kita sedang bahagia
jangan buang waktu menerka-nerka akhirnya
tenang aku di sini, selama kau di sisi
aku berjanji mulai hari ini hingga tua nanti
tak kemana-mana
tak kemana-mana
Alunan lagu masih terus berputar sejak tadi, yah memang sudah standar prosedurnya. Walaupun hanya sekedar lagu yang diputar dan diperdengarkan melalui pengeras suara, sudah menjadi standar pelayanan di tempat makan siap saji. Masalah lagu-lagu apa yang diputar ya itu tergantung bagaimana selera si operator tempat makan masing-masing. Semacam
untung-untungan. Untung lah kali ini selera si operator lumayan bagus.
Meski memang kebanyakan lagu-lagu populer saja. Asalkan jangan lagu
aliran dangdut saja pikir seorang laki-laki yang sudah sejam terakhir
masih setia duduk di bangku khusus untuk sendirian (oh ya sungguh untuk
sendirian, dengan bangku dan meja yang minimalis), masih membolak balik
halaman bukunya sesekali sambil terus sibuk mengetik di layar empat
belas inchinya. Layar empat belas inchi yang pada waktu lampau pernah
dicemburui habis-habisan oleh seorang gadis karena si empunya melulu
sibuk menatap layarnya.
Jemari yang sejak tadi lincah menari-nari di atas tuts keyboard si layar empat belas inchi kini menggantung demi mendengar lirik lagu yang baru saja ia dengar. Sedetik tadi hatinya seperti merasakan sesuatu. Semacam rasa yang mampir begitu saja dalam hitungan sepersekian detik saja. Hampir seperti ketika tidak sengaja kena setrum, sekejap namun rasanya masih terus tertinggal, membawanya melintasi bentang waktu yang berbaris acak, di masa lalu. Bertahun lalu. Menghadirkan kembali tawa lepas gadisnya yang begitu bahagia karena berhasil membuatnya ketakutan di rumah hantu.
Bahagia. Satu kata itu yang selalu menghiasi keseharian mereka berdua. Betapa mereka amat mudah bahagia, bahkan dengan alasan-alasan yang kadang kelewat remeh atau malah konyol. Betapa mereka amat mudah tertawa lepas, saling setuju dengan pendapat yang lainnya, saling mengamini dengan permintaan yang lainnya, tak pernah takut untuk jatuh atau terluka karena mencoba hal-hal yang mereka kira akan menyenangkan. Betapa hidup begitu indah dan bahagia adalah keseharian.
Laki-laki itu menghentikan kegiatannya, terlanjur terlarut dalam sungai arus masa lalu. Tumpukan kenangan kebahagiaan yang kelewat deras sudah terlanjur menyeretnya. Alih-alih berusaha untuk melawan arus, ia memilih untuk menikmati sejenak aliran sungai kenangan. Ingatannya cepat melompat pada kenangan satu chapter kisahnya yang bila diingat lagi sekarang cukup konyol.
Tepat empat tahun lalu, hari Minggu yang cerah sejak pagi sampai malam, setelah puas bermain seharian di taman bermain terbesar se-Jakarta, ia dan gadisnya harus pulang dengan menggunakan busway. Penumpang busway tidak begitu banyak, sehingga mereka bisa duduk berdampingan di dalamnya. Dengan menguatkan hati, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang telah dibendungnya sejak beberapa bulan terakhir.
“Err, lu mau jadi cewek gw gak? Kita pacaran aja yuk?” katanya dengan suara pelan, takut penumpang lain ikut mendengar.
“Hah? Maksudnya?” si gadis malah bertanya sangsi, setengah berteriak sambil menaikkan alisnya dan membelalakkan mata.
“Biasa aja dong. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya, kedengeran yang lain. Yaa maksud gw, kita jadian gitu... Gimana?”
“Ih ya ampunnnn.. Hahahaha.. Biruuu, lu lucu banget sih? Kita kan temenan?” si gadis malah tertawa yang membuat beberapa orang menoleh pada mereka.
“Ya emang kita temenan. Makanya gw ngajakin lu pacaran. So far, lu temen yang asik banget buat gw. Gw nyaman banget sama lu. Dan kita juga bersenang-senang kan?”
“Ya tapi kan....” si gadis tidak menyelesaikan kalimatnya, membiarkannya menggantung di udara dan menguap begitu saja.
“Tapi kita beda? Maksud lu itu?” Si gadis hanya mengangguk lemah.
“Ya gw tahu kita beda, gw tahu dan paham. Gw juga tau mestinya gak begini sih. Tapi, gw sayang sama lu...”
“Rei...” kali ini si gadis benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Tetapi setiap kali ia sudah memanggil laki-laki itu dengan panggilan kesayangannya, Rei, itu hanya berarti satu hal, hatinya bimbang.
“Lu mau kan jadi cewek gw?” Tanpa kata, si gadis hanya mengangguk lemah, tak tahu harus bagaimana. Ia hanya tahu bahwa ia juga menyayangi laki-laki yang duduk di sebelahnya. Hanya saja, di antara mereka ada jurang yang entah bagaimana sepertinya sulit untuk diseberangi.
“Gw tahu sekarang kita begini, kita beda. Tapi gw tulus sayang sama lu. Gw serius, meski gw gak tahu nanti gimana. Tapi sekarang, gw sayang sama lu. This i promise you.”
Setelahnya keduanya hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak menyangka akan semudah sekaligus sesulit itu. Mengapa mereka tidak bisa jatuh dengan tanpa beban? Mengapa mereka harus memikirkan jurang yang menganga itu? Dengan apa mereka akan menjembataninya? Yang mereka tahu hanyalah mereka saling menyayangi, saling membutuhkan satu sama lain. Bahwa mereka saling melihat diri masing-masing tercermin pada diri yang satu.
“Lalu, nanti bagaimana, Rei?” tanya si gadis lemah.
“Hmmm, kita lihat aja nanti.”
Dalam dua puluh tiga tahun umurnya, Biru Reitama belum pernah sekalipun berpikir mengenai komitmen jangka panjang dengan makhluk yang bernama wanita. Komitmen jangka panjang yang pernah ia buat terhadap makhluk bernama wanita hanyalah dengan ibu kos-kosan yang ia tempati selama kuliah. Sekadar hubungan sewa-menyewa kamar kos-kosan yang biasanya selalu diperbaharui setiap awal tahun ajaran perkuliahan, juga ketika ia masih dinas di pulau seberang. Selain itu? Sama sekali bukan gayanya.
Tentu saja, setelah malam itu keduanya begitu terlarut dalam gegap gempita yang mereka ciptakan sendiri. Hidup Biru yang tadinya tak jauh dari warna-warna monokrom hitam dan putih, keseharian yang biasa saja, tanpa gejolak, menyenangkan namun kelewat aman. Sejak malam itu, atau mungkin sejak ia mengenal gadisnya, hidupnya jadi lebih berwarna bahkan bisa dikatakan semarak, seperti kembang api di malam tahun baru. Bibirnya tersenyum simpul mengingatnya. Ya benar, ketika itu mereka sedang bahagia. Apalagi yang mereka pikirkan selain bersenang-senang dan bermain?
Biru menghela napas berat. Lagu sudah lama berganti, namun ia masih membiarkan benaknya terus diombang-ambing arus sungai kenangan. Sudah berapa lama sejak ia terakhir kali mendengar suara gadisnya. Sebulan lalu? Sepertinya lebih. Bagaimana itu bisa terjadi lagi, ia pun tak tahu. Atau lebih tepatnya ia enggan untuk mengakui bahwa lagi-lagi ia-lah yang bersalah atas hilang kontak yang entah keberapa kalinya kini. Ya, memang mereka begitu berbahagia bersama, tetapi bukan hanya sekali atau dua kali mereka saling tidak menghubungi satu sama lain. Keduanya kelewat keras kepala untuk mengalah meski akhirnya setiap kali berhubungan lagi mereka akan kembali seperti sedia kala, seolah tidak ada yang terjadi sama sekali.
Tapi kali ini, Biru tak lagi tahu. Separuh hatinya menyesal sudah membiarkan hal ini berlarut-larut. Mungkin sekarang sudah terlambat baginya untuk mencoba memperbaiki semuanya. Namun separuh hatinya menuding bahwa ia bukan pemeran tunggal yang bersalah atas yang terjadi. Bahwa gadisnya itu juga berperan besar, bahkan mungkin lagi-lagi ini hanya manipulasinya saja. Membiarkannya menghilang lalu kemudian mencarinya kembali dan berdalih bahwa ini semua salahnya. Biru tak tahu ia harus mempercayai hatinya yang mana.
Layar empat belas inchi yang sedari tadi masih saja menatapnya balik tanpa lelah hampir kehabisan daya. Outline skripsi yang harus segera ia selesaikan masih belum berpindah halaman. Padahal niatnya datang ke tempat ini agar bisa konsentrasi mengerjakan outline-nya. Tapi ternyata malam ini hatinya begitu mudah dibelokkan hanya dengan satu lirik lagu.
Alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Biru melihat ke sekeliling. Hari sudah cukup larut malam, namun pengunjung masih saja terus berdatangan. Mungkin nanti di masa depan ia akan membuka tempat makan siap saji 24 jam saja, sepertinya menjanjikan. Saat ia sudah puas melihat berkeliling, dan kembali akan menekuri layar empat belas inchinya, matanya bertemu pandang dengan mata seseorang yang cukup ia kenal, teman sekelasnya sekarang.
“Wah wah wah, bener-bener deh lu high quality jomblo of the year deh. Malam Minggu ini, brooo. Dan lu malah ngerjain tugas di sini, sendirian?? Di meja ini pula? Lu boleh duduk di mana aja, asal jangan di sini deh. Serius gw. Bikin orang lain tahu kalo lu jomblo sekarat, tahu gak?” Kuping Biru yang sedari tadi nyaman dengan lagu-lagu yang diputar, tetiba saja jadi terasa panas mendengar ocehan panjang lebar temannya.
“Sengaja gw duduk di sini. Kalo kejadiannya begini nih, tiba-tiba ada lu atau entah siapa lagi anggota jomblo sekarat lainnya kebetulan ke sini juga, kan gw jadinya gak punya alasan buat nawarin lu duduk bareng gw. Begitu.” Jawab Biru mencoba berusaha santai.
“Hahahaha. Sial lu. Gw gak masuk itungan jomblo sekarat. Gak usah cari temen deh lu.”
“Nah lu juga, ngapain malam Minggu malah ke sini? Itu apa namanya kalo bukan jomblo sekarat?”
“Hahaha. Setannn. Outline lu udah sampe mana?”
“Mestinya sih udah sampe Jogja, gara-gara lu keretanya macet nih.”
“Yah ngaco nih anak. Serah dah. Duluan, bro.”
Alih-alih menjawab, Biru hanya mengibaskan tangannya, menyuruh temannya untuk segera hengkang dari hadapannya. Kenapa juga harus ketemu dia. Kenapa juga bukan cewek cantik nan menawan yang datang ke mejanya, untuk sekadar berkenalan atau menyapa saja. Tapi kalau dipikir-pikir siapa juga yang mau mendatangi meja mahasiswa beasiswa yang kucel dengan kantung mata hitam-hitam karena begadang semalaman begini? Lagi-lagi Biru hanya menghela napas. Kali ini ia bertekad untuk kembali ke niat semula ia datang ke tempat ini. Layar empat belas inchinya sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja. Biru menarik napas seraya memejamkan mata, merasakan udara masuk ke dalam paru-parunya. Ia harus segera menyelesaikan kuliahnya. Setidaknya, ada satu hal yang mampu ia selesaikan dengan baik. Bukan dengan melarikan diri.
Ya, entah bagaimana, hatinya tahu bahwa ia hanya sedang melarikan diri, untuk kesekian kali, dari gadisnya, dari cintanya, dari mimpinya. Dari janjinya. Janji yang terlanjur ia ucapkan. Yang ia tidak tahu, kapan ia akan siap untuk berhenti dari pelariannya dan menghadapi semuanya.
Tuhan,, ampuni hamba.. bantulah hamba...
Hatinya membatin. Ia masih percaya. Tuhan masih mendengarnya. Masih percaya, meski ia tak tahu, kemana akhirnya akan bermuara semua ini, itulah yang digariskan Tuhan untuknya. Untuk gadisnya. Untuk apa yang mereka pernah sebut cinta.
Jemari yang sejak tadi lincah menari-nari di atas tuts keyboard si layar empat belas inchi kini menggantung demi mendengar lirik lagu yang baru saja ia dengar. Sedetik tadi hatinya seperti merasakan sesuatu. Semacam rasa yang mampir begitu saja dalam hitungan sepersekian detik saja. Hampir seperti ketika tidak sengaja kena setrum, sekejap namun rasanya masih terus tertinggal, membawanya melintasi bentang waktu yang berbaris acak, di masa lalu. Bertahun lalu. Menghadirkan kembali tawa lepas gadisnya yang begitu bahagia karena berhasil membuatnya ketakutan di rumah hantu.
Bahagia. Satu kata itu yang selalu menghiasi keseharian mereka berdua. Betapa mereka amat mudah bahagia, bahkan dengan alasan-alasan yang kadang kelewat remeh atau malah konyol. Betapa mereka amat mudah tertawa lepas, saling setuju dengan pendapat yang lainnya, saling mengamini dengan permintaan yang lainnya, tak pernah takut untuk jatuh atau terluka karena mencoba hal-hal yang mereka kira akan menyenangkan. Betapa hidup begitu indah dan bahagia adalah keseharian.
Laki-laki itu menghentikan kegiatannya, terlanjur terlarut dalam sungai arus masa lalu. Tumpukan kenangan kebahagiaan yang kelewat deras sudah terlanjur menyeretnya. Alih-alih berusaha untuk melawan arus, ia memilih untuk menikmati sejenak aliran sungai kenangan. Ingatannya cepat melompat pada kenangan satu chapter kisahnya yang bila diingat lagi sekarang cukup konyol.
Tepat empat tahun lalu, hari Minggu yang cerah sejak pagi sampai malam, setelah puas bermain seharian di taman bermain terbesar se-Jakarta, ia dan gadisnya harus pulang dengan menggunakan busway. Penumpang busway tidak begitu banyak, sehingga mereka bisa duduk berdampingan di dalamnya. Dengan menguatkan hati, ia memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang telah dibendungnya sejak beberapa bulan terakhir.
“Err, lu mau jadi cewek gw gak? Kita pacaran aja yuk?” katanya dengan suara pelan, takut penumpang lain ikut mendengar.
“Hah? Maksudnya?” si gadis malah bertanya sangsi, setengah berteriak sambil menaikkan alisnya dan membelalakkan mata.
“Biasa aja dong. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya, kedengeran yang lain. Yaa maksud gw, kita jadian gitu... Gimana?”
“Ih ya ampunnnn.. Hahahaha.. Biruuu, lu lucu banget sih? Kita kan temenan?” si gadis malah tertawa yang membuat beberapa orang menoleh pada mereka.
“Ya emang kita temenan. Makanya gw ngajakin lu pacaran. So far, lu temen yang asik banget buat gw. Gw nyaman banget sama lu. Dan kita juga bersenang-senang kan?”
“Ya tapi kan....” si gadis tidak menyelesaikan kalimatnya, membiarkannya menggantung di udara dan menguap begitu saja.
“Tapi kita beda? Maksud lu itu?” Si gadis hanya mengangguk lemah.
“Ya gw tahu kita beda, gw tahu dan paham. Gw juga tau mestinya gak begini sih. Tapi, gw sayang sama lu...”
“Rei...” kali ini si gadis benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Tetapi setiap kali ia sudah memanggil laki-laki itu dengan panggilan kesayangannya, Rei, itu hanya berarti satu hal, hatinya bimbang.
“Lu mau kan jadi cewek gw?” Tanpa kata, si gadis hanya mengangguk lemah, tak tahu harus bagaimana. Ia hanya tahu bahwa ia juga menyayangi laki-laki yang duduk di sebelahnya. Hanya saja, di antara mereka ada jurang yang entah bagaimana sepertinya sulit untuk diseberangi.
“Gw tahu sekarang kita begini, kita beda. Tapi gw tulus sayang sama lu. Gw serius, meski gw gak tahu nanti gimana. Tapi sekarang, gw sayang sama lu. This i promise you.”
Setelahnya keduanya hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak menyangka akan semudah sekaligus sesulit itu. Mengapa mereka tidak bisa jatuh dengan tanpa beban? Mengapa mereka harus memikirkan jurang yang menganga itu? Dengan apa mereka akan menjembataninya? Yang mereka tahu hanyalah mereka saling menyayangi, saling membutuhkan satu sama lain. Bahwa mereka saling melihat diri masing-masing tercermin pada diri yang satu.
“Lalu, nanti bagaimana, Rei?” tanya si gadis lemah.
“Hmmm, kita lihat aja nanti.”
Dalam dua puluh tiga tahun umurnya, Biru Reitama belum pernah sekalipun berpikir mengenai komitmen jangka panjang dengan makhluk yang bernama wanita. Komitmen jangka panjang yang pernah ia buat terhadap makhluk bernama wanita hanyalah dengan ibu kos-kosan yang ia tempati selama kuliah. Sekadar hubungan sewa-menyewa kamar kos-kosan yang biasanya selalu diperbaharui setiap awal tahun ajaran perkuliahan, juga ketika ia masih dinas di pulau seberang. Selain itu? Sama sekali bukan gayanya.
Tentu saja, setelah malam itu keduanya begitu terlarut dalam gegap gempita yang mereka ciptakan sendiri. Hidup Biru yang tadinya tak jauh dari warna-warna monokrom hitam dan putih, keseharian yang biasa saja, tanpa gejolak, menyenangkan namun kelewat aman. Sejak malam itu, atau mungkin sejak ia mengenal gadisnya, hidupnya jadi lebih berwarna bahkan bisa dikatakan semarak, seperti kembang api di malam tahun baru. Bibirnya tersenyum simpul mengingatnya. Ya benar, ketika itu mereka sedang bahagia. Apalagi yang mereka pikirkan selain bersenang-senang dan bermain?
Biru menghela napas berat. Lagu sudah lama berganti, namun ia masih membiarkan benaknya terus diombang-ambing arus sungai kenangan. Sudah berapa lama sejak ia terakhir kali mendengar suara gadisnya. Sebulan lalu? Sepertinya lebih. Bagaimana itu bisa terjadi lagi, ia pun tak tahu. Atau lebih tepatnya ia enggan untuk mengakui bahwa lagi-lagi ia-lah yang bersalah atas hilang kontak yang entah keberapa kalinya kini. Ya, memang mereka begitu berbahagia bersama, tetapi bukan hanya sekali atau dua kali mereka saling tidak menghubungi satu sama lain. Keduanya kelewat keras kepala untuk mengalah meski akhirnya setiap kali berhubungan lagi mereka akan kembali seperti sedia kala, seolah tidak ada yang terjadi sama sekali.
Tapi kali ini, Biru tak lagi tahu. Separuh hatinya menyesal sudah membiarkan hal ini berlarut-larut. Mungkin sekarang sudah terlambat baginya untuk mencoba memperbaiki semuanya. Namun separuh hatinya menuding bahwa ia bukan pemeran tunggal yang bersalah atas yang terjadi. Bahwa gadisnya itu juga berperan besar, bahkan mungkin lagi-lagi ini hanya manipulasinya saja. Membiarkannya menghilang lalu kemudian mencarinya kembali dan berdalih bahwa ini semua salahnya. Biru tak tahu ia harus mempercayai hatinya yang mana.
Layar empat belas inchi yang sedari tadi masih saja menatapnya balik tanpa lelah hampir kehabisan daya. Outline skripsi yang harus segera ia selesaikan masih belum berpindah halaman. Padahal niatnya datang ke tempat ini agar bisa konsentrasi mengerjakan outline-nya. Tapi ternyata malam ini hatinya begitu mudah dibelokkan hanya dengan satu lirik lagu.
Alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Biru melihat ke sekeliling. Hari sudah cukup larut malam, namun pengunjung masih saja terus berdatangan. Mungkin nanti di masa depan ia akan membuka tempat makan siap saji 24 jam saja, sepertinya menjanjikan. Saat ia sudah puas melihat berkeliling, dan kembali akan menekuri layar empat belas inchinya, matanya bertemu pandang dengan mata seseorang yang cukup ia kenal, teman sekelasnya sekarang.
“Wah wah wah, bener-bener deh lu high quality jomblo of the year deh. Malam Minggu ini, brooo. Dan lu malah ngerjain tugas di sini, sendirian?? Di meja ini pula? Lu boleh duduk di mana aja, asal jangan di sini deh. Serius gw. Bikin orang lain tahu kalo lu jomblo sekarat, tahu gak?” Kuping Biru yang sedari tadi nyaman dengan lagu-lagu yang diputar, tetiba saja jadi terasa panas mendengar ocehan panjang lebar temannya.
“Sengaja gw duduk di sini. Kalo kejadiannya begini nih, tiba-tiba ada lu atau entah siapa lagi anggota jomblo sekarat lainnya kebetulan ke sini juga, kan gw jadinya gak punya alasan buat nawarin lu duduk bareng gw. Begitu.” Jawab Biru mencoba berusaha santai.
“Hahahaha. Sial lu. Gw gak masuk itungan jomblo sekarat. Gak usah cari temen deh lu.”
“Nah lu juga, ngapain malam Minggu malah ke sini? Itu apa namanya kalo bukan jomblo sekarat?”
“Hahaha. Setannn. Outline lu udah sampe mana?”
“Mestinya sih udah sampe Jogja, gara-gara lu keretanya macet nih.”
“Yah ngaco nih anak. Serah dah. Duluan, bro.”
Alih-alih menjawab, Biru hanya mengibaskan tangannya, menyuruh temannya untuk segera hengkang dari hadapannya. Kenapa juga harus ketemu dia. Kenapa juga bukan cewek cantik nan menawan yang datang ke mejanya, untuk sekadar berkenalan atau menyapa saja. Tapi kalau dipikir-pikir siapa juga yang mau mendatangi meja mahasiswa beasiswa yang kucel dengan kantung mata hitam-hitam karena begadang semalaman begini? Lagi-lagi Biru hanya menghela napas. Kali ini ia bertekad untuk kembali ke niat semula ia datang ke tempat ini. Layar empat belas inchinya sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja. Biru menarik napas seraya memejamkan mata, merasakan udara masuk ke dalam paru-parunya. Ia harus segera menyelesaikan kuliahnya. Setidaknya, ada satu hal yang mampu ia selesaikan dengan baik. Bukan dengan melarikan diri.
Ya, entah bagaimana, hatinya tahu bahwa ia hanya sedang melarikan diri, untuk kesekian kali, dari gadisnya, dari cintanya, dari mimpinya. Dari janjinya. Janji yang terlanjur ia ucapkan. Yang ia tidak tahu, kapan ia akan siap untuk berhenti dari pelariannya dan menghadapi semuanya.
Tuhan,, ampuni hamba.. bantulah hamba...
Hatinya membatin. Ia masih percaya. Tuhan masih mendengarnya. Masih percaya, meski ia tak tahu, kemana akhirnya akan bermuara semua ini, itulah yang digariskan Tuhan untuknya. Untuk gadisnya. Untuk apa yang mereka pernah sebut cinta.
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^