Wednesday, 11 February 2015

Every morning when i wake up i always make a promise to sleep earlier at night than before. But then when night's coming, i just find myself sleep late. Again. And again. And again.

What is wrong with me? It's like something is really bothering me but i dont admit it, even for once.

Well, you know.

Maybe i just miss you.
A lot.

Monday, 9 February 2015

As sweet as oranges.... As sour as it is..

Hujan yang turun sejak semalam sepertinya belum akan reda, tetapi bajir sudah banyak melanda beberapa kawasan. Hara yang beruntung karena bekerja tidak jauh dari apartemennya tidak terpengaruh oleh hal itu. Ia tetap berangkat kerja dan pulang tepat waktu seperti biasa. Seperti sore ini ketika ia sudah sampai di apartemen mungilnya yang hangat, berbanding terbalik dengan cuaca di luar sana yang dingin dan muram. Tak butuh lebih dari lima belas menit untuknya mengendarai mobilnya dari apartemen ke kantor, begitupun sebaliknya. Biasanya ia lebih suka menggunakan sepeda motornya. Tetapi karena hujan yang turun terus menerus ia terpaksa harus memakai mobilnya.
Hara menghempaskan berat tubuhnya ke atas sofa merah hati favoritnya. Dengan malas melihat ponselnya yang masih bisu. Sudah hampir pukul enam dan smsnya yang terakhir masih belum dibalas. Pikirannya penuh dengan berita yang ia lihat di televisi saat makan siang tadi. Banjir di mana-mana. Akses jalan banyak ditutup. Lantas bagaimana orang-orang bisa pulang dengan keadaan seperti ini?  Lagi-lagi Hara melihat ponselnya, hening.
"Ah sudahlah. Mungkin ia hanya sedang di jalan saja. Terjebak macet atau apa.." Hara berkata pada udara di sekitarnya sambil melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
~~~

Jam di ponselnya sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika akhirnya Rei sampai di apartemennya. Perjalanan panjang hari ini cukup membuatnya kelelahan. Mungkin banyak di antara orang-orang yang melihat banjir beserta segala keruwetan jalanan lewat berita di televisi lalu mereka dengan mudahnya berkomentar ini dan itu. Tapi bagi ia yang berada di tempat kejadian butuh lebih dari kekuatan untuk sekedar berkomentar ini dan itu. Bagaimana akan berkomentar kalau ia dan orang-orang yang ada di situ sibuk dengan lalu-lintas yang macet di sana sini. Jadi alih-alih meributkan jalanan macet dan banjir di mana-mana, ia juga orang-orang yang ada di situ memilih untuk terus bergerak maju meski sejengkal demi sejengkal seraya berdoa semoga mesin kendaraan mereka tidak mogok di tengah jalan karena air yang masuk dan merembes ke dalam.
Meski begitu anehnya ia masih sempat untuk mampir di toko buah di dekat apartemennya. Seketika senyum menghiasi wajahnya saat memandangi tentengan kantong plastik berisi buah-buahan kesukaannya. Dengan campuran rasa lelah, senang, juga rindu, Rei masuk ke apartemen mungilnya yang hangat dan kering, berbanding terbalik dengan keadaan di luar sana, dingin dan basah.
"Honey, i'm home.." Teriak Rei sambil menutup pintu di belakangnya. Merasa agak heran karena gadisnya tak menyambut kedatangannya seperti biasa. Dan hanya butuh waktu sedetik untuk menemukan gadisnya yang kini tertidur di sofa merah hati favoritnya, oh favorit gadisnya awalnya lalu kemudian jadi favorit mereka berdua.
"Heii... Are you sleeping?" Rei membungkukkan badannya, mencium kening gadis di hadapannya. Tangannya yang dingin membelai lembut pipi gadisnya. Gadisnya perlahan terbangun, refleks tangannya menggosok-gosok matanya yang baru saja terlelap, padahal ia sudah berniat untuk menunggu Rei pulang. Tapi apa daya, kombinasi rasa lelah dan berendam dengan air hangat selama setengah jam telak membuat tubuhnya diserang kantuk yang begitu berat.
"Uhmm, hai.. Kamu udah pulang? Gimana tadi di jalan? Macet yah? Katanya banjir di mana-mana?" Suara gadisnya terdengar lucu sekaligus aneh karena diucapkan berbarengan dengan kuapan kantuk. Dengan satu tangan menggapai bahu Rei, gadis disebelahnya itu kini berusaha menyeimbangkan dirinya agar bisa duduk dengan tenang.
"Well yah begitulah... Capek nih.. Aku mandi dulu deh.." Ucap Rei, memindahkan kepala gadisnya dari bahunya ke sandaran sofa, lalu bangkit menuju kamar mandi. Berendam air hangat sepertinya ide yang harus segera ia realisasikan. Badannya begitu kedinginan seharian ini.
"Hu um... Ini kamu bawa apa, Honey? Di plastik ini?"
Rei yang sudah hampir sampai di pintu kamar mandi menoleh kepada gadisnya, "Oh itu.. Itu buah-buahan. Tadi aku mampir di toko buah situ. Mulai besok kita mulai FC lagi, gimana? Itu kamu juga jadi mulai jerawatan gitu." Tanpa menunggu reaksi gadisnya, Rei langsung melesat masuk ke kamar mandi, menyalakan kran air tepat di posisi suhu yang diinginkannya setiap kali berendam, berharap bathtubnya bisa segera penuh.
Sementara itu gadisnya bergegas masuk ke kamar dan melihat cermin. Sedikit tercekat saat melihat wajahnya yang agak kusam dan dua buah jerawat terlihat nangkring dengan manisnya di sana. Sepertinya ia memang harus memulai FC-nya lagi. Tidak boleh dibiarkan seperti ini. Dalam hati berjanji untuk lebih konsisten lagi, meski bayang-bayang kue-kue cantik nan manis berlalu-lalang dalam pikirannya.
~~~

Maharani sudah siap untuk berangkat ke kantor ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Spontan ia memutar tubuhnya, melihat ke atas meja barnya yang kini dipenuhi oleh buah-buahan kesukaannya. Dalam hati bertanya-tanya kapan ia membeli semua buah-buahan itu? Ia tak ingat pernah membelinya. Kemarin sore ia bahkan terlalu malas untuk mengeluarkan baju laundry-annya dari bagasi mobil, apalagi untuk mampir membeli buah. Meski begitu tangannya mengambil beberapa biji yang kini sudah tersusun di dalam lunch box-nya. Sudah lama ia tidak sarapan buah. Mungkin ia harus memulai kembali FC-nya, terlebih mengingat tadi pagi ia menemukan dua buah jerawat di wajahnya. Membuatnya kesal di pagi hari. Ah sudahlah, toh jerawat tidak akan membuatnya dipecat dari pekerjaannya atau apa. Maharani segera melangkahkan kaki ke garasinya. Hujan masih terus turun, tak mengeluh meski harus terjatuh berkali-kali.
~~~

"Ya, dengan saya sendiri, Biru Reitama. Apa? Oh maaf saya sedang tidak membutuhkan satu lagi program asuransi. Iya. Maaf. Oh begini, saya sudah harus rapat sekarang. Maaf ya, mas. Selamat siang." Biru menutup ponselnya. Telepon dari agen asuransi di pagi hari tentu bukan termasuk dalam pilihan menu sarapan favoritnya. Tentu saja ia sedang tidak akan rapat. Bosnya sedang di luar kota dan hujan masih turun sejak kemarin. Setengah karyawan di kantornya tidak hadir. Ia salah satu dari sedikit yang memaksakan untuk bisa sampai di kantor di tengah banjir di mana-mana, menghadapi macet yang begitu menguras kesabaran. Yah sepertinya pagi ini memang bukan pagi yang menyenangkan. Mungkin dengan sarapan ia akan jadi merasa lebih baik, begitu pikir Biru ketika tiba-tiba matanya melihat sepiring penuh berisi buah-buahan yang sejak tadi tidak terlihat olehnya. Ia jadi teringat program FC-nya. Mungkinkah ini pertanda ia seharusnya kembali melakukan FC? Tapi omong-omong siapa yang meletakkan buah-buahan ini di mejanya? Ia bahkan tak ingat pernah membelinya. Meski begitu tangannya sudah mengupas jeruk mandarin yang terlihat begitu segar. Ah mungkin pagi ini tidak terlalu buruk. Mungkin.

Thursday, 5 February 2015

Frittata and orange juice, just like you and me..


Maharani mencoba membuka matanya, sementara denyut di kepalanya terasa semakin nyata, membuatnya semakin pening. Spontan punggung tangannya ia letakkan di dahi, ternyata demamnya belum mereda. Mungkin itu mengapa ia begitu sulit bangun dari tempat tidurnya. Badannya basah kuyup oleh keringat.

Sambil mencoba untuk bangun Maharani mendengar suara-suara dari dapurnya, suara spatula kayu yang bergesekan dengan penggorengan seperti ada seseorang yang sedang memasak. Tapi siapa? Ia kan hanya tinggal sendirian di rumah mungilnya ini. Dan seingatnya semalam ia hanya pulang dari kantor, menggigil kedinginan lalu langsung jatuh tertidur setelah susah payah mengganti baju kantor dengan piyama. Ia sama sekali tak ingat kalau ada tamu yang datang menginap atau orang tuanya atau temannya atau entah siapa. Toh dia memang tidak pernah diijinkan untuk menerima tamu menginap selama ini kecuali sudah memberitahukan orang tuanya lebih dahulu. Setelah susah payah berdiri mencoba menyeimbangkan dirinya, Maharani berjalan menuju dapur dan betapa kagetnya ia menemukan seseorang yang sedang memasak adalah laki-laki itu, laki-laki dari masa lalunya. Laki-laki itu tentu saja membelakanginya tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Maharani untuk bisa mengenalinya. Mengapa ia bisa ada di sini? Sedang memasak pula. Apa yang sudah terjadi? Tenggorokan Maharani terasa begitu kering sampai ia tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata apapun untuk bertanya pada laki-laki yang sedang asik memasak di dapurnya. Belum sempat ia menenangkan detak jantungnya yang semakin berdebar tidak karuan, laki-laki itu berbalik badan, langsung melihat kepadanya.

"Hei... You wake up, honey? Masih pusing yah? Sini aku coba pegang kening kamu." Laki-laki itu spontan berjalan ke arah Maharani yang berdiri mematung. Tangannya sudah menggantung di udara untuk menyentuh kening Maharani ketika Maharani perlahan mundur selangkah.

"Tu.. Tu.. Tunggu.. Nah tunggu dulu. Kamu kenapa ada di sini? What are you doing here? What's happen here?" Akhirnya Maharani mampu berbicara dan mengucapkan pertanyaan yang sejak tadi ingin ia keluarkan.

"Eh? Maksudmu? Atau ini akibat demam? Kamu masih demam banget kalau gitu. Kita harus ke dokter habis ini yah? Please. Semalam kamu janji kalau sampai pagi ini kamu masih demam, kamu bersedia periksa ke dokter. Remember?" Laki-laki itu masih belum memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh Maharani.

"Bukan begitu. Kenapa kamu ada di sini? Aku harus ke kantor. Tapi ini kenapa kamu bisa di sini? Dan kenapa kamu masak?" Maharani tetap tak bergeming dari tempatnya. Ia masih tak bisa mengingat bagaimana laki-laki itu bisa ada di rumahnya.

"Sayang, sepertinya demam kamu ini serius sekali. Aku ini suamimu. Dan kan memang aku biasa masak kalau kamu lagi sakit begini? Sini, coba lihat aku." Laki-laki itu meraih tangan Maharani yang terkulai di sisi tubuhnya. Sontak Maharani melepaskan tangannya yang sekarang malah gemetaran.

"Enggak. Kita bahkan gak pernah kontak. Kamu menghilang begitu aja. Ninggalin aku dengan segala impian masa depan kita berdua. Kamu bahkan gak pernah membalas semua pesanku. Kamu hilang dari kehidupanku seolah kamu gak pernah ada. Seolah impian pernikahan paling indah itu gak pernah kamu ucapkan. No. It's nonsense." Bibir Maharani bahkan bergetar di setiap kalimat yang ia ucapkan. Laki-laki di hadapannya tertegun demi mendengar ucapan Maharani yang begitu menyakitkan.

"Maafin aku, sayang. Aku emang pernah jahat sama kamu. Tapi itu semua mimpi buruk aja. We're married now. You're even pregnant, five months. And the last time i remember, you're still very happy with our life. Did you have a nightmare, honey? It's okay. Sekarang kamu tidur lagi aja yah. Yuk kita ke kamar yah. Setelah itu aku selesein frittata-nya. Sarapan kesukaanmu kan? Frittata with orange juice. Okay? Ohiya, satu lagi, kamu gak perlu ke kantor hari ini. Aku tadi udah sms teman kantormu." Maharani malah semakin membeku mendengar penjelasan dari laki-laki itu. Ia menikah dengan laki-laki itu? Ia bahkan sedang hamil? Rasanya seperti siang bolong. Perlahan ia menggerakkan tangannya, menyentuh perutnya yang ternyata memang jadi lebih buncit, mengapa ia tak menyadarinya tadi sewaktu bangun tidur? Kepalanya lagi-lagi berdenyut hebat, rasa pusingnya semakin bertambah, kenyataan yang ia lihat di depannya juga tak membantu sama sekali. Ia bahkan kini merasakan denyutan lain di perutnya. Apakah itu barusan? Ia sungguh-sungguh sedang hamil? Seperti orang yang sedang mabuk, tak sadar akan keadaan sekitar, Maharani menurut saja ketika dituntun kembali ke kamar. Bahkan ia menurut ketika laki-laki itu menyelimutinya sampai batas dagu. Dan tetap diam saja saat laki-laki itu mencium keningnya yang penuh dengan keringat dingin.

"Wait for couple minutes ya? Your breakfast will be ready asap." Si laki-laki kembali ke dapur, melanjutkan memasak sementara Maharani kembali tertidur, bingung dengan kenyataan yang ada. Segalanya menjadi begitu buram. Seperti potongan masa lalu yang kembali hadir, meski tidak sama persis tapi seperti itu. Potongan puzzle yang sudah lama hilang lalu tiba-tiba kembali dan sudah ada di tempat semestinya. Ia tak ingin berpikir, ah tepatnya ia sedang tak bisa berpikir. Ia hanya ingin memejamkan matanya, mungkin memang ini akibat demam. Ia hanya ingin tertidur dan mungkin ia akan kembali pada kenyataan saat terbangun nanti. Lalu tak lama kemudian ia jatuh tertidur lelap.

Sampai ketika laki-laki itu membangunkannya untuk sarapan. Ternyata ia masih terbangun dengan kenyataan laki-laki itu sebagai suaminya. Akhirnya ia menyerah untuk mengikuti laki-laki itu keluar dari kamar untuk sarapan.

Pusing di kepalanya masih belum mereda sementara mulutnya memaksa mengunyah frittata yang ada di piringnya. Maharani duduk di atas kursi bar juga laki-laki itu yang duduk di seberangnya. Meja bar memisahkan mereka. Di atasnya sepiring besar frittata yang tinggal setengah, orange juice di dalam mug besar favorit Maharani untuknya sementara secangkir teh manis untuk laki-laki itu. Segalanya masih sama dengan yang bisa ia ingat, masih meja bar yang sama, kursi bar yang sama, piring sendok bahkan mug dan cangkir pun masih sama. Hanya keberadaan laki-laki itu saja yang membedakan.

"Kenapa kita gak beli meja makan? Kenapa kita masih makan di sini?" Maharani berusaha mencari tahu letak di mana ada kemungkinan kenyataan ini ternyata tidak seperti yang ia lihat.

"Karena aku suka seperti ini. Kayak gini keren kok. Ngapain kita repot-repot pake meja makan? Ini aja udah cukup. Mau saus lagi?" Jawab si laki-laki dengan santai sambil menawari Maharani saus tomat.

"Kamu masih suka saus tomat? Masih gak suka saus sambal?" Tanya Maharani yang sejujurnya terdengar agak aneh juga di telinganya.

"Well, time flies. But i still the same. Hehehe. Gak suka lah, pedes kan. Udah dong, jangan aneh-aneh gitu ah. Makannya diabisin ya. Terus habis ini kita ke dokter. Oke?" Laki-laki di depannya kini sudah menyelesaikan makannya. Bahkan ia masih seperti dulu, selalu begitu cepat menghabiskan makanannya.

"Kamu, ehh, gak pergi kerja? Ke kantor?" Maharani bertanya takut-takut sambil terus berusaha menghabiskan frittata-nya.

"Hahahah. Kamu makin lucu deh. Udahan dong becandanya. Kan aku masih nyusun thesis nih? Yang artinya aku belum lulus kuliah, yang artinya aku masih tugas belajar, yang artinyaaa... aku gak pergi kerja ke kantor. Udah ah, aku mandi dulu ya. Kamu cepet abisin makannya." Laki-laki itu segera saja menghilang di balik pintu kamar mandi, meninggalkan Maharani yang semakin kebingungan. Tiba-tiba sebentuk ingatan muncul di benaknya bahwa bila ia tidak salah mengingat, laki-laki itu memang sedang menyelesaikan thesisnya sekarang dan baru beberapa bulan lagi lulus. Setelahnya ia akan kembali ditempatkan ulang untuk bekerja lagi. Maharani menggigil saat kesadaran itu muncul. Bukannya ia tidak bahagia dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Semua ini adalah yang ia inginkan sejak lama. Tapi ia begitu ketakutan kalau ternyata ini hanya mimpi saja. Ia begitu takut tiba-tiba terbangun dan mendapati bahwa semua ini hanya bunga tidur semata. Kepalanya kembali berdenyut, rasa pusing dan mual itu datang lagi. Sendok di genggamannya jatuh begitu saja, tepat sebelum tubuh Maharani ikut jatuh terkulai.

~~~~
Maharani mencoba membuka matanya. Kepalanya masih berdenyut-denyut, tangannya gemetar, sementara piyamanya basah oleh keringat dingin. Maharani mencoba melihat ke langit-langit kamarnya seraya menajamkan telinganya. Tapi tak ada suara apapun yang ia tangkap. Hening. Bahkan dengung kulkas yang biasanya terdengar pun kali ini sama sekali tak ada dalam jangkauan ruang dengarnya. Dengan perlahan Maharani bangkit dari tempat tidur, menurunkan kakinya ke lantai yang dingin. Ia melihat sekeliling kamar dan mendapati baju kantornya terserak begitu saja. Perlahan-lahan prasangkanya muncul di permukaan. Spontan ia memegang perutnya, rata. Tangannya semakin gemetar, matanya jadi terasa pedas karena berusaha menahan luapan air yang tiba-tiba menumpuk di layar matanya, menunggu untuk tumpah. Tangannya tak lagi memegangi perut, tapi memegangi jantungnya yang berdetak tak karuan. Mengapa begitu menyakitkan? Mengapa jadi lebih menyakitkan? Seharusnya ia tak boleh membiarkan hal itu terjadi. Demamnya, ini semua pasti karena demam sialan itu. Tak mampu lagi dibendung, airmatanya tumpah begitu saja. Seandainya ia bisa tetap tinggal di sana saja, tak perlu lagi mendapati kesepiannya yang begitu menakutkan. Tapi itu tak mungkin. Tubuhnya ikut bergetar seiring isakannya yang semakin dalam, sakit kepalanya tak lagi ia rasakan digantikan dengan bilah pisau kepedihan yang menyayat jantungnya. Maharani hanya tak ingin terbangun seperti ini.

*photo's taken from google*