Bila kamu
memutuskan untuk pergi, lantas aku bisa apa?
Kamu datang
dengan tiba-tiba, seperti hujan yang mendadak deras di siang hari terik. Tanpa
mendung atau awan yang mengabarkan kedatanganmu yang akan. Begitu saja dan
basahlah seluruh tanah yang ku jejaki.
Ah tapi saat itu
bukan musim panas ketika kamu datang tiba-tiba. Aku ingat, siang itu adalah
siang pertama musim semi. Bukan, bukan musim panas gersang. Ya, siang itu
adalah musim semi. Musim dingin yang baru saja berjingkat-jingkat pergi masih
menyisakan kabut tipis yang dingin menggigiti kulit. Musim semi yang belum
sempat merekah karena baru saja tiba. Seperti kuncup mawar yang baru akan mekar
beberapa hari lagi. Tapi bukan hari itu.
Aku ingat
bagaimana siang itu, yang sebenarnya masih begitu gelap karena kabut yang
melingkupi Hongkong, dan aku belum juga ingin beranjak dari kamarku yang
hangat. Bersyukur karena ingat bahwa hari itu adalah Minggu, yang artinya aku
tak perlu pergi kemanapun bila aku memang tak ingin. Jadi aku kembali menarik
selimut hangatku sampai hampir menutupi dagu. Melupakan rencanaku untuk mengembalikan
buku ke perpustakaan. Hal itu masih bisa menunggu kapan-kapan.
Aku masih
menekuri lampu halogen yang sesiang ini masih nyalang, mengangankan seandainya
saja aku adalah lampu halogen itu, hanya tergantung begitu saja sepanjang hari.
Memang selalu hangat, tapi pasti akan sangat membosankan. Masih menakar
kira-kira berapa lama aku bisa betah jadi sebuah lampu halogen ketika namamu
berpendar-pendar di layar ponselku. Sepuluh detik ku habiskan untuk
memandanginya saja sambil menikmati It’s Only A Paper Moon yang
berdengking-dengking dari ponselku.
“Halo…” suaraku
yang serak tercekat karena masih merasa sakit tiap kali berbicara setelah batuk
yang terus merongrongku sepuluh hari belakangan.
“Halo. Apa
kabar? Saya di Hongkong. Kita.. eh.. bisa ketemu? Saya butuh guide, kamu gak
ada acara?” suaramu lamat-lamat memenuhi ruang dengarku yang sejak tadi hanya
berisi keheningan.
Aku berdeham,
berpikir cepat tentang hari ini, tentang niatku untuk di kamar saja seharian,
tentang dingin yang masih menguasai Hongkong, tentang coat favoritku yang masih di laundry
dan belum sempat ku ambil, tentang….
“Halo? Kamu
masih di situ?” suaramu membuyarkan lamunanku, membuatku kembali ke dunia nyata.
“Eh.. iya.. Oke.
Mau ketemu kapan? Di mana?” Sisanya kamu menyebutkan hotel tempatmu menginap
dan kita akan bertemu di lobby hotel itu saja untuk menghindari kamu akan
nyasar kemana-mana. Butuh waktu dua jam untukku bersiap-siap sampai akhirnya
ada di lobby tempatmu menginap. Yah mengingat aku tadinya tidak berencana
kemana-mana, waktu segitu memang pantas meskipun hotel tempatmu menginap hanya
beberapa blok dari apartemenku.
Hari itu aku
menemanimu berjalan-jalan mengelilingi Hongkong. Kamu baru pertama kali datang
ke sini. Kamu bilang untuk beberapa bulan ke depan kamu akan menetap di sini.
Ada proyek, katamu. Satu dari sekian proyek-proyek yang kamu tangani. Dan
seolah semesta sedang berkonspirasi, tanpa pemberitahuan sebelumnya atau
rencana-rencana, tiba-tiba saja kamu mendapat proyek itu, yang mengharuskanmu
menetap di sini entah untuk berapa lama. Memberi kesempatan pada kita, aku dan
kamu, untuk bertemu. Ya, setelah ratusan chit-chat dan perbincangan elektronik
kita sejak beberapa bulan ini, jarak yang terbentang antara Jakarta dan
Hongkong, juga tak adanya ekspektasi apapun bahkan untuk sekedar untuk bertemu,
akhirnya hari itu pun tiba. Tiba dengan tiba-tiba. Tapi kalau dipikir-pikir,
memang siapa yang butuh rencana kalau kejutan punya cara sendiri untuk memberikan
kita rasa asam manis yang lebih indah?
Tentu saja,
seharusnya aku sudah mengira kalau kamu akan jatuh cinta pada kota ini. Hutan
beton orang-orang bilang. Cocok sekali untuk kamu yang begitu tergila-gila
dengan segala bentukan beton. Gedung-gedung pencakar langit yang selalu mampu
mempesonamu. Yang membuat kita terdampar di Sky Terrace malam itu. Menikmati
hamparan hutan beton yang perlahan bermetamorfosis menjadi kota seribu cahaya.
Lampu-lampu yang seolah berlomba menjadi yang paling terang dan paling anggun
cahayanya. Untuk sesaat kita bahkan lupa kalau sejak tadi kita terus berdiri
menantang angin yang tak tanggung-tanggung hampir membuat kita beku kedinginan.
Sisa malam itu
kita habiskan dengan berjalan-jalan di taman sebelah Museum The Peak lalu dilanjutkan
dengan menyusuri Pollock’s Path yang dinobatkan sebagai kawasan paling mahal
menurut Asia Tattler tahun 2012 lalu, bahkan mengalahkan Fifth Avenue NY yang
hanya menempati urutan kedelapan. Well, siapa sangka. Memang harga tanah dan
property di Hongkong terkenal mahal, tetapi untuk jadi nomer satu paling mahal
yang pernah mencatatkan rekornya di dunia, itu tentu suatu hal yang tak biasa.
Satu jam berjalan-jalan membuat kita menyerah dan menyetop taksi yang kebetulan
lewat. Kita berpisah ketika kamu turun lebih dahulu di lobby hotelmu dan aku
melanjutkan perjalanan ke apartemenku yang hanya berjarak beberapa blok itu.
Hari-hari
berikutnya adalah kombinasi dari rally panjang antara pekerjaanku di kantor,
pekerjaanmu di proyek, makan malam dari satu warung makan ke warung makan yang
lain, menu-menu Chinesse food yang mendominasi pilihan makanan kita, juga makan
siang yang kadang kala kita sempatkan di antara padatnya jadwal, dan entah
berapa belas pertunjukkan musik ataupun teater yang kita nikmati setiap akhir
pekan, atau bahkan berapa puluh cd film bajakan yang terpaksa kita tonton mana
kala malas untuk menggerakkan badan.
Hari-hari
berikutnya adalah campuran antara bisingnya Kowloon Market ketika aku
menyeretmu untuk mencari entah benda apa yang bisa kita temukan di pasar itu,
teriakan-teriakan para penjaja makanan tiap kali ada pengunjung yang mampir,
seribu satu cerita yang keluar dari mulut kita tentang apa saja yang kebetulan
mampir di keseharian kita, juga tentang gedung-gedung tua maupun modern yang
kerap kita kunjungi karena penyakit akutmu yang begitu mencintai gedung sampai
ingin menyambangi semuanya hanya sekedar untuk melihat lebih dekat lagi.
Kita jadi
terlalu dekat, terlalu terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Membuat kita
lupa bagaimana hidup sendirian saja. Lupa bahwa segala yang terjadi hanyalah
sementara, tanpa terkecuali. Seperti hari yang selalu dimulai untuk kemudian
menemui penghujung di akhir. Dan setiba-tiba datangmu, begitupun pergimu. Tanpa
kata apalagi perpisahan yang layak. Tidak. Kamu selalu dengan ketiba-tibaanmu.
Membiarkan aku hanya bisa terdiam dan melihatmu memainkan peranmu sendirian.
Aku ingat pagi
itu, pagi di musim panas yang dibanjiri sinar matahari ketika aku mendapati
bahwa pintu apartemenmu yang ada tepat di depan apartemenku tertutup. Aku pergi
ke kantor dengan perasaan datar-datar saja karena kamu memang biasa pergi dan
pulang sesukamu, tak kenal waktu. Namun aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu
yang aneh terjadi, bahwa tak ada sapaan selamat pagi yang diakhiri dengan titik
dua kurung tutup darimu di aplikasi chatku. Yang disusul dengan tak ada juga
candaan iseng saat istirahat makan siang sampai ketika akhirnya aku kembali ke
apartemenku malam harinya. Pintumu masih tertutup seperti pagi tadi. Ragu aku
mengecek ponselku, tak ada kabar apapun darimu. Akhirnya aku memutuskan untuk
menunggu.
Aku menunggumu
memberi kabar mengenai keberadaanmu. Tetapi ternyata keputusanku itu adalah
satu dari banyak kesalahanku. Mestinya aku langsung menghubungimu saja,
menanyakan kamu ada di mana atau sekedar bercanda iseng seperti biasa. Bukannya
malah menunggumu untuk memberiku kabar. Menunggu sambil mengira-ngira kemana
kamu pergi, atau apa yang telah ku perbuat hingga kamu pergi begitu saja, atau
entah seribu satu hal aneh lain yang berkelebatan di pikiranku.
Satu minggu
berlalu, dan aku masih tak tahu kamu ada di mana. Setelah menimang-nimang
ponselku hampir tiga puluh menit terakhir sambil melamunkan kira-kira kamu ada
di mana, akhirnya aku memberanikan diri untuk meneleponmu. Menunggu nada
sambung seperti biasa. Namun bukan nada sambung yang ku dengar detik berikutnya
tetapi adalah perkataan operator bahwa nomermu sudah tidak aktif atau berada di
luar area. Tanpa sadar aku menghembuskan napas dengan berat.
Kalau sudah
begini, lantas aku bisa apa? Kalau kamu memang memutuskan untuk pergi dan tak
memberitahuku apa-apa, lantas aku bisa apa? Kalau kamu memang ingin menghilang
dan tak berharap untuk ditemukan, lantas aku bisa apa?
Aku masih
menekuri jalanan yang padat dan ramai oleh lalu lalang orang-orang meski hari
sudah mulai larut. Hanya memandangi dari jendela apartemenku yang cukup tinggi
karena ada di lantai sepuluh gedung ini. Sesaat mataku menangkap warung bebek
panggang kesukaan kita di seberang jalan, tempat kita pernah menghabiskan waktu
bersama, makan sembari diselingi cerita sehari-hari, kadang diiringi tawa yang
lepas begitu saja. Warung bebek panggang itu masih sama dengan warung sebulan
lalu kita datangi, tapi rasanya hal itu sudah terjadi jauh di belakang, di
kehidupanku entah bagian yang mana.
Kamu dan segala
tentangmu jadi terlihat kabur, seolah aku hanya bermimpi di siang hari untuk
kemudian ragu-ragu ketika terbangun, bertanya-tanya apakah aku sungguh-sungguh
bermimpi tadi. Seolah semua yang terjadi kemarin hanyalah imajinasiku belaka,
karena segala tentangmu sungguhan menghilang tanpa jejak, begitu saja. Dan
Hongkong kembali seperti dulu, seperti hari-hari sebelum pagi pertama musim
semi beberapa bulan lalu.
Hanya saja,
sekarang tiap kali aku melewati jalan-jalan yang pernah kita lalui bersama
seolah aku melihat kita ada di sana, berjalan bersama, saling berlomba untuk
sampai lebih dahulu. Hanya saja, sekarang tiap kali aku melewati warung makan
yang pernah kita singgahi, seolah aku bisa melihat kita yang sedang makan
dengan lahapnya. Hanya saja, sekarang tiap kali aku melintasi Victoria Park,
seolah aku bisa melihat kita yang sedang tertawa-tawa sambil bergaya narsis di
depan ratusan jenis bunga yang mekar bersamaan saat festival bunga musim semi
lalu. Hanya saja, sekarang tiap kali aku sampai di apartemenku aku selalu saja
hampir mengetuk pintu apartemenmu, mungkin saja kamu sudah kembali lagi.
Tapi kamu tetap
tak kembali. Mungkin memang aku hanya bermimpi kemarin. Mimpi yang kelewat
nyata. Atau kamu yang keterlaluan, menghilang begitu saja, tanpa jejak. Malam
sudah sempurna larut, dan aku juga sudah mengantuk. Sekali lagi aku melihat
pada ponselku yang masih saja bisu sejak tadi.
Dimana kamu
sekarang?
~~~~~~
“If a place is a
person, so what am I?”
“Uhmm, Hongkong.
You are Hongkong.”
“Oh really?”
“Nope. Just
kidding. You are Tanah Abang. Off course. Hahahaha.”
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^