Desember 2010
“Brakkkkk…” Sayup adzan Maghrib masih berkumandang di kejauhan ketika
tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang membuatku sontak menginjak
pedal rem. Bukannya aku sedang melamun atau apa, tapi sekarang sedang
hujan deras dan hari begitu gelap meski senja baru saja turun. Hanya
pendar lampu merah dari kendaraan di depan yang bisa terlihat, itupun
buram, sementara langit seolah tak lagi punya waktu lain untuk
menumpahkan segala beban yang ditanggungnya entah sejak kapan. Dengan
gemetar ku pinggirkan mobilku, menepi ke jalan yang hampir
bertansformasi menjadi sungai deras, ditambah lagi tingkat kemiringan
yang lumayan curam sehingga air yang mengalir dari atas begitu menderas
turun. Lupakan soal payung dan ribuan rintik hujan yang serentak
menghabiskan hangat kering nyaman baju yang kupakai, dengan tergesa ku
hampiri asal suara tadi. Beberapa mobil di belakang ikut berhenti
menunggu orang-orang memindahkan motor serta bagian-bagiannya yang
terlepas, juga si pengendara.
Jantungku berdetak begitu
kencang, mungkin aliran darahku bahkan lebih deras dibandingkan dengan
hujan yang mengenaiku. Beberapa pria yang menolong memindahkan motor
tadi kini satu persatu kembali melanjutkan perjalanan masing-masing,
begitupula mobil-mobil yang ikut berhenti.
“Ini tadi ditabrak? Kenapa gak dikejar yang nabrak?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Itu
yang nabrak.” Sahut yang satunya sembari menunjukku dengan lantang. Aku
hanya mampu menjawab lemah sambil mencoba tersenyum yang ternyata mampu
membuat mereka benar-benar meninggalkanku dan si pengendara motor yang
ku tabrak tadi. Dan di sanalah aku melihatnya untuk pertama kalinya
sejak beberapa detik lalu tak sengaja kami bertabrakan. Aku hampir basah
kuyup, meski saat itu tak begitu kuperhatikan.
“Maaf.
Maaf sekali. Ada yang luka gak? Kita ke dokter aja yah? Motornya masih
bisa dipakai gak?” Akhirnya aku mampu juga mengeluarkan suara setelah
sejak tadi membisu. Bagaimana tidak, aku begitu panik dan hampir tak
mampu berpikir, belum lagi ditambah melihat jok sepeda motor yang
terlepas dari badan motornya. Ku kira tabrakan barusan cukup kuat sampai
bisa membuat motornya seperti itu.
“Dokter? Hmm, ini sih
kayaknya luka baret aja kok. Mungkin terkilir atau keseleo yah, jadi
kayaknya gak perlu ke dokter.” Dia menjawab sambil berjengit, dahinya
berkerut, mungkin menahan sakit atau perih. Ku lihat pergelangan tangan
terluka dan mengeluarkan darah cukup banyak. Air yang terus mengguyurku
lambat laun membuatku mampu berpikir kembali, teringat kotak P3K yang
ada di dalam mobilku. Aku berpikir cepat, melihat ke mobilku di depan,
ke luka di tangannya, juga ke bajunya yang sudah sempurna basah.
“Saya
punya P3K, mungkin bisa membantu kalau mas gak mau ke dokter, eh
sebetulnya apartemen saya di blok depan sana. Ada baju ayah saya juga
kalau misalnya mas mau ganti baju, karena ehh itu bajunya basah semua.”
Aku sadar saat itu sudah hampir setengah tujuh malam, dan aku hanya
tinggal sendiri jadi secara etika mestinya aku tidak mengundang
seseorang yang tidak dikenal, hanya karena baru saja menabraknya di
tengah hujan deras.
“Hmmm, sejujurnya lukanya gak begitu
serius, tapi saya masih harus melanjutkan perjalanan yang cukup jauh,
dan seperti yang kamu bilang, baju saya basah semua. Saya rasa tawaran
kamu boleh juga.” Dia menjawab sambil bangkit berdiri dan mencoba
memasang kembali jok motornya, tanpa ku sadari aku sedikit berharap dia
berhasil memasangnya kembali seperti semula, meski itu tidak mungkin
tentu. Setidaknya motornya masih berfungsi ketika dia menyalakan mesin
dan lampunya.
“Oke, kamu ikutin saya aja yah?” tanpa
menunggu jawabannya aku berlari kecil kembali ke mobilku. Di dalam mobil
baru kusadari kalau aku kedinginan, bajuku juga sudah sempurna basah.
Ku geleng-gelengkan kepalaku, berusaha menghilangkan kejadian menakutkan
barusan, mencoba untuk fokus melihat jalan yang ada di depan, hanya
tinggal beberapa blok lagi saja, mestinya aku bisa berhasil sampai di
apartemen tanpa menabrak apapun lainnya lagi.
Januari 2012
“Aww….” Aku berjengit mendengar satu kata itu. Tanganku kini
menggantung di atas luka yang masih terus mengeluarkan darah. Dengan perlahan
aku mencoba untuk kembali lagi menepuk-nepukkan kapas basah siraman alkohol ke
atas lukanya. Kali ini dia tak bersuara, hanya saja dahinya berkerut-kerut
seperti biasanya ketika sedang terlalu serius berpikir atau, seperti kali ini,
sedang terluka.
“Kamu sih, kan aku udah bilang, kalau capek biar gantian aku
yang bawa motornya. Akibatnya kan nih, begini nih.” Dia hanya diam saja, tak
menanggapi kata-kataku. Tanganku masih terus membersihkan luka di dengkul, kaki,
dan tangan laki-laki keras kepala yang ada di sampingku. Sesekali ku tiupi
luka-luka itu, berharap dengan begitu akan mengurangi sedikit rasa perih dan
sakitnya. Bagaimana tidak, bahkan celana jeans yang dipakainya sampai sobek
karena bersentuhan dengan aspal tadi sore. Sebetulnya aku sudah berkali-kali
menawarkan untuk bertukar tempat, aku yang mengendarai motor sementara ia
membonceng saja. Tetapi bukan dia namanya kalau mau menyerah begitu saja dengan
keras kepalanya itu. “Kecuali aku sakit, gak bisa berdiri tegak, lemas sekujur
tubuh, maka kamu harus ada di belakang dan aku yang ngendarain motor ini. Paham?”
selalu begitu katanya tiap kali aku menawarkan diri untuk bertukar tempat. Dan seharian
ini ku rasa sudah melampaui batasnya, kami sudah mengendarai motor dari Klaten ke
Tawang Mangu di Karang Anyar sampai Danau Sarangan di Magetan lalu kembali lagi
ke Klaten. Sebelum rel kereta terakhir yang akan kami lewati, karena beberapa
kilometer lagi sudah sampai di rumah eyang, dia kehilangan fokus dan
keseimbangan ditambah lagi jalan yang rusak. Kami jatuh begitu cepat, aku
terjatuh agak jauh darinya, sementara dia terseret bersama motor yang kamu
tumpangi. Untunglah kendaraan di belakang kami lantas berhenti, kalau tidak aku
mungkin tak sanggup membayangkannya.
“Tadi aku bahkan gak sadar kalau aku terluka. Aku lega banget
waktu lihat kamu gak apa-apa. Aku takut udah bikin kamu celaka.” Sambil mengatakan
kalimat itu dia melihat langsung ke dalam mataku. Sontak aku mengalihkan
wajahku, terlebih karena mata cokelatnya masih terus menatapku. Mata cokelat
yang selalu membuat dadaku berdesir tiap kali melihatnya, seolah memandang ke
dalam dirinya, meski sampai sekarang aku masih belum mampu menerka apa yang
terjejak di dalam sana.
“Hmm.. besok-besok gak kayak gini lagi yah… Kamu harus tau
batasnya. Jadi sakit kan kayak gini?”
“Gak. Gak sakit. Yang sakit itu kalau kamu ninggalin aku.” Dia
mengatakannya dengan mantap ketika mata kami lagi-lagi saling menatap. Ingin sekali
aku segera memeluknya, tapi kami tak terbiasa bersentuhan layaknya pasangan
kekasih lainnya. Bahkan bergandengan tangan saja kami jarang sekali.
“Hmmm… mulai deh gombal…” hanya itu saja yang bisa
kuucapkan, sambil ku tinju lengannya dengan lembut. Eyang uti sudah tertidur
sejak tadi di kamar, karena itu kami terus-terusan berbicara sambil
berbisik-bisik, takut membuat Eyang uti terbangun dan malah panik karena
melihat kapas-kapas bernoda darah, kain kasa yang tersobek tidak jelas,
plester, juga obat merah.
“Aduh, jangan dong, sakit nih….”
Dia hanya merajuk sambil menggodaku. Kalau diingat lagi, ini kali kedua aku
membuatnya terluka sampai berdarah. Kali kedua aku lagi-lagi duduk di
sampingnya sambil memegang kapas beralkohol, mencoba membersihkan lukanya,
lantas membalutnya agar aman saat dia tertidur. Diam-diam dalam hati aku berdoa
agar tak pernah lagi membuatnya terluka, terlihat ataupun tidak. Tapi bukan
mencinta namanya bila tak pernah melukai. Adakah cinta tanpa terluka? Meski sedikit?
Mei 2014
“Kamu baik-baik aja?” Badanku masih bergetar saat dia
akhirnya berhasil menyusulku dan duduk di sampingku. Pikiranku berkelebatan
cepat, kejadian barusan masih terus berulang-ulang berputar di kepalaku. Rasa asin
yang masih tertinggal di bibirku, pasir yang masih menempel di pakaianku, air
yang masih menetes-netes dari rambutku. Dan dia malah bertanya apakah aku
baik-baik saja. Tentu saja aku tidak baik-baik saja setelah aku hampir
tenggelam dan bahkan malah membuatnya juga hampir tenggelam. Betapa aku ingin
menangis tersedu-sedu karena Tuhan begitu baik dan memberiku kesempatan untuk
tetap hidup, untuk bernapas dengan teratur lagi meski jantungku masih berdetak
begitu cepat. Betapa aku ingin memeluknya erat-erat sampai seolah apapun tak
lagi mampu memisahkan kami.
“Oh come on, jangan nangis dong.” Dia malah memintaku untuk
tidak menangis padahal aku bahkan belum mulai menangis. Mungkin kalau kamu
sudah terlalu sering menangis di depan seseorang, ia akhirnya akan hapal kapan kamu
akan mulai menangis. Bukannya aku terlalu sering menangis di depannya, itu bisa
dihitung dengan jari sebetulnya. Tetapi yang sedikit itu cukup sulit untuk
dihentikan, senggukan demi senggukan yang dia tunggu untuk berhenti.
“Kakimu luka. Itu berdarah semua…” Dari sekian banyak
kalimat yang ingin ku katakan, aku memilih kalimat ini. Kami spontan mengecek
di sana dan di sini. Kaki, paha, betis, tangan, penuh dengan luka baret, bahkan
di telapak kakinya mengalir darah segar karena menginjak karang tajam, beberapa
pecahan karang masih menancap di sana.
“Hmmm, kalo gini gak bisa ngopling deh ini..”
“Biar aku yang bawa mobilnya. Gak ada bantah-bantahan atau
keras kepala ya.”
“Okay.”
Kami kembali dalam diam ke hotel tempat kami menginap. Debur
ombak di kejauhan masih sayup-sayup terdengar. Udara senja terasa hangat
menyentuh kulit yang masih basah dengan air laut. Lupakan tentang sunset yang
tadinya sudah kami tunggu, lupakan tentang duduk-duduk di pantai yang tadinya
sudah kami rencanakan setelah berenang, lupakan sajalah segalanya termasuk
kejadian tadi. Bagaimana cerobohnya aku ketika dengan congkak mencoba melawan
ombak di laut selatan yang mulai pasang. Tadinya ku kira aku tak akan bisa
selamat, sontak mengingat dosa-dosaku yang memenuhi tiap coretan buku tebal
kehidupanku. Sampai kemudian aku melihat wajah paniknya, berenang ke arahku,
tangannya menarik tubuhku yang terombang-ambing lautan. Betapa aku bersyukur
bahwa dia ada di situ saat itu, bahwa Tuhan memberiku satu kesempatan lagi,
bahwa kami masih ada di sini, di dalam mobil kecil dengan jendela yang terbuka
hingga membuat angin senja sempurna mengeringkan tubuh basah kami, betapa aku
bersyukur kepadaNya juga kepadanya.
“Nanti di hotel biar ku obatin luka-lukanya.. aku bawa P3K
di koper.”
“Hu um…” Dia hanya menjawab singkat. Matanya terpejam, bahunya
melorot pada sandaran kursi, sementara kakinya yang panjang mencoba untuk
mencari posisi nyaman.
“Duh, coba kakiku sependek kakimu yah, pasti bisa enak
dilurusin, gak kayak gini, ditekuk salah, dilurusin mentok.”
“Ish, itu iri atau emang pengen
ngeledek hah?” Kami menghabiskan sisa perjalanan kembali ke hotel dalam diam. Pesisir
pantai Pameungpeuk berkelebatan seiring laju mobil beriringan dengan
halimun-halimun di kanan jalan yang juga seolah berlari ke arah berlawanan. Di kejauhan
terlihat ombak bergulung-gulung, berlomba mencapai pantai untuk kemudian
melebur kembali kepada samudera. Kecerobohan yang lagi-lagi membuatnya terluka
karenaku. Kali ini aku bahkan tak berani berjanji dalam hati untuk tak lagi
melukainya. Hanya meminta kepada Tuhan untuk menjagaku juga menjaganya dari
segala luka yang mungkin tergores.
April 2015
Gemerisik dedaunan yang dibelai lembut angin seolah ingin
mengatakan padaku bahwa aku tak sendirian, masih ada mereka di lembah yang
mulai beranjak gelap. Di langit, sekumpulan burung-burung terbang menuju
selatan dalam formasi rapat. Sementara matahari bersemu merah menyala seperti
pipi anak gadis saat bertemu pemuda pujaan hati pertama kali. Rerumputan yang
kujejak sejak tadi menggelitik telapak kakiku yang kini mulai kedinginan. Di bawah
sana terlihat segerombolan petani berjalan beriringan kembali pulang ke rumah
sehabis seharian menyemai, mencabuti, merawat, atau apapun yang mereka lakukan
untuk menjaga sawah, kebun, atau apapun itu.
Aku merapatkan pelukan pada kaki yang masih menekuk, menatap
ke langit, mencoba mencari satu jawaban yang hingga kini masih tak dapat ku
temukan. Aku masih teringat siang itu, siang kami terakhir kali bertemu setelah
tiga hari berkemah bersama di bawah jutaan bintang. Siang itu dia terlihat
biasa saja, tak ada yang aneh atau berbeda dari raut wajahnya. Kami tertawa
seperti biasa, berbincang seperti biasa, saling meledek seperti biasa, dan diam
seperti biasa. Segalanya seperti biasa. Aku tak pernah tahu bahwa itu adalah
siang terakhir kami makan bersama. Kami makan siang di sebuah restoran Italia,
dia terlihat begitu senang menyantap makanannya setelah beberapa hari kami
hanya makan seadanya. Pasta dengan saus bolognese, cream soup, garlic bread,
juga pizza dengan topping daging sapi di seluruh permukaannya. Air soda yang
mendesis di gelasnya, aku bahkan masih mengingat bunyinya. Lalu kami
tertawa-tawa menyadari tampilan kami yang begitu terlihat kontras dengan segala
sesuatu yang ada di restoran itu, sendok dan pisau yang berkilau di tangan kami
yang kucel karena kurang mandi. Untunglah pelayan di situ tak menunjukkan
secara terang-terangan keheranan mereka ketika kami sampai dengan tas
ransel berat-berat dan noda kotor di banyak bagiannya.
Aku tak pernah tahu bahwa itu kali terakhir aku melihatnya. Kami
berpisah seperti biasa, aku naik kereta jurusan ke pusat kota, sementara dia
mengambil jurusan ke pinggir kota. Tak ada pelukan atau ciuman
perpisahan, bahkan kami tidak saling berjabat tangan. Tapi sekarang aku
menyadari bahwa saat itu kami tidak saling mengucapkan sampai bertemu lagi. Karena
toh biasanya pun kami tak mengucapkan kata-kata seperti itu.
Di pertemuan terakhir itu dia tak terluka lagi seperti beberapa
kali yang pernah terjadi. Kami begitu sehat, segar, ceria bahkan seolah kami
bersinar karena bahagia. Namun sekarang aku merasa begitu nelangsa, ada lubang
besar menganga di dalam sini, yang bahkan aku tak tahu dengan plester apa harus
ku tambal dan tutupi. P3K yang selama ini melulu ku bawa-bawa untuk
berjaga-jaga, kini tak lagi berguna. Aku tak bisa meniupi lubang besar itu agar
rasa sakitnya sedikit berkurang seperti yang selalu ku lakukan setiap kali dia
terluka. Tak ada alkohol atau revanol yang bisa kupakai untuk membersihkan
lubang besar yang menganga itu. Dan bahkan aku tak bisa menangis seperti yang
biasanya akan ku lakukan tiap kali.
Aku merasa begitu terluka dengan kepergiannya yang
tiba-tiba, tanpa peringatan. Selama ini dia membuatku berpikir bahwa dia tak
akan pernah meninggalkanku karena bila ada yang pergi maka itu adalah aku dan
bukan dia. Dan bila aku pergi itu akan membuatnya terluka, sedangkan aku sudah
cukup membuatnya terluka di sana sini dengan darah yang menetes-netes, jadi aku
tak akan pergi meninggalkannya. Mengapa dia malah membalasnya dengan luka yang
tak bisa ku plester seperti sekarang ini? Aku bahkan tak tahu P3K macam apa
yang bisa membantuku.
Aku mengutuk di dalam hati,
setidaknya aku ada di sana ketika dia terluka, aku meniupi lukanya, dan
menutupnya agar dia bisa tetap tertidur nyenyak. Sekarang aku bahkan lupa kapan
terakhir kali aku tertidur tanpa harus sebelumnya menangisi dia yang pergi
begitu saja. Aku terus mengutuk di dalam hati, sampai bendungan di mataku
akhirnya tumpah. Lubang yang menganga ini menumpahkan isinya.
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^