Terkadang saya benar-benar mengira bahwa semua pertemuan pasti akan menjumpai perpisahan, cepat atau lambat. Diawali dengan sebuah pertemuan yang biasa saja. Saya berteman dengan si Pulan yang ternyata juga berteman dengan kamu. Lalu kemudian kita saling bertemu pertama kali karena si Pulan mengadakan suatu acara dan mengundang semua temannya. Jadi kita bertemu di situ dan berkenalan. Sebagai teman tentunya.
Dan seperti cerita kebanyakan yang dipersingkat dengan kalimat ‘hari berganti minggu, minggu berganti bulan’ yah begitu pula dengan cerita kita. Saya dan kamu berteman, bahkan jauh lebih akrab ketimbang kamu dengan si Pulan. Saya sendiri tak pernah mengira kita akan bisa sedekat itu. Mungkin karena kita punya hobi yang sama.
Kemudian kamu memutuskan untuk memberanikan diri mengutarakan apa yang kamu rasakan saat itu. Kamu merasa kalau sayalah wanita yang selama ini kamu cari. Sayalah wanita yang bisa membuat kamu merasa nyaman. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti, kamu hanya ingin mengatakan apa yang memang ingin kamu katakan saat itu. Yah, kamu memang terkadang kelewat jujur sampai saya jadi percaya semua yang kamu katakan adalah jujur.
Jadi kita memulai sesuatu yang baru. Bukan pertemanan yang kemarin. Saya jadi sering memikirkan kamu. Kita jadi semakin sering berkomunikasi. Saya tertawa pada apa saja yang kamu lakukan, apapun itu asal kamu yang melakukan jadi terlihat lucu buat saya. Bahkan kadang hanya membayangkannya saja sudah bisa membuat saya tertawa.
Kita jadi saling memanggil dengan panggilan lucu-lucu, panggilan sayang. Saya jadi semakin sering menulis tentang kamu. Menulisimu berlembar-lembar puisi padahal saya tahu kamu tak suka puisi. Kamu jadi tambah hobi berkaraoke lewat telepon genggammu dengan saya yang setia mendengarkan di ujung satunya. Kita jadi terlihat seperti sepasang kekasih yang benar-benar sedang jatuh hati.
Tapi kemudian kalimat ‘hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan blablabla’ itu kembali datang. Kali ini rasanya tidak menyenangkan seperti yang sebelumnya. Karena seperti alur cerita manapun, setelah klimaks kemudian akan disusul dengan antiklimaks sampai akhirnya selesai.
Kita tak lagi saling memanggil dengan panggilan sayang, mungkin pada akhirnya kita sadar kalau panggilan-panggilan itu terdengar konyol. Rasanya jadi aneh memanggilmu dengan segala panggilan itu. Tak ada lagi karaoke lewat telepon genggam di malam hari. Tak ada lagi puisi-puisi. Bahkan nomer teleponmu lebih sering absen ketimbang hadir di catatan log telepon genggamku.
Lambat laun segalanya mulai kembali seperti saat kita tak saling mengenal. Perlahan kamu menghilang. Mungkin kamu tetap ada di situ, tapi jadinya… biasa saja. Kamu ada atau tidak ada rasanya tak berbeda. Karena saya mulai terbiasa kembali sendiri. Atau mungkin, saya berusaha untuk terbiasa?
Saya lupa rasanya jatuh hati pada kamu. Mungkin memang itu yang kamu mau. Mungkin ini saatnya perpisahan dari pertemuan itu terjadi? Pertemuan yang akan menjumpai perpisahan. Saya tidak tahu. Saya hanya tahu kalau saya….
….rindu kamu..
yang dulu.