Tuesday, 5 May 2015

A Thousand Pieces of Broken Glass









I'd like to say we gave it a try
I'd like to blame it all on life
Maybe we just weren't right, but that's a lie, that's a lie

And we can deny it as much as we want
But in time our feelings will show

'Cause sooner or later
We'll wonder why we gave up
The truth is everyone knows

“Kamu tau gak? Sewaktu Tuhan menciptakan surga ada percikan-percikan yang jatuh ke bumi, dan sedikit dari percikan itu jatuh di Garut, sepanjang jalan Pameungpeuk, dan sepanjang pantai Rancabuaya.” Ardhiandika hanya tersenyum mendengar Maygistara di sebelahnya mengoceh tentang pemandangan yang sedang dan sudah mereka lalui selama tiga hari kemarin.


“Trus pantai Cicalobak gimana? Masuk kategori percikan surga juga gak?” Ardhiandika malah bertanya asal menanggapi ocehan gadis di sebelahnya.

“Hmmm, itu juga termasuk. Ah semuanya lah yang ada di sini. Gunungnya, bukitnya, lautnya, pantainya...”

“Dan juga kamu.” Potong Ardhiandika singkat.

“Hmm?”

“Iya, kamu. Sewaktu Tuhan menciptakan bidadari, sedikit dari percikannya jatuh ke bumi saat kamu terlahir.” Maygistara tertegun sesaat sebelum tawanya pecah berderai bersamaan dengan tawa Ardhiandika yang sedari tadi serius menyetir.

“Kalo itu namanya gomballllll... hihhh...” Pepohonan yang menjulang tinggi berjajar rapi saling berbagi tempat dengan semak belukar yang terjalin erat mengikat satu sama lain, seolah bergerak menjauhi mobil yang melaju kencang kembali menuju bumi yang penat dan bising. Musik yang diputar dari playlist masih terus memenuhi ruang dengar dua anak manusia yang berusaha lari dari bumi, mencari sepotong surga, dimana ketika jendela mobil di buka kesejukan angin yang akan menyapa, bukan asap polusi dari ratusan kendaraan yang mengantri untuk bisa memakai jalan. Sepotong surga yang akan segera mereka tinggalkan. 

Almost, almost is never enough
So close to being in love
If I would have known that you wanted me
The way I wanted you
Then maybe we wouldn't be two worlds apart
But right here in each other's arms

And we almost, we almost knew what love was
But almost is never enough

Ckiiiittttt…. Bunyi decit rem yang diinjak tiba-tiba membuat Ardhian tersentak bangun dari tidurnya, maklum saja semalam ia baru sampai di rumah pukul dua pagi dan tadi subuh ia sudah harus bangun lagi karena janjinya pada May yang sekarang memegang setir. Ardhian sudah berjanji untuk menemani May menghabiskan long weekend di awal Mei ini.

“Kamu yang alus dikit bisa gak, May? Kayak orang baru bawa mobil aja deh.” Omel Ardhian sambil membenarkan posisi duduknya yang kini menjadi tegak.

“Maaf, tadi tuh mobil depan mendadak juga berhentinya kok, macet kayaknya deh ini, duh. Lagian aku kan emang baru bawa mobil, gak kayak kamu yang udah bawa mobil sejak baru lahir.” May tidak bermaksud berkata sesinis itu, tetapi yang keluar dari mulutnya malah terdengar seperti sebuah ejekan yang memicu pertengkaran. Terlanjur terucap, May malah terus berusaha untuk terlihat fokus hanya pada jalan tol yang ada di hadapannya, tak berani melihat kepada Ardhian yang kini sudah asik mengunyah roti keju.

“Kamu kalo ngomong tuh yang enak didenger kenapa sih, May? Aku bahkan belum sarapan nih, laper tahu gak?”

“Ya kali, aku juga belum sarapan yah. Bangun pagi, nyetir dari Bogor ke Cengkareng buat jemput kamu, boro-boro deh terpikir sarapan, keburu takut kena macet. Bagi dikit dong, suapin suapin. Laper juga nih… Nah kita mau makan di mana nih? Rest area KM 57 aja gimana? Di situ ada masjidnya kok, jadi kamu kan bisa sekalian sholat jumat ya?” 

“May, kamu itu yah udah ngomongnya gak enak plus nyerocos aja kayak kereta. Iya kita makan di situ aja ntar siangan. Tapi aku lagi males jumatan nih. Gak usah jumatan dulu lah.” Ardhian dengan santainya menanggapi cerocosan May sambil terus mengunyah roti keju yang ia makan sendirian, tak mengacuhkan permintaan May.

“Eh gila ya? Kok gak jumatan? Pelitnya ya Tuhann, ambilin donat yang di belakang itu aja deh kalo rotinya gak boleh dibagi.” 

“Gapapa lah, lagi pengen jadi kafir dulu. Eh ini kok donat isinya cuma empat? Kotaknya isi selusin ini…” Ardhian menyorongkan donat dengan krim strawberry kepada May.

“Oh itu, iya itu kan sisa kemarin. Tinggal segitu.”

“Dihh, giliran buatku dikasih sisaan gini?”

“Heh, siapa bilang buat kamu? Makan aja tuh roti keju sendiri yah…” 

“Musik dong musik…” Lagi-lagi Ardhian tak mengacuhkan May, malah asik memilih lagu-lagu dari playlist.

I stay awake
I stay awake and watch you breathe
I stay awake and watch you fly
Away into the night
Escaping through a dream
“May, kita mau ke mana sih?”

“Garut, Ard. I’ve told you yah…”

“Oke..”

I dream of you tonight
Tomorrow you'll be gone
I wish by God you'd stay
Stay
Stay
Stay...

I wish by God you'd stay

Ckiiiittttt…… Bunyi decit rem yang diinjak tiba-tiba membuat Andi tersentak bangun dari tidurnya, maklum saja semalam ia baru sampai di rumah pukul dua pagi dan tadi subuh ia sudah harus bangun lagi karena janjinya pada Gista yang sekarang memegang setir. Andi sudah berjanji untuk menemani Gista menghabiskan long weekend di awal Mei ini.

“Sayang, kamu pelan-pelan dong kalau ngerem… Ini jatuh semua loh yang di jok belakang nih…” Andi dengan sabar memunguti kotak makanan yang terjatuh saat Gista mengerem mendadak barusan.

“Maaf yah.. itu mobil di depan kita sih mendadak gitu tadi… Aku juga salah sih, yah namanya juga baru bawa. Hehehe.” Gista meminta maaf dengan tulus seraya memasang muka polos plus senyuman yang ia harap bisa melunakkan hati Andi.

“Hmmm, dasar… Aku laper nih.. kamu bawa apa aja sih ini? Tadi sempat masak apa?” tanya Andi sambil berusaha melihat satu-satu bekal yang sudah disiapkan oleh kekasihnya tadi pagi. Meski kepalanya masih cukup pusing karena tidur terlalu larut, pusing memikirkan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya itu ditambah penerbangan subuh tadi, tetapi melihat bekal yang ada di pangkuannya sekarang seolah berangsur-angsur kepalanya jadi terasa lebih ringan.

“Tadi aku sempat bikinin nasi goreng teri yang pedes banget kesukaan kamu tuh. Eh iya kalau mau kopi juga tadi aku bikin juga, itu ku simpan di termos botol itu. Maaf ya cuma sempat siapin segitu aja, karena kan buru-buru jemput kamu di bandara. Kita juga harus buru-buru begini sampe kamu harus sarapan di mobil gini..” Gista menjawab sambil terus berkonsentrasi dengan jalan tol yang ada di hadapannya.

“Gak apa-apa kok. Bagus malah, biar gak kena macet. Ini kalau kita berangkatnya agak siangan lagi pasti keburu kena macet kita. Kamu gak apa-apa nih nyetir? Tadi kan udah nyetir dari rumah ke bandara, pake acara masak segala padahal kan kita bisa beli aja. Ntar kalau udah capek bilang ya, biar aku gantiin.” Sekarang Andi sudah asik dengan nasi goreng terinya yang ternyata memang benar-benar pedas, kesukaannya.

“Oh gak apa-apa lah. Kamu bawanya nanti aja pas udah keluar dari tol Cileunyi yak. Hehehehe. Sekarang makan aja dulu. Ehiya, kita makan siang di rest area KM 57 aja yah, di situ ada masjid jadi kamu bisa sekalian sholat jumat.”

“Hmmm… kamu sendiri udah sarapan?”

“Belum sih, tadi kelar semuanya aku langsung jalan. Takut kamu keburu landing dan malah nungguin aku.” 

“Ish, kamu ini.. Nih, ayo buka mulutnya.” Andi langsung menyuapi Gista yang juga tak menolak, malah langsung melahap nasi goreng teri, mengingat sejak semalam ia pun belum makan karena mual-mual yang begitu hebat. Ah sebetulnya ia tak sabar ingin mengabarkan berita itu pada Andi, tapi nanti saja lah. Suara merdu Jason Mraz masih terus memenuhi ruang dengar di dalam mobil mungil yang kini melaju kencang di jalan, baru saja terlepas dari kemacetan di beberapa ruas.

Before the cool done run out I'll be giving it my bestest
And nothing's going to stop me but divine intervention
I reckon it's again my turn to win some or learn some
But I won't hesitate no more, no more
It cannot wait, I'm yours

Ckiiiittttt…… Bunyi decit rem yang diinjak tiba-tiba membuat Dika tersentak bangun dari tidurnya, maklum saja semalam ia baru sampai di rumah pukul dua pagi dan tadi subuh ia sudah harus bangun lagi karena janjinya pada Tara yang sekarang memegang setir. Dika sudah berjanji untuk menemani Tara menghabiskan long weekend di awal Mei ini.

“Oh God, Tara. Are you okay?” Dika memegangi dadanya yang sesaat tadi berdebar begitu cepat karena mobil yang ditumpanginya bersama Tara berhenti mendadak.

“Sorry sorry. Barusan mobil depan berhentinya mendadak banget, aku juga agak melamun sedikit sih. But I will try to focus from now and on. Relax, okay? Anyway, how’s your flight this early morning eh? Was it great?” Tara berkata dengan sungguh-sungguh. Pikirannya memang sedikit melamun ke tempat lain. Seolah begitu penuh dengan segala yang terjadi belakangan ini. Tentang pekerjaannya, keluarganya, juga tentang hubungannya dengan Dika.

“Hmm… Biasa aja sih, ya begitulah.. Aku laper nih, tadi gak sempat makan apa-apa di pesawat, malas banget sih mau makan juga kalo kepagian gitu. Kamu ada makanan apa?” Tanpa menunggu jawaban Tara, Dika langsung mencari-cari makanan di bagian jok belakang mobil. Alih-alih menemukan makanan semacam roti atau nasi goreng, Dika malah mendapati jok belakang penuh dengan berbagai buah-buahan, mulai dari duku, pear, apel, pisang, dan jeruk.

“Masih lanjutin FC-nya, Ra?” tanya Dika setelah menggigit pear packham yang rasanya begitu garing dan manis.

“Ho oh. Kan kamu yang ngajarin. Itu ada jus juga loh di botol situ itu. Coba cari deh.” Jawab Tara tanpa mengalihkan wajahnya dari jalan tol yang ada di hadapannya.

“Wah wah wah,, padahal kan kita bisa cheating hari ini, Ra. Kan kita mau liburan nih, gak apa-apa lah makan apa aja kali ini.” Jus alpukat feat strawberry yang dimaksud Tara tadi memang terasa begitu segar dan nikmat, kalau dipikir-pikir mungkin tak perlu cheating pun bisa, Dika tak keberatan dengan menu sarapan segar begini.

“Iya, nanti siang kita bisa makan apa aja kok. Mau cheating kayak apa juga hayuk aja lah. Mau makan apa emang kamu nanti siang?”

“Hmmm, yah apa aja boleh sih. Dimana gitu?”

“Rest area KM 57 aja yah. Di situ juga kan ada masjid, jadi kamu bisa sekalian sholat jumat di situ.”

“Hmm….” Dika hanya menggumam menjawab pernyataan Tara. Dika percaya pada Tuhan, karena bumi dan segala isinya termasuk dirinya memang ciptaan Tuhan, kalau bukan Tuhan lantas siapa? Ia beriman pada Tuhan, meski kadang ia bertanya-tanya tuhan yang mana yang sebenarnya Tuhan? Masing-masing umat mengaku punya Tuhan yang paling hebat, yang paling benar. Tapi siapa yang benar-benar tahu bahwa tuhan yang mana yang memang Tuhan?

“Dika? Kamu ngelamun ya? Itu hampir tumpah loh jusnya.” Suara Tara mengembalikan kesadaran Dika, kembali ke dalam mobil yang kini sedang melaju kencang di jalan tol.

“Eh, gak apa-apa. Kamu mau aku gantiin nyetir gak? Kalau capek bilang ya?” 

“Belum kok. Santai aja, nanti kalau capek aku pasti bilang.”

“Oke.. eh aku nyalain musik ya?” 

And, darling, I will be loving you 'til we're 70
And, baby, my heart could still fall as hard at 23
And I'm thinking 'bout how people fall in love in mysterious ways
Maybe just the touch of a hand
Well, me - I fall in love with you every single day
And I just wanna tell you I am

“Hoooh, trus kalo kita hidupnya lebih dari 70 tahun lantas gimana?”

“Hmm di panti jompo.”

“Dih, bukan itu maksudnya ih.. tadi bilangnya ‘I will be loving you till we’re 70’ trus kalo lebih dari 70, udah gak cinta lagi gitu?”

“Ya gak gitu juga sih… Ah siapa yang tau besok bakalan kayak apa?”

“Eughh mulai lagi deh dengan ‘kita lihat aja besok’ iya? Gitu? Heuh…”

“Apa sih, Ra…. Jangan mulai aneh-aneh deh ya…”

Secangkir kopi manis kau tuangkan untukku
Datang dari hatimu datang dari cintamu datang dari dirimu untukku
Secangkir teh yang hangat kau tuangkan untukku
Datang dari hatimu datang dari cintamu datang dari dirimu untukku

“Wohoooo, gila ya, ini tuh bagus banget loh. Asli deh. Kalo boleh, aku mau nih tinggal di sini. Serius.” Gista yang sedari tadi tak henti-hentinya mengagumi keindahan pemandangan yang ada di hadapannya, merentangkan tangannya sejauh mungkin, mencoba merasai kesejukan yang menerpa wajahnya, meniup rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai. Sementara Andi masih asik bersandar ke pintu mobil, memandangi Gista yang sejak tadi heboh sendiri. Hari hampir senja ketika mereka sampai di pinggir tebing tempat mereka sekarang beristirahat sejenak, sudah lebih dari setengah perjalanan menuju Pameungpeuk. Permintaan Gista tentunya, ia ngotot sekali ingin turun dari mobil dan memandangi lama-lama pepohonan hijau dan bukit-bukit yang terhampar sejauh mata memandang.

“Yakin mau tinggal di sini? Kerjaanmu gimana?” tanya Andi menanggapi khayalan Gista.

“Hmm ya aku bisa resign kok dari restoran, mereka bisa cari chef lain yang lebih hebat dari aku. Tenang aja. Di sini aku bisa bikin rumah makan, atau warung kopi kayak macam itu tuh… “ jawab Gista asal sambil menunjuk warung kopi yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Lantas, kerjaanku gimana?”

“Soal kerjaan kamu, hmmm kamu kan bisa merancang design bangunan dari sini? Temenku yang arsitektur bisa tuh kerja dari mana aja, tinggal kirim rancangannya lewat email dan beres. Hehehe.”

“Kamu kalau bicara suka ngasal deh. Mana bisa kayak gitu… hmm…”

Baru sebentar mereka berdiri di situ, Andi sudah menyalakan batang rokoknya yang kedua. Sontak saja, Gista menoleh kepadanya, kali ini dengan mimik muka serius.

“Katanya kamu mau berhenti merokok? Kenapa sekarang masih juga merokok?”

“Hmmm ya nanti aku mau berhenti, kan aku juga udah janji.”

“Kapan?”

“Ya nanti kalau udah tepat.”

“Kapan, Ndi? Kapan? Kamu mau nunggu sampe anak kita lahir, trus kena bronchitis trus baru kamu baru mau berhenti? Iya?”  cerocos Gista memberondong Andi yang kini malah bengong kebingungan.

“A.. a.. anak kita? Maksudnya?”

“Aku hamil, Ndi.” Sesaat seolah Andi tak bisa mempercayai pendengarannya, bahkan sekarang ia memandangi Gista lekat-lekat, mencoba melihat ke dalam matanya.

“Empat minggu. Jadi?”

“Oh God, oh Gista,..” Setelah kepalanya bisa berpikir kembali Andi langsung memeluk Gista erat-erat sampai seakan tak mau melepaskannya. Akhirnya Gista terpaksa melepaskan pelukan Andi karena ia sudah hampir kehabisan napas.

“Lantas?”

“Lantas apa, Ta? Oh itu, ya nanti kita bicara sama orang tuamu, kita menikah. Bukannya begitu yah?”

“Hmmm…”

“Kamu gak senang ya, Ta?”

“Rokoknya?”

“No more. No no no. No more cigarette. For you and for our baby. I love you, honey.. Thanks for everything…” Andi mengecup kening Gista dengan penuh sayang, tak ada yang lebih membuatnya bahagia selain kehadiran Gista dalam hidupnya, dan kini, beberapa bulan lagi, seorang bayi kecil buah hati mereka yang akan hadir ke dunia, menambah kesempurnaan kebahagiaannya.

“Omong-omong, kamu sungguhan mau tinggal di sini, Ta? Indah banget sih emang di sini yah…”

Ku suka merah dan kau suka biru
Ku suka bulan dan kau suka matahari
Ku sayang dirimu dan kau sayang diriku
Walau kita berbeda ku nikmati cintamu, kopi dan teh bersamamu…

If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way to show her every day
That she's my only one

“Wohoooo, gila ya, ini tuh bagus banget loh. Asli deh. Kalo boleh, aku mau nih tinggal di sini. Serius.” Tara yang sedari tadi tak henti-hentinya mengagumi keindahan pemandangan yang ada di hadapannya, merentangkan tangannya sejauh mungkin, mencoba merasai kesejukan yang menerpa wajahnya, meniup rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai. Sementara Dika masih asik bersandar ke pintu mobil, memandangi Tara yang sejak tadi heboh sendiri. Hari hampir senja ketika mereka sampai di pinggir tebing tempat mereka sekarang beristirahat sejenak, sudah lebih dari setengah perjalanan menuju Pameungpeuk. Permintaan Tara tentunya, ia ngotot sekali ingin turun dari mobil dan memandangi lama-lama pepohonan hijau dan bukit-bukit yang terhampar sejauh mata memandang.

“Yakin mau tinggal di sini? Kerjaanmu gimana?” tanya Dika menanggapi khayalan Tara.

“Resign aja kali yah. Aku toh gak begitu suka juga jadi pegawai kayak sekarang, disuruh-suruh lantas dimarahin, heuh… padahal udah capek ngerjainnya.” Tara menjawab santai sambil terus memandangi pepohonan yang mulai diselimuti kabut yang turun perlahan-lahan.

“Trus, aku? Kamu di Bogor aja kita cuma bisa ketemu sebulan sekali, paling banyak dua kali. Apalagi kamu di sini, Ra?”

“Kamu kayak yang bahagia banget aja sama kerjaanmu. Bukannya kamu juga gak suka yah? Apalagi mengingat penempatan yang melulu gak jelas pola mutasinya itu. Lagipula emangnya kamu serius sama aku?”

“Kok kamu bicaranya gitu, Ra? Ya aku serius lah sama kamu. Kalau enggak ngapain kita tetep kayak gini? It’s almost five years, Ra. Emangnya buatmu lima tahun itu becanda ya?”

“Kok jadi begini? Sekarang ku tanya sama kamu, kamu udah bicara sama papamu? Sama mamamu? Sama adikmu? Mana, Dika? Mana? It’s been a year since the last time we talk seriously about our future. Mama papa juga udah capek nanyain aku soal kabar kamu. Tapi kamu melulu menghindar tiap kali. Lalu bagian mana yang kamu bilang serius? Please explain it to me, okay?”

Dika yang tak tahu harus menjawab apa hanya bisa terdiam, mencoba mencari pengalih perhatian dengan menendang kerikil-kerikil yang berserakan dengan ujung sepatu ketsnya. Tara yang sebelumnya merasa begitu damai dengan keadaan sekitarnya jadi berubah seratus delapan puluh derajat mendapati lagi-lagi Dika hanya bisa diam saja, tanpa jawaban tanpa tindakan.

“Aku gak tahu, Dika, apakah setelah ini kita masih bisa barengan atau enggak. Aku gak tahu lagi, gimana kita besok, setelah perjalanan ini usai. Aku gak tahu lagi.” Setelahnya hanya sunyi yang diiringi sayup-sayup burung dari kejauhan, semilir angin sore itu malah menambah semakin dingin suasana yang terlanjur rusak.

And if my time on earth were through
And she must face this world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes

So tell that someone that you love
Just what you're thinking of
If tomorrow never comes

Guess it's true, I'm not good at a one-night stand
But I still need love 'cause I'm just a man
These nights never seem to go to plan
I don't want you to leave, will you hold my hand?

“Wohoooo, gila ya, ini tuh bagus banget loh. Asli deh. Kalo boleh, aku mau nih tinggal di sini. Serius.” May yang sedari tadi tak henti-hentinya mengagumi keindahan pemandangan yang ada di hadapannya, merentangkan tangannya sejauh mungkin, mencoba merasai kesejukan yang menerpa wajahnya, meniup rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai. Sementara Ardhian masih asik bersandar ke pintu mobil, memandangi May yang sejak tadi heboh sendiri. Hari hampir senja ketika mereka sampai di pinggir tebing tempat mereka sekarang beristirahat sejenak, sudah lebih dari setengah perjalanan menuju Pameungpeuk. Permintaan May tentunya, ia ngotot sekali ingin turun dari mobil dan memandangi lama-lama pepohonan hijau dan bukit-bukit yang terhampar sejauh mata memandang.

“Yakin mau tinggal di sini? Kerjaanmu gimana?” tanya Ardhian menanggapi khayalan May.

“Oh itu sih gampang, aku bisa kok ngedesign baju-baju dari sini, sebulan atau yah dua minggu sekali ke bandung buat cari bahan atau apalah, hasil design kan bisa ku kirim lewat email. Ya kalo gak ada yang mau nerima cara kerja yang begitu, jadi penjahit aja lah di sini. Hahahaha.”

“Kamu kalo ngomong melulu ngasal yah? Gak dipikirin dulu? Kamu tuh ngegampangin kalo kayak gitu tau gak?” tanya Ardhian kesal pada May yang seolah-olah menganggap mudah segala hal.

“Kenapa sih? Kok jadi sewot gitu? Mulut juga mulutku ini. Kenapa kamu yang atur-atur aku mau omong apa?” May tidak kalah emosi mendengar cerocosan Ardhian tentang omong kosongnya yang asal ucap barusan.

“Kalian tuh sama aja yah, kamu kalo kayak gini tuh kelihatan banget egoisnya tau gak? Perempuan sama aja emang.”

“Eh gak usah nyama-nyamain deh. Maksud kamu apa ngomong kayak gitu? Perempuan mana yang kamu bilang sama ma aku? Perempuan yang ninggalin kamu demi lelaki lain itu? Oh salah, maksudku perempuan yang gak mau ninggalin lelaki lain demi kamu itu? Yang itu? Salahmu sendiri, jatuh cinta kok sama istri orang, gak mikir ya?”

“Kamu bisa diam gak? Pantas aja pacar kamu itu ninggalin kamu yah, dia pergi gitu aja kan? Tanpa kabar? Yang dihadapin macam begini.”

“Brengsek. Kalian sama brengseknya.”

Why am I so emotional?
No, it's not a good look, gain some self-control
And deep down I know this never works
But you can lay with me so it doesn't hurt

Ardhian masih bersandar di pintu mobil, entah sudah berapa batang rokok yang dia habiskan hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit mereka beristirahat di tempat itu. Di pinggir tebing menuju Pameungpeuk. Hari mulai senja, kabut mulai turun, tapi mereka seolah masih betah mematung di tempat itu dan tak tahu kapan akan bergerak pergi melanjutkan perjalanan. Dalam hitungan detik, May bangun dari tempatnya duduk, mendatangi Ardhian yang seolah kaget karena sejak beberapa menit lalu mereka berdebat, May memilih untuk duduk diam dan tak mengacuhkan Ardhian, seolah mereka sedang tak bersama di situ.

“Minta rokoknya satu.”

“Kamu gak ngerokok ya. Gak ada perempuan ngerokok. Ngapain minta segala?”

“Minta satu. Okay? Satu ini aja.”

“Terserah lah.” Ardhian menyerahkan kotak rokoknya yang sudah sisa separoh kepada May. Susah payah May menyalakan rokok yang kini dia pegang di sela-sela jemarinya. Ardhian yang kehabisan kesabaran melihat si amatir tak juga mampu menyalakan rokok, merebut rokok di jari tangan May dan menyalakannya.

“Nih.. sedikit aja. Gak usah banyak-banyak. Nanti ibumu kira aku yang ngajarin kamu gak bener.” May langsung menghisap rokok pertamanya. May belum pernah sekalipun menghisap rokok, bahkan ia membenci semua laki-laki yang merokok. Tapi sore ini ia hanya ingin mencoba sekali saja, toh mencoba sekali tidak akan membuatnya mati atau apa. Isapan pertamanya membuatnya batuk-batuk, tentu saja, alih-alih menghembuskan asapnya keluar ia malah menelannya. 

“Memang kamu kok. Yang ngajarin aku ciuman pertama kali juga kamu. Pacarku aja gak pernah.” Ardhian tak menjawab kata-kata May. Ia hanya tersenyum sinis sekilas, malas memikirkan segala perkataan yang keluar dari perempuan yang ada di depannya. 

“Kenapa diam aja? You know what? You’re the only man that I ever kissed. I never kiss another man, even before or after that night. When you suddenly kissed me. But what did I get? Kamu bilang kamu gak tahu artinya itu apa saat aku tanya kamu setelahnya, kamu cium perempuan dan kamu gak tahu maksudnya apa. Rasanya sinting banget aja.” 

Kabut semakin tebal, pepohonan hijau mulai tertutupi kabut putih, sekeliling menjadi semakin gelap. Gelap dan kelam. Seketika sepotong surga yang barusan saja masih terlihat, kini hilang ditelan kegelapan.

Oh, won't you stay with me?
'Cause you're all I need
This ain't love, it's clear to see
But darling, stay with me

“Ayok, kamu udah siap kan? Jadi mau berenang di laut? Aku udah siap nih.. kamu yang mau dibawa apa aja? Siap-siap ya, aku manasin mobil bentar.” Ardhiandika berkata pada Maygistara sambil berjalan keluar kamar untuk memanaskan mobil. Segelas kopi dan teh sudah siap di atas meja lengkap dengan roti bakar dan nasi goreng. Roti bakar dan teh manis untuk Maygistara, sementara kopi dan nasi goreng untuknya. Ditambah alunan musik dari music player di ponsel pintarnya.

“Ya Tuhan… indah banget kan pantainya? Lautnya? Iya kan?” lagi-lagi Maygistara hanya bisa berdecak kagum demi melihat hamparan batu karang yang tetap tegar berdiri meski setiap hari harus diterjang ombak ribuan kali. Belum lagi tadi di perjalanan menuju Pantai Rancabuaya ketika ia bisa menikmati gunung sebagai pemandangan di kanan jalan dan laut di kiri. Orang bilang kita tak bisa mendapatkan segalanya sekaligus dalam satu waktu. Tapi Maygistara tahu itu hanya perkataan orang pesimis yang tak mau berusaha karena ia toh dapat membuktikan bahwa ia bisa mendapat dua keinginannya sekaligus, seperti saat ini. Ketika tadi ia mendapatkan gunung dan laut sekaligus, siapa bilang itu tak mungkin? Tuhan memang maha besar.

So you think you've got it all figured out
Well you know you can't make it alone
Everbody needs somebody to help them out
And you know I could be that someone

And if you ever get lost on life's highway
Don't know where to go
There's just one thing that I want you to know

“Hu um, bagus banget… Tapi kayaknya kita gak bisa deh berenang di sini, ini karang-karang semua. Di sana ada sih cerukan, mungkin bisa buat berenang tapi kayaknya gak asik deh. Nanti coba ku tanya orang di sini yah yang enak buat berenang di pantai mana. Sekarang kita makan siang aja dulu di sini, gimana?” Kali ini Ardhiandika yang bicara. Dan seperti tak mau diganggu, Maygistara hanya menjawabnya dengan gumaman tanda setuju. Ia bahkan tak peduli jika ia melewatkan makan siang atau apa, ia hanya ingin ada di situ saja, duduk memandangi lautan yang seolah membebaskannya dari kepenatan yang ia tinggal di belakang.

I am here for you, always here for you
When you need a shoulder to cry on
Someone to rely on, I am here for you

“Oh Thanks God, I’m already full nih… kenyang bangetttttt…. Ini enak banget emang yah ikan bakarnya. Duh coba yah bisa makan ini setiap hari…” Ardhiandika meluruskan kakinya seraya menyenderkan punggung ke dinding gubuk tempat mereka makan siang, menyantap ikan bakar yang begitu sedap dengan sambal kecap dan lalap mentimun serta es kelapa muda yang sungguh menyegarkan.

“Hahaha, seneng amat kayaknya.. eh kamu kalo seandainya nih, seandainya aja, kita cuma dibolehin makan satu jenis makanan aja sampai seumur hidup, kamu mau pilih apa?”

“Hmmm, apa yah? Pilih ikan. Aku suka banget ikan. Kamu?”

“Buah-buahan.”

“Hahahaha pisang maksudnya?”

“Sial, kamu pikir aku monyet atau sebangsanya? Hih….”

“Oh iya, tadi kata si bapak ikan bakar, tempat buat berenang itu di Pantai Cicalobak, di sana banyak yang berenang. Yuk kita ke sana aja?”

So you think that love is long overdue
Tired of looking for someone to care
Let me tell you know the choice is up to you
But you know I will always be there
I am here for you, always here for you
When you're needin' someone to hold you
Remember I told you
I am here for you, I am here for you

“Yeayyy! Here we go, baby! Pantai Cicalobak! Ini sih beneran okeh deh buat berenang, hayuk lah kita mau renang sekarang nih ceritanya?” Tara berteriak-teriak kesenangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Bagaimana tidak, Pantai Cicalobak di kelilingi oleh karang-karang besar yang kokoh dengan cerukan-cerukan menjorok ke dalam yang sudah pasti akan asik sekali berenang menerjang ombak yang datang silih berganti, tambahan karang-karang besar ini yang akan tetap menjaga agar pengunjung yang berenang selalu waspada untuk tetap berenang di dalam cerukan saja, dan tidak melewati batas karang-karang besar yang paling jauh.

“Kamu tunggu sini bentar deh, aku coba lihat ke ujung sana mungkin lebih asik ketimbang di sini.” Dika berkata singkat sambil terus berjalan ke arah barat untuk mencari cerukan pantai yang agak jauh dan sepi dibandingkan tempat mereka berdiri sekarang. Karena di pantai dekat jalan masuk ini memang agak ramai dengan pengunjung yang berenang ataupun sekedar berfoto-foto. Anak-anak, remaja, orang tua, semuanya bersenang-senang menikmati segala yang terhampar di situ.

I know that she's always
There when I need her loving
I know that I've never
Told her how much I love her
I see her face before me
I look in her eyes
Wondering why
She doesn't know
She doesn't know

“Halo? Kamu ke sini yah, di sini lebih enak nih, sepi dan asik ombaknya, karangnya juga lumayan banyak tapi gak ngehalangin ombak, jadi ombaknya tetep bisa terasa banget nih.. hu um, ke arah tadi aku jalan, kamu lurus aja ke barat. Okay? Aku tunggu yah…” 

Say, say that you'll be there
Whenever I reach out
To feel your hand in mine
Stay, stay within my heart
Whenever I'm alone
I'll know that you are there

“Ke sini dong… kok duduk aja di situ sih?” teriak Tara mencoba mengalahkan suara ombak yang bersusul-susulan, mencoba memanggil Dika yang sejak ia sampai menyusul ke sini masih saja duduk di pantai, sementara Tara yang sudah tidak sabar langsung saja masuk ke laut, bermain dengan ombak dan pasir, dari rambut hingga kaki sudah sempurna basah oleh air laut yang asin.

“Hahahaha, kamu aja duluan puas-puasin deh main di situ. Ini baju-baju dan kunci mobil juga hape gak ada yang jagain loh..”

“Yah tinggalin aja gak apa-apa kayaknya deh, kelihatan kok dari sini, lagipula gak ada orang di sini. Hayuk lah ke sini. Atau jangan-jangan emang kamu yang takut yah sama air? Ngaku aja deh…” Karena Tara terus menerus menggoda dan meledeknya, Dika tak tahan lagi untuk duduk diam saja. Sambil berlari kecil ia menyusul Tara yang kali ini berenang mengikuti arus ombak ke arah laut.

Setelah beberapa saat berenang bolak-balik mengikuti arus ombak, keduanya pun menepi ke pantai sambil tertawa-tawa puas. Dengan santai Dika bersandar kepada Tara yang sedang sibuk mengubur kakinya dengan pasir. 

“Hei, sini sini, kita main salon-salonan yuk? Permisi, tuan, apa tuan mau mendapatkan massage?” celoteh Tara seraya menarik punggung Dika untuk menghadap kepadanya. Sekarang Dika tepat membelakangi Tara yang sudah mulai sibuk dengan pasir-pasir seolah-olah krim pijat.

“Tahu layanan spa yang mahal di Bali sana gak? Pake lumpur tuh, nah kalo ini pakai pasir. Asik kan? Hehehe..”

“Terserah kamu aja deh..”

“Eh kamu kok banyak amat tahi lalatnya yah? Sini coba ku hitung, satu, dua, tiga,…” Tara masih menghitung tahi lalat yang bertebaran cukup banyak di punggung Dika sampai akhirnya ombak menghempaskan mereka hinggal salon khayalannya pun ikut buyar bersama ombak yang kembali ke laut.

You're all I need beside me girl
You're all I need to turn my world
You're all I want inside my heart
You're all I need when we're apart
You're all I need,
All that I need
Is for you to believe
All that I need
Is you

“Yeayyy! Here we go, baby! Pantai Cicalobak! Ini sih beneran okeh deh buat berenang, hayuk lah kita mau renang sekarang nih ceritanya?” May berteriak-teriak kesenangan seperti anak kecil baru mendapat mainan baru. Bagaimana tidak, Pantai Cicalobak di kelilingi oleh karang-karang besar yang kokoh dengan cerukan-cerukan menjorok ke dalam yang sudah pasti akan asik sekali berenang menerjang ombak yang datang silih berganti, tambahan karang-karang besar ini yang akan tetap menjaga agar pengunjung yang berenang selalu waspada untuk tetap berenang di dalam cerukan saja, dan tidak melewati batas karang-karang besar yang paling jauh.

“Gak di sini ah, yuk kita jalan ke sana deh, kayaknya di sana lebih sepi dan tenang ketimbang di sini. Terlalu banyak orang nih. Gak asik.” Ajak Ardhian yang sambil menggandeng tangan May yang hanya bisa mengikutinya saja dari belakang.

“Ei, takut banget ya kehilangan aku? Sampai digandeng terus begini?” Goda May pada Ardhian yang langsung melepaskan genggaman tangannya.

“Ampun deh….”

You're the light, you're the night
You're the color of my blood
You're the cure, you're the pain
You're the only thing I wanna touch
Never knew that it could mean so much, so much

“Di sini aja yuk. Nah silahkan deh kamu duluan sana main, aku nunggu di sini sekalian jagain barang-barang yah…” Ardhian sudah duduk dengan nyaman di antara batu karang di pinggir pantai, dengan sebatang rokok di tangannya yang sedari tadi tak pernah lepas.

“Hmmm, kok gitu? Kelihatan kali dari laut juga barang-barangnya. Ayuk lah nyebur, mosok aku sendirian?”

“Ya gak apa-apa. Nanti aku nyusul. Betulan.” Tanpa menunggu lebih lama, May segera menceburkan dirinya ke laut yang hangat.

“Hei, jangan jauh-jauh, udah sore nih, udah mulai pasang lautnya. Okay?” teriak Ardhian kepada May yang sepertinya berenang terlalu jauh ke lautan.

You're the fear, I don't care
'Cause I've never been so high
Follow me to the dark
Let me take you past our satellites
You can see the world you brought to life, to life

“May! May!” Ardhian panik, sesaat tadi ia masih melihat May berenang-renang di dekatnya, setelah beberapa menit duduk di pantai ia pun ikut berenang bersama May. Bolak balik berenang mengikuti arus ombak yang membawa mereka ke pantai lalu menyeret mereka kembali kepada laut. Entah sudah berapa lama mereka seperti itu sampai kemudian Ardhian melihat tangan May menggapai-gapai udara, wajahnya timbul tenggelam terbawa ombak. Ardhian sontak pias melihat May, sekuat tenaga berenang ke arah May yang semakin menjauh ke laut. Padahal sejak tadi ia selalu mengingatkan May untuk tetap berada di dekatnya.

Fading in, fading out
On the edge of paradise
Every inch of your skin is a holy gray I've got to find
Only you can set my heart on fire, on fire
Yeah, I'll let you set the pace
'Cause I'm not thinking straight
My head spinning around I can't see clear no more
What are you waiting for?

Biru, asin, biru, asin. Hanya itu yang terasa oleh May, tangannya masih menggapai-gapai udara. Ardhian, akhirnya ia bisa menemukan wajah Ardhian. Mulutnya ingin berteriak memanggil Ardhian, tetapi ia tak mampu menggerakkan mulutnya, hanya asin yang terasa, mungkin ia sudah cukup banyak menelan air laut dalam waktu beberapa detik terombang ambing terbawa ombak barusan. Ia melihat Ardhian berenang ke arahnya. Tangannya, tangan Ardhian yang tadi dilepaskan saat berjalan ke sini. Ia tak akan pernah mau lagi melepaskan tangan itu, tak pernah mau lagi. Terlebih saat ini, betapa ia hanya bisa mengandalkan genggaman tangan Ardhian yang sekarang berhasil mencapainya. Beberapa saat mereka berenang bersama, lebih tepatnya May mengandalkan Ardhian untuk menyeretnya ke pinggir karena syok yang masih tersisa, jantungnya yang berdetak semakin kencang. Namun tiba-tiba Ardhian melepaskan tangannya lagi ketika ombak berikutnya menerjang mereka.

“Pergi. Sekarang. Kamu ke pinggir. Jangan lihat aku, kamu pergi. Sekarang, May!” May yang masih tak mampu berpikir hanya bisa berusaha ke pantai, ketika akhirnya kakinya mampu menjejak karang-karang meski air laut masih setinggi dada, ia masih bisa melihat Ardhian berusaha untuk menyusulnya ke pantai. Tapi May hanya bisa terus berjalan dengan mencari-cari karang untuk berpijak, ia tak berani mencoba berenang, menenggelamkan kepalanya lagi. Rasanya seolah lama sekali sampai akhirnya mereka berdua berhasil mencapai pantai, padahal hanya beberapa detik.

I'll let you set the pace
'Cause I'm not thinking straight
My head spinning around I can't see clear no more
What are you waiting for?

“Kamu gak apa-apa, May?” Dada Ardhian naik turun seiring dengan napasnya yang masih belum teratur. Alih-alih menjawab pertanyaan Ardhian, May yang duduk di sebelahnya malah menangis terisak, tubuhnya gemetar sisa-sisa ketakutan yang belum juga mereda.

“Gak usah nangis gitu lah. Gak usah manja deh, cengeng amat sih.” Mendengar kata-kata Ardhian yang terdengar begitu menyebalkan membuat May ingin berteriak membentaknya, tapi ia urungkan keinginannya itu, mencoba meredam gejolak marah juga sisa-sisa ketakutan tadi dengan diam. 

“Kakiku berdarah nih, May. Banyak kena karang juga. Kayaknya gak bisa buat ngopling deh ini.”
 
“Kakiku juga. Kita obatin di penginapan aja. Sekarang kita pulang. Aku yang bawa mobilnya, kamu gak mungkin bisa bawa mobil dengan kaki begitu.”

Love me like you do, lo-lo-love me like you do
Love me like you do, lo-lo-love me like you do
Touch me like you do, to-to-touch me like you do
What are you waiting for?

“Yeayyy! Here we go, baby! Pantai Cicalobak! Ini sih beneran okeh deh buat berenang, hayuk lah kita mau renang sekarang nih ceritanya?” Gista berteriak-teriak kesenangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Bagaimana tidak, Pantai Cicalobak di kelilingi oleh karang-karang besar yang kokoh dengan cerukan-cerukan menjorok ke dalam yang sudah pasti akan asik sekali berenang menerjang ombak yang datang silih berganti, tambahan karang-karang besar ini yang akan tetap menjaga agar pengunjung yang berenang selalu waspada untuk tetap berenang di dalam cerukan saja, dan tidak melewati batas karang-karang besar yang paling jauh.

“Hmm kita jalan agak ke sana yuk? Kayaknya di sana lebih sepi deh, di sini rame banget…” Ajak Andi seraya menunjuk jauh ke pantai di arah barat, menjauhi kerumunan pengunjung yang cukup ramai.

It's hard for me to say the things
I want to say sometimes
There's no one here but you and me
And that broken old street light
Lock the doors
We'll leave the world outside
All I've got to give to you
Are these five words tonight

“Hei, I think it’s good enough to swim here.. What do you think?” Gista berhenti setelah berjalan agak jauh dari jalan masuk tadi. Menoleh pada Andi yang juga ikut berhenti dan mengamati keadaan sekeliling pantai. Karang-karangnya masih cukup besar untuk membuat mereka berenang di area yang aman namun juga tidak terlalu besar sehingga ombak yang berlari ke pantai masih cukup deras.

“Okay. Kita berenang di sini aja. Ayok ayok.. yang lebih dulu nyebur ke laut boleh minta apa aja ke yang lebih belakangan.” Teriak Andi pada Gista yang masih berdiri mematung, belum sepenuhnya sadar apa yang dikatakan Andi.

“Hei, itu curang namanya. Kamu sih enak tinggal buka kaos dan nyebur, aku kan ribet nih…” Gista mengumpat sendiri di pinggir pantai sementara Andi sudah asik berenang.

“Eh lagian ini barang-barang siapa yang jagain, Ndi?” teriak Gista masih sambil membuka bajunya satu-satu, berganti dengan bikini yang sudah lama dibeli namun belum pernah dipakai karena ia tidak cukup percaya diri untuk memakainya di kolam renang umum.

“Dari sini kelihatan kok. Udah cepetan ke sini, kamu ribet deh…” 

I never knew I had a dream
Until that dream was you
When I look into your eyes
The sky's a different blue
Cross my heart
I wear no disguise
If I tried, you'd make believe
That you believed my lies

“Eh, omong-omong, bikininya baru yah? Kok aku gak pernah lihat?” tanya Andi saat Gista berhasil menyusulnya berenang di laut yang hangat.
 
“Gak juga sih… baru dipake aja.”

“Kamu gak boleh loh pake ini di tempat lain apalagi di depan umum, jangan pernah sekali-kali kamu pake ini lagi ya?” Sambil menatap mata Gista tanpa berkedip, Andi mengatakan kalimatnya dengan penuh ketegasan, ia tak akan membiarkan tubuh kekasihnya dilihat banyak orang, terutama karena sekarang Gista sedang mengandung anaknya.

“Eh perutmu udah mulai gendut belum? Coba lihat?” Andi meraba perut Gista yang sekarang berdiri menghadapnya. 

“Ndi, hahaha lucu deh, aku kepengin tuh berenang kayak gini semacam kayak adegan di film Twilight itu loh… tau kan?”

“Maksudnya begini?” tanya Andi sambil melingkarkan tangannya di pinggang Gista, kini wajah mereka saling berhadapan. Selama beberapa detik mereka hanya saling menatap dan tersenyum satu sama lain, sampai kemudian Andi mencium bibir Gista perlahan, selembut yang bisa ia rasakan, ditambah rasa asin laut.

“Udah ah, gak enak kalo ada yang lihat.” Gista melepaskan pelukan Andi lantas melanjutkan berenang ke arah pantai. Andi yang ditinggal sendirian ikut menyusul.

You pick me up when I fall down
You ring the bell before they count me out
If I was drowning you would part the sea
And risk your own life to rescue me

“Ndi, tau gak? Perempuan hamil gak boleh dinikahin.” Gista masih terus menumpuk pasir di hadapannya, mencoba membuat gunung pasir yang sebentar kemudian lagi-lagi diterjang ombak dan hancur seperti semula. Andi yang sedang tiduran karena kelelahan berenang langsung mengangkat lengannya membentuk siku lalu menyandarkan kepalanya di situ.

“Ya aku tau, Ta. Tapi terus gimana? Kamu maunya gimana? Mami papi kamu pasti bakal nuntut aku buat nikahin kamu. Dan aku pun memang berniat untuk itu.”

“Ya tapi secara hukum agama, pernikahan kita itu gak sah nanti. Kalo anak kita perempuan, kamu bahkan gak bisa jadi walinya loh.”

“Aku paham itu ya, Ta. Kita menikah, nanti setelah anak kita lahir kita menikah ulang. Is it okay for you?”

“Kamu ngegampangin banget yah, Ndi?”

“Ta, yang ngegampangin siapa? Kita terlanjur begini, kamu hamil aku tanggung jawab, trus bagian mana aku ngegampangin?”

“Aku takut mami papi malu, Ndi. Aku bisa gak dianggap anak kalau mereka tau ini.”

“Kemarin waktu kita ngelakuin kamu gak mikir gitu? Gak takut gitu?”

“Kok kamu jadi brengsek gitu, Ndi?”

“Udahlah, Ta. Kok jadi drama gini sih? Ibarat kata, kita udah terlanjur basah nih, sekalian aja berenang, nikmatin aja lah.”

“Kadang aku ragu, kamu bisa jadi imam yang baik buatku dan anak-anakku atau enggak.”

“Ya kamu bisa jadi makmum yang baik gak?”

“Kita rusak banget ya, Ndi?”

“Apaan sih, Ta? Gak usah bicara aneh-aneh deh…”

“Gak aneh-aneh. Emang rusak kok. Sholat aja jarang-jarang, ngaji setahun sekali kalo lagi bulan puasa aja, itu juga kalo ingat.”

“Aku mau berenang lagi aja lah, Ta.”

Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn't see
You parted my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me

When I couldn't fly
Oh, you gave me wings
You parted my lips
When I couldn't breathe
Thank you for loving me

I could stay awake just to hear you breathing
Watch you smile while you are sleeping
While you're far away and dreaming
I could spend my life in this sweet surrender
I could stay lost in this moment forever
Every moment spent with you is a moment I treasure

“Kamu udah mau tidur?” Maygistara berbaring miring dengan wajah menghadap Ardhiandika yang telentang di sebelahnya. Mencoba melihat wajah laki-laki yang sepertinya sudah hampir tertidur dalam gelap kamar. Hanya semburat lampu kamar mandi yang memberikan sedikit cahaya.

“Hmmm, belum sih.. ada apa?” yang ditanya hanya menjawab seadanya tanpa membuka mata ataupun menoleh. Maygistara menggerakkan telunjuknya ke udara, mencoba menyentuh wajah Ardhiandika. Namun alih-alih menyentuhnya, jemarinya menggantung di udara, mencoba mengikuti lekuk wajah laki-laki itu, dahinya yang terkadang berkerut ketika berpikir tentang sesuatu atau ketika mencoba memperbaiki barang-barang, lalu turun ke hidung mancungnya yang menurut Maygistara mirip dengan orang-orang India pemeran drama kolosal yang sedang marak di televisi, dan Maygistara menggigit bibirnya sendiri ketika jemarinya menggantung di atas bibir laki-laki itu. 

“Kamu tau gak? Kadang aku berpikir, seandainya kamu punya anak perempuan, mestinya sih anak itu jadinya cantik… Matanya berwarna cokelat muda seperti matamu, hidungnya mancung sepertimu, kulitnya putih, tinggi, dan rambutnya ikal seperti rambutmu juga…” Ardhiandika tak menanggapi kalimat Maygistara. Hanya bergumam sambil membalikkan tubuhnya miring menghadap Maygistara yang kini terperanjat karena mengira Ardhiandika sudah tertidur. Tanpa mengatakan apa-apa, Ardhiandika memeluk erat Maygistara yang juga langsung melingkarkan tangannya ke punggung Ardhiandika. 

“Udah malam, tidur yah…”

Lying close to you feeling your heart beating
And I'm wondering what you're dreaming,
Wondering if it's me you're seeing
Then I kiss your eyes and thank God we're together
And I just wanna stay with you
In this moment forever, forever and ever

Maygistara mendekatkan wajahnya ke dada Ardhiandika, begitu dekat sampai ia mampu mendengar detak jantungnya berdetak. Aroma sabun mandi dari tubuhnya masih begitu terasa, laki-laki di hadapannya ini memang tidak begitu suka memakai parfum atau apapun itu, karena tubuhnya memang jarang berkeringat atau mengeluarkan bau tidak sedap. Kumis dan jenggot yang tumbuh dengan kasar karena belum dicukur sejak tiga hari lalu menggelitik kening Maygistara ketika bersentuhan.

“Kalo waktu bisa dihentikan, aku mau pilih saat ini aja. Perasaan ini, nyaman di pelukanmu ini, segalanya ini. Saat ini aja.”

“Hmm, gak ah. Gak mau. Ntar kerjaanku gimana deh?” Ardhiandika yang sedari tadi diam saja tiba-tiba menyahut dengan suara serak.

“Ish,, kerjaan kerjaan kerjaan, gak ada yang lain lagi apa?”

“Yang lain lagi apa? Perempuan yang lain maksudnya?” Ardhiandika malah menantang balik dengan santainya, kali ini bahkan dengan membuka mata dan memasang senyum jahil.

“Hahahaha, perempuan lain yang mana gitu?”

“Perempuan lain yang mana mana lah, yang di sana di sono di situ, banyaklah.”

“Halah, bohong amat.”

“Ya terserah kalo gak percaya.”

“Biarin aja, yang penting kan sekarang, saat ini, kamu adanya di sini sama aku, bukan sama perempuan yang di sana di sono di situ atau di mana. Tapi di sini, sama aku. Titik.”

“Hahahaha… tidur ah tidur…”

I don't wanna close my eyes
I don't wanna fall asleep
'Cause I'd miss you, baby
And I don't wanna miss a thing

'Cause even when I dream of you
The sweetest dream would never do
and I'd still miss you, baby
And I don't wanna miss a thing

“Tuhan itu maha besar banget yah… eh,, Tuhan nyiptain bumi, matahari, bulan, galaksi, semesta, itu berapa lama sih?” Maygistara masih merentangkan tangannya ke luar jendela mobil yang melaju di jalan berkelok, melewati ratusan ribu pepohonan yang berkelebatan. Lautan lepas yang mereka tinggalkan di belakang mulai menghilang bersamaan dengan kelokan jalan gunung yang mulai mereka daki.

“Tujuh hari. Lihat aja di alkitab. Di situ kan dibilang tujuh hari.”

“Ya itu kan di alkitab. Di al-Quran berapa hari?”

“Ya kan sama aja, caranya aja yang beda.”

“Kamu kalo omong suka ngawur yah? Ya beda lah.”

“Bedanya apa? Coba anda jelaskan, wahai guru besar, kepada hamba yang tiada mengetahui perkara-perkara ini.” Ardhiandika begitu suka meledek Maygistara yang keras kepala. Sementara Maygistara tak pernah sadar bahwa ia hanyalah dipermainkan oleh kata-kata tanpa makna yang kadang diucapkan Ardhiandika.

Aren't you somethin' to admire?
'Cause your shine is somethin' like a mirror
And I can't help but notice
You reflect in this heart of mine
If you ever feel alone and
The glare makes me hard to find
Just know that I'm always parallel on the other side

“Kalo lihat yang kayak begini, kadang heran sama orang-orang ateis, gimana cara mereka jelasin tentang adanya segalanya ini? Pepohonan, gunung, laut, langit, burung, aku, kamu, bahkan mereka sendiri. Kita kan gak muncul tiba-tiba. Pasti ada satu Dzat yang maha besar yang maha segalanya yang menciptakan dan mengatur segalanya ini. Gak mungkin tiba-tiba ada.”

“Tiba-tiba ada kok. Menurut mereka ya, orang-orang yang kamu bilang ateis tadi. Mereka lebih percaya pada segalanya memang tiba-tiba ada, ya aku gak tau persis kayak gimana, kan aku bukan ateis. Lagian kalo kamu omong begitu, nanti dibalikin sama mereka, kok nyembah-nyembah yang bahkan gak kelihatan, yang gak bisa dilihat. Kamu bakal jawab apa eh?”

“Ya aneh aja tiba-tiba ada, semua kan pasti ada awal mulanya. Jantung yang berdetak ini, kalau bukan Dzat yang maha mengatur memerintahkan untuk dia berdetak, lantas siapa? Siapa yang menggerakkan jantung supaya tetap berdetak? Soal menyembah yang gak kelihatan ya itu yang dinamakan iman. Memang iman itu gak kelihatan kok, adanya di hati. Tapi coba gimana jelasin pertanyaanku tadi, siapa yang ngatur jantung, hati, otak, matahari, semesta? Yang ngatur gerak planet-planet supaya gak saling bertabrakan, siapa deh?”

“Hmmm bukannya itu bisa dijelasin pake science yah?”

“Tapi lantas gimana cara science ngejelasin keberadaan jiwa? Roh?”

“Setauku mereka cuma percaya kalo tubuh ini semacam mesin yang kalau sudah rusak berarti berhenti digunakan, kalau udah mati ya udah berarti eksistensi kita pun hilang, jadi debu. Kayak begitu sih yang pernah ku baca. Entahlah, kamu tanya yang lain aja ya, jangan yang aneh-aneh begitu. Lagipula aku masih percaya Tuhan.”

"Percaya Tuhan tapi jarang sholat."

"Berdoa gak mesti sholat."

"Kamu ngawur. Lantas agamamu apa?"

"Agama semesta."

"Sinting."

'Cause with your hand in my hand and a pocket full of soul
I can tell you there's no place we couldn't go
Just put your hand on the glass
I'll be tryin' to pull you through
You just gotta be strong

“Misalkan, ternyata dunia kita ini punya kembaran, parallel, dunia gak cuma ada satu ini aja, yang kita kenal ini aja. Tapi ada dua, tiga, empat, atau bahkan mungkin gak terhitung. Meski yang kita tahu cuma satu aja.”

“Hmm…”

“Ada aku yang lain, kamu yang lain, kita yang lain. Saling berparallel di dunia masing-masing. Tapi kita pasti ada di setiap dunia. Mungkin gak yah seperti itu?”

'Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you, baby, it was easy
Comin' back here to you once I figured it out
You were right here all along

“Tuhan itu maha besar, maha segalanya. Kalau Tuhan bisa bikin satu dunia ini dan segala isinya, Tuhan juga bisa bikin dunia yang lainnya lagi beserta segala isinya. We never know anyway, right? Kamu pernah ke Istana Bogor gak? Aku pernah masuk ke sana satu kali waktu SMP, di salah satu ruangannya ada cermin besar sampai langit-langit yang tinggi. Dua cermin yang saling menghadap satu sama lain. Aku berdiri di tengahnya, di antara dua cermin itu, dan yang ku lihat adalah bayanganku yang menjadi tak berhingga. Semakin kecil, semakin jauh. Seperti dunia parallel. Kita hanyalah cerminan dari kita yang asli, dunia yang kita tinggali ini adalah pantulan dari dunia yang asli. Sementara kita gak pernah tahu yang mana asli mana yang hanya sekedar pantulan.”

“Lalu maksudnya segala kata-katamu yang banyak tadi itu apa, non? Konteksnya dengan keberadaan kita sekarang apa?” Ardhiandika sudah menyalakan batang rokoknya yang ketiga. Jalanan berkelok masih terus mengular sampai ujung yang tak terlihat. 

“Mungkin di dunia parallel sana kamu gak merokok, tapi sebaliknya hidup sehat.”

“Atau bisa jadi, di dunia parallel sana kita gak saling kenal. Gak seperti sekarang.”

It's like you're my mirror
My mirror staring back at me
I couldn't get any bigger
With anyone else beside of me
And now it's clear as this promise
That we're making two reflections into one
'Cause it's like you're my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^