Ya. Tetiba terpikir untuk menulis ini. Bukan karena hal khusus sih atau mungkin bisa juga begitu. Tapi sebetulnya saya sedang kebelet pipis saat memutuskan untuk menulis ini, barangkali bisa membuat saya lupa dengan kebelet pipis saya tadi. Ohya saya sedang dalam perjalanan pulang dari liburan singkat akhir pekan ini. Sejak tadi hujan dan saya di dalam bus ac. Sempurnalah segala faktor pemicu kebelet pipis.
Sudahlah, cukup deh yah membahas kebelet pipisnya. Entah bagaimana saya tetiba teringat kata-kata banyak orang di sekitar saya. Ya, tentang menikah tentunya. Si Anu bilang 'Kenapa sih belom nikah juga?' Si Itu bilang 'Makanya move on dong, nikah sana. Udah umur berapa coba?' Si Ini bilang 'Cepetan nikah. Ntar keburu tua. Mau punya anak umur berapa coba? Perempuan tuh makin tua makin susah punya anak loh.' Si TaukDehSiapaLagi bilang 'Iya loh, nikah gih trus punya anak jadi nanti kamu pensiun anakmu udah gede, udah selesai kuliah dan bla bla bla'
Begitulah kurang lebih yang harus saya dengar setiap hari. Bosan? Bohong banget kalau saya bilang saya gak bosan. Kesal? Wajar kali yah kalau saya kesal. Risih? Yaiyalah, pusing kali yah lama-lama dengarnya.
Iya memang betul, saya tau pasti pada mikirnya 'ih mereka ngomong begitu kan karena peduli kali sama luuuu. Lu aja yang gak sadar-sadar juga!' Iya saya tau kok. Saya tau orang-orang di sekitar saya bilang begitu karena peduli terhadap saya, atau ekstrimnya karena sayang sama saya (saya yang ge-er atau emang betul begitu bukan? Peduli kan tanda sayang. Bukan begitu?) Nah saya tau dan paham sekali kalau maksud semua orang yang pernah menasehati saya atau sekedar bertanya itu tujuannya baik. Saya paham sekali. Dan terima kasih banget karena sudah peduli sedemikian rupa terhadap saya.
Tapi lagi-lagi, ini adalah hidup saya. Pertama saya mau tanya, memangnya siapa sih yang gak mau menikah? Bohong banget kalau saya bilang saya gak mau menikah. Bahkan mungkin sejak saya masih lima tahun, saat awal mula masa-masa saya dicekoki oleh segala macam cerita dongeng tentang seorang putri dan pangeran yang selalu dan melulu berakhir bahagia, mungkin sejak saat itu saya pun punya mimpi untuk bisa berakhir bahagia dengan dinikahi oleh pangeran tampan saya. Saya kira banyak anak perempuan yang juga seperti saya. Putri dengan gaun cantik bersama pangeran tampan berkuda putih.
Hanya saja itu impian anak umur lima sampai sepuluh atau lima belas tahun yah? Meski setelahnya kisah putri cantik dan pangeran tampan berubah menjadi versi masing-masing yang lebih masuk akal. Saya sendiri punya mimpi untuk bisa bertemu pangeran saya yang meski belum tentu tampan tapi saya berharap bisa bahagia dengannya. Dan itu masih saya jaga sampai sekarang, sampai detik ini.
Bagi saya, bagi pemahaman dan mimpi saya yang hanya terbatas pada diri saya, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diukur-ukur. Bahwa saya harus menikah pada saat umur saya segini atau segini. Bagi saya pernikahan haruslah terjadi ketika saya siap. Tapi itupun belum cukup, karena apalah artinya saya siap kalau tak ada seorangpun pangeran yang juga siap menikah dengan saya? Tak lantas saya bisa menikah sendirian bukan?
Misalpun ada seorang pria (sudah cukup menyebut-nyebut pangeran, saya hampir muntah ini) yang merasa dirinya siap untuk menikah, tak lantas dia siap untuk menikah dengan saya bukan? Atau sebaliknya.
Pernikahan manusia, tentunya berbeda jauh dari perkawinan misalnya kucing. Pernikahan manusia bukanlah sekedar kawin lalu bereproduksi dan punya anak sebanyak-banyaknya. Bukan seperti itu kan?
Pernikahan itu sendiri, menurut pemahaman saya yang awam ini, adalah salah satu tanggung jawab terbesar yang diambil manusia sepanjang hidupnya. Memiliki seorang anak atau lebih merupakan salah duanya. Keduanya adalah tanggung jawab yang amat besar.
Jadi pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan umur, dengan angka-angka. Memiliki anak apalagi.
Saya sungguh punya mimpi sendiri. Bahwa nanti saya akan menikah dengan seorang pria yang betul-betul mencintai saya. Yang betul-betul ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama saya. Dalam segala macam keadaan. Seorang pria yang mungkin akan mengeluh karena saya kurang mampu merapikan rumah tapi akan tetap memaafkan saya dan ikut membantu saya. Seorang pria yang mungkin agak kurang romantis pada saya tapi saya akan selalu bisa memakluminya asalkan dia selalu mau berusaha memperbaiki diri. Atau entah apa lagi. Seorang pria yang memang benar-benar siap menghabiskan sisa hidup dengan saya. Seorang pria yang tak hanya menjanjikan akan membahagiakan saya dunia akhirat, tapi juga mengusahakannya.
Saya akan menikah karena itu. Bukan karena saya harus segera punya anak sebelum umur tigapuluh atau karena orang-orang akan bilang saya perawan tua. Saya toh tak pernah merasa bahwa wanita hanyalah alat reproduksi yang hanya menambah jumlah manusia yang sudah banyak ini di dunia.
Bukan. Jangan salah paham dulu. Saya bukan mengatakan kalau orang yang menikah bertujuan punya anak itu salah. Enggak loh. Saya gak bilang gitu. Saya juga kepengin punya anak sendiri. Anak yang lahir dari rahim saya sendiri, dari benih pria yang saya cintai. Tapi tak lantas, semestinya, buat saya itu saya jadikan alasan saya menikah. Bukan seperti itu.
Karena itu, saya bukannya tidak ingin menikah. Apalagi punya anak. Saya sungguh ingin menikah dan punya anak.
Hanya saja, saat ini belum waktunya untuk saya merasakan keduanya. Jadi tolong, alih-alih bertanya soal yang itu-itu saja, alangkah saya akan lebih berterimakasih bila diganti dengan mendoakan saya agar saya dimudahkan, agar saya bisa seperti yang lain. Begitu mungkin lebih bisa menyejukkan hati.
Bukannya saya sedih selalu ditanya seperti itu. Saya hanya tak tahu lagi harus menanggapi apa. Setiap orang punya takdirnya masing-masing, yang mesti kita lakukan ya hanya menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Berusaha, berdoa, dan berserah. Hidup yang diberi Tuhan hari ini, nikmat Tuhan sehari ini lagi, semoga itu bisa mencukupkan rasa syukur kita padaNya tanpa melulu mempertanyakan yang bahkan belum terjadi.
Saya percaya bahwa rancanganNya, takdir yang sudah dituliskanNya untuk saya itu indah. Jauh lebih indah dari yang mampu saya impikan. Jadi kamu kamu kamu dan kamu, tenang saja, tak usah bertanya seperti di atas itu, tolong saja doakan saya untuk selalu bisa bersyukur dan berserah pada Tuhan. Terima kasih untuk itu.
Sementara itu, saya akan selalu menengadahkan tangan, memohon padaNya yang maha membolak-balik hati, agar selalu menguatkan hati pangeran saya hingga dia siap nanti. Tolong sampaikan padanya ya Rabb, saya masih menunggunya di sini.
Nah sampai di mana saya sekarang? Sepertinya saya sudah lupa kalau tadi kebelet pipis? Tapi gak sih, masih kebelet pipis. Untunglah tol sedang tak begitu ramai. Fiuhh...