Sunday, 21 March 2010
Si Gadis Hujan
Sore yang basah begini, di dalam sebuah bis, apa kira-kira yang bisa kita bicarakan? Jangan ajak aku bicara soal politik, aku tak pernah berminat. Dan kali ini juga aku sedang tak ingin bicara soal permasalahan global atau apapun yang membuat pusing. Hmm,, bagaimana kalau bicara soal cinta? Bukankah cinta tak pernah habis dibicarakan? Dan walaupun kadang membuatmu pusing, tapi kau selalu ingin bicara soal cinta, lagi dan lagi. Ya khan?
Bicara soal cinta ya, hmm... Selama ini aku sudah berkelana kemana-mana. Dari satu tempat ke tempat lain. Banyak hal yang ku lihat. Beragam macam, beragam makhluk. Tak sedikit pula macam-macam cinta yang ku saksikan. Dari cinta seorang laki-laki pada wanita pujaannya, cinta seorang ibu pada anaknya, cinta kumbang pada bunga mekar, bahkan cinta langit pada bumi.
Tapi jangan tanya aku apakah aku pernah jatuh cinta atau mencintai sesuatu, bahkan mungkin seseorang. Aku tak pernah merasakannya. Lagipula, aku tak yakin aku bisa jatuh cinta. Hmm..
Sampai ketika sore itu, sore yang basah lainnya, basah seperti sekarang ini karena langit sedang mencurahkan segenap cintanya kepada sang bumi yang merengek meminta derai hujan kasih dari langitnya. Langit tentu saja dengan senang hati membasahi buminya, memberi kehidupan dengan curahannya.
Sore itu aku merasakan ada sesuatu yang berdesir di dalam sana. Aku tertegun menyaksikan pemandangan indah yang ada di depanku. Aku sempat bingung sejenak, makhluk apakah yang ada di depanku sekarang. Mungkinkah dia seorang bidadari? Ah, tapi dia tak bersayap. Aku belum pernah melihat bidadari. Tapi kata orang-orang bidadari itu bersayap. Kalau begitu berarti dia adalah seorang gadis. Gadis yang amat cantik. Karena gadis-gadis yang selama ini pernah ku lihat tak ada yang secantik itu.
Aku hanya bisa memandanginya. Lagipula, memangnya aku mampu berbuat apa? Jadi aku hanya terus memandanginya sepanjang sore itu. Gadis itu terus duduk di situ, di tangga masuk kantornya, kau tahu khan lobi depan sebelum pintu masuk yang selalu ada benda persegi panjang bertuliskan kata "Welcome"? Nah di situlah, tak jauh dari benda persegi panjang tadi, dia, gadis itu, duduk memandangi rinai hujan yang turun menderas. Gadis itu seperti berada di tempat lain, bukan di bumi yang sama denganku.
Dia terlihat amat khusyu menekuri tiap rinai hujan. Seolah dia mampu bicara dan berbagi cerita dengan mereka. Kadang dia tersenyum, tapi tak jarang dia terlihat hampir menangis. Belakangan aku malah pernah melihatnya tertawa. Sesekali dia membentangkan tangannya, mencoba merasakan rinai hujan membasahi dirinya. Kadang dia juga memejamkan matanya, mencoba membaui bumi yang basah.
Dan aku? Aku masih terus memandanginya. Tak hanya sore itu, tapi juga sore-sore basah berikutnya. Dia, masih seperti pertama kali, tak pernah menghiraukanku, tak menganggap aku ada, kurasa dia malah tak sadar aku ada. Dia hanya selalu bergegas keluar dari ruangannya, dan duduk di situ, di dekat benda persegi panjang itu, tiap kali hujan turun. Setelah itu dia akan memulai ritualnya menonton hujan.
Tapi itu bukan masalah bagiku, selama aku masih bisa memandanginya melihat hujan. Entahlah apakah seperti ini yang dinamakan jatuh cinta? Karena aku akan kecewa bila tak melihatnya sekali saja dalam sehari. Dan aku akan merasa amat senang tiap kali melewatkan satu sore lainnya lagi dengan memandanginya.Aku tak tahu sampai kapan aku akan seperti itu.
Tapi kemudian aku tahu ujung penantianku. Sore ini. Ya, sampai akhirnya sore ini datang.
Kini aku bersamanya, bersamanya menikmati rinai hujan yang turun. Aku sampai kelelahan bersorak kegirangan dalam diam. Betapa indah sore ini. Walaupun kali ini bukan di depan kantornya. Tapi di dalam sebuah bis yang melaju pasti ke suatu terminal di sepetak tempat di ibukota sana.
Sore ini aku bersamanya. Tak sengaja ikut bersamanya. Angin tadi sore agak kencang sewaktu dia bergegas melewatiku. Dan ya, terima kasih untuk angin yang kebetulan menerbangkanku ke atas sepatunya.
Oh ya, kenalkan, namaku debu.
Dan menurutku tak ada kebetulan. Jadi, angin tadi memang ditakdirkan untuk membawaku padanya, gadis hujanku.
-aku, sebutir debu yang kebetulan, oh bukan kebetulan tapi ditakdirkan, untuk menempel di keset lobi sebuah kantor, yang kini berhasil mendarat di sepatu gadis yang kucintai-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
manisnya mbak... aku sukaaaa.. makin pinter nulis ah si mbak..
ReplyDeletehehe, makasi :">
ReplyDeletekalo lagi demam jadi kek gini ini, :p