Friday, 30 January 2015

i lost my right one...

“So, how was your holiday? Wasn’t it great, eh?” Maharani meletakkan gelas plastik berisi cairan kental berwarna cokelat dengan tambahan cream kental berwarna putih sebagai toppingnya yang dijual dengan harga agak di luar nalar, sejujurnya. Tapi Maharani hanya bisa tersenyum sinis mengetahui bahwa toh setidak masuk akal apapun, nyatanya ia ada di situ menyeruput cairan kapitalisnya melalui sedotan ukuran besar yang begitu kaku. Toh ia tetap membelinya, lebih kepada seperti ia menyewa kursi beserta meja dan tempat tersebut untuk bisa mengobrol santai dengan sahabatnya yang baru pulang berlibur. Juga termasuk tisu putih segiempat tanpa cela yang tak ketinggalan merek glamour si cairan cokelat tertulis di atasnya.

“Well, it was really fun though. I never knew that it will going so great, exciting, fun, oh whatsoever you called it lah. Rasanya seperti baru aja dicharger ulang, tau gak? Seperti hidup. I do really alive, I can even feel my blood running in my vein, my heart’s beat, it’s  more than great. I cant help my self from smiling everytime. Yah you know, you did it once, didn’t you?” Gadis di hadapannya memang terlihat begitu bahagia, itu tak bisa dipungkiri. Lihat saja, sejak tadi ia tak berhenti tersenyum, seolah baru saja menang undian ratusan atau bahkan milyaran rupiah.

“Yeah, I did. I really miss it, anyway. I miss my past life. Miss that feeling when I’m travelling around. But well yeah, c’est la vie, ma cherie.. You can have it all, but you can't have it all at the same time. You get the A, but in other side you have to let the B go. Nah jadi kemana aja kemarin? Asik banget kayaknya yah?”

“Banget lah… banyak deh, kayak yang gw laporin tiap hari ke lu itu lah… Resume-nya yaaaa, hmmm, gak menyesal sudah nekad pergi ke sana meski sendirian. Meski tadinya gw nervous karena yah ini Thailand loh, bukan Indonesia, bukan juga Singapore atau Malaysia yang masih banyak orang melayunya dan tulisannya pun masih jelas huruf Latin, bukan aksara kriwil-kriwil yang gw gak tau artinya apa. Tapi overall, gw bahagia banget bisa melakukan perjalanan itu kemarin. Lebih dari sekedar manis gurihnya Sticky Rice with Mango, atau asam pedasnya Seafood Tom Yam, ohh atau manis nikmatnya Mango Rotee, lebih dari itu…. Juga lebih dari sekedar mewahnya Grand Palace, lebih dari sekedar cantiknya Phi Phi Island. Sulit, nona. I cant find words to describe my feeling. Lebih dari itu semua. Karena gw bisa berhasil mengalahkan ketakutan gw, lu tau sendiri gw gampang nyasar, kemarin aja gw bergantung banget sama Gmaps. Hahahaha. Seru lah…”

Maharani tersenyum mendengarkan cerita sahabatnya yang begitu bersemangat. Ia juga tahu betul bagaimana rasanya, persis. Tiga tahun lalu ia juga berada di posisi itu. Terpaksa harus pergi sendirian karena sahabatnya itu harus menjalani ujian tepat pada saat seharusnya mereka sedang menikmati keindahan Phi Phi Island. Dengan sekuat tenaga mengalahkan rasa takutnya, ia pun berangkat sendirian, tak tanggung-tanggung pergi ke dua negara dan empat kota dalam waktu sepuluh hari. Pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan. Bahkan sampai pada detail paling kecil sekalipun.

“Eh udah ah, kok jadi cerita gw terus sih? Ini ceritanya lu masih kekeuh nih mau nyari itu sandal? Lu bukannya udah ngobrak-ngabrik mall se-Bekasi ya? Emang gak ada sandal lain gitu?” Maharani menghela napas mendengar cerocosan pertanyaan dari sahabatnya itu.

“What can I say lah? Lu tau, seperti yang udah gw ceritain, sebetulnya ini kayak semacam love at the first sight sih…” jawab Maharani asal, malas mencari alasan lain.

“Hahahaha, apaan deh. Sama sandal aja pake love at the first sight segala lu. Tinggal beli aja sih yang ada, ngapain juga nyari yang gak ada, lu sih apa-apa dibikin ribet sendiri. Lagian yang kawin kan sepupu lu? Bukan lu kan yak? Gak usah ribet-ribet dah.”

“Eh mulut lu ya… Gak gitu, nona. Pertama kali gw lihat sandal ini tuh rasanya gw langsung suka aja gitu… manik-maniknya, modelnya, hak-nya, semuanya deh… kayaknya yang lain jadi gak ada cantik-cantiknya lah dibanding sandal ini.” Maharani sekarang malah sudah melamunkan sepasang sandal cantik yang sampai sekarang tak bisa ia temukan.

“Gw udah kelilingin nih mall se-Bekasi, gak ada di mana-mana. Haruskah gw ngelilingin mall di Jakarta?”

“Hahahaha, mulai lebay deh… emang bagus banget yah? Harganya berapaan, nona?” kini bahkan sahabatnya mulai penasaran dengan sandal yang sedang sibuk menari-nari di benak Maharani.

“Bagus banget.. Ehh, harganya yah, ehmm, lumayan sih… aslinya gopek, diskon sepuluh persen, hehe. Cuma sayang, ukuran gw gak ada. Kan, mengecewakan.”

“Muahahahaha, lagak diaaaa… ngapain lu beli sandal harga gopek dah? Itu sandal mau lu pake kemana? Kawinannya di Hotel Mulia? Atau Balai Sarbini?”

“Ih nyinyir dah… Kawinannya di lapangan doang sih, jadi di deket rumahnya ada lapangan luas gitu deh, biasa dipake buat resepsi gitu, tinggal pasang tenda aja.” Maharani menjawab sambil menyeruput minumannya yang sudah tidak dingin lagi.

“Lah, kan… udah deh, nyerah aja lah, pake aja sandal lu yang ada. Atau beli aja sandal murah-murah kan banyak tuh… Gopek mah mending buat kita jalan-jalan ke mana kek gitu, beli tiket pesawatnya atau keretanya.. Gak penting deh beli sandal harga segitu.”

“Hoooh… ya tapi gw kebayang-bayang terus sama sandal ini.. gimana dong? Kayak lu gak pernah aja gila sama sandal?” dengan bibir manyun, Maharani menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi empuk yang sudah hampir satu jam ini ia duduki. Ternyata memang mengobrol itu membuat lupa waktu.

“Lahh, emang gak pernah dah… I still have my mind, and the last I checked it’s still on the right track anyway…”

“Eh, did you ever hear one English proverbs that say, ‘every shoe has its own pair’? Jangan-jangan, gw ini sepatu kiri, dan temen lu yang lagaknya lima juta itu adalah sepatu kanannya? Karena itu, bagaimanapun gw coba, gak bisa cocok dengan yang lain, yah bukan pasangannya kok.” Maharani yang sejak tadi melamunkan sepasang sandal cantiknya, kini tiba-tiba berubah arah.

“Hadeuh, bahas itu lagi… Move on lu apa kabarnya ya, nona?”

“Move on kok gw. Santai atuh. Ini kan cuma permisalan. Gimana misalnya kalau gw ini sepatu, a customized one malah, yang bikinnya emang beneran diukur kakinya, bukan sekedar ukuran standar. Yang desainnya juga cuma untuk sepatu itu aja, yang manik-maniknya unik dan antik, yang eh yah cuma ada buat sepasang itu aja. The real customized handmade pair of shoes. Yang bahkan gak akan bisa ditemuin pasangannya di manapun lagi, kecuali pasangannya sejak mula-mula, yang dibuat memang untuk jadi sepasang, kayak uhmm sepatu-sepatunya Niluh Djelantik itu loh.. Tau kan? Atau ekstremnya lagi, kayak sepatunya Cinderella yang bahkan gak ada dua-nya di dunia. Nah lu kalau pake sepatu lain sebelah, even yang customized kek yang standar kek, emangnya nyaman? Enggak kan? Maksud gw,..,”

“Ah udah deh, there’s no such thing like that. You are human, so be a human, not a shoe or whatsoever. It’s enough ya, you’re not a shoe. Neither he is. Dan kalian, kalau memang kalian ditakdirkan untuk jadi sepasang, ya let see then. But for now, he’s just your past, so move on. Lagipula, sepatu Cinderella itu emang gak bakalan ada dua-nya di dunia, wong satu pasang aja gak ada kok. Itu khayalan, kha-ya-lan. Wake up dong.. jangan kayak anak umur lima tahun yang masih percaya kalo labu bisa berubah jadi kereta dan upik abu bisa jadi ratu.” Sahabatnya langsung memotong perkataan Maharani yang mulai mengarah pada topik yang tidak jelas solusinya. Bukannya tidak ingin mendengarkan, hanya saja yah memang tidak ada gunanya lagi membicarakan hal yang sudah jelas duduk perkaranya.

“Ish, iya iya,,, yaudah lah.. Lupakan saja, gw kadang suka ngaco sih memang.. Tapi omong-omong, kalo sepatunya Cinderella emang bener-bener pas di kakinya, which is like we and the rest of people in the world, know that it’s made for her, only her feet that fix with that damn shoes, why did it fall off then? Why?”

“Hahahaha… Mana gw tau lah? Peduli amat sama Cinderella dan sepatu kacanya yang gak eksis itu. Lagi pula, gw gak pernah dengar kata-kata tadi itu. ‘Every shoe has its own pair’. Dari mana lu dengar itu? Aneh. Yang gw tahu ya, ‘Try to put yourself in my shoes’ ya bukan?”

“Hahahaha bukannya yang bener itu, ‘Life is short, buy the damn shoes!’ setuju kagak?”

“Iyuhhh, belanja lagiiiiii,,, kagak setuju, gw bangkrut nih…”

“Beuhh, tau deh yang baru pulang pelesiran sampe bangkrut…. Hahahahah” Hari sudah mulai sore ketika kedua sahabat keluar dari kedai kopi yang semakin ramai dengan pengunjung. Suatu paradoks yang lagi-lagi membuat Maharani tersenyum sinis, merasa heran melihat yang akhir-akhir terjadi. Bahkan terlalu banyak terjadi hal-hal yang sepertinya saling bertentangan. Entahlah, mungkin orang-orang sudah terlalu lama tidak mendapat hiburan. Atau mungkin seperti yang akhir-akhir ini juga sering ia dengar, ‘Mungkin mereka cuma kurang piknik’. Hahahaha, jadinya ia juga menertawakan diri sendiri yang mungkin saja juga kurang piknik. Entahlah.

P.S.: Picture taken from Google