Tuesday, 13 August 2013

[untitled]





Bila kamu memutuskan untuk pergi, lantas aku bisa apa?

Kamu datang dengan tiba-tiba, seperti hujan yang mendadak deras di siang hari terik. Tanpa mendung atau awan yang mengabarkan kedatanganmu yang akan. Begitu saja dan basahlah seluruh tanah yang ku jejaki.

Ah tapi saat itu bukan musim panas ketika kamu datang tiba-tiba. Aku ingat, siang itu adalah siang pertama musim semi. Bukan, bukan musim panas gersang. Ya, siang itu adalah musim semi. Musim dingin yang baru saja berjingkat-jingkat pergi masih menyisakan kabut tipis yang dingin menggigiti kulit. Musim semi yang belum sempat merekah karena baru saja tiba. Seperti kuncup mawar yang baru akan mekar beberapa hari lagi. Tapi bukan hari itu.

Aku ingat bagaimana siang itu, yang sebenarnya masih begitu gelap karena kabut yang melingkupi Hongkong, dan aku belum juga ingin beranjak dari kamarku yang hangat. Bersyukur karena ingat bahwa hari itu adalah Minggu, yang artinya aku tak perlu pergi kemanapun bila aku memang tak ingin. Jadi aku kembali menarik selimut hangatku sampai hampir menutupi dagu. Melupakan rencanaku untuk mengembalikan buku ke perpustakaan. Hal itu masih bisa menunggu kapan-kapan.

Aku masih menekuri lampu halogen yang sesiang ini masih nyalang, mengangankan seandainya saja aku adalah lampu halogen itu, hanya tergantung begitu saja sepanjang hari. Memang selalu hangat, tapi pasti akan sangat membosankan. Masih menakar kira-kira berapa lama aku bisa betah jadi sebuah lampu halogen ketika namamu berpendar-pendar di layar ponselku. Sepuluh detik ku habiskan untuk memandanginya saja sambil menikmati It’s Only A Paper Moon yang berdengking-dengking dari ponselku.

“Halo…” suaraku yang serak tercekat karena masih merasa sakit tiap kali berbicara setelah batuk yang terus merongrongku sepuluh hari belakangan.

“Halo. Apa kabar? Saya di Hongkong. Kita.. eh.. bisa ketemu? Saya butuh guide, kamu gak ada acara?” suaramu lamat-lamat memenuhi ruang dengarku yang sejak tadi hanya berisi keheningan.

Aku berdeham, berpikir cepat tentang hari ini, tentang niatku untuk di kamar saja seharian, tentang dingin yang masih menguasai Hongkong, tentang coat favoritku yang masih di laundry dan belum sempat ku ambil, tentang….

“Halo? Kamu masih di situ?” suaramu membuyarkan lamunanku, membuatku kembali ke dunia nyata.

“Eh.. iya.. Oke. Mau ketemu kapan? Di mana?” Sisanya kamu menyebutkan hotel tempatmu menginap dan kita akan bertemu di lobby hotel itu saja untuk menghindari kamu akan nyasar kemana-mana. Butuh waktu dua jam untukku bersiap-siap sampai akhirnya ada di lobby tempatmu menginap. Yah mengingat aku tadinya tidak berencana kemana-mana, waktu segitu memang pantas meskipun hotel tempatmu menginap hanya beberapa blok dari apartemenku.

Hari itu aku menemanimu berjalan-jalan mengelilingi Hongkong. Kamu baru pertama kali datang ke sini. Kamu bilang untuk beberapa bulan ke depan kamu akan menetap di sini. Ada proyek, katamu. Satu dari sekian proyek-proyek yang kamu tangani. Dan seolah semesta sedang berkonspirasi, tanpa pemberitahuan sebelumnya atau rencana-rencana, tiba-tiba saja kamu mendapat proyek itu, yang mengharuskanmu menetap di sini entah untuk berapa lama. Memberi kesempatan pada kita, aku dan kamu, untuk bertemu. Ya, setelah ratusan chit-chat dan perbincangan elektronik kita sejak beberapa bulan ini, jarak yang terbentang antara Jakarta dan Hongkong, juga tak adanya ekspektasi apapun bahkan untuk sekedar untuk bertemu, akhirnya hari itu pun tiba. Tiba dengan tiba-tiba. Tapi kalau dipikir-pikir, memang siapa yang butuh rencana kalau kejutan punya cara sendiri untuk memberikan kita rasa asam manis yang lebih indah?

Tentu saja, seharusnya aku sudah mengira kalau kamu akan jatuh cinta pada kota ini. Hutan beton orang-orang bilang. Cocok sekali untuk kamu yang begitu tergila-gila dengan segala bentukan beton. Gedung-gedung pencakar langit yang selalu mampu mempesonamu. Yang membuat kita terdampar di Sky Terrace malam itu. Menikmati hamparan hutan beton yang perlahan bermetamorfosis menjadi kota seribu cahaya. Lampu-lampu yang seolah berlomba menjadi yang paling terang dan paling anggun cahayanya. Untuk sesaat kita bahkan lupa kalau sejak tadi kita terus berdiri menantang angin yang tak tanggung-tanggung hampir membuat kita beku kedinginan.

Sisa malam itu kita habiskan dengan berjalan-jalan di taman sebelah Museum The Peak lalu dilanjutkan dengan menyusuri Pollock’s Path yang dinobatkan sebagai kawasan paling mahal menurut Asia Tattler tahun 2012 lalu, bahkan mengalahkan Fifth Avenue NY yang hanya menempati urutan kedelapan. Well, siapa sangka. Memang harga tanah dan property di Hongkong terkenal mahal, tetapi untuk jadi nomer satu paling mahal yang pernah mencatatkan rekornya di dunia, itu tentu suatu hal yang tak biasa. Satu jam berjalan-jalan membuat kita menyerah dan menyetop taksi yang kebetulan lewat. Kita berpisah ketika kamu turun lebih dahulu di lobby hotelmu dan aku melanjutkan perjalanan ke apartemenku yang hanya berjarak beberapa blok itu.

Hari-hari berikutnya adalah kombinasi dari rally panjang antara pekerjaanku di kantor, pekerjaanmu di proyek, makan malam dari satu warung makan ke warung makan yang lain, menu-menu Chinesse food yang mendominasi pilihan makanan kita, juga makan siang yang kadang kala kita sempatkan di antara padatnya jadwal, dan entah berapa belas pertunjukkan musik ataupun teater yang kita nikmati setiap akhir pekan, atau bahkan berapa puluh cd film bajakan yang terpaksa kita tonton mana kala malas untuk menggerakkan badan. 

Hari-hari berikutnya adalah campuran antara bisingnya Kowloon Market ketika aku menyeretmu untuk mencari entah benda apa yang bisa kita temukan di pasar itu, teriakan-teriakan para penjaja makanan tiap kali ada pengunjung yang mampir, seribu satu cerita yang keluar dari mulut kita tentang apa saja yang kebetulan mampir di keseharian kita, juga tentang gedung-gedung tua maupun modern yang kerap kita kunjungi karena penyakit akutmu yang begitu mencintai gedung sampai ingin menyambangi semuanya hanya sekedar untuk melihat lebih dekat lagi.

Kita jadi terlalu dekat, terlalu terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Membuat kita lupa bagaimana hidup sendirian saja. Lupa bahwa segala yang terjadi hanyalah sementara, tanpa terkecuali. Seperti hari yang selalu dimulai untuk kemudian menemui penghujung di akhir. Dan setiba-tiba datangmu, begitupun pergimu. Tanpa kata apalagi perpisahan yang layak. Tidak. Kamu selalu dengan ketiba-tibaanmu. Membiarkan aku hanya bisa terdiam dan melihatmu memainkan peranmu sendirian.

Aku ingat pagi itu, pagi di musim panas yang dibanjiri sinar matahari ketika aku mendapati bahwa pintu apartemenmu yang ada tepat di depan apartemenku tertutup. Aku pergi ke kantor dengan perasaan datar-datar saja karena kamu memang biasa pergi dan pulang sesukamu, tak kenal waktu. Namun aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi, bahwa tak ada sapaan selamat pagi yang diakhiri dengan titik dua kurung tutup darimu di aplikasi chatku. Yang disusul dengan tak ada juga candaan iseng saat istirahat makan siang sampai ketika akhirnya aku kembali ke apartemenku malam harinya. Pintumu masih tertutup seperti pagi tadi. Ragu aku mengecek ponselku, tak ada kabar apapun darimu. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu.

Aku menunggumu memberi kabar mengenai keberadaanmu. Tetapi ternyata keputusanku itu adalah satu dari banyak kesalahanku. Mestinya aku langsung menghubungimu saja, menanyakan kamu ada di mana atau sekedar bercanda iseng seperti biasa. Bukannya malah menunggumu untuk memberiku kabar. Menunggu sambil mengira-ngira kemana kamu pergi, atau apa yang telah ku perbuat hingga kamu pergi begitu saja, atau entah seribu satu hal aneh lain yang berkelebatan di pikiranku.

Satu minggu berlalu, dan aku masih tak tahu kamu ada di mana. Setelah menimang-nimang ponselku hampir tiga puluh menit terakhir sambil melamunkan kira-kira kamu ada di mana, akhirnya aku memberanikan diri untuk meneleponmu. Menunggu nada sambung seperti biasa. Namun bukan nada sambung yang ku dengar detik berikutnya tetapi adalah perkataan operator bahwa nomermu sudah tidak aktif atau berada di luar area. Tanpa sadar aku menghembuskan napas dengan berat.

Kalau sudah begini, lantas aku bisa apa? Kalau kamu memang memutuskan untuk pergi dan tak memberitahuku apa-apa, lantas aku bisa apa? Kalau kamu memang ingin menghilang dan tak berharap untuk ditemukan, lantas aku bisa apa?

Aku masih menekuri jalanan yang padat dan ramai oleh lalu lalang orang-orang meski hari sudah mulai larut. Hanya memandangi dari jendela apartemenku yang cukup tinggi karena ada di lantai sepuluh gedung ini. Sesaat mataku menangkap warung bebek panggang kesukaan kita di seberang jalan, tempat kita pernah menghabiskan waktu bersama, makan sembari diselingi cerita sehari-hari, kadang diiringi tawa yang lepas begitu saja. Warung bebek panggang itu masih sama dengan warung sebulan lalu kita datangi, tapi rasanya hal itu sudah terjadi jauh di belakang, di kehidupanku entah bagian yang mana.

Kamu dan segala tentangmu jadi terlihat kabur, seolah aku hanya bermimpi di siang hari untuk kemudian ragu-ragu ketika terbangun, bertanya-tanya apakah aku sungguh-sungguh bermimpi tadi. Seolah semua yang terjadi kemarin hanyalah imajinasiku belaka, karena segala tentangmu sungguhan menghilang tanpa jejak, begitu saja. Dan Hongkong kembali seperti dulu, seperti hari-hari sebelum pagi pertama musim semi beberapa bulan lalu. 

Hanya saja, sekarang tiap kali aku melewati jalan-jalan yang pernah kita lalui bersama seolah aku melihat kita ada di sana, berjalan bersama, saling berlomba untuk sampai lebih dahulu. Hanya saja, sekarang tiap kali aku melewati warung makan yang pernah kita singgahi, seolah aku bisa melihat kita yang sedang makan dengan lahapnya. Hanya saja, sekarang tiap kali aku melintasi Victoria Park, seolah aku bisa melihat kita yang sedang tertawa-tawa sambil bergaya narsis di depan ratusan jenis bunga yang mekar bersamaan saat festival bunga musim semi lalu. Hanya saja, sekarang tiap kali aku sampai di apartemenku aku selalu saja hampir mengetuk pintu apartemenmu, mungkin saja kamu sudah kembali lagi.

Tapi kamu tetap tak kembali. Mungkin memang aku hanya bermimpi kemarin. Mimpi yang kelewat nyata. Atau kamu yang keterlaluan, menghilang begitu saja, tanpa jejak. Malam sudah sempurna larut, dan aku juga sudah mengantuk. Sekali lagi aku melihat pada ponselku yang masih saja bisu sejak tadi.

Dimana kamu sekarang?

~~~~~~
“If a place is a person, so what am I?”
“Uhmm, Hongkong. You are Hongkong.”
“Oh really?”
“Nope. Just kidding. You are Tanah Abang. Off course. Hahahaha.”

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^