Hujan yang turun sejak semalam sepertinya belum akan reda, tetapi bajir sudah banyak melanda beberapa kawasan. Hara yang beruntung karena bekerja tidak jauh dari apartemennya tidak terpengaruh oleh hal itu. Ia tetap berangkat kerja dan pulang tepat waktu seperti biasa. Seperti sore ini ketika ia sudah sampai di apartemen mungilnya yang hangat, berbanding terbalik dengan cuaca di luar sana yang dingin dan muram. Tak butuh lebih dari lima belas menit untuknya mengendarai mobilnya dari apartemen ke kantor, begitupun sebaliknya. Biasanya ia lebih suka menggunakan sepeda motornya. Tetapi karena hujan yang turun terus menerus ia terpaksa harus memakai mobilnya.
Hara menghempaskan berat tubuhnya ke atas sofa merah hati favoritnya. Dengan malas melihat ponselnya yang masih bisu. Sudah hampir pukul enam dan smsnya yang terakhir masih belum dibalas. Pikirannya penuh dengan berita yang ia lihat di televisi saat makan siang tadi. Banjir di mana-mana. Akses jalan banyak ditutup. Lantas bagaimana orang-orang bisa pulang dengan keadaan seperti ini? Lagi-lagi Hara melihat ponselnya, hening.
"Ah sudahlah. Mungkin ia hanya sedang di jalan saja. Terjebak macet atau apa.." Hara berkata pada udara di sekitarnya sambil melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
~~~
Jam di ponselnya sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika akhirnya Rei sampai di apartemennya. Perjalanan panjang hari ini cukup membuatnya kelelahan. Mungkin banyak di antara orang-orang yang melihat banjir beserta segala keruwetan jalanan lewat berita di televisi lalu mereka dengan mudahnya berkomentar ini dan itu. Tapi bagi ia yang berada di tempat kejadian butuh lebih dari kekuatan untuk sekedar berkomentar ini dan itu. Bagaimana akan berkomentar kalau ia dan orang-orang yang ada di situ sibuk dengan lalu-lintas yang macet di sana sini. Jadi alih-alih meributkan jalanan macet dan banjir di mana-mana, ia juga orang-orang yang ada di situ memilih untuk terus bergerak maju meski sejengkal demi sejengkal seraya berdoa semoga mesin kendaraan mereka tidak mogok di tengah jalan karena air yang masuk dan merembes ke dalam.
Meski begitu anehnya ia masih sempat untuk mampir di toko buah di dekat apartemennya. Seketika senyum menghiasi wajahnya saat memandangi tentengan kantong plastik berisi buah-buahan kesukaannya. Dengan campuran rasa lelah, senang, juga rindu, Rei masuk ke apartemen mungilnya yang hangat dan kering, berbanding terbalik dengan keadaan di luar sana, dingin dan basah.
"Honey, i'm home.." Teriak Rei sambil menutup pintu di belakangnya. Merasa agak heran karena gadisnya tak menyambut kedatangannya seperti biasa. Dan hanya butuh waktu sedetik untuk menemukan gadisnya yang kini tertidur di sofa merah hati favoritnya, oh favorit gadisnya awalnya lalu kemudian jadi favorit mereka berdua.
"Heii... Are you sleeping?" Rei membungkukkan badannya, mencium kening gadis di hadapannya. Tangannya yang dingin membelai lembut pipi gadisnya. Gadisnya perlahan terbangun, refleks tangannya menggosok-gosok matanya yang baru saja terlelap, padahal ia sudah berniat untuk menunggu Rei pulang. Tapi apa daya, kombinasi rasa lelah dan berendam dengan air hangat selama setengah jam telak membuat tubuhnya diserang kantuk yang begitu berat.
"Uhmm, hai.. Kamu udah pulang? Gimana tadi di jalan? Macet yah? Katanya banjir di mana-mana?" Suara gadisnya terdengar lucu sekaligus aneh karena diucapkan berbarengan dengan kuapan kantuk. Dengan satu tangan menggapai bahu Rei, gadis disebelahnya itu kini berusaha menyeimbangkan dirinya agar bisa duduk dengan tenang.
"Well yah begitulah... Capek nih.. Aku mandi dulu deh.." Ucap Rei, memindahkan kepala gadisnya dari bahunya ke sandaran sofa, lalu bangkit menuju kamar mandi. Berendam air hangat sepertinya ide yang harus segera ia realisasikan. Badannya begitu kedinginan seharian ini.
"Hu um... Ini kamu bawa apa, Honey? Di plastik ini?"
Rei yang sudah hampir sampai di pintu kamar mandi menoleh kepada gadisnya, "Oh itu.. Itu buah-buahan. Tadi aku mampir di toko buah situ. Mulai besok kita mulai FC lagi, gimana? Itu kamu juga jadi mulai jerawatan gitu." Tanpa menunggu reaksi gadisnya, Rei langsung melesat masuk ke kamar mandi, menyalakan kran air tepat di posisi suhu yang diinginkannya setiap kali berendam, berharap bathtubnya bisa segera penuh.
Sementara itu gadisnya bergegas masuk ke kamar dan melihat cermin. Sedikit tercekat saat melihat wajahnya yang agak kusam dan dua buah jerawat terlihat nangkring dengan manisnya di sana. Sepertinya ia memang harus memulai FC-nya lagi. Tidak boleh dibiarkan seperti ini. Dalam hati berjanji untuk lebih konsisten lagi, meski bayang-bayang kue-kue cantik nan manis berlalu-lalang dalam pikirannya.
~~~
Maharani sudah siap untuk berangkat ke kantor ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Spontan ia memutar tubuhnya, melihat ke atas meja barnya yang kini dipenuhi oleh buah-buahan kesukaannya. Dalam hati bertanya-tanya kapan ia membeli semua buah-buahan itu? Ia tak ingat pernah membelinya. Kemarin sore ia bahkan terlalu malas untuk mengeluarkan baju laundry-annya dari bagasi mobil, apalagi untuk mampir membeli buah. Meski begitu tangannya mengambil beberapa biji yang kini sudah tersusun di dalam lunch box-nya. Sudah lama ia tidak sarapan buah. Mungkin ia harus memulai kembali FC-nya, terlebih mengingat tadi pagi ia menemukan dua buah jerawat di wajahnya. Membuatnya kesal di pagi hari. Ah sudahlah, toh jerawat tidak akan membuatnya dipecat dari pekerjaannya atau apa. Maharani segera melangkahkan kaki ke garasinya. Hujan masih terus turun, tak mengeluh meski harus terjatuh berkali-kali.
~~~
"Ya, dengan saya sendiri, Biru Reitama. Apa? Oh maaf saya sedang tidak membutuhkan satu lagi program asuransi. Iya. Maaf. Oh begini, saya sudah harus rapat sekarang. Maaf ya, mas. Selamat siang." Biru menutup ponselnya. Telepon dari agen asuransi di pagi hari tentu bukan termasuk dalam pilihan menu sarapan favoritnya. Tentu saja ia sedang tidak akan rapat. Bosnya sedang di luar kota dan hujan masih turun sejak kemarin. Setengah karyawan di kantornya tidak hadir. Ia salah satu dari sedikit yang memaksakan untuk bisa sampai di kantor di tengah banjir di mana-mana, menghadapi macet yang begitu menguras kesabaran. Yah sepertinya pagi ini memang bukan pagi yang menyenangkan. Mungkin dengan sarapan ia akan jadi merasa lebih baik, begitu pikir Biru ketika tiba-tiba matanya melihat sepiring penuh berisi buah-buahan yang sejak tadi tidak terlihat olehnya. Ia jadi teringat program FC-nya. Mungkinkah ini pertanda ia seharusnya kembali melakukan FC? Tapi omong-omong siapa yang meletakkan buah-buahan ini di mejanya? Ia bahkan tak ingat pernah membelinya. Meski begitu tangannya sudah mengupas jeruk mandarin yang terlihat begitu segar. Ah mungkin pagi ini tidak terlalu buruk. Mungkin.