Monday 22 March 2010

Cintaku Terhalang Sekat


Siang ini aku harus berhasil mengajaknya makan. Harus. Sudah hampir seminggu ide ini bercokol di kepalaku sejak pertama kali aku melihatnya. Kemana diriku yang playboy itu eh? Kalau cuma perkara makan siang begini saja aku tak berkutik sama sekali. Oh oke, aku bukan playboy, cuma cowok yang agak urakan dengan style yang amat santai, yang biasanya dengan mudah bisa menggaet cewek manapun yang aku mau.

Tapi Diar beda. Tiap kali aku ingin bicara dengannya entah kenapa sepertinya ia malah jadi beralih kepada hal lain. Diar, anggota tim baru sekaligus paling junior di tim kreatifku. Kami berempat adalah anggota tim B di perusahaan iklan yang baru saja merintis ini. Seluruh anggota tim, yang berarti aku dan Diar juga dua orang lainnya, punya ruangan khusus untuk tiap tim. Meja kami sebenerannya masih menjadi satu, hanya saja diberi sekat setinggi satu koma dua meter di tiap sisi yang bersisian dengan anggota lainnya. Jadi seperti sebuah persegi besar yang dibelah menjadi empat persegi lainnya yang lebih kecil. Walaupun begitu kami masih bisa saling bersenda gurau, dan bila berdiri maka akan terlihat yang lainnya. Mejaku tepat di sebelah kiri meja Diar, jadi seharusnya dengan mudah aku bisa berbincang dengannya.

Siang ini aku harus berhasil mengajaknya makan siang.

*

Huff, sampai kapan aku hanya mampu mengintip ke mejanya? Kenapa aku tak mencoba untuk menyapanya lebih dahulu saja? Arrrghh, hal itu adalah hal yang amat tabu untuk seorang wanita. Apa kata teman-temanku nanti kalau aku sungguhan melakukan hal itu? Terlebih apa kata dunia kalau sampai orang sekantor mengetahuinya. Tidak. Tidak akan.

Tapi kalau aku tak bisa mendekatinya, buat apa dong aku susah-susah berhasil diterima di kantor ini? Padahal tujuanku melamar di kantor ini hanya ingin mendekatinya, mendekati Adri, kakak kelasku yang sudah kusukai sejak kuliah dulu. Belakangan aku tahu dia bekerja di kantor ini. Hmm.. Mungkin aku bisa mulai mendekatinya siang ini, mengajaknya makan siang mungkin?

Hei, dia khan hanya ada di meja sebelahku, persis di sebelah kananku, lalu kenapa perkara ini jadi susah sekali kelihatannya?? Apa karena sepertinya dia tak pernah melihatku? Kenapa tiap kali ku ajak bicara dia malah membelokkan pembicaraan pada si cowok di sebelahku itu, cowok yang berantakan dan kelewat santai itu? Yang berbeda sembilanpuluh derajat dengan Adri itu. Aduh, siapa ya namanya? Aku masih gak hapal....

*

Baiklah. Aku sudah memutuskan, aku akan mengajaknya makan siang hari ini. Yah, walaupun selama dua tahun ini kami sering makan siang bersama, tapi itu khan selalu dengan teman-teman yang lainnya. Selama dua tahun ini aku tak berani mengajaknya makan siang, padahal sudah tak terhitung perbincangan yang ku mulai untuk mengajaknya.

Gayanya yang santai selalu bisa membuatku tenang. Aku yang terlalu mudah panik dan perfeksionis. Aku yang selalu rapi. Ardi yang selalu bisa membuat orang lain tertawa dengan gurauan dan cerita lucunya yang sepertinya tak pernah habis itu.

Hari ini, aku gak akan membuang-buang waktu lagi. Tak peduli apa kata orang nanti. Bahkan bagaimana tanggapanmu nanti. Apapun yang akan terjadi nanti, aku tak akan menyesalinya. Aku harus bisa menyelesaikan urusan ini hari ini juga. Kenapa juga yah aku tak langsung menempati meja di sebelahnya sebelum si anak baru yang centil ini masuk dan menguasai tempat yang ku inginkan sejak lama, dasar centil. Jangan-jangan dia juga suka Ardi? Oh, tidak. Jangan harap.
Wah, lima menit lagi jam makan siang. Harus berhasil.

*

Akhirnya jam berdentang dua belas kali. Di waktu yang bersamaan ketiga orang tadi bangun serempak dari duduknya. Saling melihat rikuh. Bingung hendak mengatakan apa, seolah saling melempar bola panas kepada yang lainnya agar bicara lebih dulu.

Ard..

Eh, Diar..

Mas Adri..

[aduh, kenapa dia malah manggil cowok itu sih? Khan aku duluan yang manggil?]

[tuh khan, dasar ganjen, dia pasti udah berganjen-ganjen duluan deh tadi, meja mereka khan sebelahan]

[arrggghh, kenapa jadi orang itu sihhh...]

Hei, kalian gak mau makan siang?

Eh mas Idar... Mau kok.. Yang lain?

Gak deh, aku gak laper. Kamu, Di?

[plis jawab enggak.....]

Laper sih, tapi... nanti deh, duluan aja..

[sial, kenapa harus muncul sih?]

So, kamu gimana, Diar?

Mau sih.. Mas Idar mau makan siang?

Iya nih. Mau bareng?

Umm, boleh deh, yuk?

[yahh, jadinya kok sama orang ini sihh.. aduh]

Yuk, Ard, Dri, kami duluan yaaa...

[hahaha9, payah kalian ini...]

*

Nah seharusnya begitu. Dasar cecunguk bodoh. Masa mengajak makan siang seorang cewek saja gak mampu semua gitu? Halah, bertekuk lutut seketika itu juga sang wanita membuka mulut?? Begitu? Cih.. Bagaimana kau bisa dapat pasangan yang cantik dan menarik kalau begitu?

Lihat lah aku, seorang Idar, yang hanya butuh tidak lebih dari lima menit tanpa berpikir rumit sebelumnya mampu mengajak Diar yang cantik ini. Hahahaha9. Jangan kira aku tak memperhatikan gelagat kalian berdua, hai para cecunguk. Percuma hanya berpikir dan berpikir saja di meja itu. Kalian pikir aku hanya bekerja saja tanpa melihat kelakuan kalian? Hei, mejaku khan masih ada di sebelah kalian, tepat di kanan kiri kalian, Adri dan Ardi, ingat itu.

*

Mau makan apa, Diar?

Umm, apa aja sih.. Oh ya, mas Idar, katanya istri mas Idar habis melahirkan ya? Katanya udah sebulan
lalu? Aku baru tahu, mas.. Selamat yaaa...

Hah? Oh iya.. Makasih, Diar..

Loh? Kok mas Idar malah gelapan begitu?

Eh, gak apa-apa. Umm, aku gak jadi makan kayaknya, Diar.. Tiba-tiba sakit perut. Kamu makan sendiri gak apa khan?

[sial, maafkan aku, istriku... ku mohon, aku khilaf barusan, padahal kamu sudah menyiapkan bekal makan siang untukku meski tubuhmu belum pulih benar]

Oh, ya udah.. Gak apa...

[cowok-cowok kantor ini kenapa sih? aneh semua begini, ck ck ck....]

3 comments:

  1. PERTAMAX...SELAMAT SINK TEMAN...SALAM KNAL...

    ReplyDelete
  2. mbak kunjungan balik sama komentar ke orangnya yg komen tuh hehe

    ReplyDelete

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^