Monday, 11 May 2015

I can't hear your heartbeat, you're too far away....


Desember 2010

“Brakkkkk…” Sayup adzan Maghrib masih berkumandang di kejauhan ketika tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang membuatku sontak menginjak pedal rem. Bukannya aku sedang melamun atau apa, tapi sekarang sedang hujan deras dan hari begitu gelap meski senja baru saja turun. Hanya pendar lampu merah dari kendaraan di depan yang bisa terlihat, itupun buram, sementara langit seolah tak lagi punya waktu lain untuk menumpahkan segala beban yang ditanggungnya entah sejak kapan. Dengan gemetar ku pinggirkan mobilku, menepi ke jalan yang hampir bertansformasi menjadi sungai deras, ditambah lagi tingkat kemiringan yang lumayan curam sehingga air yang mengalir dari atas begitu menderas turun. Lupakan soal payung dan ribuan rintik hujan yang serentak menghabiskan hangat kering nyaman baju yang kupakai, dengan tergesa ku hampiri asal suara tadi. Beberapa mobil di belakang ikut berhenti menunggu orang-orang memindahkan motor serta bagian-bagiannya yang terlepas, juga si pengendara.

Jantungku berdetak begitu kencang, mungkin aliran darahku bahkan lebih deras dibandingkan dengan hujan yang mengenaiku. Beberapa pria yang menolong memindahkan motor tadi kini satu persatu kembali melanjutkan perjalanan masing-masing, begitupula mobil-mobil yang ikut berhenti.
“Ini tadi ditabrak? Kenapa gak dikejar yang nabrak?” salah seorang dari mereka bertanya.


“Itu yang nabrak.” Sahut yang satunya sembari menunjukku dengan lantang. Aku hanya mampu menjawab lemah sambil mencoba tersenyum yang ternyata mampu membuat mereka benar-benar meninggalkanku dan si pengendara motor yang ku tabrak tadi. Dan di sanalah aku melihatnya untuk pertama kalinya sejak beberapa detik lalu tak sengaja kami bertabrakan. Aku hampir basah kuyup, meski saat itu tak begitu kuperhatikan.

“Maaf. Maaf sekali. Ada yang luka gak? Kita ke dokter aja yah? Motornya masih bisa dipakai gak?” Akhirnya aku mampu juga mengeluarkan suara setelah sejak tadi membisu. Bagaimana tidak, aku begitu panik dan hampir tak mampu berpikir, belum lagi ditambah melihat jok sepeda motor yang terlepas dari badan motornya. Ku kira tabrakan barusan cukup kuat sampai bisa membuat motornya seperti itu.

“Dokter? Hmm, ini sih kayaknya luka baret aja kok. Mungkin terkilir atau keseleo yah, jadi kayaknya gak perlu ke dokter.” Dia menjawab sambil berjengit, dahinya berkerut, mungkin menahan sakit atau perih. Ku lihat pergelangan tangan terluka dan mengeluarkan darah cukup banyak. Air yang terus mengguyurku lambat laun membuatku mampu berpikir kembali, teringat kotak P3K yang ada di dalam mobilku. Aku berpikir cepat, melihat ke mobilku di depan, ke luka di tangannya, juga ke bajunya yang sudah sempurna basah.

“Saya punya P3K, mungkin bisa membantu kalau mas gak mau ke dokter, eh sebetulnya apartemen saya di blok depan sana. Ada baju ayah saya juga kalau misalnya mas mau ganti baju, karena ehh itu bajunya basah semua.” Aku sadar saat itu sudah hampir setengah tujuh malam, dan aku hanya tinggal sendiri jadi secara etika mestinya aku tidak mengundang seseorang yang tidak dikenal, hanya karena baru saja menabraknya di tengah hujan deras.

“Hmmm, sejujurnya lukanya gak begitu serius, tapi saya masih harus melanjutkan perjalanan yang cukup jauh, dan seperti yang kamu bilang, baju saya basah semua. Saya rasa tawaran kamu boleh juga.” Dia menjawab sambil bangkit berdiri dan mencoba memasang kembali jok motornya, tanpa ku sadari aku sedikit berharap dia berhasil memasangnya kembali seperti semula, meski itu tidak mungkin tentu. Setidaknya motornya masih berfungsi ketika dia menyalakan mesin dan lampunya.

“Oke, kamu ikutin saya aja yah?” tanpa menunggu jawabannya aku berlari kecil kembali ke mobilku. Di dalam mobil baru kusadari kalau aku kedinginan, bajuku juga sudah sempurna basah. Ku geleng-gelengkan kepalaku, berusaha menghilangkan kejadian menakutkan barusan, mencoba untuk fokus melihat jalan yang ada di depan, hanya tinggal beberapa blok lagi saja, mestinya aku bisa berhasil sampai di apartemen tanpa menabrak apapun lainnya lagi.

Januari 2012

“Aww….” Aku berjengit mendengar satu kata itu. Tanganku kini menggantung di atas luka yang masih terus mengeluarkan darah. Dengan perlahan aku mencoba untuk kembali lagi menepuk-nepukkan kapas basah siraman alkohol ke atas lukanya. Kali ini dia tak bersuara, hanya saja dahinya berkerut-kerut seperti biasanya ketika sedang terlalu serius berpikir atau, seperti kali ini, sedang terluka.

“Kamu sih, kan aku udah bilang, kalau capek biar gantian aku yang bawa motornya. Akibatnya kan nih, begini nih.” Dia hanya diam saja, tak menanggapi kata-kataku. Tanganku masih terus membersihkan luka di dengkul, kaki, dan tangan laki-laki keras kepala yang ada di sampingku. Sesekali ku tiupi luka-luka itu, berharap dengan begitu akan mengurangi sedikit rasa perih dan sakitnya. Bagaimana tidak, bahkan celana jeans yang dipakainya sampai sobek karena bersentuhan dengan aspal tadi sore. Sebetulnya aku sudah berkali-kali menawarkan untuk bertukar tempat, aku yang mengendarai motor sementara ia membonceng saja. Tetapi bukan dia namanya kalau mau menyerah begitu saja dengan keras kepalanya itu. “Kecuali aku sakit, gak bisa berdiri tegak, lemas sekujur tubuh, maka kamu harus ada di belakang dan aku yang ngendarain motor ini. Paham?” selalu begitu katanya tiap kali aku menawarkan diri untuk bertukar tempat. Dan seharian ini ku rasa sudah melampaui batasnya, kami sudah mengendarai motor dari Klaten ke Tawang Mangu di Karang Anyar sampai Danau Sarangan di Magetan lalu kembali lagi ke Klaten. Sebelum rel kereta terakhir yang akan kami lewati, karena beberapa kilometer lagi sudah sampai di rumah eyang, dia kehilangan fokus dan keseimbangan ditambah lagi jalan yang rusak. Kami jatuh begitu cepat, aku terjatuh agak jauh darinya, sementara dia terseret bersama motor yang kamu tumpangi. Untunglah kendaraan di belakang kami lantas berhenti, kalau tidak aku mungkin tak sanggup membayangkannya.

“Tadi aku bahkan gak sadar kalau aku terluka. Aku lega banget waktu lihat kamu gak apa-apa. Aku takut udah bikin kamu celaka.” Sambil mengatakan kalimat itu dia melihat langsung ke dalam mataku. Sontak aku mengalihkan wajahku, terlebih karena mata cokelatnya masih terus menatapku. Mata cokelat yang selalu membuat dadaku berdesir tiap kali melihatnya, seolah memandang ke dalam dirinya, meski sampai sekarang aku masih belum mampu menerka apa yang terjejak di dalam sana.

“Hmm.. besok-besok gak kayak gini lagi yah… Kamu harus tau batasnya. Jadi sakit kan kayak gini?”
“Gak. Gak sakit. Yang sakit itu kalau kamu ninggalin aku.” Dia mengatakannya dengan mantap ketika mata kami lagi-lagi saling menatap. Ingin sekali aku segera memeluknya, tapi kami tak terbiasa bersentuhan layaknya pasangan kekasih lainnya. Bahkan bergandengan tangan saja kami jarang sekali.

“Hmmm… mulai deh gombal…” hanya itu saja yang bisa kuucapkan, sambil ku tinju lengannya dengan lembut. Eyang uti sudah tertidur sejak tadi di kamar, karena itu kami terus-terusan berbicara sambil berbisik-bisik, takut membuat Eyang uti terbangun dan malah panik karena melihat kapas-kapas bernoda darah, kain kasa yang tersobek tidak jelas, plester, juga obat merah.
“Aduh, jangan dong, sakit nih….” Dia hanya merajuk sambil menggodaku. Kalau diingat lagi, ini kali kedua aku membuatnya terluka sampai berdarah. Kali kedua aku lagi-lagi duduk di sampingnya sambil memegang kapas beralkohol, mencoba membersihkan lukanya, lantas membalutnya agar aman saat dia tertidur. Diam-diam dalam hati aku berdoa agar tak pernah lagi membuatnya terluka, terlihat ataupun tidak. Tapi bukan mencinta namanya bila tak pernah melukai. Adakah cinta tanpa terluka? Meski sedikit?

Mei 2014

“Kamu baik-baik aja?” Badanku masih bergetar saat dia akhirnya berhasil menyusulku dan duduk di sampingku. Pikiranku berkelebatan cepat, kejadian barusan masih terus berulang-ulang berputar di kepalaku. Rasa asin yang masih tertinggal di bibirku, pasir yang masih menempel di pakaianku, air yang masih menetes-netes dari rambutku. Dan dia malah bertanya apakah aku baik-baik saja. Tentu saja aku tidak baik-baik saja setelah aku hampir tenggelam dan bahkan malah membuatnya juga hampir tenggelam. Betapa aku ingin menangis tersedu-sedu karena Tuhan begitu baik dan memberiku kesempatan untuk tetap hidup, untuk bernapas dengan teratur lagi meski jantungku masih berdetak begitu cepat. Betapa aku ingin memeluknya erat-erat sampai seolah apapun tak lagi mampu memisahkan kami.

“Oh come on, jangan nangis dong.” Dia malah memintaku untuk tidak menangis padahal aku bahkan belum mulai menangis. Mungkin kalau kamu sudah terlalu sering menangis di depan seseorang, ia akhirnya akan hapal kapan kamu akan mulai menangis. Bukannya aku terlalu sering menangis di depannya, itu bisa dihitung dengan jari sebetulnya. Tetapi yang sedikit itu cukup sulit untuk dihentikan, senggukan demi senggukan yang dia tunggu untuk berhenti.

“Kakimu luka. Itu berdarah semua…” Dari sekian banyak kalimat yang ingin ku katakan, aku memilih kalimat ini. Kami spontan mengecek di sana dan di sini. Kaki, paha, betis, tangan, penuh dengan luka baret, bahkan di telapak kakinya mengalir darah segar karena menginjak karang tajam, beberapa pecahan karang masih menancap di sana. 

“Hmmm, kalo gini gak bisa ngopling deh ini..”

“Biar aku yang bawa mobilnya. Gak ada bantah-bantahan atau keras kepala ya.”

“Okay.”

Kami kembali dalam diam ke hotel tempat kami menginap. Debur ombak di kejauhan masih sayup-sayup terdengar. Udara senja terasa hangat menyentuh kulit yang masih basah dengan air laut. Lupakan tentang sunset yang tadinya sudah kami tunggu, lupakan tentang duduk-duduk di pantai yang tadinya sudah kami rencanakan setelah berenang, lupakan sajalah segalanya termasuk kejadian tadi. Bagaimana cerobohnya aku ketika dengan congkak mencoba melawan ombak di laut selatan yang mulai pasang. Tadinya ku kira aku tak akan bisa selamat, sontak mengingat dosa-dosaku yang memenuhi tiap coretan buku tebal kehidupanku. Sampai kemudian aku melihat wajah paniknya, berenang ke arahku, tangannya menarik tubuhku yang terombang-ambing lautan. Betapa aku bersyukur bahwa dia ada di situ saat itu, bahwa Tuhan memberiku satu kesempatan lagi, bahwa kami masih ada di sini, di dalam mobil kecil dengan jendela yang terbuka hingga membuat angin senja sempurna mengeringkan tubuh basah kami, betapa aku bersyukur kepadaNya juga kepadanya.

“Nanti di hotel biar ku obatin luka-lukanya.. aku bawa P3K di koper.”

“Hu um…” Dia hanya menjawab singkat. Matanya terpejam, bahunya melorot pada sandaran kursi, sementara kakinya yang panjang mencoba untuk mencari posisi nyaman.

“Duh, coba kakiku sependek kakimu yah, pasti bisa enak dilurusin, gak kayak gini, ditekuk salah, dilurusin mentok.”

“Ish, itu iri atau emang pengen ngeledek hah?” Kami menghabiskan sisa perjalanan kembali ke hotel dalam diam. Pesisir pantai Pameungpeuk berkelebatan seiring laju mobil beriringan dengan halimun-halimun di kanan jalan yang juga seolah berlari ke arah berlawanan. Di kejauhan terlihat ombak bergulung-gulung, berlomba mencapai pantai untuk kemudian melebur kembali kepada samudera. Kecerobohan yang lagi-lagi membuatnya terluka karenaku. Kali ini aku bahkan tak berani berjanji dalam hati untuk tak lagi melukainya. Hanya meminta kepada Tuhan untuk menjagaku juga menjaganya dari segala luka yang mungkin tergores.

April 2015

Gemerisik dedaunan yang dibelai lembut angin seolah ingin mengatakan padaku bahwa aku tak sendirian, masih ada mereka di lembah yang mulai beranjak gelap. Di langit, sekumpulan burung-burung terbang menuju selatan dalam formasi rapat. Sementara matahari bersemu merah menyala seperti pipi anak gadis saat bertemu pemuda pujaan hati pertama kali. Rerumputan yang kujejak sejak tadi menggelitik telapak kakiku yang kini mulai kedinginan. Di bawah sana terlihat segerombolan petani berjalan beriringan kembali pulang ke rumah sehabis seharian menyemai, mencabuti, merawat, atau apapun yang mereka lakukan untuk menjaga sawah, kebun, atau apapun itu.

Aku merapatkan pelukan pada kaki yang masih menekuk, menatap ke langit, mencoba mencari satu jawaban yang hingga kini masih tak dapat ku temukan. Aku masih teringat siang itu, siang kami terakhir kali bertemu setelah tiga hari berkemah bersama di bawah jutaan bintang. Siang itu dia terlihat biasa saja, tak ada yang aneh atau berbeda dari raut wajahnya. Kami tertawa seperti biasa, berbincang seperti biasa, saling meledek seperti biasa, dan diam seperti biasa. Segalanya seperti biasa. Aku tak pernah tahu bahwa itu adalah siang terakhir kami makan bersama. Kami makan siang di sebuah restoran Italia, dia terlihat begitu senang menyantap makanannya setelah beberapa hari kami hanya makan seadanya. Pasta dengan saus bolognese, cream soup, garlic bread, juga pizza dengan topping daging sapi di seluruh permukaannya. Air soda yang mendesis di gelasnya, aku bahkan masih mengingat bunyinya. Lalu kami tertawa-tawa menyadari tampilan kami yang begitu terlihat kontras dengan segala sesuatu yang ada di restoran itu, sendok dan pisau yang berkilau di tangan kami yang kucel karena kurang mandi. Untunglah pelayan di situ tak menunjukkan secara terang-terangan keheranan mereka ketika kami sampai dengan tas ransel berat-berat dan noda kotor di banyak bagiannya. 

Aku tak pernah tahu bahwa itu kali terakhir aku melihatnya. Kami berpisah seperti biasa, aku naik kereta jurusan ke pusat kota, sementara dia mengambil jurusan ke pinggir kota. Tak ada pelukan atau ciuman perpisahan, bahkan kami tidak saling berjabat tangan. Tapi sekarang aku menyadari bahwa saat itu kami tidak saling mengucapkan sampai bertemu lagi. Karena toh biasanya pun kami tak mengucapkan kata-kata seperti itu. 

Di pertemuan terakhir itu dia tak terluka lagi seperti beberapa kali yang pernah terjadi. Kami begitu sehat, segar, ceria bahkan seolah kami bersinar karena bahagia. Namun sekarang aku merasa begitu nelangsa, ada lubang besar menganga di dalam sini, yang bahkan aku tak tahu dengan plester apa harus ku tambal dan tutupi. P3K yang selama ini melulu ku bawa-bawa untuk berjaga-jaga, kini tak lagi berguna. Aku tak bisa meniupi lubang besar itu agar rasa sakitnya sedikit berkurang seperti yang selalu ku lakukan setiap kali dia terluka. Tak ada alkohol atau revanol yang bisa kupakai untuk membersihkan lubang besar yang menganga itu. Dan bahkan aku tak bisa menangis seperti yang biasanya akan ku lakukan tiap kali.

Aku merasa begitu terluka dengan kepergiannya yang tiba-tiba, tanpa peringatan. Selama ini dia membuatku berpikir bahwa dia tak akan pernah meninggalkanku karena bila ada yang pergi maka itu adalah aku dan bukan dia. Dan bila aku pergi itu akan membuatnya terluka, sedangkan aku sudah cukup membuatnya terluka di sana sini dengan darah yang menetes-netes, jadi aku tak akan pergi meninggalkannya. Mengapa dia malah membalasnya dengan luka yang tak bisa ku plester seperti sekarang ini? Aku bahkan tak tahu P3K macam apa yang bisa membantuku. 

Aku mengutuk di dalam hati, setidaknya aku ada di sana ketika dia terluka, aku meniupi lukanya, dan menutupnya agar dia bisa tetap tertidur nyenyak. Sekarang aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku tertidur tanpa harus sebelumnya menangisi dia yang pergi begitu saja. Aku terus mengutuk di dalam hati, sampai bendungan di mataku akhirnya tumpah. Lubang yang menganga ini menumpahkan isinya.




No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^