Tuesday 12 August 2014

Maharani : A Guilty Feeling That Last

Maharani masih tetap tak bergeming. Seolah sisa-sisa rintik hujan yang masih terus turun sama sekali tak membuatnya menggigil kedinginan. Tangannya masih memegang payung cantik, suvenir dari toko kosmetik favoritnya, yang sedari tadi berusaha untuk dibuka tapi tak berhasil sama sekali. Dikejauhan, punggung Aji semakin menghilang ditelan gelap malam. Semakin jauh dari jarak pandang mata Maharani yang terus saja menatap tak berkedip. Seolah hatinya masih tak percaya bahwa laki-laki yang dua menit lalu masih beradu argumen dengannya kini benar-benar sudah melangkah pergi. Meninggalkannya yang masih saja terpaku di depan gang rumah, di bawah rintik hujan, dengan payung rusak yang tak berhasil dibuka. Setetes airmata yang sedari tadi  dibendung akhirnya ikut luruh bersama dengan rintik hujan yang membasahi pipi Maharani.
"Udahlah. Kamu pulang sana. Aku bisa sendiri." Aji menghentikan langkahnya, melihat kepada Maharani yang sedang berusaha membuka si payung cantik.
"Enggak. Aku temenin kamu sampai ke depan. Minimal kamu bawa payung ini, please? Ini hujan, Gee."
"Maharani. Ini cuma gerimis aja. Udah deh gak usah bikin ribut di jalan yah. Udah malem, kamu pulang."
"Tapi, Gee.. Atau kamu nunggu reda di rumahku dahulu gimana? Kamu belum makan kan?" Maharani memberanikan diri untuk menatap Aji yang semakin kehabisan kesabaran.
"Maharani. Aku ditunggu Pak Hendra dan Pak Sigit untuk ngelanjutin kerjaan yah. Kamu mau apa lagi sih? Aku tuh masih harus kerja lagi setelah ini."
Maharani melihat kepada udara kosong yang ada di sekitarnya. Mencoba mencari untaian kata yang mungkin bisa ia gunakan untuk melunakkan hati laki-laki yang ada di depannya itu. Namun alih-alih mendapat satu kalimat yang tepat, Maharani lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan pernyataan lemah yang segera saja menguap lagi.
"Setidaknya biarin aku minjemin payung ini buat kamu." Maharani mengulurkan tangannya yang sedari tadi menggenggam erat si payung cantik.
"Aku pulang. Payungnya kamu aja yang pakai. Sana pulang." Tanpa menoleh lagi, Aji terus melangkahkan kaki. Menyisakan udara yang membuat Maharani sesak napas. Sesaat lalu kakinya hampir membawanya mengejar Aji. Namun hatinya tidak punya keberanian untuk ditolak dengan bentakan lagi. Hingga ia hanya membisu, memandangi punggung laki-laki tinggi kurus yang semakin menjauh. Badannya gemetar menahan dingin yang memerangkap.
***
Seperti perginya yang tiba-tiba, seperti itu pula kesadaran itu kembali datang. Dengan langkah gontai Maharani berjalan pulang. Masih memegang si payung cantik yang tetap tidak bisa terbuka. Sepuluh menit yang lalu kepalanya penuh dengan deretan kalimat yang sudah ia susun dengan hati-hati. Tapi seolah Aji memiliki kemampuan untuk melindas habis tumpukan kata-kata. Dalam sekali sentakan, runtuhlah semua.
Alih-alih masuk ke dalam rumah dan menemui mama yang sudah menunggu sejak tadi, Maharani malah kembali masuk ke dalam mobil mungilnya. Bedanya kali ini tidak ada Aji yang memegang setir di sebelahnya. Dengan isak yang hampir tak terdengar, bendungan bening di matanya luruh sudah. Semakin lama semakin deras. CD berisi ratusan lagu yang selama tiga hari belakangan ini menjadi teman Maharani dan Aji dalam perjalanan masih saja memutar lagu-lagu itu dengan volume yang mampu menyembunyikan isak tangis Maharani.
Terhadap Aji, Maharani tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Apa yang seharusnya ia ucapkan. Seolah apapun yang ia lakukan, kalimat apapun yang ia pilih untuk ucapkan, semuanya jadi terlihat dan terdengar salah bagi Aji. Seolah Maharani berbicara dengan bahasa planet antah berantah yang tidak dimengerti Aji. Begitupun sebaliknya.
Lima belas menit sudah berlalu ketika Maharani akhirnya memutuskan untuk berhenti menangis. Bahwa hal itu hanyalah suatu kesia-siaan. Aji toh tidak tahu kalau dirinya kini masih tetap tak bergeming di dalam mobilnya, kehabisan ide mengenai apa yang seharusnya tadi ia lakukan.
Maharani menghapus sisa-sisa airmata yang membuat eyeliner-nya belepotan. Mama tidak perlu tahu kalau dirinya baru saja menangis lagi. Sekali lagi Maharani mengedarkan pandangannya ke sekeliling mobil. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Sisa-sisa perjalanan kemarin memang sudah tidak terlihat, sepertinya Aji sudah membereskan dan membuangnya. Hanya tinggal tas berpergian Maharani yang masih duduk dengan manisnya di bagasi, juga oleh-oleh bandeng presto pesanan mama.
***
Mama sedang menonton televisi sendirian di ruang keluarga ketika Maharani masuk, membawa serta seluruh barangnya. Hatinya masih diliputi perasaan bersalah yang aneh. Karena ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ataukah memang ia yang berlebihan dengan perasaannya. Seperti menjaring angin, sia-sia saja Maharani mencoba berpikir sementara kepalanya sudah penuh terisi dengan segala hal yang terjadi tiga hari kemarin.
“Kamu pulang sendiri, Ran?” Tanya mama seraya mengalihkan perhatiannya dari sinetron yang sudah tayang ratusan episode itu meski isinya masih melulu tentang yang itu-itu juga.
“Iya.” Maharani hanya menjawab singkat. Lelah yang sejak kemarin tidak dirasakannya mulai muncul di seluruh jengkal badannya, meminta perhatian.
“Loh? Kirain sama Aji? Kamu gak dianter Aji? Mobilnya siapa yang bawa dong?”
“Aku. Mama gak percaya yah aku bisa bawa?” Maharani langsung meninggalkan mamanya yang kebingungan. Mengambil handuk dan baju ganti. Maharani hanya ingin segera membersihkan badannya, mengguyurnya dari kepala hingga kaki. Sejak kecil Maharani punya semacam kepercayaan bahwa seluruh masalah bisa ikut hanyut terbawa air bila ia mandi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Itu memang berhasil ketika kecil, ketika dirinya merasa lupa dengan masalahnya setelah selesai mandi. Sayangnya semakin beranjak dewasa, ternyata masalah-masalah yang ingin ia hanyutkan lebih pintar untuk menyelinap lagi lewat pipa-pipa pembuangan dan teguh menempel di tubuhnya. Bagaimana tidak, bila semasa kecil masalahnya hanyalah ditegur mama karena terlalu asik bermain sampai lupa waktu. Atau hanya sekedar ditegur karena membuat adiknya menangis. Yang begitu saja sih memang bakalan ikut hanyut dibawa air. Sedangkan masalah-masalahnya yang sekarang, mungkin bahkan jika Maharani mandi seharian sekalipun, sampai menghabiskan air satu atau dua tangki toren, tetap tidak akan menghanyutkannya. Yah tapi tetap saja, Maharani toh memang harus mandi.
“Rani. Yang bener dong kalau ditanya mama. Kamu beneran pulang sendiri? Memangnya Aji gak nganter? Trus ini kamu dari kantor atau emang baru pulang dari Jogja? Tapi kamu pake baju kantor sih?” Mama tidak menyia-nyiakan waktu, terus mencecar Maharani dengan seribu pertanyaan.
“Duh mama… Rani udah nyampe di rumah Bogor dari jam lima subuh tadi, dan Rani masuk kantor kayak biasa. Mobil dibawa sama Aji, Aji gak bisa anter mobil ke rumah karena harus langsung kerja juga. Makanya baru bisa sekarang anternya sekalian tadi jemput Rani pulang kerja. Aji gak mampir karena masih banyak kerjaan di kantor, jadi harus buru-buru balik ke kantor lagi. Begitu mama sayange… Rani laper, ma. Ada makanan apa?”
“Nah gitu dong kalau cerita. Jelas. Jadi mama gak bingung. Kamu mau mama gorengin pempeknya?” Tanya mama sembari berjalan ke dapur, melewati Maharani yang masih sibuk mencari makanan di dalam lemari es.
“Pempek dari Aji kemarin itu? Emangnya masih ada?”
“Masih. Kan mama tinggalin buat kamu.”
“Aduh, mama. Mestinya abisin aja kali… tapi makasih deh udah ditinggalin. Hehe.” Maharani tertawa tengil di depan mama. Berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya yang tentu saja masih belum ikut hanyut bersama air meski ia sudah mandi sampai kedinginan sekujur tubuh. Salahnya sendiri, mandi keramas pukul 9 malam.
“Acara resepsinya gimana, Ran? Pasti seru? Gimana Brian? Tentunya dia bahagia banget yah?” Lagi-lagi mama mencecar Maharani dengan pertanyaan-pertanyaan. Meski kali ini Maharani dengan senang hati akan menjawab semuanya. Sambil makan pempek tentunya.
“Resepsinya lucu deh, mam. Gak kayak resepsi di sini deh. Jadi yah kita duduk di bangku, trus ada pelayan yang ngebawain semua makanannya. Dari mulai kue-kue, appetizer, main course, sampe dessertnya juga. Asik juga sih, berasa dilayanin kan. Cuma aja terlalu cepet deh nganterin makanannya. Aku aja belom kelar makan eh udah dikasih makanan lagi. Duh… Brian tentu aja bahagia banget. Dua jam lebih terus-terusan senyum sumringah, mesra banget juga sama istrinya. Aku juga ikutan bahagia banget deh ngeliatnya, mam.”
“Oh iya pastinya… Ya resepsi di sana emang beda kan, Ran. Kamu masak lupa? Kan waktu nikahan Mbak Santi juga seperti itu resepsinya. Trus Brian gak tanya tuh soal Aji siapa? Gak komentar apa-apa?” tanya mama ceplas ceplos, tanpa peduli kalau Maharani mungkin saja sedang tidak ingin membahas segala hal itu.
“Mama…..”
“Apa, Ran? Pertanyaan mama salah ya?” Alis mama naik setengah senti, sambil mengernyit bingung.
“Ya enggak salah sih. Pas waktu resepsinya sih gak nanya lah, mam. Brian juga tahu situasi kali. Tapi setelah itu dia tanya Rani di sms. Ya Rani bilang itu temen Rani. Trus ya udahm segitu aja. Ngapain juga dia repot-repot ngurusin urusan Rani kan? Mama ada-ada aja ah..”
"Sebetulnya kamu sama Aji gimana sih, Ran?"
"Kan udah pernah Rani ceritain, mam? Rani sama Aji gak ada apa-apa. Ya kita temenan aja. Aji tuh.. Ah ceritanya panjang deh, mam."
“Panjang gimana?"
“Eh.. Ini kok pedas amat ya kuahnya, mam?” Alih-alih menjawab pertanyaan mama, Maharani malah mengomentari kuah pempek yang buatnya kelewat pedas itu.
“Iya tuh. Tadi mama juga makan pedas banget.”
“Orang Palembang kayak gini dibikin buat sarapan loh, mam.”
“Aih? Perutnya gak sakit ya makan begini pagi-pagi?”
“Duh, Rani belum pernah bikin survey soal itu, jadi gak bisa jawab ya…”
“Ish, kamu ini….”
Mama meninggalkan Maharani yang masih asik dengan pempeknya, kembali menonton sinetron kesukaan ibu-ibu masa kini. Maharani juga kembali lagi dengan pikirannya sendiri. Memandangi layar ponselnya yang sedari tadi masih saja membisu.
Udah dapet taksi? Makasih buat semuanya. Maaf karena semuanya juga. Begini bikin aku jadi gak bisa lagi minta tolong sama kamu. Makasih
Maharani segera menyentuh button send ke nomer Aji. Ia tahu bahwa semestinya ia berhenti merasa bersalah. Karena Aji sendiri yang menyanggupi permintaannya. Tapi entah mengapa rasanya ia sudah menyusahkan Aji sedemikian rupa. Sejak dari tiga hari lalu, ketika Aji harus ke rumahnya, menjemputnya, dan memulai perjalanan ke Jogja sampai dengan barusan ia kembali mengantarkan Maharani ke rumah. Maharani merasa menyesal dirinya masih juga belum mahir untuk mengendarai mobil. Merasa payah sekali.
Sama-sama. Aku juga makasih.. Udah di taksi kok.
Layar berpendar-pendar menampilkan pesan masuk dari Aji. Maharani menghela napas, merasa semakin lelah. Pempeknya sudah habis. Dengan lemas Maharani melangkah ke kamarnya. Ingin segera menenggelamkan dirinya dalam balutan hangat selimut tebal yang sudah menunggunya di kamar. Maharani hanya ingin tidur terlelap, sejenak melupakan semuanya. Tentang punggung Aji yang menghilang dalam gelap malam dan rintik hujan, tentang pekerjaan kantornya yang menumpuk, tentang besok pagi-pagi ia harus kembali lagi ke kota hujan. Beberapa menit kemudian, semuanya memang menghilang, Maharani sudah tertidur nyenyak.

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^