Saturday, 6 September 2014

Time to remember..

"Gw udah mau nyampe stasiun Bekasi nih. Lu langsung naik aja yah, kereta gerbong ketiga nomer kursi 13A 14A." Terang si pemuda dari seberang sana.

"Oke. Gw langsung naik. Eh ini keretanya." Tanpa menunggu lebih lama si gadis langsung saja naik ke dalam Argo Parahyangan jurusan Bandung. Kereta gerbong ketiga, nomer 13A 14A. Sejurus kemudian ia sudah sampai di kursinya, si pemuda melempar senyumnya yang berlesung pipi.

"Hai... So, jadi nih kita yah..." Sapa si gadis.

"Here we go. Nih, udah sarapan? Nyokap gw yang bikinin. Dan ini tiket lu. Simpen yang bener, jangan sampe ilang." Si pemuda menawarkan roti isi yang masih tersisa beberapa potong juga tiket kereta yang bertuliskan nama si gadis. Si gadis hanya mengangguk tersenyum, singkat menjawab kalau ia sudah sarapan seraya menyimpan tiket dalam lipatan dompetnya. Tak banyak percakapan, karena keduanya sibuk menikmati pemandangan di luar.

Di situlah mereka, memulai perjalanan pertama mereka berdua. Ketika itu mereka tak pernah tahu bahwa yang pertama akan membawa pada yang kedua, sedang yang kedua akan menjerat yang ketiga begitu seterusnya sampai angka-angka tak lagi punya arti kuantitas, ketika angka-angka berubah menjadi kualitas yang tak dapat diukur-ukur. Kereta, bus, pesawat, kapal feri, angkot, motor, delman, entah berapa banyak lagi moda transportasi yang digunakan. Who's counting anyway?

Waktu melipat sedemikian rapat. Bertahun kemudian, si gadis lagi-lagi memandangi pemandangan di luar jendela kereta. Kali ini menuju tempat lain di bagian tengah pulau jawa. Tanpa si pemuda. Si gadis lagi-lagi meluruskan selembar tiket yang sedari kemarin ia pegang erat-erat. Membacanya seolah seluruh cerita hidupnya ada di sana.

Hai, kamu. Aku masih memegang tiketku erat-erat. Apa kamu juga? Pikir si gadis seraya memalingkan wajahnya kembali ke jendela.

Ah. Bodoh benar pikirnya. Si pemuda mungkin bahkan lupa ia pernah punya tiket yang sama dengan yang dipegang si gadis sekarang.

Monday, 1 September 2014

Congratulation for your happy life..

Ketika kamu bahkan tidak sudi membalas satu pesan singkatku, semestinya aku tahu diri untuk segera berhenti. Bahwa aku harus menerima dengan lapang hati, jawaban serta penjelasan yang menjadi hakku tak lagi tersedia. Jika pesan singkat saja kamu biarkan dalam diam yang membeku, mengapa aku berharap penjelasan panjang kali lebar?

Sebentuk pemahaman tiba-tiba merembesi kepalaku yang kelewat keras berharap padamu, pada kata-kata yang terlanjur kamu ucapkan, pada mimpi-mimpi yang terlanjur kamu kepulkan. Rembesan pemahaman itu menetesi satu-satu lembaran tipis harapanku. Hingga selayaknya selembar kertas yang melulu takdirnya takut akan air, seperti itu lah harapanku yang kian menipis dan rapuh. Sekali tumpah, hancurlah sudah.

Pemahaman itu telak membuat segalanya lagi-lagi carut marut. Oh betapa mudah bagimu menjalani semuanya. Pemahaman yang menamparku sedemikian keras hingga aku terjungkal tanpa aba-aba. Tentu saja.

Hanya satu yang ku sayangkan, kenapa kamu tak pernah mengatakannya langsung padaku? Alih-alih diam tanpa jawaban. Terima kasih karena telah memberitahuku, meski secara tak langsung, bahwa kamu bahagia di sana, bahwa kamu menikmati hidupmu tanpa beban perasaan apapun di sana, bahwa kamu akan selalu baik-baik saja seperti biasanya.

Dan betapa mahalnya satu kalimat penutupan yang aku kira masih bisa aku dapatkan. Yah, sudah sejak lama aku berhenti berharap akan satu karangan penjelasan. Tak lagi begitu. Kini, satu kalimat penutup saja darimu. Itu saja. Itu pun jika kamu masih cukup jantan dan tak bertingkah seperti pecundang yang kesiangan.

Ya, aku tahu. Aku harus melangkah pergi. Kali ini untuk selamanya bukan?