. Tidak tahu juga harus kemana setelah ini. Entah mengapa juga ia meminta laki-laki itu untuk datang malam ini. Hatinya memang keterlaluan. Puteri menghela napas panjang. Lelah. Ingin segera tidur saja. Tapi lalu bagaimana dengan laki-laki yang ada di hadapannya ini? Oh….
***

Wednesday 13 August 2014

Aji : I'm Following My Path

Dengan satu gerakan cepat Aji langsung naik ke dalam bus Damri yang baru saja akan berangkat meninggalkan terminal Kayuringin Bekasi menuju bandara Soekarno Hatta. Melirik sekilas pada jam tangan digitalnya yang sekarang baru menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit.  Hari masih siang, tetapi kepadatan lalu lintas sudah seperti saat jam sibuk saja. Aji menghela napas, merasa agak penat setelah marathon meeting selama dua hari kemarin. Untunglah hari ini ia sudah boleh berlibur lebaran dan sekarang sudah aman ada di dalam bus. Sekilas Aji memeriksa tiket yang baru saja ia cetak sebelum berangkat dengan tergesa-gesa tadi. Saat itulah Aji merasakan ponselnya bergetar. Nama wanita yang belakangan ini kembali lagi hadir dalam kehidupannya yang melulu berisi dengan pekerjaan itu berpendar-pendar di layar ponselnya.
“Ya? Ada apa?” Nada suaranya tergesa-gesa dan langsung pada sasaran, seperti ingin segera mengakhiri pembicaraan padahal sebetulnya hanya karena memang Aji seperti itu. Bawaan lahir katanya.
“Kamu di mana? Udah berangkat?” Wanita itu balas bertanya, seolah tak mendengar pertanyaan Aji.
“Udah di Damri nih. Udah berangkat. Kenapa?”
“Oh, gak apa-apa. Flight jam berapa?”
“Masih jam tiga nanti. Tapi gak apalah, takut macet di jalan atau apa.”
“Hmmm.. begitu. Oke deh. Have a save flight then.”
“Thanks.” Setelahnya hanya tersisa nada terputus dari saluran ponselnya. Sejenak Aji masih memperhatikan ponselnya. Wanita yang aneh. Hanya itu yang mampu disimpulkan dari benaknya yang masih saja penuh dengan isi meeting dua hari kemarin.
Ruko-ruko dan mal-mal kini sudah digantikan oleh pepohonan di jalan bebas hambatan. Bus Damri yang ditumpangi Aji melaju cepat. Seolah sedang berlomba dengan sang waktu. Sementara matahari masih bersinar dengan amat sangat cemerlang. Aji memperbaiki posisi duduknya, berusaha membuat dirinya nyaman. Tapi ia tak memerlukan waktu lama untuk bisa tertidur. Tak sampai semenit, ia pun sudah terlelap.
***
“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Garuda Airlines GA – 012 dengan tujuan Semarang. Penerbangan ke Semarang akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih…”
Aji mendengus mendengar pengumuman yang sebetulnya tidak perlu itu. Sejauh yang mampu ia ingat dalam perjalanannya menggunakan pesawat udara, tak pernah sekalipun ia melihat ada penumpang yang memang serius mendengarkan pengumuman beserta segala peragaan mengenai bagaimana menyelamatkan diri dalam keadaan darurat. Ah atau jangan-jangan malah hanya ia saja yang tidak pernah serius mendengarkan dan memperhatikan? Peduli amat pikirnya. Landasan pesawat segera saja menjauh, digantikan dengan awan-awan selembut gulali merah jambu. Yah bukan berarti awan yang sekarang ia lihat berwarna merah jambu. Hanya saja setiap kali ia terbang dan melihat awan, entah bagaimana ia langsung mengingat si gulali merah jambu.
Sayangnya, si gulali merah jambu melulu hanyalah tentang satu orang itu. Mengapa juga ia jadi mengingatnya. Lagi-lagi Aji mendengus, mencoba memejamkan mata. Lumayan kalau bisa tertidur barang setengah jam saja, mungkin bisa menambah energinya sebelum akhirnya sampai di kota tempat kakak beserta suami dan anak-anaknya menunggunya datang. Menambaha energinya untuk bisa menghadapi pertanyaan-pertanyaan klise dari kakaknya itu. Oh memikirkannya saja sudah membuat Aji semakin penat. Terkadang Aji berharap untuk bisa menukar meeting seharian bersama para owner beserta tim manajemen konstruksinya yang cerewet-cerewet ketimbang harus menghadapi cecaran pertanyaan kakaknya selama satu jam. Tapi sayang, tidak semua permintaannya bisa terkabul. Terlebih permintaan konyol begitu.
Alih-alih tertidur, Aji malah mengingat percakapan singkatnya kemarin dengan Maharani. Tersenyum kecut ketika Maharani memprotesnya soal ia yang harus pergi ke Semarang dahulu lalu alih-alih langsung ke Palembang. Padahal seandainya Maharani tahu, Aji pun lebih memilih untuk terbang langsung ke Palembang. Apa daya, ia tetap harus ke Semarang terlebih dahulu.
“Kamu sih aneh banget. Kenapa juga gak langsung aja ke Palembang deh? Kenapa harus ke Semarang dulu yah?” Maharani masih saja tidak bisa menerima jawaban Aji yang menurutnya sangat aneh itu.
“Loh kan udah aku kasih tahu alasannya kan? Aku ke Semarang itu karena mbakku yang minta. Dia kan mau ke Palembang bawa mobil, sekeluarga pula. Mbak minta aku buat nyetirin.” Aji berusaha menjelaskan alasannya, yang menurutnya juga sangat konyol.
“Yah kan ada masmu? Mendingan yah daripada kamu yang ke sana, kamu tunggu di sini aja. Biar masmu yang nyetir dari Semarang sampe sini. Aneh deh…” Maharani masih teguh pada pendapatnya, sementara Aji pun tak tahu harus menjawab apa lagi.
“Yah gimana lagi. Mbakku maunya sama aku.”
“Yah terserahlah. Urusanmu juga. Kenapa juga aku yang sewot kan?” Dan begitu saja percakapan itu berakhir. Apa pasal pula Maharani harus repot-repot memikirkan urusannya. Meskipun sampai sekarang Aji juga tidak memahami jalan pikiran kakaknya itu. Tapi yah tetap saja, ia sudah menyanggupi untuk datang ke sana. Nasi sudah menjadi bubur, lebih baik ditambah ayam dan kerupuk, lumayan untuk sarapan bukan? Loh kenapa jadi terpikir soal makanan? Tetiba Aji teringat bahwa ia tidak sahur tadi pagi. Kali ini Aji hanya tersenyum samar, mencoba membayangkan reaksi Maharani bila tahu bahwa ia lagi-lagi tidak sahur padahal sudah dibangunkan oleh teman sekamarnya tadi tapi alih-alih bangun sahur, Aji memilih untuk memeluk gulingnya kembali. Yah Maharani toh tidak perlu tahu.
Tak terasa penerbangannya sudah hampir sampai. Padahal Aji sama sekali belum tidur. Sekarang kepalanya malah semakin penat mendengar pengumuman yang membosankan itu lagi. Sesaat kemudian pesawatnya sudah menyentuh landasan bandara Achmad Yani. Jam digital di tangannya menunjukkan pukul empat kurang. Merasa bersyukur bahwa ia tak perlu harus menunggu conveyer belt untuk mengambil bagasi. Karena meski ia harus berpegian selama dua minggu, ia tak pernah memerlukan tas besar. Aji selalu berpikir bahwa apa yang dikenakannya tidaklah begitu penting. Hidup toh bukan peragaan busana. Jadi kenapa harus repot-repot memusingkan soal hari ini pakai baju apa, acara ini pakai baju yang mana. Yang tentu saja selalu diprotes dengan keras oleh Maharani. Lagipula persoalan baju yang akan dipakai bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan jawaban yang harus ia siapkan untuk pertanyaan-pertanyaan kakaknya yang sepertinya akan semakin mendesak kali ini.
Udara panas yang masih tertinggal menjelang sore langsung menyergapnya begitu Aji sampai di lobby kedatangan. Para penumpang yang baru saja datang berdesakan ingin segera sampai di luar. Beberapa tersenyum sumringah mendapati penjemputnya. Beberapa tertawa dalam rombongan yang sepertinya memang keluarga. Beberapa pasangan bergandengan tangan, mungkin akan berlebaran di rumah salah satu orangtua dari pasangan-pasangan itu. Dan tanpa sadar hanya Aji yang sendirian saja. Musim libur lebaran begini, orang-orang memang lebih ramai berpergian bersama keluarga atau setidaknya bersama suami atau istrinya. Tapi seperti biasa, Aji tak peduli, sebodoh amat dengan orang-orang itu. Yang dipikirkannya adalah secepatnya mendapat taksi dan meluncur ke rumah kakaknya yang sejak tadi tak hentinya mengirimkan pesan singkat menanyakan keberadaannya. Demi Tuhan, Aji bukan anak kecil lagi, umurnya bahkan mendekati tiga puluh, tetapi kakaknya begitu khawatir Aji akan nyasar atau apa.
Sudah sampai? Met liburan yah..
Satu pesan singkat lagi masuk, kali ini dari Maharani. Tanpa membalas, Aji langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali melihat ke jalanan. Toko-toko, rumah-rumah, silih berganti menghiasi jalan. Tak lama kemudian Tugu Muda terlihat, lalu lintas cukup padat di sekitarnya. Beberapa pengunjung terlihat sedang sibuk mengambil gambar. Di seberangnya terlihat Lawang Sewu yang berdiri kokoh. Aji sedikit mengernyit melihat gedung itu, teringat terakhir kali ke sana bersama si gulali merah jambu. Ah, mengapa harus gulali merah jambu lagi? Sudahlah, toh ia ke sini hanya untuk menjemput kakaknya, bukan untuk bernostalgia menggalau ria dengan kenangan yang kelewat usang untuk dibuka-buka kembali lembarannya.
***
“Assalamualaikum…” Salam singkat yang keluar dari mulut Aji sebelum ia langsung membuka sandalnya dan masuk ke dalam rumah. Rumah sepertinya sepi sekali. Aji sedikit kecewa karena ia mengira ia akan disambut oleh kakak dan keponakan-keponakannya, Bagus dan Ayu. Tapi ternyata tidak. Meskipun Aji kemudian menemukan kakaknya sedang di dapur, entah memasak apa.
“Loh.. kamu sudah sampai, Nang? Kok mbak gak dengar kamu kasih salam?” Mbak Sari langsung meletakkan ulekan yang sedari tadi ia pegang untuk membuat sambal.
“Hmmm. Mbak aja yang terlalu fokus masak. Bikin sambel aja sampe segitunya sih…” Aji menghempaskan tubuhnya yang lelah di salah satu kursi makan. Memperhatikan kakaknya yang melanjutkan membuat sambal.
“Itu sambel buat aku? Asikkk.. yang pedes yak?” Setelah beberapa hari nada yang keluar dari mulut Aji melulu nada datar, kali ini nada yang ia gunakan cukup antusias dan riang. Yah memangnya apa yang bisa membuatnya begitu senang kecuali makanan pedas? Aji cukup pantas untuk diberikan predikat pecinta pedas karena hobinya makan makanan pedas. Ia bahkan bisa menghabiskan satu cobek sambal sendirian saja.
“Ya buat semuanya lah. Mosok buat kamu aja? Hahaha. Becanda,, ini mbak bikin spesial buat kamu kok. Kamu masih puasa kan?” tanya Mbak Sari sangsi. Yang ditanya malah sewot, memonyongkan mulutnya seolah sedang merajuk seperti anak kecil.
“Emangnyaaa, aku itu si Bagus yang puasanya cuma setengah hari gitu yah? Omong-omong Bagus sama Ayu kemana, mbak? Kok gak kelihatan?”
“Oh, mereka lagi pergi keluar sebentar sama masmu. Udah sana, kamu mandi dulu. Bersih-bersih. Sebentar lagi kan Maghrib.”
Tanpa membantah sekatapun, Aji langsung menyambar tas punggungnya, menuju kamar yang memang selalu ia pakai tiap kali berkunjung ke rumah kakaknya. Daripada membantah dan malah jadi mempercepat ceramah kakaknya yang masih sebisa mungkin dihindarinya, lebih baik ia segera membereskan barangnya dan mandi. Pilihan yang jauh lebih bijaksana. Dari dapur masih terdengar sayup-sayup peralatan masak yang saling bersentuhan. Ah betapa Aji menyayangi kakaknya itu. Bagaimana tidak, kakaknya adalah salah satu tumpuan hidupnya sejak lama. Tapi Aji sedang tidak ingin mengingat-ingat kenangan lama. Ia hanya ingin mandi, beristirahat, dan nanti bertemu dengan keponakan-keponakannya yang mungkin saja sekarang tingginya sudah bertambah banyak. Omong-omong kapan terakhir kali Aji menjenguk mereka? Aji menggeleng-gelengkan kepalanya, malas untuk menggali-gali ingatan. Handuk sudah di tangan, dengan cepat Aji melangkah masuk ke kamar mandi. Yang ia butuh adalah mandi.
***

Tuesday 12 August 2014

Maharani : A Guilty Feeling That Last

Maharani masih tetap tak bergeming. Seolah sisa-sisa rintik hujan yang masih terus turun sama sekali tak membuatnya menggigil kedinginan. Tangannya masih memegang payung cantik, suvenir dari toko kosmetik favoritnya, yang sedari tadi berusaha untuk dibuka tapi tak berhasil sama sekali. Dikejauhan, punggung Aji semakin menghilang ditelan gelap malam. Semakin jauh dari jarak pandang mata Maharani yang terus saja menatap tak berkedip. Seolah hatinya masih tak percaya bahwa laki-laki yang dua menit lalu masih beradu argumen dengannya kini benar-benar sudah melangkah pergi. Meninggalkannya yang masih saja terpaku di depan gang rumah, di bawah rintik hujan, dengan payung rusak yang tak berhasil dibuka. Setetes airmata yang sedari tadi  dibendung akhirnya ikut luruh bersama dengan rintik hujan yang membasahi pipi Maharani.
"Udahlah. Kamu pulang sana. Aku bisa sendiri." Aji menghentikan langkahnya, melihat kepada Maharani yang sedang berusaha membuka si payung cantik.
"Enggak. Aku temenin kamu sampai ke depan. Minimal kamu bawa payung ini, please? Ini hujan, Gee."
"Maharani. Ini cuma gerimis aja. Udah deh gak usah bikin ribut di jalan yah. Udah malem, kamu pulang."
"Tapi, Gee.. Atau kamu nunggu reda di rumahku dahulu gimana? Kamu belum makan kan?" Maharani memberanikan diri untuk menatap Aji yang semakin kehabisan kesabaran.
"Maharani. Aku ditunggu Pak Hendra dan Pak Sigit untuk ngelanjutin kerjaan yah. Kamu mau apa lagi sih? Aku tuh masih harus kerja lagi setelah ini."
Maharani melihat kepada udara kosong yang ada di sekitarnya. Mencoba mencari untaian kata yang mungkin bisa ia gunakan untuk melunakkan hati laki-laki yang ada di depannya itu. Namun alih-alih mendapat satu kalimat yang tepat, Maharani lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan pernyataan lemah yang segera saja menguap lagi.
"Setidaknya biarin aku minjemin payung ini buat kamu." Maharani mengulurkan tangannya yang sedari tadi menggenggam erat si payung cantik.
"Aku pulang. Payungnya kamu aja yang pakai. Sana pulang." Tanpa menoleh lagi, Aji terus melangkahkan kaki. Menyisakan udara yang membuat Maharani sesak napas. Sesaat lalu kakinya hampir membawanya mengejar Aji. Namun hatinya tidak punya keberanian untuk ditolak dengan bentakan lagi. Hingga ia hanya membisu, memandangi punggung laki-laki tinggi kurus yang semakin menjauh. Badannya gemetar menahan dingin yang memerangkap.
***
Seperti perginya yang tiba-tiba, seperti itu pula kesadaran itu kembali datang. Dengan langkah gontai Maharani berjalan pulang. Masih memegang si payung cantik yang tetap tidak bisa terbuka. Sepuluh menit yang lalu kepalanya penuh dengan deretan kalimat yang sudah ia susun dengan hati-hati. Tapi seolah Aji memiliki kemampuan untuk melindas habis tumpukan kata-kata. Dalam sekali sentakan, runtuhlah semua.
Alih-alih masuk ke dalam rumah dan menemui mama yang sudah menunggu sejak tadi, Maharani malah kembali masuk ke dalam mobil mungilnya. Bedanya kali ini tidak ada Aji yang memegang setir di sebelahnya. Dengan isak yang hampir tak terdengar, bendungan bening di matanya luruh sudah. Semakin lama semakin deras. CD berisi ratusan lagu yang selama tiga hari belakangan ini menjadi teman Maharani dan Aji dalam perjalanan masih saja memutar lagu-lagu itu dengan volume yang mampu menyembunyikan isak tangis Maharani.
Terhadap Aji, Maharani tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Apa yang seharusnya ia ucapkan. Seolah apapun yang ia lakukan, kalimat apapun yang ia pilih untuk ucapkan, semuanya jadi terlihat dan terdengar salah bagi Aji. Seolah Maharani berbicara dengan bahasa planet antah berantah yang tidak dimengerti Aji. Begitupun sebaliknya.
Lima belas menit sudah berlalu ketika Maharani akhirnya memutuskan untuk berhenti menangis. Bahwa hal itu hanyalah suatu kesia-siaan. Aji toh tidak tahu kalau dirinya kini masih tetap tak bergeming di dalam mobilnya, kehabisan ide mengenai apa yang seharusnya tadi ia lakukan.
Maharani menghapus sisa-sisa airmata yang membuat eyeliner-nya belepotan. Mama tidak perlu tahu kalau dirinya baru saja menangis lagi. Sekali lagi Maharani mengedarkan pandangannya ke sekeliling mobil. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Sisa-sisa perjalanan kemarin memang sudah tidak terlihat, sepertinya Aji sudah membereskan dan membuangnya. Hanya tinggal tas berpergian Maharani yang masih duduk dengan manisnya di bagasi, juga oleh-oleh bandeng presto pesanan mama.
***
Mama sedang menonton televisi sendirian di ruang keluarga ketika Maharani masuk, membawa serta seluruh barangnya. Hatinya masih diliputi perasaan bersalah yang aneh. Karena ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ataukah memang ia yang berlebihan dengan perasaannya. Seperti menjaring angin, sia-sia saja Maharani mencoba berpikir sementara kepalanya sudah penuh terisi dengan segala hal yang terjadi tiga hari kemarin.
“Kamu pulang sendiri, Ran?” Tanya mama seraya mengalihkan perhatiannya dari sinetron yang sudah tayang ratusan episode itu meski isinya masih melulu tentang yang itu-itu juga.
“Iya.” Maharani hanya menjawab singkat. Lelah yang sejak kemarin tidak dirasakannya mulai muncul di seluruh jengkal badannya, meminta perhatian.
“Loh? Kirain sama Aji? Kamu gak dianter Aji? Mobilnya siapa yang bawa dong?”
“Aku. Mama gak percaya yah aku bisa bawa?” Maharani langsung meninggalkan mamanya yang kebingungan. Mengambil handuk dan baju ganti. Maharani hanya ingin segera membersihkan badannya, mengguyurnya dari kepala hingga kaki. Sejak kecil Maharani punya semacam kepercayaan bahwa seluruh masalah bisa ikut hanyut terbawa air bila ia mandi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Itu memang berhasil ketika kecil, ketika dirinya merasa lupa dengan masalahnya setelah selesai mandi. Sayangnya semakin beranjak dewasa, ternyata masalah-masalah yang ingin ia hanyutkan lebih pintar untuk menyelinap lagi lewat pipa-pipa pembuangan dan teguh menempel di tubuhnya. Bagaimana tidak, bila semasa kecil masalahnya hanyalah ditegur mama karena terlalu asik bermain sampai lupa waktu. Atau hanya sekedar ditegur karena membuat adiknya menangis. Yang begitu saja sih memang bakalan ikut hanyut dibawa air. Sedangkan masalah-masalahnya yang sekarang, mungkin bahkan jika Maharani mandi seharian sekalipun, sampai menghabiskan air satu atau dua tangki toren, tetap tidak akan menghanyutkannya. Yah tapi tetap saja, Maharani toh memang harus mandi.
“Rani. Yang bener dong kalau ditanya mama. Kamu beneran pulang sendiri? Memangnya Aji gak nganter? Trus ini kamu dari kantor atau emang baru pulang dari Jogja? Tapi kamu pake baju kantor sih?” Mama tidak menyia-nyiakan waktu, terus mencecar Maharani dengan seribu pertanyaan.
“Duh mama… Rani udah nyampe di rumah Bogor dari jam lima subuh tadi, dan Rani masuk kantor kayak biasa. Mobil dibawa sama Aji, Aji gak bisa anter mobil ke rumah karena harus langsung kerja juga. Makanya baru bisa sekarang anternya sekalian tadi jemput Rani pulang kerja. Aji gak mampir karena masih banyak kerjaan di kantor, jadi harus buru-buru balik ke kantor lagi. Begitu mama sayange… Rani laper, ma. Ada makanan apa?”
“Nah gitu dong kalau cerita. Jelas. Jadi mama gak bingung. Kamu mau mama gorengin pempeknya?” Tanya mama sembari berjalan ke dapur, melewati Maharani yang masih sibuk mencari makanan di dalam lemari es.
“Pempek dari Aji kemarin itu? Emangnya masih ada?”
“Masih. Kan mama tinggalin buat kamu.”
“Aduh, mama. Mestinya abisin aja kali… tapi makasih deh udah ditinggalin. Hehe.” Maharani tertawa tengil di depan mama. Berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya yang tentu saja masih belum ikut hanyut bersama air meski ia sudah mandi sampai kedinginan sekujur tubuh. Salahnya sendiri, mandi keramas pukul 9 malam.
“Acara resepsinya gimana, Ran? Pasti seru? Gimana Brian? Tentunya dia bahagia banget yah?” Lagi-lagi mama mencecar Maharani dengan pertanyaan-pertanyaan. Meski kali ini Maharani dengan senang hati akan menjawab semuanya. Sambil makan pempek tentunya.
“Resepsinya lucu deh, mam. Gak kayak resepsi di sini deh. Jadi yah kita duduk di bangku, trus ada pelayan yang ngebawain semua makanannya. Dari mulai kue-kue, appetizer, main course, sampe dessertnya juga. Asik juga sih, berasa dilayanin kan. Cuma aja terlalu cepet deh nganterin makanannya. Aku aja belom kelar makan eh udah dikasih makanan lagi. Duh… Brian tentu aja bahagia banget. Dua jam lebih terus-terusan senyum sumringah, mesra banget juga sama istrinya. Aku juga ikutan bahagia banget deh ngeliatnya, mam.”
“Oh iya pastinya… Ya resepsi di sana emang beda kan, Ran. Kamu masak lupa? Kan waktu nikahan Mbak Santi juga seperti itu resepsinya. Trus Brian gak tanya tuh soal Aji siapa? Gak komentar apa-apa?” tanya mama ceplas ceplos, tanpa peduli kalau Maharani mungkin saja sedang tidak ingin membahas segala hal itu.
“Mama…..”
“Apa, Ran? Pertanyaan mama salah ya?” Alis mama naik setengah senti, sambil mengernyit bingung.
“Ya enggak salah sih. Pas waktu resepsinya sih gak nanya lah, mam. Brian juga tahu situasi kali. Tapi setelah itu dia tanya Rani di sms. Ya Rani bilang itu temen Rani. Trus ya udahm segitu aja. Ngapain juga dia repot-repot ngurusin urusan Rani kan? Mama ada-ada aja ah..”
"Sebetulnya kamu sama Aji gimana sih, Ran?"
"Kan udah pernah Rani ceritain, mam? Rani sama Aji gak ada apa-apa. Ya kita temenan aja. Aji tuh.. Ah ceritanya panjang deh, mam."
“Panjang gimana?"
“Eh.. Ini kok pedas amat ya kuahnya, mam?” Alih-alih menjawab pertanyaan mama, Maharani malah mengomentari kuah pempek yang buatnya kelewat pedas itu.
“Iya tuh. Tadi mama juga makan pedas banget.”
“Orang Palembang kayak gini dibikin buat sarapan loh, mam.”
“Aih? Perutnya gak sakit ya makan begini pagi-pagi?”
“Duh, Rani belum pernah bikin survey soal itu, jadi gak bisa jawab ya…”
“Ish, kamu ini….”
Mama meninggalkan Maharani yang masih asik dengan pempeknya, kembali menonton sinetron kesukaan ibu-ibu masa kini. Maharani juga kembali lagi dengan pikirannya sendiri. Memandangi layar ponselnya yang sedari tadi masih saja membisu.
Udah dapet taksi? Makasih buat semuanya. Maaf karena semuanya juga. Begini bikin aku jadi gak bisa lagi minta tolong sama kamu. Makasih
Maharani segera menyentuh button send ke nomer Aji. Ia tahu bahwa semestinya ia berhenti merasa bersalah. Karena Aji sendiri yang menyanggupi permintaannya. Tapi entah mengapa rasanya ia sudah menyusahkan Aji sedemikian rupa. Sejak dari tiga hari lalu, ketika Aji harus ke rumahnya, menjemputnya, dan memulai perjalanan ke Jogja sampai dengan barusan ia kembali mengantarkan Maharani ke rumah. Maharani merasa menyesal dirinya masih juga belum mahir untuk mengendarai mobil. Merasa payah sekali.
Sama-sama. Aku juga makasih.. Udah di taksi kok.
Layar berpendar-pendar menampilkan pesan masuk dari Aji. Maharani menghela napas, merasa semakin lelah. Pempeknya sudah habis. Dengan lemas Maharani melangkah ke kamarnya. Ingin segera menenggelamkan dirinya dalam balutan hangat selimut tebal yang sudah menunggunya di kamar. Maharani hanya ingin tidur terlelap, sejenak melupakan semuanya. Tentang punggung Aji yang menghilang dalam gelap malam dan rintik hujan, tentang pekerjaan kantornya yang menumpuk, tentang besok pagi-pagi ia harus kembali lagi ke kota hujan. Beberapa menit kemudian, semuanya memang menghilang, Maharani sudah tertidur nyenyak.

Sunday 10 August 2014

Congrats, you..

Melihatmu tersenyum begitu bahagia di sana. Tak pelak lagi membuat hatiku juga penuh. Penuh dengan rasa bahagia yang hampir tak mampu aku terakan dengan roncean kata yang paling indah sekalipun.

Bagaimana tidak? Selama dua jam lebih kamu terus menerus tersenyum. Senyuman itu. Senyuman yang dulu selalu membuatku luluh dan lupa dengan amarah seketika itu juga. Cengiran lebih tepatnya. Bagaimana aku bisa lebih bahagia dari ini?

Meski mungkin setelah ini tak akan lagi aku bisa mengganggumu dengan telepon-teleponku yang seringnya berisi tangis sedu sedan itu, entah tentang apa lagi. Aku juga tahu diri untuk tak lagi mengganggumu kan? Sudah sudah, aku sedang tak ingin bercerita muram durja seperti kaset lama.

Hari bahagiamu ini biarlah hanya diisi dengan senyuman. Hari yang akan selalu kamu kenang sepanjang sisa hidupmu. Bersamanya. Yang semenjak tadi juga tersenyum sumringah. Cinta yang terpancar di matanya itu, cukup untuk membuatku yakin bahwa dia memang yang terbaik untukmu. Bahwa kalian memang tercipta untuk bersama.

Maka, tak ada yang lebih indah dari sebait doa yang ku panjatkan untukmu dan dia, semoga senyum kalian hari ini akan selalu menghiasi kehidupan kalian berdua. Selamanya.

Selamat untukmu, sahabat.

Monday 4 August 2014

Yeah. I messed up everything.
Is there something that i can handle well enough, eh?

I messed up everything.
I messed up everything that i can not fix.

Like my heart.
And maybe, yours.

Saturday 2 August 2014

Jangan pergi.... Jangan menghilang lagi...

Aku tahu, jauh itu bukan tentang jarak, tapi tentang hati.

Seperti saat ini, ketika jarak kita terbentang puluhan atau bahkan ratusan kilometer. Tapi bukankah jarak hanyalah kumpulan angka yang diulang-ulang sedemikian rupa hingga mengular sejauh yang mampu kamu ukur dengan satuan panjang? Repetisi dari satu langkah kecil kepada langkah kecil berikutnya.

Jauh itu bukan tentang jarak. Karena sejauh apapun bentangan yang menganga antara aku dan kamu, ketika bentang itu masih berupa deretan angka, itu bukanlah apa-apa.

Jauh itu tentang hati. Ketika jarak kita bahkan hanya bilangan sentimeter, tetapi hati kita tak lagi mampu saling bertukar cerita, ketika itulah jauh menjelma nyata. Sejauh yang tak lagi mampu ku ukur-ukur dengan satuan apapun. Sejauh matamu yang tak lagi mampu melihat ke dalam mataku. Sejauh tanganmu yang kini terlipat rapi dalam saku celanamu, tak tergenggam tanganku yang mulai mati rasa digigit dingin.

Jauh itu tentang hati, bukan tentang jarak. 


Bila begitu, masih bolehkah aku untuk memintamu agar tetap di sini saja?

Friday 1 August 2014

Aku lupa bahwa di antara kata 'aku' dan 'kamu', seharusnya tak boleh terlahir kata 'pinta'. Karena kata 'beri' tak pernah kamu ijinkan untuk sekedar mampir.

Lalu...
Mengapa masih saja aku meminta apa yang takkan pernah kamu berikan?

Ya, kamu bisa melanjutkan lagi kehidupanmu yang menarik itu.
Tanpa aku.
Juga pintaku.

Kunang-kunang

Hampir petang,
dan kunang-kunang mulai terbang.
Saling adu cemerlang,
berharap mampu saingi bintang-bintang.

Aku terpesona,
dan kamu terkesima.
Larut dalam gelap yang memerangkap.

Seekor kunang-kunang hinggap di ujung sandal gunung yang sejak kemarin lusa tak lelah tergesek jejak.

Aku menghitung kunang-kunang jantan yang masih semangat menari-nari.
Kamu terduduk entah memikirkan apa.

Ku hitung lagi.
Kelipnya semakin nyala.
Hitungan kelima belas dan buyarlah sudah.

Petang ini, masih kah mereka menari-nari?
Petang ini, sudahkah kamu lupa semua?

Hei, kamu. Iya. Kamu.

"Aku suka tulisanmu tentang seseorang di kereta?"

"Hm? Seseorang di kereta?"

"Iya. Tentang seseorang yang masih terus percaya bahwa pada akhirnya ia akan menemukan belahan jiwanya."

"Memangnya aku pernah menulis seperti itu?"

"Iya. Yang endingnya kurang lebih 'aku masih memegang tiket keretaku, memastikan bahwa tujuanku memang benar. Apa kamu juga masih memegangnya?' Yah kurang lebih seperti itu. Aku tak ingat pasti."

"Ahhh yaaa... Aku ingat sekarang. Seseorang di kereta, si penumpang tunggal di keretanya sendiri."

"Iya."

"Aku juga masih terus di keretaku. Ah mungkinkah kita akhirnya bisa bertemu?"

"Hm?"

"Tentu saja tidak. Bukankah yang kamu pegang sekarang tiket pesawat? Dan bukan tiket kereta? Ya kan?"

~~~~

Kamu tahu, begitupun hatiku tahu. Aku di dalam keretaku, menuju stasiun tujuanku. Sedang kamu di pesawatmu menuju bandara tujuan singgahmu.

Yang aku tak tahu adalah, apakah setelah aku sampai di stasiun itu aku akan melanjutkan perjalananku entah menuju kemana lagi? Seperti juga denganmu, sesampainya di bandara itu, lantas apa yang akan kamu lakukan kemudian?

Mungkin memang kita takkan pernah bisa bersinggungan dalam perjalanan masing-masing. Meski bisa saja ternyata kita punya tujuan akhir yang sama.

Namun demikian, bilapun tujuan kita ternyata sama, aku pun masih tak tahu apakah kita bisa sampai bersamaan dan akhirnya bertemu di sana atau lagi-lagi hanya berselisih jalan?

Kita tak pernah tahu ke mana takdir akan membawa. Begitupun dengan aku, dengan kamu.

Bukan. Aku tidak sedang mereka-reka akan seperti apa nanti. Jalinan benang takdir terlalu rumit untuk bisa ku pilin dengan jari.

Selain itu, aku cukup mengerti seberapa dalam kamu pernah terluka. Luka hati yang masih saja kamu bawa hingga kini. Entah racun apa yang pernah kamu telan hingga membirukan sedemikian rupa hatimu yang tak nyata wujudnya itu. Kamu toh tidak sedang berlebihan memuja kesakitan bukan?

Dan kamu juga cukup memahami apa yang tertera di permukaan hatiku yang lebam ini. Hingga mungkin tak perlu lagi kata untuk ku letakkan di dalam bibirmu tentang carut marut yang masih membuatku mati rasa.

Aku masih di keretaku, dengan setumpuk kenangan yang masih mengepul, panas dan berkabut. Kamu pun masih di pesawatmu dengan sebongkah hati yang kamu bilang sudah tak lagi berfungsi.

Lalu yang bisa ku lakukan hanyalah mengucapkan selamat jalan dan berhati-hatilah meski mungkin kini kamu tak lagi punya hati.

Dan ku rasa meski kita berpergian dengan cara berbeda, bukan tak mungkin kita akan bertemu. Suatu saat nanti. Atau mungkin tidak sama sekali.

Yah, toh aku masih di sini, memegang erat tiketku seraya mencoba mengusir kabut kenangan agar pemandangan di luar mampu ku nikmati.