Dengan ketergesaan dan tanpa pertanda, begitu saja kau meletakkannya di lidahku, menungguku mencecapnya, seraya melihat air mukaku yang kebingungan menerka-nerka rasa apa yang baru saja kau letakkan.
Manis? Ia tidak terasa seperti gulali merah jambu yang sering dibelikan ibuku tiap kali kami berkunjung ke pasar malam hingga ia bisa dikatakan manis. Jadi bukan.
Asin? Ia tak serupa air laut yang seringnya tertelan begitu saja manakala aku asik berenang hingga ia bisa dikatakan asin. Jadi bukan.
Asam? Ia tak membuatku menjengit seperti tiap kali aku memakan mangga muda hingga ia bisa dikatakan asam. Jadi bukan.
Pahit? Ia pun tak membuatku ingin memuntahkannya kembali seperti puyer yang dipaksakan untuk ku minum manakala demam menyerang hingga ia bisa dikatakan pahit. Jadi bukan.
Lalu, rasa apakah ini? Lidahku masih mencecapnya. Masih menerka rasanya. Meminta otakku untuk menggali ingatan mungkin saja entah di tumpukan kenanganku yang menggunung itu pernah terekam rasa ini. Tapi tidak.
Sekali lagi ku coba rasai ia yang baru saja kau letakkan dengan terburu-buru di lidahku. Tapi setiba-tiba kau meletakkannya, setiba-tiba itu pula ia menguap. Lidahku mencecap hambar.
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^