Bulan Biru

Hei, apa kabar? Kadang aku hampir lupa kalau kita pernah kenal. Ya, aku mengenalmu, hanya sebentar. Entah apakah sungguhan "mengenalmu" atau hanya sekedar mengenalmu. Ah, itu tak penting.

Jadi, apa kabarmu? 

Lama sudah kita tak bersenda gurau. Menceritakan seribu satu hal remeh temeh. Berbincang ini-itu sampai kelelahan dan jatuh terlelap. Kadang diselingi canda tawa yang membuat kita tergelak-gelak menertawakan hal yang mungkin untuk orang lain hanyalah hal yang biasa. Tak jarang disisipi sengguk tangis diam-diam yang akhirnya pun membanjir kala kita berbagi sesak. Seringnya kita membicarakan hal-hal yang hanya ada dalam imajinasi kita saja, hal-hal yang hanya kita yang tahu. Saling berbagi khayalan, berkhayal dan berkhayal. Mimpi. Kita dulu selalu punya mimpi. Ah, apa kamu masih mengingatnya?

Hmmm... Aku sungguh ingin tahu kabarmu. Padahal kita masih berdiri di atas bumi yang sama. Tapi rasanya seperti kamu tinggal entah di planet mana yang berbeda tata surya denganku. Ketika orbit kita tak lagi beriringan dan kamu seperti terlempar keluar dari galaksi yang tadinya kita tempati bersama. Apa kamu masih ingat khayalan kita tentang manusia galaksi lain? Berkhayal kita bisa menciptakan pintu ajaib, jadi walaupun kamu pergi ke dunia lain antah berantah, aku akan selalu bisa menemukanmu dengan membuka pintu itu.

Di sini hujan, aku jadi ingat kamu dan hujan selalu bermusuhan. Jadi ketika aku bersamamu, hujan tak akan turun. Saat aku asik di bawah guyuran hujan, kamu tak ada di sampingku. Hujan kali ini tak lama, sekarang sudah mereda, sayangnya kamu tetap tak ada di sampingku. Kini aku memandangi langit cerah sehabis hujan. Bintang-bintang berkedip malu-malu seakan dirinya gadis umur tujuhbelas yang menunggu kekasih hati datang apel di malam minggu. Orkestra malam menjadi musiknya, menambah syahdu yang turun pelan-pelan, menyelinap di bawah kakiku yang tergantung malas di ayunan.

Aku masih di sini, memandang bulan biru yang sama, seperti malam itu, malam kita menikmati secangkir yang terakhir. Malam kamu bercerita tentang bulan yang kesepian karena ditinggalkan kekasihnya yang turun ke bumi dan tidak dapat kembali lagi. Malang  kekasihnya malah berubah menjadi serigala yang hanya bisa meneriakkan nama sang bulan yang tak mampu lagi ditemuinya. Sejak malam itu aku merasa akulah sang bulan, malam kamu memutuskan untuk pergi. Apa kamu juga memandangnya sekarang? Bulan biru yang selalu kita bagi bersama, berharap malam inipun aku masih membaginya denganmu.

Tapi kamu tak di sini, jauh di sana, jutaan tahun cahaya dariku. Tapi kadang memang lebih baik begitu. Ketika hal-hal indah justru terlihat ketika berada jauh darinya. Seperti bulan biru malam ini yang terlihat amat indah. Juga langit cerah dan bintang yang berkelip cemerlang. Mereka indah karena kita melihatnya dari jauh. Bulan akan terlihat buruk saat kita menginjakkan kaki di atasnya, bintang akan membakar kita dengan cahayanya bahkan sebelum kita mendekat dan mampu menerka bentuknya, langit hanya akan jadi tempat kosong tak berdaratan yang takkan pernah bisa dicapai karena ketika sampai di tempat yang kita kira langit maka kita akan melihat langit masih jauh di atas sana.

Apa kabarnya dirimu?

Aku masih disini, memandang bulan biru yang sama, seperti malam itu, malam kita menikmati secangkir yang terakhir....

[Err, yang ini juga untuk ikutan lomba menulis prosa yang diadain Mbak Eka juga. Jadi kan si mbak gak ngasih batasan yah boleh bikin berapa aja gitu, jadi ya sudah deh, hehe..]

Yuhuui, sekali lagi deh..

Selamat hari Rabu!

Semoga hari ini menyenangkan :D

Welcome September! \^^/