Friday, 20 December 2013

Pergilah saja....

Kamu tahu? Rasanya aku ingin berteriak, ingin memaki sekuat yang aku mampu lakukan. Rasa yang masih ku sembunyikan hingga kini, hampir meledak seperti gunung berapi yang memuntahkan lahar panasnya. Meledak serupa letusan gunung berapi yang tak lagi mampu menanggung panas yang bergejolak di dalamnya. Kini aku bisa bersimpati pada gunung-gunung berapi itu. Betapa mereka bersusah payah menanggung segalanya sampai akhirnya menumpahkan beban panas begitu saja.

Aku mendidih. Mendidih melihatmu datang dan pergi sesuka hatimu. Mendidih merasa menjadi hanya sekedar tempat persinggahan sesaat untuk kemudian kamu tinggalkan lagi. Itupun hanya bila kamu menginginkan untuk singgah di sini. Bahkan terminal bus masih lebih baik karena disinggahi secara teratur dan terjadwal. Sedang aku? Apa aku yang sebenarnya buatmu? 

Aku mendidih. Mendidih ketika bahkan kamu tak sempat membalas satu pesan singkat yang ku kirimkan. Pesan singkat yang buatmu hanyalah sampah. Bahkan sampah masih punya arti, lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Oh ya tentu saja aku tak lupa kalau kamu sibuk 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kamu bahkan sibuk 60 detik semenit. Atau sampai nanodetik pun sibuk? Sampai kamu bahkan tak sempat membalas pesan singkat yang ku kirimkan. Pesan singkat yang buatmu hanyalah sampah.

Aku mendidih. Mendidih ketika bahkan aku sama sekali tak menempatkan perasaanku kepadamu dan kamu memperlakukanku tanpa perasaaan, tapi aku malah mendidih seperti ini. Ku katakan ini padamu, bahwa aku sama sekali tak pernah mencintaimu, merindukanmu, atau apapun itu hal cengeng yang biasanya sering aku lakukan di masa lalu. Tidak. Tidak lagi seperti itu, terutama terhadapmu. Tapi meski begitu, aku masih saja mendidih. 

Aku mendidih. Mendidih karena aku menjadi terbiasa untuk diabaikan. Terbiasa untuk tak didahulukan. Terbiasa untuk tak dianggap ada. Tak penting. Mendidih karena aku membiarkan diriku menjadi seperti itu. Mengapa? Mengapa aku jadi seperti itu? Mengapa aku harus mengemis padamu? Bahkan ketika kamu bukan apa-apa buatku, kamu bukan siapa-siapa, kamu bahkan tidak seberharga itu. Tapi mengapa?

Apakah aku sudah semenyedihkan itu? Apakah aku sudah separah itu? Apa yang harus aku lakukan? Tak bisakah aku lupa ingatan saja tentangmu? Semua tentangmu hilang begitu saja. Tak bisakah?

Ingatkah kamu malam itu? Ketika aku bertanya padamu, ‘akankah kamu berusaha untuk membuatku mengingat tentangmu lagi bila aku tetiba lupa ingatan?’ Dan jawabanmu seperti yang sudah aku kira. Bahwa kamu tak sudi repot-repot untuk mengembalikan ingatanku. Maukah kamu untuk tetap seperti itu bila aku sungguh lupa ingatan? Ku mohon, biarkan saja aku tak lagi mengingat segala tentangmu. Tentangmu yang saat ini ingin sekali ku lenyapkan.

Ingatkah kamu malam itu? Ketika kamu bertanya, ‘haruskah aku pergi selamanya dari hidupmu?’ Malam itu aku tak bisa menjawabnya. Sekarang, bila aku memintamu untuk pergi, bisakah kamu untuk tak pernah kembali lagi? Sama sekali? Jangan pernah lagi datang padaku. Apapun yang terjadi padamu. Atau apapun yang ku katakan padamu bila tetiba aku memintamu kembali. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Meski aku meminta, memohon, dan merajuk padamu. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Meski kamu begitu menginginkannya, meski kamu tak tahu lagi kemana harus pergi kecuali kepadaku. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Bahkan jangan pernah memikirkan ide untuk datang lagi. Pergilah.. dan jangan pernah kembali.

Karena aku sudah lelah. Aku lelah menangisi diriku sendiri yang semakin tak ada artinya di matamu. Aku lelah mengutuki diriku sendiri yang setiap kali luluh lagi. Aku lelah menjadi seperti ini. Apapun namanya. Aku lelah menyia-nyiakan hidupku untuk hal semu yang kamu kepulkan di sekelilingku. 

Pergilah… dan jangan pernah kembali.

Meskipun sekali.

Meskipun sesaat.