Sudah hampir setengah jam Inong
duduk di pinggir jalan itu, menunggu Emak
yang belum juga pulang. Kepangan rambutnya sudah tak jelas lagi
bentuknya, kusut di sana sini. Matanya sampai kebas karena kelewat awas
memperhatikan setiap orang yang berlalu-lalang. Panas badan dan pusing kepala
yang masih tersisa tak dirasakannya. Inong hanya ingin Emak pulang.
Sebenarnya Emak adalah neneknya.
Nama Inong sendiri adalah nama neneknya. Sejak lahir Inong belum diberi nama,
hanya karena dirawat oleh Mak Inong maka orang-orang memanggilnya Inong. Ibu
kandungnya sudah lama pergi. Empat puluh hari setelah Inong lahir, ibunya
langsung meninggalkannya untuk pergi merantau. Menjadi TKI kata Emak. Sedangkan
ayah kandungnya, bahkan Emak pun tidak pernah tahu siapa. Emak hanya berkata
pada Inong bahwa ayahnya sudah meninggal. Jadilah sejak itu kedua nenek-cucu
tinggal bersama. Saling memiliki, yang satu adalah satu-satunya milik yang lain.
Dan enam tahun sudah berlalu sejak saat itu, Inong begitu menyayangi Emak, begitupun
tak pernah terlewat seharipun Emak bersyukur pada Allah telah diberikan seorang
malaikat kecil semanis Inong.
Tadinya Inong dan Emak tinggal di
sebuah rumah kayu yang sudah reyot di bantaran sungai Ciliwung. Namun banjir
beberapa minggu lalu membawa hanyut rumah mereka dan segala yang mereka punya, bahkan
harapan juga mimpi Inong yang rencananya akan masuk sekolah tahun ajaran baru
nanti. Tapi banjir menghanyutkan semuanya, tanpa sisa. Sekarang mereka tinggal
di sebuah rumah kardus, masih di bantaran sungai Ciliwung. Inong dan Emak tak
punya banyak pilihan. Semuanya hanyut, hanya baju yang menempel di badan saja
yang tersisa.
Emak yang biasanya berjualan
pisang goreng kini beralih menjalani pekerjaan lain yang tak memerlukan modal
uang tetapi hanya modal tenaga, yaitu pemulung sampah. Setiap siang sampai menjelang
malam Emak pergi mengumpulkan sampah plastik untuk kemudian dijual kepada juragan. Emak mencari dimana
saja, di terminal, stasiun, jalanan. Mencari hampir di mana saja dan apa saja. Botol
kemasan minuman, botol kemasan shampoo, gelas-gelas plastik, kardus-kardus
bekas, apapun yang laku dijual.
Sesampainya di rumah kardus, Emak
membereskan hasil cariannya dengan dibantu Inong kalau bocah kecil itu belum
tidur. Mulai dari memilah-milah sesuai jenis, sampai membersihkan sisa-sisa
yang masih ada di dalam botol lalu menjualnya kepada juragan esok paginya untuk
kemudian hasil penjualan tersebut dibelikan makanan untuknya dan Inong.
Biasanya Inong ikut Emak memulung
sampah. Hanya saja beberapa hari ini Inong demam dan Emak memaksanya untuk
tetap di rumah dan beristirahat. Padahal Inong begitu suka tiap kali ikut Emak.
Inong suka melihat gedung-gedung tinggi, mobil-mobil yang berlalu-lalang di
jalan, kereta-kereta yang datang dan pergi di stasiun, juga orang-orang yang
berpakaian bagus. Inong selalu suka melihat berbagai hal berbeda dari segala
yang ada di sekitar rumah kardusnya.
Inong mengucek-ucek matanya.
Menguap, menahan kantuk. Padahal Emak belum juga terlihat. Hampir satu jam
Inong menunggu. Kakinya mulai lelah mondar-mandir tiap kali bosan duduk saja.
Yang ditunggu entah ada di mana.
Purnama perak di atas kepala
Inong bercahaya begitu terang. Lingkaran sempurna yang begitu cantik memukau. Inong
selalu bertanya-tanya, sejauh apakah
bulan itu, sejauh apa bintang-bintang di langit. Apakah lebih jauh dari dia dan
ibunya atau malah lebih dekat. Tetapi sepertinya bulan dan bintang lebih dekat
dengannya ketimbang ibunya, karena setidaknya Inong masih bisa melihat mereka,
tak seperti ibunya yang belum pernah sekalipun dia lihat. Terkadang bila sedang
sendirian Inong menebak-nebak seperti apa wajah ibunya, apa yang sedang
dilakukan ibunya, apakah ibunya juga memikirkannya, dan beratus-ratus
pertanyaan lain. Inong pernah bertanya pada Emak soal mengapa ibunya tak pernah
pulang, tak pernahkah ibunya merindukannya barang sedikit saja. Tapi Emak malah
melulu menyuruhnya tidur atau entah melakukan apa saja alih-alih menjawab
pertanyaan itu.
Inong sudah lelah dan amat lapar.
Tetapi Emak masih belum terlihat. Inong melihat ke arah tenda nasi goreng yang
ada di dekatnya. Aroma nasi goreng yang menguar di udara semakin menambah keroncongan
di perutnya. Meski begitu Inong tetap diam saja di tempatnya duduk. Teringat
satu peristiwa yang takkan pernah Inong lupakan.
Ketika itu umurnya masih lima
tahun, dan Emak sedang pergi berjualan pisang goreng saat Inong diajak mengamen
di lampu merah oleh teman-temannya yang lebih besar. Inong yang masih begitu
polos hanya menurut saja diajak oleh mereka. Kebetulan Emak melewati lampu
merah tempat Inong mengamen. Inong yang polos memanggil Emak dengan riang
gembira karena baru mendapat mainan kecrekan dari teman-temannya. Tetapi Emak
jauh dari ikut bergembira, Emak malah diam dan menatap Inong sambil bertanya
apa yang dilakukannya di situ. Setelah Inong menjawab sejujurnya, Emak hanya
menggandeng tangannya dan pulang ke rumah.
Di rumah Emak mengatakan sesuatu
tentang harga diri. Emak berkali-kali mengatakan untuk tidak meminta-minta pada
orang lain sesusah apapun itu. Bahwa satu-satunya yang masih akan selalu mereka
miliki adalah harga diri untuk tidak meminta-minta, untuk tidak menjadi
pengemis. Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, bahkan sesuap nasi, seseorang harus
bekerja dan berusaha. Meski sedikit yang bisa dipahaminya, malam itu Inong
kecil belajar untuk tidak akan pernah meminta apapun pada orang lain, hanya
pada Emak saja. Seperti sekarang, Inong ingat pada perkataan Emak untuk tidak
berjalan ke arah tenda itu dan meminta sesuap nasi, jadi Inong hanya terus
berdoa dalam hati semoga Emak segera pulang.
Entah sudah berapa lama Inong
menunggu Emak di pinggir jalan itu. Purnama perak yang menggantung di langit
pun kini sudah tak mampu lagi menghibur bocah perempuan itu. Badannya yang
hanya ditutupi selembar baju tipis yang sudah kedodoran menggigil kedinginan
terkena gigitan angin malam. Mobil-mobil berwarna-warnipun sudah tak lagi bisa
mengalihkan pandangan Inong dari bayangan wajah Emak. Sependek ingatan Inong
yang masih enam tahun, wajah Emak selalu tersenyum. Tak pernah sekalipun Emak
bersedih di depan Inong. Bahkan ketika Emak terjatuh dan kakinya berdarah
karena terantuk batu, Emak masih tetap tersenyum meski sambil meringis. Yah
kecuali ketika Emak melihatnya mengamen di lampu merah setahun yang lalu,
itupun Emak tidak menampakkan muka marah, hanya muka kosong dan kecewa.
Sudah hampir tengah malam ketika
Inong mulai merasa ketakutan, bendungan air di matanya hampir pecah. Emak belum
juga terlihat. Inong tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila Emak tak
pernah pulang lagi. Belum pernah Inong mengharap sebesar ini. Hatinya penuh
oleh berbagai perasaan, takut, cemas, sedih, semuanya jadi satu. Rasa laparnya sudah
lama hilang, diganti kecemasan, seakan seisi perutnya penuh dengan puluhan
kupu-kupu yang berterbangan, membuatnya sesak. Emak selalu mengajaknya untuk
sholat dan berdoa pada Allah. Kini Inong benar-benar ingin agar Allah
mengabulkan doanya, satu-satunya doa yang dalam beberapa jam ini tanpa sadar
telah Inong panjatkan.
Gerimis jatuh merintiki ibu kota
bersamaan dengan Inong yang mulai menitikkan airmata. Mengharap Allah mendengar
doanya. Semoga Emak segera pulang. Itu saja.