Dengan satu gerakan cepat Aji langsung naik ke dalam bus Damri yang baru saja akan berangkat meninggalkan terminal Kayuringin Bekasi menuju bandara Soekarno Hatta. Melirik sekilas pada jam tangan digitalnya yang sekarang baru menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit. Hari masih siang, tetapi kepadatan lalu lintas sudah seperti saat jam sibuk saja. Aji menghela napas, merasa agak penat setelah marathon meeting selama dua hari kemarin. Untunglah hari ini ia sudah boleh berlibur lebaran dan sekarang sudah aman ada di dalam bus. Sekilas Aji memeriksa tiket yang baru saja ia cetak sebelum berangkat dengan tergesa-gesa tadi. Saat itulah Aji merasakan ponselnya bergetar. Nama wanita yang belakangan ini kembali lagi hadir dalam kehidupannya yang melulu berisi dengan pekerjaan itu berpendar-pendar di layar ponselnya.
“Ya? Ada apa?” Nada suaranya tergesa-gesa dan langsung pada sasaran, seperti ingin segera mengakhiri pembicaraan padahal sebetulnya hanya karena memang Aji seperti itu. Bawaan lahir katanya.
“Kamu di mana? Udah berangkat?” Wanita itu balas bertanya, seolah tak mendengar pertanyaan Aji.
“Udah di Damri nih. Udah berangkat. Kenapa?”
“Oh, gak apa-apa. Flight jam berapa?”
“Masih jam tiga nanti. Tapi gak apalah, takut macet di jalan atau apa.”
“Hmmm.. begitu. Oke deh. Have a save flight then.”
“Thanks.” Setelahnya hanya tersisa nada terputus dari saluran ponselnya. Sejenak Aji masih memperhatikan ponselnya. Wanita yang aneh. Hanya itu yang mampu disimpulkan dari benaknya yang masih saja penuh dengan isi meeting dua hari kemarin.
Ruko-ruko dan mal-mal kini sudah digantikan oleh pepohonan di jalan bebas hambatan. Bus Damri yang ditumpangi Aji melaju cepat. Seolah sedang berlomba dengan sang waktu. Sementara matahari masih bersinar dengan amat sangat cemerlang. Aji memperbaiki posisi duduknya, berusaha membuat dirinya nyaman. Tapi ia tak memerlukan waktu lama untuk bisa tertidur. Tak sampai semenit, ia pun sudah terlelap.
***
“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Garuda Airlines GA – 012 dengan tujuan Semarang. Penerbangan ke Semarang akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih…”
Aji mendengus mendengar pengumuman yang sebetulnya tidak perlu itu. Sejauh yang mampu ia ingat dalam perjalanannya menggunakan pesawat udara, tak pernah sekalipun ia melihat ada penumpang yang memang serius mendengarkan pengumuman beserta segala peragaan mengenai bagaimana menyelamatkan diri dalam keadaan darurat. Ah atau jangan-jangan malah hanya ia saja yang tidak pernah serius mendengarkan dan memperhatikan? Peduli amat pikirnya. Landasan pesawat segera saja menjauh, digantikan dengan awan-awan selembut gulali merah jambu. Yah bukan berarti awan yang sekarang ia lihat berwarna merah jambu. Hanya saja setiap kali ia terbang dan melihat awan, entah bagaimana ia langsung mengingat si gulali merah jambu.
Sayangnya, si gulali merah jambu melulu hanyalah tentang satu orang itu. Mengapa juga ia jadi mengingatnya. Lagi-lagi Aji mendengus, mencoba memejamkan mata. Lumayan kalau bisa tertidur barang setengah jam saja, mungkin bisa menambah energinya sebelum akhirnya sampai di kota tempat kakak beserta suami dan anak-anaknya menunggunya datang. Menambaha energinya untuk bisa menghadapi pertanyaan-pertanyaan klise dari kakaknya itu. Oh memikirkannya saja sudah membuat Aji semakin penat. Terkadang Aji berharap untuk bisa menukar meeting seharian bersama para owner beserta tim manajemen konstruksinya yang cerewet-cerewet ketimbang harus menghadapi cecaran pertanyaan kakaknya selama satu jam. Tapi sayang, tidak semua permintaannya bisa terkabul. Terlebih permintaan konyol begitu.
Alih-alih tertidur, Aji malah mengingat percakapan singkatnya kemarin dengan Maharani. Tersenyum kecut ketika Maharani memprotesnya soal ia yang harus pergi ke Semarang dahulu lalu alih-alih langsung ke Palembang. Padahal seandainya Maharani tahu, Aji pun lebih memilih untuk terbang langsung ke Palembang. Apa daya, ia tetap harus ke Semarang terlebih dahulu.
“Kamu sih aneh banget. Kenapa juga gak langsung aja ke Palembang deh? Kenapa harus ke Semarang dulu yah?” Maharani masih saja tidak bisa menerima jawaban Aji yang menurutnya sangat aneh itu.
“Loh kan udah aku kasih tahu alasannya kan? Aku ke Semarang itu karena mbakku yang minta. Dia kan mau ke Palembang bawa mobil, sekeluarga pula. Mbak minta aku buat nyetirin.” Aji berusaha menjelaskan alasannya, yang menurutnya juga sangat konyol.
“Yah kan ada masmu? Mendingan yah daripada kamu yang ke sana, kamu tunggu di sini aja. Biar masmu yang nyetir dari Semarang sampe sini. Aneh deh…” Maharani masih teguh pada pendapatnya, sementara Aji pun tak tahu harus menjawab apa lagi.
“Yah gimana lagi. Mbakku maunya sama aku.”
“Yah terserahlah. Urusanmu juga. Kenapa juga aku yang sewot kan?” Dan begitu saja percakapan itu berakhir. Apa pasal pula Maharani harus repot-repot memikirkan urusannya. Meskipun sampai sekarang Aji juga tidak memahami jalan pikiran kakaknya itu. Tapi yah tetap saja, ia sudah menyanggupi untuk datang ke sana. Nasi sudah menjadi bubur, lebih baik ditambah ayam dan kerupuk, lumayan untuk sarapan bukan? Loh kenapa jadi terpikir soal makanan? Tetiba Aji teringat bahwa ia tidak sahur tadi pagi. Kali ini Aji hanya tersenyum samar, mencoba membayangkan reaksi Maharani bila tahu bahwa ia lagi-lagi tidak sahur padahal sudah dibangunkan oleh teman sekamarnya tadi tapi alih-alih bangun sahur, Aji memilih untuk memeluk gulingnya kembali. Yah Maharani toh tidak perlu tahu.
Tak terasa penerbangannya sudah hampir sampai. Padahal Aji sama sekali belum tidur. Sekarang kepalanya malah semakin penat mendengar pengumuman yang membosankan itu lagi. Sesaat kemudian pesawatnya sudah menyentuh landasan bandara Achmad Yani. Jam digital di tangannya menunjukkan pukul empat kurang. Merasa bersyukur bahwa ia tak perlu harus menunggu conveyer belt untuk mengambil bagasi. Karena meski ia harus berpegian selama dua minggu, ia tak pernah memerlukan tas besar. Aji selalu berpikir bahwa apa yang dikenakannya tidaklah begitu penting. Hidup toh bukan peragaan busana. Jadi kenapa harus repot-repot memusingkan soal hari ini pakai baju apa, acara ini pakai baju yang mana. Yang tentu saja selalu diprotes dengan keras oleh Maharani. Lagipula persoalan baju yang akan dipakai bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan jawaban yang harus ia siapkan untuk pertanyaan-pertanyaan kakaknya yang sepertinya akan semakin mendesak kali ini.
Udara panas yang masih tertinggal menjelang sore langsung menyergapnya begitu Aji sampai di lobby kedatangan. Para penumpang yang baru saja datang berdesakan ingin segera sampai di luar. Beberapa tersenyum sumringah mendapati penjemputnya. Beberapa tertawa dalam rombongan yang sepertinya memang keluarga. Beberapa pasangan bergandengan tangan, mungkin akan berlebaran di rumah salah satu orangtua dari pasangan-pasangan itu. Dan tanpa sadar hanya Aji yang sendirian saja. Musim libur lebaran begini, orang-orang memang lebih ramai berpergian bersama keluarga atau setidaknya bersama suami atau istrinya. Tapi seperti biasa, Aji tak peduli, sebodoh amat dengan orang-orang itu. Yang dipikirkannya adalah secepatnya mendapat taksi dan meluncur ke rumah kakaknya yang sejak tadi tak hentinya mengirimkan pesan singkat menanyakan keberadaannya. Demi Tuhan, Aji bukan anak kecil lagi, umurnya bahkan mendekati tiga puluh, tetapi kakaknya begitu khawatir Aji akan nyasar atau apa.
Sudah sampai? Met liburan yah..
Satu pesan singkat lagi masuk, kali ini dari Maharani. Tanpa membalas, Aji langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali melihat ke jalanan. Toko-toko, rumah-rumah, silih berganti menghiasi jalan. Tak lama kemudian Tugu Muda terlihat, lalu lintas cukup padat di sekitarnya. Beberapa pengunjung terlihat sedang sibuk mengambil gambar. Di seberangnya terlihat Lawang Sewu yang berdiri kokoh. Aji sedikit mengernyit melihat gedung itu, teringat terakhir kali ke sana bersama si gulali merah jambu. Ah, mengapa harus gulali merah jambu lagi? Sudahlah, toh ia ke sini hanya untuk menjemput kakaknya, bukan untuk bernostalgia menggalau ria dengan kenangan yang kelewat usang untuk dibuka-buka kembali lembarannya.
***
“Assalamualaikum…” Salam singkat yang keluar dari mulut Aji sebelum ia langsung membuka sandalnya dan masuk ke dalam rumah. Rumah sepertinya sepi sekali. Aji sedikit kecewa karena ia mengira ia akan disambut oleh kakak dan keponakan-keponakannya, Bagus dan Ayu. Tapi ternyata tidak. Meskipun Aji kemudian menemukan kakaknya sedang di dapur, entah memasak apa.
“Loh.. kamu sudah sampai, Nang? Kok mbak gak dengar kamu kasih salam?” Mbak Sari langsung meletakkan ulekan yang sedari tadi ia pegang untuk membuat sambal.
“Hmmm. Mbak aja yang terlalu fokus masak. Bikin sambel aja sampe segitunya sih…” Aji menghempaskan tubuhnya yang lelah di salah satu kursi makan. Memperhatikan kakaknya yang melanjutkan membuat sambal.
“Itu sambel buat aku? Asikkk.. yang pedes yak?” Setelah beberapa hari nada yang keluar dari mulut Aji melulu nada datar, kali ini nada yang ia gunakan cukup antusias dan riang. Yah memangnya apa yang bisa membuatnya begitu senang kecuali makanan pedas? Aji cukup pantas untuk diberikan predikat pecinta pedas karena hobinya makan makanan pedas. Ia bahkan bisa menghabiskan satu cobek sambal sendirian saja.
“Ya buat semuanya lah. Mosok buat kamu aja? Hahaha. Becanda,, ini mbak bikin spesial buat kamu kok. Kamu masih puasa kan?” tanya Mbak Sari sangsi. Yang ditanya malah sewot, memonyongkan mulutnya seolah sedang merajuk seperti anak kecil.
“Emangnyaaa, aku itu si Bagus yang puasanya cuma setengah hari gitu yah? Omong-omong Bagus sama Ayu kemana, mbak? Kok gak kelihatan?”
“Oh, mereka lagi pergi keluar sebentar sama masmu. Udah sana, kamu mandi dulu. Bersih-bersih. Sebentar lagi kan Maghrib.”
Tanpa membantah sekatapun, Aji langsung menyambar tas punggungnya, menuju kamar yang memang selalu ia pakai tiap kali berkunjung ke rumah kakaknya. Daripada membantah dan malah jadi mempercepat ceramah kakaknya yang masih sebisa mungkin dihindarinya, lebih baik ia segera membereskan barangnya dan mandi. Pilihan yang jauh lebih bijaksana. Dari dapur masih terdengar sayup-sayup peralatan masak yang saling bersentuhan. Ah betapa Aji menyayangi kakaknya itu. Bagaimana tidak, kakaknya adalah salah satu tumpuan hidupnya sejak lama. Tapi Aji sedang tidak ingin mengingat-ingat kenangan lama. Ia hanya ingin mandi, beristirahat, dan nanti bertemu dengan keponakan-keponakannya yang mungkin saja sekarang tingginya sudah bertambah banyak. Omong-omong kapan terakhir kali Aji menjenguk mereka? Aji menggeleng-gelengkan kepalanya, malas untuk menggali-gali ingatan. Handuk sudah di tangan, dengan cepat Aji melangkah masuk ke kamar mandi. Yang ia butuh adalah mandi.
***
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^