Thursday, 7 February 2013

Kumohon, pulanglah....


Sudah hampir setengah jam Inong duduk di pinggir jalan itu, menunggu Emak  yang belum juga pulang. Kepangan rambutnya sudah tak jelas lagi bentuknya, kusut di sana sini. Matanya sampai kebas karena kelewat awas memperhatikan setiap orang yang berlalu-lalang. Panas badan dan pusing kepala yang masih tersisa tak dirasakannya. Inong hanya ingin Emak pulang.

Sebenarnya Emak adalah neneknya. Nama Inong sendiri adalah nama neneknya. Sejak lahir Inong belum diberi nama, hanya karena dirawat oleh Mak Inong maka orang-orang memanggilnya Inong. Ibu kandungnya sudah lama pergi. Empat puluh hari setelah Inong lahir, ibunya langsung meninggalkannya untuk pergi merantau. Menjadi TKI kata Emak. Sedangkan ayah kandungnya, bahkan Emak pun tidak pernah tahu siapa. Emak hanya berkata pada Inong bahwa ayahnya sudah meninggal. Jadilah sejak itu kedua nenek-cucu tinggal bersama. Saling memiliki, yang satu adalah satu-satunya milik yang lain. Dan enam tahun sudah berlalu sejak saat itu, Inong begitu menyayangi Emak, begitupun tak pernah terlewat seharipun Emak bersyukur pada Allah telah diberikan seorang malaikat kecil semanis Inong.

Tadinya Inong dan Emak tinggal di sebuah rumah kayu yang sudah reyot di bantaran sungai Ciliwung. Namun banjir beberapa minggu lalu membawa hanyut rumah mereka dan segala yang mereka punya, bahkan harapan juga mimpi Inong yang rencananya akan masuk sekolah tahun ajaran baru nanti. Tapi banjir menghanyutkan semuanya, tanpa sisa. Sekarang mereka tinggal di sebuah rumah kardus, masih di bantaran sungai Ciliwung. Inong dan Emak tak punya banyak pilihan. Semuanya hanyut, hanya baju yang menempel di badan saja yang tersisa.

Emak yang biasanya berjualan pisang goreng kini beralih menjalani pekerjaan lain yang tak memerlukan modal uang tetapi hanya modal tenaga, yaitu pemulung sampah. Setiap siang sampai menjelang malam Emak pergi mengumpulkan sampah plastik untuk kemudian  dijual kepada juragan. Emak mencari dimana saja, di terminal, stasiun, jalanan. Mencari hampir di mana saja dan apa saja. Botol kemasan minuman, botol kemasan shampoo, gelas-gelas plastik, kardus-kardus bekas, apapun yang laku dijual.

Sesampainya di rumah kardus, Emak membereskan hasil cariannya dengan dibantu Inong kalau bocah kecil itu belum tidur. Mulai dari memilah-milah sesuai jenis, sampai membersihkan sisa-sisa yang masih ada di dalam botol lalu menjualnya kepada juragan esok paginya untuk kemudian hasil penjualan tersebut dibelikan makanan untuknya dan Inong.

Biasanya Inong ikut Emak memulung sampah. Hanya saja beberapa hari ini Inong demam dan Emak memaksanya untuk tetap di rumah dan beristirahat. Padahal Inong begitu suka tiap kali ikut Emak. Inong suka melihat gedung-gedung tinggi, mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan, kereta-kereta yang datang dan pergi di stasiun, juga orang-orang yang berpakaian bagus. Inong selalu suka melihat berbagai hal berbeda dari segala yang ada di sekitar rumah kardusnya.

Inong mengucek-ucek matanya. Menguap, menahan kantuk. Padahal Emak belum juga terlihat. Hampir satu jam Inong menunggu. Kakinya mulai lelah mondar-mandir tiap kali bosan duduk saja. Yang ditunggu entah ada di mana.

Purnama perak di atas kepala Inong bercahaya begitu terang. Lingkaran sempurna yang begitu cantik memukau. Inong selalu bertanya-tanya,  sejauh apakah bulan itu, sejauh apa bintang-bintang di langit. Apakah lebih jauh dari dia dan ibunya atau malah lebih dekat. Tetapi sepertinya bulan dan bintang lebih dekat dengannya ketimbang ibunya, karena setidaknya Inong masih bisa melihat mereka, tak seperti ibunya yang belum pernah sekalipun dia lihat. Terkadang bila sedang sendirian Inong menebak-nebak seperti apa wajah ibunya, apa yang sedang dilakukan ibunya, apakah ibunya juga memikirkannya, dan beratus-ratus pertanyaan lain. Inong pernah bertanya pada Emak soal mengapa ibunya tak pernah pulang, tak pernahkah ibunya merindukannya barang sedikit saja. Tapi Emak malah melulu menyuruhnya tidur atau entah melakukan apa saja alih-alih menjawab pertanyaan itu.

Inong sudah lelah dan amat lapar. Tetapi Emak masih belum terlihat. Inong melihat ke arah tenda nasi goreng yang ada di dekatnya. Aroma nasi goreng yang menguar di udara semakin menambah keroncongan di perutnya. Meski begitu Inong tetap diam saja di tempatnya duduk. Teringat satu peristiwa yang takkan pernah Inong lupakan.

Ketika itu umurnya masih lima tahun, dan Emak sedang pergi berjualan pisang goreng saat Inong diajak mengamen di lampu merah oleh teman-temannya yang lebih besar. Inong yang masih begitu polos hanya menurut saja diajak oleh mereka. Kebetulan Emak melewati lampu merah tempat Inong mengamen. Inong yang polos memanggil Emak dengan riang gembira karena baru mendapat mainan kecrekan dari teman-temannya. Tetapi Emak jauh dari ikut bergembira, Emak malah diam dan menatap Inong sambil bertanya apa yang dilakukannya di situ. Setelah Inong menjawab sejujurnya, Emak hanya menggandeng tangannya dan pulang ke rumah.

Di rumah Emak mengatakan sesuatu tentang harga diri. Emak berkali-kali mengatakan untuk tidak meminta-minta pada orang lain sesusah apapun itu. Bahwa satu-satunya yang masih akan selalu mereka miliki adalah harga diri untuk tidak meminta-minta, untuk tidak menjadi pengemis. Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, bahkan sesuap nasi, seseorang harus bekerja dan berusaha. Meski sedikit yang bisa dipahaminya, malam itu Inong kecil belajar untuk tidak akan pernah meminta apapun pada orang lain, hanya pada Emak saja. Seperti sekarang, Inong ingat pada perkataan Emak untuk tidak berjalan ke arah tenda itu dan meminta sesuap nasi, jadi Inong hanya terus berdoa dalam hati semoga Emak segera pulang.

Entah sudah berapa lama Inong menunggu Emak di pinggir jalan itu. Purnama perak yang menggantung di langit pun kini sudah tak mampu lagi menghibur bocah perempuan itu. Badannya yang hanya ditutupi selembar baju tipis yang sudah kedodoran menggigil kedinginan terkena gigitan angin malam. Mobil-mobil berwarna-warnipun sudah tak lagi bisa mengalihkan pandangan Inong dari bayangan wajah Emak. Sependek ingatan Inong yang masih enam tahun, wajah Emak selalu tersenyum. Tak pernah sekalipun Emak bersedih di depan Inong. Bahkan ketika Emak terjatuh dan kakinya berdarah karena terantuk batu, Emak masih tetap tersenyum meski sambil meringis. Yah kecuali ketika Emak melihatnya mengamen di lampu merah setahun yang lalu, itupun Emak tidak menampakkan muka marah, hanya muka kosong dan kecewa.

Sudah hampir tengah malam ketika Inong mulai merasa ketakutan, bendungan air di matanya hampir pecah. Emak belum juga terlihat. Inong tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila Emak tak pernah pulang lagi. Belum pernah Inong mengharap sebesar ini. Hatinya penuh oleh berbagai perasaan, takut, cemas, sedih, semuanya jadi satu. Rasa laparnya sudah lama hilang, diganti kecemasan, seakan seisi perutnya penuh dengan puluhan kupu-kupu yang berterbangan, membuatnya sesak. Emak selalu mengajaknya untuk sholat dan berdoa pada Allah. Kini Inong benar-benar ingin agar Allah mengabulkan doanya, satu-satunya doa yang dalam beberapa jam ini tanpa sadar telah Inong panjatkan.

Gerimis jatuh merintiki ibu kota bersamaan dengan Inong yang mulai menitikkan airmata. Mengharap Allah mendengar doanya. Semoga Emak segera pulang. Itu saja.

3 comments:

  1. Kasihan nasib Inong.. gimana akhir ceritanya apa emaknya pulang

    ReplyDelete
  2. Kasihan si Inong, menanti si emak yang tak kunjung datang.
    Mungkin emaknya lupa jalan pulang J:)

    ReplyDelete
  3. kembalikan emaak... kembalikan emaaaak...
    :prayforemak

    ReplyDelete

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^