Wednesday, 1 September 2010
Melodi Sore Ini
Hujan turun lagi sore ini.
Mau tak mau aku jadi mengingatmu lagi.
Hmm, ku rasa kau sudah bosan dengan tulisanku yang melulu soal hujan.
Dan kau.
Tapi aku tak akan peduli kalaupun harus ku habiskan beribu lembar halaman hanya untuk menuliskan tentang kau.
Aku tak peduli kalaupun akhirnya hanya aku dan kertas-kertas itu yang tersisa.
Karena mungkin aku hanya bisa menuliskan tentangmu saja.
Aku ingat sore itu ketika kita berjalan bersisian di tepi pantai Kukup yang berpasir putih bersih.
Kemudian kau menuliskan sebait puisi di pasir,
puisi tentangku.
Belum sempat aku membacanya, ombak datang menghapusnya hingga tandas.
Tapi kau malah tersenyum melihatku cemberut, kau bilang tak peduli seberapa ombak menghapus puisimu di pasir itu, kau akan selalu membuatkannya lagi, tentangku, untukku.
Kini, masihkah aku jadi puisimu?
Aku juga ingat pagi ketika kita berlarian di atas lembutnya padang rumput yang basah oleh embun.
Kita bertelanjang kaki, berlarian hingga kelelahan.
Dan kau mengajakku memetik dawai harpa di pucuk pohon ek.
Burung-burung mendaraskan nyanyi merdu musim semi yang baru akan mengembang.
Namun kemudian,
seleret bening cahaya melintas...
Menyisakan tanya yang menggantung pekat di udara..
Akankah aku kan selalu jadi lagumu?
Ahh, hujan masih menderas.
Aku juga masih duduk di sini, di bangku ini, tempat kita dulu menikmati hujan bersama, membagi tiap tetesnya.
Aku, kau, dan hujan.
Tentang melodi terindah adalah irama rinai hujan yang menderas semakin deras, mencurahkan segala muatannya, dan kau tertawa ketika itu.
Kau bilang bunyinya sama saja, bunyi hujan turun, tapi aku bersikukuh kalau rinai hujan adalah melodi yang terindah.
Terlebih bila mendengarkannya bersamamu.
Kau dan hujan,
masih menjadi melodi yang terindah untukku.
Entah apa yang mendorongku untuk bangkit dari bangku itu.
Kakiku menuntunku ke tengah taman, merasai sentuhan lembut tetes hujan yang semakin menderas.
Aku menari, berdansa bersama hujan, menari dan terus menari hingga kehabisan nafas.
Aku tersengal, menggigil kedinginan, mungkin juga terisak.
Andai kau tahu, sebanyak ini lah aku merindumu, sebanyak tetes hujan yang jatuh berderai sore ini.
Isakku hilang dibawa air hujan yang kemudian mengalir.
Entah bagaiamana caranya, tapi aku yakin alirannya akan menuju sungai.
Dan muara semua sungai adalah laut.
Laut.
Yang akan membawanya kepadamu.
Mungkin ketika tiba padamu, isakku hanya berupa buih,
tapi setidaknya ia bisa sampai padamu,
mewakiliku.
Pernahkah aku menjadi laut bagi sungaimu?
[hujan sudah reda, tapi aku masih terduduk di sini, merindukanmu, dalam dingin, sendiri.]
[Yuhuuu, ini prosa untuk ikutan lomba menulis prosa yang diadain oleh Mbak Eka dalam rangka ulang tahun pernikahan sekaligus ulang tahun blognya juga. Selamat yak, mbak! :D]
Selamat hari Rabu!
Semoga hari ini menyenangkan :D
Welcome September! \^^/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
woooowwww...sooo sweeettt...
ReplyDeleteAir, hujan, laut memang sering menjadi inspirasi menulis.
ReplyDeleteSaya catat yah linknya untuk dinilai dewan juri.
Ma kasih ucapan selamatnya juga partisipasinya di ultah CE :)
salam,
EKA
Ahhh hujan sudah reda sore ini, kau tahu apa yang paling kutunggu saat rinai menjelang pergi sore hari seperti ini ? langit jingga... ya langit jingga sore hari, sungguh tiada yang bisa menghalangiku menikmati lembayung senja nan indah itu, menikmati keindahan sunyi saat bayangmu kembali datang dan pergi.
ReplyDeleteAhhh indah disini meski sunyi...
tanpamu...
manis sekali tulisannya....like this...
ReplyDeleteSalam kenal :)....aku juga suka sekali hujan..asal jgn kebanjiran ..wkwkwk...
semoga menang...^^
ReplyDeleteaku juga suka hujan kalo masih gerimis. tapi kalo udah lebat aku balik sebel. ga banjir sih, tapi pln suka iseng matiin lampu. ga bisa ngenet deh...
ReplyDeletemaap oot..
keren. keliatannya bisa menang nih.btw, novelnya dah sampai belum?
ReplyDeleteehem ehem.. semoga menang yak..
ReplyDeletesalam kenal..
wuhuuuuu mantep haha :D
ReplyDelete