Kamu tahu? Rasanya aku ingin berteriak, ingin memaki sekuat
yang aku mampu lakukan. Rasa yang masih ku sembunyikan hingga kini, hampir
meledak seperti gunung berapi yang memuntahkan lahar panasnya. Meledak serupa
letusan gunung berapi yang tak lagi mampu menanggung panas yang bergejolak di
dalamnya. Kini aku bisa bersimpati pada gunung-gunung berapi itu. Betapa mereka
bersusah payah menanggung segalanya sampai akhirnya menumpahkan beban panas
begitu saja.
Aku mendidih. Mendidih melihatmu datang dan pergi sesuka
hatimu. Mendidih merasa menjadi hanya sekedar tempat persinggahan sesaat untuk
kemudian kamu tinggalkan lagi. Itupun hanya bila kamu menginginkan untuk
singgah di sini. Bahkan terminal bus masih lebih baik karena disinggahi secara
teratur dan terjadwal. Sedang aku? Apa aku yang sebenarnya buatmu?
Aku mendidih. Mendidih ketika bahkan kamu tak sempat
membalas satu pesan singkat yang ku kirimkan. Pesan singkat yang buatmu
hanyalah sampah. Bahkan sampah masih punya arti, lapangan pekerjaan bagi banyak
orang. Oh ya tentu saja aku tak lupa kalau kamu sibuk 24 jam sehari, 7 hari
seminggu. Kamu bahkan sibuk 60 detik semenit. Atau sampai nanodetik pun sibuk? Sampai
kamu bahkan tak sempat membalas pesan singkat yang ku kirimkan. Pesan singkat
yang buatmu hanyalah sampah.
Aku mendidih. Mendidih ketika bahkan aku sama sekali tak
menempatkan perasaanku kepadamu dan kamu memperlakukanku tanpa perasaaan, tapi
aku malah mendidih seperti ini. Ku katakan ini padamu, bahwa aku sama sekali
tak pernah mencintaimu, merindukanmu, atau apapun itu hal cengeng yang biasanya
sering aku lakukan di masa lalu. Tidak. Tidak lagi seperti itu, terutama
terhadapmu. Tapi meski begitu, aku masih saja mendidih.
Aku mendidih. Mendidih karena aku menjadi terbiasa untuk
diabaikan. Terbiasa untuk tak didahulukan. Terbiasa untuk tak dianggap ada. Tak
penting. Mendidih karena aku membiarkan diriku menjadi seperti itu. Mengapa? Mengapa
aku jadi seperti itu? Mengapa aku harus mengemis padamu? Bahkan ketika kamu
bukan apa-apa buatku, kamu bukan siapa-siapa, kamu bahkan tidak seberharga itu.
Tapi mengapa?
Apakah aku sudah semenyedihkan itu? Apakah aku sudah separah
itu? Apa yang harus aku lakukan? Tak bisakah aku lupa ingatan saja tentangmu? Semua
tentangmu hilang begitu saja. Tak bisakah?
Ingatkah kamu malam itu? Ketika aku bertanya padamu, ‘akankah
kamu berusaha untuk membuatku mengingat tentangmu lagi bila aku tetiba lupa
ingatan?’ Dan jawabanmu seperti yang sudah aku kira. Bahwa kamu tak sudi
repot-repot untuk mengembalikan ingatanku. Maukah kamu untuk tetap seperti itu
bila aku sungguh lupa ingatan? Ku mohon, biarkan saja aku tak lagi mengingat
segala tentangmu. Tentangmu yang saat ini ingin sekali ku lenyapkan.
Ingatkah kamu malam itu? Ketika kamu bertanya, ‘haruskah aku
pergi selamanya dari hidupmu?’ Malam itu aku tak bisa menjawabnya. Sekarang,
bila aku memintamu untuk pergi, bisakah kamu untuk tak pernah kembali lagi? Sama
sekali? Jangan pernah lagi datang padaku. Apapun yang terjadi padamu. Atau apapun
yang ku katakan padamu bila tetiba aku memintamu kembali. Jangan pernah
lagi, meskipun sekali. Meski aku meminta, memohon, dan merajuk padamu. Jangan pernah
lagi, meskipun sekali. Meski kamu begitu menginginkannya, meski kamu tak tahu
lagi kemana harus pergi kecuali kepadaku. Jangan pernah lagi, meskipun sekali. Bahkan
jangan pernah memikirkan ide untuk datang lagi. Pergilah.. dan jangan pernah
kembali.
Karena aku sudah lelah. Aku lelah menangisi diriku sendiri
yang semakin tak ada artinya di matamu. Aku lelah mengutuki diriku sendiri yang
setiap kali luluh lagi. Aku lelah menjadi seperti ini. Apapun namanya. Aku lelah
menyia-nyiakan hidupku untuk hal semu yang kamu kepulkan di sekelilingku.
Pergilah… dan jangan pernah kembali.
Meskipun sekali.
Meskipun sesaat.