Monday, 30 September 2013

Jangan pergi. Kumohon. Maukah kamu tetap di sini saja?

Karena ketiadaanmu memukul telak hatiku yang sudah sejak lama bengkak biru.

Jangan pergi lagi. Kumohon. Maukah kamu tetap di sini saja?

Wednesday, 11 September 2013

It's nothing

Ternyata memang sia-sia.
Bukan apa-apa.
Dan hanya sekedar.

Well, at least now i know what it meant. Maybe i already know it from the beginning. But i just ignore it or whatsoever.

Well, at least now i know...

Tuesday, 3 September 2013

Hatiku bengkak biru...

Ya, kamu benar. Karena saat ini bahkan diriku sendiri pun tak lagi bisa ku percaya. Tak ada yang bisa dipercaya lagi bukan?

Aku bahkan tak percaya pada apa yang ku pikirkan di dalam sini. Tak juga percaya pada apa yang ku rasakan di dalam sini. Terlebih lagi saat ini.

Belum pernah aku sangsi pada diriku sendiri. Tapi layar film yang terus menerus diulang meski aku terpejam adalah satu bukti bahwa pada akhirnya tak ada seorangpun yang bisa dipercaya. Bahkan diri sendiri.

Entah. Aku pun tak lagi mampu memerangkap kata-kata agar bisa menyampaikan apa yang tersurat pada tiap baris rangkainya. Memetakan apa yang tersirat dalam tiap rentet untainya.

Namun kemudian aku tersentak. Kata-kata yang ku ronce dengan hati-hati bertubrukan begitu saja dengan dinding yang kamu bangun. Pecah berkeping-keping bahkan sebelum sempat tersampaikan.

Pecah.
Dan hatiku bengkak biru. Memasung rindu. Beralas ragu.

Rasa ini (?)

Dengan ketergesaan dan tanpa pertanda, begitu saja kau meletakkannya di lidahku, menungguku mencecapnya, seraya melihat air mukaku yang kebingungan menerka-nerka rasa apa yang baru saja kau letakkan.

Manis? Ia tidak terasa seperti gulali merah jambu yang sering dibelikan ibuku tiap kali kami berkunjung ke pasar malam hingga ia bisa dikatakan manis. Jadi bukan.

Asin? Ia tak serupa air laut yang seringnya tertelan begitu saja manakala aku asik berenang hingga ia bisa dikatakan asin. Jadi bukan.

Asam? Ia tak membuatku menjengit seperti tiap kali aku memakan mangga muda hingga ia bisa dikatakan asam. Jadi bukan.

Pahit? Ia pun tak membuatku ingin memuntahkannya kembali seperti puyer yang dipaksakan untuk ku minum manakala demam menyerang hingga ia bisa dikatakan pahit. Jadi bukan.

Lalu, rasa apakah ini? Lidahku masih mencecapnya. Masih menerka rasanya. Meminta otakku untuk menggali ingatan mungkin saja entah di tumpukan kenanganku yang menggunung itu pernah terekam rasa ini. Tapi tidak.

Sekali lagi ku coba rasai ia yang baru saja kau letakkan dengan terburu-buru di lidahku. Tapi setiba-tiba kau meletakkannya, setiba-tiba itu pula ia menguap. Lidahku mencecap hambar.

Monday, 2 September 2013

Pukul dua dini hari.

Pukul dua dini hari. Aku masih nyalang, kantuk sudah lama pergi. Lalu lintas di dalam sini kelewat bising.

Pukul dua dini hari. Seharusnya aku sudah sejak tadi terlelap. Namun seolah enggan, detak jarum jam mengiris ruang dengarku.

Pukul dua dini hari. Dan yang ku inginkan hanya satu, sejenak lupa akan semua dan jatuh tertidur. Mengapa jadi begitu sulit?

Pukul dua dini hari..