Wednesday, 5 August 2015

Setangkup Roti Bakar dan Segelas Caramel Latte

Senja tadi aku jatuh hati.
Pada binar lampu yang mulai berpendar.
Pada semilir angin yang menggerakkan dedaunan pohon di seberang jalan.
Pada desing mesin kendaraan yang melintas.
Pada bisik malam yang mulai menggerogoti matahari perlahan-lahan hingga sempurna gelap memeluk bumi.

Senja tadi aku jatuh hati.
Pada sayup obrolan muda mudi di meja sebelah yang entah sedang menertawakan lelucon apalagi.
Pada kerit pintu toko yang mulai ditutup oleh si pemilik yang sudah tak sabar ingin berjumpa dengan anak istri.
Pada dengung kereta listrik di kejauhan, mengantarkan jantung-jantung yang berdegup, menuju pulang atau sekedar singgah.
Pada bunyi nong nong nong penanda kereta akan melintas yang terdengar begitu monoton tapi sangat mendesak, meminta perhatian.

Senja tadi aku jatuh hati.
Pada segalanya.
Klakson angkot yang tak habis-habisnya beradu nyaring.
Roti bakar cokelat keju yang terlalu kering dipanggang.
Es karamel latte dengan whipping krim yang terasa terlalu manis.
Kerlap-kerlip lampu di warung makan padang.
Payung meja bermotif kembang yang sudah ditutup karena panas terik telah lama menghilang.
Pada segala detail yang biasanya hanya akan ku lewatkan begitu saja, beberapa malah membuatku kesal karena merasa terganggu.

Senja tadi aku jatuh hati.
Padahal senja tadi aku hanya duduk di satu bangku dengan meja berpayung tertutup.
Dan hanya duduk saja.
Duduk saja, diam entah berapa lama, membiarkan segalanya bergerak dan bersuara.
Tiba-tiba saja aku merasa jatuh hati.
Aku lupa kapan terakhir kali duduk saja terdiam seperti ini, memperhatikan segalanya tanpa beban perasaan ataupun ekspektasi berlebihan.

Aku lupa kapan terakhir kali hanya diam saja dan jatuh hati.
Sampai kemudian aku teringat satu senja yang diam-diam ku bungkus dengan kertas kado perak berpita emas, tersimpan di salah satu laci lemari kenanganku.
Satu senja yang ku habiskan denganmu.
Menonton matahari mengecup mesra bumi yang dicintainya, untuk sekejap berbagi peran dengan rembulan yang telah siap naik pentas.
Bersila di atas rerumputan, sesekali bercerita tentang hal-hal yang kebetulan mampir, atau sekedar menertawakan gurauan ringan.
Berbagi semangkuk es buah dan sepiring siomay yang salah pesanan, bukan karena kehabisan uang atau sok romantis tapi karena aku tetiba menginginkan menu makanan berbeda di tempat lain.
Senja di atas rerumputan, di bawah langit yang perlahan mencelupkan birunya ke dalam tinta hitam.
Senja yang begitu manis meski tanpa pemanis.
Senja yang begitu syahdu namun tak lantas jadi sendu.
Senja yang begitu sederhana hanya karena.

Hanya karena aku bersamamu.

Ku kira senja tadi aku jatuh hati.
Begitupun senja kemarin.
Senja bersamamu di lapangan berumput dengan semangkuk es buah dan sepiring siomay yang salah pesanan.

Selamat senja, kamu.

Sunday, 28 June 2015

Tentang Kamu





Bagaimana bila akhirnya ku cinta kau?
Dari kekuranganmu, hingga lebihmu...
Bagaimana bila semua benar terjadi?
Mungkin inilah yang terindah....

Suara merdu Bunga Citra Lestari masih terdengar sayup-sayup dari ruang dengarku, bahkan setelah aku meninggalkan tempat fotokopi di seberang kantor. Ah ya, seandainya kamu tahu bahwa kantorku ini agak sedikit ajaib, lebih tepat disebut agak tua sebenarnya, karena semua barang-barang yang ada di kantor ini hampir rata-rata sudah berumur lebih daripada masa pakai seharusnya. Jadi tidak heran bila tiba-tiba mesin fotokopi mengadat, ac mengeluarkan hawa panas alih-alih sejuk, atau genset yang juga ikutan mati ketika listrik terkena jatah pemadaman bergilir. Seperti hari ini ketika aku harus meng-kopi laporan yang sudah dengan susah payah ku selesaikan kemarin sore, tiba-tiba saja mesin fotokopi itu berhenti berdengung dan diam bergeming untuk waktu yang entah siapa yang tahu akan sampai berapa lama. Jadinya dengan terburu-buru aku menuruni satu demi satu anak tangga dari lantai tiga menuju lantai satu. Ah ya, di kantorku juga tidak ada lift alasannya karena untuk pengadaan sebuah lift, kantor ini haruslah minimal memiliki empat lantai. Beruntungnya aku, ruanganku terletak di lantai tiga.

Tak sempat menenangkan degup jantungku yang masih berdetak lebih kencang karena aku sedikit berlari sambil menuruni tangga, aku langsung menuju tempat fotokopian di depan kantor, takut didahului oleh orang lain yang mungkin saja sedang terburu-buru juga. Bukannya aku tidak sabar mengantri, hanya saja laporan ini masih harus melewati proses penjilidan softcover setelah difotokopi. Tidak tanggung-tanggung, laporan ini terdiri dari tiga buah laporan dan harus diperbanyak sebanyak lima belas set berkas. Tiga dikali lima belas adalah empat puluh lima set berkas laporan yang harus ku tunggu untuk diperbanyak dan dijilid. Yah, bukan angka yang sedikit yang tentunya membutuhkan waktu yang juga tidak sedikit. Tapi aku hanya akan menyerahkannya saja, lalu setelah itu ku tinggalkan dan nanti sore ku ambil sebelum waktu pulang kantor tiba.

Dan di sanalah, setelah lama tak mendengar lagu itu, entah angin apa yang membuatku begitu memperhatikan lirik lagu tersebut. Padahal ini bukan kali pertama aku mendengarnya, tapi entah mengapa kali ini lagu tersebut mampu membuatku memikirkan tentang kamu. Persis seperti judulnya, Tentang Kamu.

Tentang kamu, dari mana aku harus memulainya? Aku sendiripun terkadang masih tak percaya dengan segala hal tentang kamu yang tiba-tiba saja masuk dalam keseharianku. Bukankah segalanya terjadi begitu cepat sampai aku tak menyadari kapan semua ini bermula? Ah, aku jadi terseret arus deras kenangan. Bahkan bukan kenangan bertahun-tahun lalu, ini adalah kenangan sebulan dua bulan lalu. Iya, rasanya memang baru dua bulan terakhir ini ketika kali pertama kita tak sengaja bercakap-cakap. Bahkan bukan dalam dunia nyata, tapi dunia maya.

Hahaha, iya, rasanya aku ingin tertawa sendiri bila mengingatnya. Betapa selama ini aku melulu sinis pada orang-orang yang mengaku jatuh hati padahal bahkan belum saling bertemu. Betapa selama ini aku seringnya berkhayal tentang perjumpaan pertama bak cerita sinetron yang kadang kebanyakan gula itu. Seperti pasangan yang tak sengaja berjumpa saat mobil mereka tak sengaja saling menyerempet yang malah kemudian berkenalan dan saling bertukar nomor telepon atau akun media sosial. Atau pasangan lain yang tak sengaja bertubrukan saat keluar dari ruang kelas di kampus kemudian buku-buku berserakan, berkenalan, lalu saling bertukar nomor telepon atau akun media sosial. Atau pasangan ala Rangga-Cinta yang bertemu di perpustakaan atau toko buku, yang tangan keduanya tak sengaja bersentuhan ketika berbarengan mengambil buku yang sama, saling melempar senyum, berkenal, lalu bertukar nomor telepon atau akun media sosial. Ya, ku kira tadinya aku bisa jadi salah satu dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan acak tadi yang kadang manisnya bisa membuat diabetes bahkan sebelum mengkonsumsinya.

Nyatanya adalah aku tak sengaja melihat status di salah satu akun media sosialmu yang ketika itu kurang lebih berbunyi, “Well, friends, i didnt bring my phone with XL number, so if you wanna contact me, please contact me to my Simpati. Thanks”. Ya, sejujurnya saja, aku tak sengaja melihat statusmu itu, dan karena waktu itu aku sedang iseng saking bosannya mendengarkan rapat yang seolah tak akan pernah berakhir, alih-alih aku berusaha untuk fokus, aku malah meninggalkan komentar di statusmu itu. Bahkan aku jadi satu-satunya orang yang mengomentari statusmu itu. “Ehh, tapi aku gak punya nomor Simpati kamu?” yang kamu balas dengan, “Ku kirim di message aja ya..” Wohoo, aku tak menyangka akan mendapatkan balasan seperti itu sebetulnya. Karena well, pertama, aku bahkan tak pernah tahu baik nomor Simpati atau XL atau nomor teleponmu yang entah mana lagi. Kedua, kita bahkan tak pernah bercakap-cakap lewat messenger akun media sosial, juga tidak di dunia nyata. Ketiga, ya karena kita bahkan tidak saling mengenal secara personal di dunia nyata. Aku hanya tahu bahwa kita satu almamater, bahwa kamu juga alumni dari kampusku. Aku bahkan tidak menyadari kalau kita berbeda angkatan.

Setelahnya, kamu benar-benar mengirimkan nomor teleponmu melalui messenger akun media sosial itu, seperti yang sudah kamu katakan. Bingung harus apa, aku malah menyimpan nomormu di dalam telepon selularku, kemudian me-refresh aplikasi chattingku, dan voila!, aku menemukan namamu di sana. Ya tentu saja, karena sudah ku simpan sesaat sebelumnya. Jadinya aku menyapamu lewat aplikasi chatting itu. Tak menyangka bahwa kamu akan merespon dengan ramah. Karena yah aku terkadang malah bersikap kurang ramah pada orang-orang iseng yang tidak jelas tujuannya tapi tetap nekad mengirimkan pesan ini itu di media sosial.

Bermula dari satu percakapan yang mengantarkan pada entah berapa banyak lagi percakapan yang terjadi berikutnya, meski seringnya akulah yang memulai percakapan-percakapan itu. Bahkan terkadang aku bertanya-tanya, mungkinkah kamu terganggu dengan segala omonganku yang tak jarang isinya tak penting itu. Tapi entah bagaimana, aku hanya tak mampu lagi menahan diriku untuk tidak mengirimkan pesan elektronik kepada kamu, kepada nomor teleponmu yang tak sengaja begitu saja kudapatkan. Entah bagaimana, aku jadi mulai terbiasa menunggu balasanmu yang membuat telepon selulerku berdenging-denging. Entah bagaimana, lagu-lagu yang ku dengar jadi membuatku malah memikirkanmu. Entah bagaimana, senyumku mengembang mana kala kamu lebih dahulu mengirimiku pesan elektronik, yang entah mengucapkan selamat pagi atau rekaman suaramu sedang menyanyikan entah lagu apa lagi yang kadang pertama kalinya ku dengar. Entah bagaimana, bahkan ketika kamu lupa lirik lagu tertentu tapi kamu tetap merekamnya dan mengirimkannya padaku dan malah membuatku tertawa senang dan melupakan sejenak macet yang sedang ku hadapi, alih-alih mengerutkan dahi seperti yang biasa akan kulakukan setiap kali ada orang yang salah menyanyikan lirik satu lagu. Entah bagaimana, kamu menjadi bagian dari keseharianku.

Dan Bunga Citra Lestari membuatku jadi memikirkanmu, memikirkan tentang kamu, memikirkan tentang diriku. Memikirkanmu yang kini melulu muncul tiap kali ada satu lagu yang tak sengaja ku dengar. Memikirkan tentang kamu yang semakin lama semakin banyak ku ketahui, tentang makanan kesukaanmu, lagu kesukaanmu, kebiasaan baikmu, kebiasaaan burukmu, atau tentang selera humormu, tentang indomi yang begitu kamu agung-agungkan sebut sebagai pahlawan penyelamatmu tiap kali kelaparan dan tidak menemukan makanan yang cocok dengan seleramu. Memikirkan tentang diriku yang mulai terbiasa dengan kehadiranmu, diriku yang jadinya mulai sering melamun sambil tersenyum, diriku yang selama ini takut untuk lagi-lagi carut marut seperti sebelumnya. Bukankah sudah ku katakan padamu, ah bukan soal aku yang terkadang merasa seperti remah-remah rempeyek, tapi soal hatiku yang pernah bengkak biru lalu kemudian carut marut tidak karuan. Aku hanya tak ingin merasakan carut marut itu sekali lagi. Aku hanya tak ingin kembali seperti dulu lagi, kehilangan diriku karena kehilangan orang lain yang ku kira takkan pernah menyakitiku. Aku hanya tak ingin merasa kecewa, sekali lagi.

Tapi lagu itu terus menerus berputar di kepalaku, bahkan ketika aku sudah kembali di mejaku dan mulai menekuri layar empat belas inchi di hadapanku, dengan satu tumpuk berkas pekerjaan yang harus segera ku selesaikan. Lagu itu masih terus berputar di kepalaku, memaksaku untuk berhenti melakukan apapun yang ku coba lakukan untuk menghentikan lagu itu. Jemari tanganku menggantung di atas keyboard, alih-alih membuka file pekerjaan, aku malah membuka browser, memasukkan keyword, beberapa saat kemudian lagu tersebut sudah sempurna terdownload di komputerku. Kini lagu itu bukan hanya berputar berulang-ulang di kepalaku, tetapi memang secara harfiah dia berputar lagi dan lagi, memenuhi ruang dengarku yang sudah seharian ini hanya mendengarkan satu lagu itu.

Ku tak bisa menebak 
Ku tak bisa membaca 
Tentang kamu... 
Kau buatku bertanya s'lalu dalam hatiku 
Tentang kamu...   
Tentang kamu.. 
Bagaimana bila akhirnya ku cinta kau?
Dari kekuranganmu hingga lebihmu 
Bagaimana bila semua benar terjadi? 
Mungkin inilah yang terindah 
Begitu banyak bintang seperti pertanyaanku tentang kamu...
 Tentang kamu.....


P.S. : Picture was taken from here

Sunday, 21 June 2015

Sudah lama berselang ketika terakhir kali tubuhku protes meminta jatah istirahat yang lebih dari yang biasanya.

Dan aku memimpikanmu, di antara banyak hal yang mungkin masih betah berdiam di pojok-pojok sudut pikirku. Memimpikanmu yang begitu tiba-tiba. Tapi seperti film bioskop yang baru saja diputar, aku bahkan masih ingat apa saja yang kamu ucapkan.

Atau mungkin kamu sudah semakin banyak mengambil jatah tempat di pikiranku? Hmmm....

Saturday, 13 June 2015

Tentang Perjumpaan

Tentang perjumpaan, aku sering menerka-nerka akan seperti apa perjumpaan kita nanti. Sudah sejak lama aku memikirkan ini, sejak aku mulai sering menulisimu di lembaran putih halaman elektronikku bertahun lalu. Sejak kamu masih berupa variabel yang bisa berganti-ganti meski seyogyanya kamu tak akan terganti. Karena toh kamu hanya satu dan satu-satunya.

Jadi begitulah, aku menerka-nerka akan seperti apa nanti saat kita pertama kali bertemu. Perasaan canggung ataukah malu-malu yang meronakan pipiku layaknya semburat jingga di ufuk barat saat matahari mulai pamit pada bumi. Ataukah mungkin aliran sungai kita sudah pernah bersisian entah di mana di masa yang lalu. Mungkin saat itu kita hanya tak terlalu menyadari bahwa kita akan bertemu lagi nanti di masa depan. Sebagai dua yang saling menyatukan.

Atau mungkin saja kita memang belum pernah bertemu sama sekali seperti yang selama ini ku kira-kira. Meski begitu tak membuatku berhenti berjalan menuju ke arahmu. Terus berjalan hingga aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai kamu-ku. Terus berjalan agar kamu bisa menemukanku dan menjadikanku aku-mu. Ku harap kamu juga masih terus berjalan ke arahku, bukankah begitu?

Aku sering menerka-nerka akan seperti apa dirimu. Bukan semata fisik belaka. Karena yang ku butuhkan adalah seseorang yang mau berjuang untukku, berjuang bersamaku. Seseorang yang tidak menyerah terhadapku, yang tidak menyerah untukku. Seseorang yang bukan hanya menjanjikan kebahagiaan dunia akhirat tetapi juga mewujudkannya dalam nyata. Seseorang yang amat sangat tahu seberapa perihnya menanggung hati yang carut marut karena satu lagi harapannya dihempaskan begitu saja ke daratan. Seseorang yang tahu rasanya patah hati, sehingga ia takkan pernah mematahkan hatiku.

Seseorang yang adalah kamu. Kamu yang hingga kini masih saja serupa variabel yang tak mampu aku jangkau, tertutup kabut. Mungkin nanti saatnya kamu menjadi konstanta untuk setiap kamu yang ku tuliskan dengan penuh harap.

Ah, aku masih saja menerka-nerka akan seperti apa nanti ketika kita berjumpa. Aku masih terus berjalan ke arahmu. Dan semoga begitupun kamu.

Monday, 11 May 2015

I can't hear your heartbeat, you're too far away....


Desember 2010

“Brakkkkk…” Sayup adzan Maghrib masih berkumandang di kejauhan ketika tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang membuatku sontak menginjak pedal rem. Bukannya aku sedang melamun atau apa, tapi sekarang sedang hujan deras dan hari begitu gelap meski senja baru saja turun. Hanya pendar lampu merah dari kendaraan di depan yang bisa terlihat, itupun buram, sementara langit seolah tak lagi punya waktu lain untuk menumpahkan segala beban yang ditanggungnya entah sejak kapan. Dengan gemetar ku pinggirkan mobilku, menepi ke jalan yang hampir bertansformasi menjadi sungai deras, ditambah lagi tingkat kemiringan yang lumayan curam sehingga air yang mengalir dari atas begitu menderas turun. Lupakan soal payung dan ribuan rintik hujan yang serentak menghabiskan hangat kering nyaman baju yang kupakai, dengan tergesa ku hampiri asal suara tadi. Beberapa mobil di belakang ikut berhenti menunggu orang-orang memindahkan motor serta bagian-bagiannya yang terlepas, juga si pengendara.

Jantungku berdetak begitu kencang, mungkin aliran darahku bahkan lebih deras dibandingkan dengan hujan yang mengenaiku. Beberapa pria yang menolong memindahkan motor tadi kini satu persatu kembali melanjutkan perjalanan masing-masing, begitupula mobil-mobil yang ikut berhenti.
“Ini tadi ditabrak? Kenapa gak dikejar yang nabrak?” salah seorang dari mereka bertanya.



Alkisah di suatu negeri nun jauh di sana, hiduplah seorang Puteri Bisu dan Pangeran Buta. Ya, sang Puteri tidak dapat berbicara sementara sang Pangeran tidak dapat melihat. Tentu saja, mereka terlahir sempurna bahkan rakyat pun menjuluki mereka berdua titisan dewa dewi karena kesempurnaan fisik rupawan nan memesona. Hanya saja suatu ketika mereka berdua sedang bermain di halaman ketika kemudian tiba-tiba terjadi kecelakaan yang merenggut suara merdu sang Puteri dan mengambil cahaya dari mata jernih sang Pangeran.

Meski demikian mereka masih tetap bersahabat, mereka masih bermain bersama. Bahkan menjadi lebih sering karena tak ada yang lebih memahami diri mereka dibandingkan dengan mereka sendiri. Sang Puteri dan Pangeran saling memahami satu sama lain. Setiap kali Pangeran menyanyikan satu lagu baru, Puteri akan bertepuk tangan sebagai ganti dari suaranya yang ingin ikut bernyanyi. Begitupula setiap kali ada benda-benda baru yang menarik, Puteri akan membawakannya untuk Pangeran, meletakkannya di telapak tangan Pangeran agar ia dapat merabanya sendiri.

Tuesday, 5 May 2015

A Thousand Pieces of Broken Glass









I'd like to say we gave it a try
I'd like to blame it all on life
Maybe we just weren't right, but that's a lie, that's a lie

And we can deny it as much as we want
But in time our feelings will show

'Cause sooner or later
We'll wonder why we gave up
The truth is everyone knows

“Kamu tau gak? Sewaktu Tuhan menciptakan surga ada percikan-percikan yang jatuh ke bumi, dan sedikit dari percikan itu jatuh di Garut, sepanjang jalan Pameungpeuk, dan sepanjang pantai Rancabuaya.” Ardhiandika hanya tersenyum mendengar Maygistara di sebelahnya mengoceh tentang pemandangan yang sedang dan sudah mereka lalui selama tiga hari kemarin.

Sunday, 12 April 2015

Ku kira tadinya kamu hanya enggan menjawab semua pesan singkat yang ku kirim.

Tapi kemudian aku menyadari bahwa kamu bahkan tak pernah membaca semua pesanku.

Mungkin akhirnya aku menyerah atas segala tentangmu.

Monday, 30 March 2015

Sekali ini aku membutuhkanmu, bahkan sudah ku katakan dengan jelas sejak mula-mula.
Tapi seperti biasa, kamu abai pada segala pinta yang mungkin terucap dariku.

Ya sudah, memang aku bisa apa?

Katamu, kamu tak lagi peduli.
Ah salah, kamu tak pernah peduli.

Mungkin aku saja yang salah mengira bahwa setidaknya kamu masih peduli, meski sedikit.

Seperti kayu di perapian, begitupula asaku yang mulai mengabu seiring bungkammu yang membakar dalam sekam.

Leburkan kelabuku dalam hitammu, sampai tak tersisa jelagaku.

Wednesday, 11 February 2015

Every morning when i wake up i always make a promise to sleep earlier at night than before. But then when night's coming, i just find myself sleep late. Again. And again. And again.

What is wrong with me? It's like something is really bothering me but i dont admit it, even for once.

Well, you know.

Maybe i just miss you.
A lot.

Monday, 9 February 2015

As sweet as oranges.... As sour as it is..

Hujan yang turun sejak semalam sepertinya belum akan reda, tetapi bajir sudah banyak melanda beberapa kawasan. Hara yang beruntung karena bekerja tidak jauh dari apartemennya tidak terpengaruh oleh hal itu. Ia tetap berangkat kerja dan pulang tepat waktu seperti biasa. Seperti sore ini ketika ia sudah sampai di apartemen mungilnya yang hangat, berbanding terbalik dengan cuaca di luar sana yang dingin dan muram. Tak butuh lebih dari lima belas menit untuknya mengendarai mobilnya dari apartemen ke kantor, begitupun sebaliknya. Biasanya ia lebih suka menggunakan sepeda motornya. Tetapi karena hujan yang turun terus menerus ia terpaksa harus memakai mobilnya.
Hara menghempaskan berat tubuhnya ke atas sofa merah hati favoritnya. Dengan malas melihat ponselnya yang masih bisu. Sudah hampir pukul enam dan smsnya yang terakhir masih belum dibalas. Pikirannya penuh dengan berita yang ia lihat di televisi saat makan siang tadi. Banjir di mana-mana. Akses jalan banyak ditutup. Lantas bagaimana orang-orang bisa pulang dengan keadaan seperti ini?  Lagi-lagi Hara melihat ponselnya, hening.
"Ah sudahlah. Mungkin ia hanya sedang di jalan saja. Terjebak macet atau apa.." Hara berkata pada udara di sekitarnya sambil melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
~~~

Jam di ponselnya sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika akhirnya Rei sampai di apartemennya. Perjalanan panjang hari ini cukup membuatnya kelelahan. Mungkin banyak di antara orang-orang yang melihat banjir beserta segala keruwetan jalanan lewat berita di televisi lalu mereka dengan mudahnya berkomentar ini dan itu. Tapi bagi ia yang berada di tempat kejadian butuh lebih dari kekuatan untuk sekedar berkomentar ini dan itu. Bagaimana akan berkomentar kalau ia dan orang-orang yang ada di situ sibuk dengan lalu-lintas yang macet di sana sini. Jadi alih-alih meributkan jalanan macet dan banjir di mana-mana, ia juga orang-orang yang ada di situ memilih untuk terus bergerak maju meski sejengkal demi sejengkal seraya berdoa semoga mesin kendaraan mereka tidak mogok di tengah jalan karena air yang masuk dan merembes ke dalam.
Meski begitu anehnya ia masih sempat untuk mampir di toko buah di dekat apartemennya. Seketika senyum menghiasi wajahnya saat memandangi tentengan kantong plastik berisi buah-buahan kesukaannya. Dengan campuran rasa lelah, senang, juga rindu, Rei masuk ke apartemen mungilnya yang hangat dan kering, berbanding terbalik dengan keadaan di luar sana, dingin dan basah.
"Honey, i'm home.." Teriak Rei sambil menutup pintu di belakangnya. Merasa agak heran karena gadisnya tak menyambut kedatangannya seperti biasa. Dan hanya butuh waktu sedetik untuk menemukan gadisnya yang kini tertidur di sofa merah hati favoritnya, oh favorit gadisnya awalnya lalu kemudian jadi favorit mereka berdua.
"Heii... Are you sleeping?" Rei membungkukkan badannya, mencium kening gadis di hadapannya. Tangannya yang dingin membelai lembut pipi gadisnya. Gadisnya perlahan terbangun, refleks tangannya menggosok-gosok matanya yang baru saja terlelap, padahal ia sudah berniat untuk menunggu Rei pulang. Tapi apa daya, kombinasi rasa lelah dan berendam dengan air hangat selama setengah jam telak membuat tubuhnya diserang kantuk yang begitu berat.
"Uhmm, hai.. Kamu udah pulang? Gimana tadi di jalan? Macet yah? Katanya banjir di mana-mana?" Suara gadisnya terdengar lucu sekaligus aneh karena diucapkan berbarengan dengan kuapan kantuk. Dengan satu tangan menggapai bahu Rei, gadis disebelahnya itu kini berusaha menyeimbangkan dirinya agar bisa duduk dengan tenang.
"Well yah begitulah... Capek nih.. Aku mandi dulu deh.." Ucap Rei, memindahkan kepala gadisnya dari bahunya ke sandaran sofa, lalu bangkit menuju kamar mandi. Berendam air hangat sepertinya ide yang harus segera ia realisasikan. Badannya begitu kedinginan seharian ini.
"Hu um... Ini kamu bawa apa, Honey? Di plastik ini?"
Rei yang sudah hampir sampai di pintu kamar mandi menoleh kepada gadisnya, "Oh itu.. Itu buah-buahan. Tadi aku mampir di toko buah situ. Mulai besok kita mulai FC lagi, gimana? Itu kamu juga jadi mulai jerawatan gitu." Tanpa menunggu reaksi gadisnya, Rei langsung melesat masuk ke kamar mandi, menyalakan kran air tepat di posisi suhu yang diinginkannya setiap kali berendam, berharap bathtubnya bisa segera penuh.
Sementara itu gadisnya bergegas masuk ke kamar dan melihat cermin. Sedikit tercekat saat melihat wajahnya yang agak kusam dan dua buah jerawat terlihat nangkring dengan manisnya di sana. Sepertinya ia memang harus memulai FC-nya lagi. Tidak boleh dibiarkan seperti ini. Dalam hati berjanji untuk lebih konsisten lagi, meski bayang-bayang kue-kue cantik nan manis berlalu-lalang dalam pikirannya.
~~~

Maharani sudah siap untuk berangkat ke kantor ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Spontan ia memutar tubuhnya, melihat ke atas meja barnya yang kini dipenuhi oleh buah-buahan kesukaannya. Dalam hati bertanya-tanya kapan ia membeli semua buah-buahan itu? Ia tak ingat pernah membelinya. Kemarin sore ia bahkan terlalu malas untuk mengeluarkan baju laundry-annya dari bagasi mobil, apalagi untuk mampir membeli buah. Meski begitu tangannya mengambil beberapa biji yang kini sudah tersusun di dalam lunch box-nya. Sudah lama ia tidak sarapan buah. Mungkin ia harus memulai kembali FC-nya, terlebih mengingat tadi pagi ia menemukan dua buah jerawat di wajahnya. Membuatnya kesal di pagi hari. Ah sudahlah, toh jerawat tidak akan membuatnya dipecat dari pekerjaannya atau apa. Maharani segera melangkahkan kaki ke garasinya. Hujan masih terus turun, tak mengeluh meski harus terjatuh berkali-kali.
~~~

"Ya, dengan saya sendiri, Biru Reitama. Apa? Oh maaf saya sedang tidak membutuhkan satu lagi program asuransi. Iya. Maaf. Oh begini, saya sudah harus rapat sekarang. Maaf ya, mas. Selamat siang." Biru menutup ponselnya. Telepon dari agen asuransi di pagi hari tentu bukan termasuk dalam pilihan menu sarapan favoritnya. Tentu saja ia sedang tidak akan rapat. Bosnya sedang di luar kota dan hujan masih turun sejak kemarin. Setengah karyawan di kantornya tidak hadir. Ia salah satu dari sedikit yang memaksakan untuk bisa sampai di kantor di tengah banjir di mana-mana, menghadapi macet yang begitu menguras kesabaran. Yah sepertinya pagi ini memang bukan pagi yang menyenangkan. Mungkin dengan sarapan ia akan jadi merasa lebih baik, begitu pikir Biru ketika tiba-tiba matanya melihat sepiring penuh berisi buah-buahan yang sejak tadi tidak terlihat olehnya. Ia jadi teringat program FC-nya. Mungkinkah ini pertanda ia seharusnya kembali melakukan FC? Tapi omong-omong siapa yang meletakkan buah-buahan ini di mejanya? Ia bahkan tak ingat pernah membelinya. Meski begitu tangannya sudah mengupas jeruk mandarin yang terlihat begitu segar. Ah mungkin pagi ini tidak terlalu buruk. Mungkin.

Thursday, 5 February 2015

Frittata and orange juice, just like you and me..


Maharani mencoba membuka matanya, sementara denyut di kepalanya terasa semakin nyata, membuatnya semakin pening. Spontan punggung tangannya ia letakkan di dahi, ternyata demamnya belum mereda. Mungkin itu mengapa ia begitu sulit bangun dari tempat tidurnya. Badannya basah kuyup oleh keringat.

Sambil mencoba untuk bangun Maharani mendengar suara-suara dari dapurnya, suara spatula kayu yang bergesekan dengan penggorengan seperti ada seseorang yang sedang memasak. Tapi siapa? Ia kan hanya tinggal sendirian di rumah mungilnya ini. Dan seingatnya semalam ia hanya pulang dari kantor, menggigil kedinginan lalu langsung jatuh tertidur setelah susah payah mengganti baju kantor dengan piyama. Ia sama sekali tak ingat kalau ada tamu yang datang menginap atau orang tuanya atau temannya atau entah siapa. Toh dia memang tidak pernah diijinkan untuk menerima tamu menginap selama ini kecuali sudah memberitahukan orang tuanya lebih dahulu. Setelah susah payah berdiri mencoba menyeimbangkan dirinya, Maharani berjalan menuju dapur dan betapa kagetnya ia menemukan seseorang yang sedang memasak adalah laki-laki itu, laki-laki dari masa lalunya. Laki-laki itu tentu saja membelakanginya tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Maharani untuk bisa mengenalinya. Mengapa ia bisa ada di sini? Sedang memasak pula. Apa yang sudah terjadi? Tenggorokan Maharani terasa begitu kering sampai ia tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata apapun untuk bertanya pada laki-laki yang sedang asik memasak di dapurnya. Belum sempat ia menenangkan detak jantungnya yang semakin berdebar tidak karuan, laki-laki itu berbalik badan, langsung melihat kepadanya.

"Hei... You wake up, honey? Masih pusing yah? Sini aku coba pegang kening kamu." Laki-laki itu spontan berjalan ke arah Maharani yang berdiri mematung. Tangannya sudah menggantung di udara untuk menyentuh kening Maharani ketika Maharani perlahan mundur selangkah.

"Tu.. Tu.. Tunggu.. Nah tunggu dulu. Kamu kenapa ada di sini? What are you doing here? What's happen here?" Akhirnya Maharani mampu berbicara dan mengucapkan pertanyaan yang sejak tadi ingin ia keluarkan.

"Eh? Maksudmu? Atau ini akibat demam? Kamu masih demam banget kalau gitu. Kita harus ke dokter habis ini yah? Please. Semalam kamu janji kalau sampai pagi ini kamu masih demam, kamu bersedia periksa ke dokter. Remember?" Laki-laki itu masih belum memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh Maharani.

"Bukan begitu. Kenapa kamu ada di sini? Aku harus ke kantor. Tapi ini kenapa kamu bisa di sini? Dan kenapa kamu masak?" Maharani tetap tak bergeming dari tempatnya. Ia masih tak bisa mengingat bagaimana laki-laki itu bisa ada di rumahnya.

"Sayang, sepertinya demam kamu ini serius sekali. Aku ini suamimu. Dan kan memang aku biasa masak kalau kamu lagi sakit begini? Sini, coba lihat aku." Laki-laki itu meraih tangan Maharani yang terkulai di sisi tubuhnya. Sontak Maharani melepaskan tangannya yang sekarang malah gemetaran.

"Enggak. Kita bahkan gak pernah kontak. Kamu menghilang begitu aja. Ninggalin aku dengan segala impian masa depan kita berdua. Kamu bahkan gak pernah membalas semua pesanku. Kamu hilang dari kehidupanku seolah kamu gak pernah ada. Seolah impian pernikahan paling indah itu gak pernah kamu ucapkan. No. It's nonsense." Bibir Maharani bahkan bergetar di setiap kalimat yang ia ucapkan. Laki-laki di hadapannya tertegun demi mendengar ucapan Maharani yang begitu menyakitkan.

"Maafin aku, sayang. Aku emang pernah jahat sama kamu. Tapi itu semua mimpi buruk aja. We're married now. You're even pregnant, five months. And the last time i remember, you're still very happy with our life. Did you have a nightmare, honey? It's okay. Sekarang kamu tidur lagi aja yah. Yuk kita ke kamar yah. Setelah itu aku selesein frittata-nya. Sarapan kesukaanmu kan? Frittata with orange juice. Okay? Ohiya, satu lagi, kamu gak perlu ke kantor hari ini. Aku tadi udah sms teman kantormu." Maharani malah semakin membeku mendengar penjelasan dari laki-laki itu. Ia menikah dengan laki-laki itu? Ia bahkan sedang hamil? Rasanya seperti siang bolong. Perlahan ia menggerakkan tangannya, menyentuh perutnya yang ternyata memang jadi lebih buncit, mengapa ia tak menyadarinya tadi sewaktu bangun tidur? Kepalanya lagi-lagi berdenyut hebat, rasa pusingnya semakin bertambah, kenyataan yang ia lihat di depannya juga tak membantu sama sekali. Ia bahkan kini merasakan denyutan lain di perutnya. Apakah itu barusan? Ia sungguh-sungguh sedang hamil? Seperti orang yang sedang mabuk, tak sadar akan keadaan sekitar, Maharani menurut saja ketika dituntun kembali ke kamar. Bahkan ia menurut ketika laki-laki itu menyelimutinya sampai batas dagu. Dan tetap diam saja saat laki-laki itu mencium keningnya yang penuh dengan keringat dingin.

"Wait for couple minutes ya? Your breakfast will be ready asap." Si laki-laki kembali ke dapur, melanjutkan memasak sementara Maharani kembali tertidur, bingung dengan kenyataan yang ada. Segalanya menjadi begitu buram. Seperti potongan masa lalu yang kembali hadir, meski tidak sama persis tapi seperti itu. Potongan puzzle yang sudah lama hilang lalu tiba-tiba kembali dan sudah ada di tempat semestinya. Ia tak ingin berpikir, ah tepatnya ia sedang tak bisa berpikir. Ia hanya ingin memejamkan matanya, mungkin memang ini akibat demam. Ia hanya ingin tertidur dan mungkin ia akan kembali pada kenyataan saat terbangun nanti. Lalu tak lama kemudian ia jatuh tertidur lelap.

Sampai ketika laki-laki itu membangunkannya untuk sarapan. Ternyata ia masih terbangun dengan kenyataan laki-laki itu sebagai suaminya. Akhirnya ia menyerah untuk mengikuti laki-laki itu keluar dari kamar untuk sarapan.

Pusing di kepalanya masih belum mereda sementara mulutnya memaksa mengunyah frittata yang ada di piringnya. Maharani duduk di atas kursi bar juga laki-laki itu yang duduk di seberangnya. Meja bar memisahkan mereka. Di atasnya sepiring besar frittata yang tinggal setengah, orange juice di dalam mug besar favorit Maharani untuknya sementara secangkir teh manis untuk laki-laki itu. Segalanya masih sama dengan yang bisa ia ingat, masih meja bar yang sama, kursi bar yang sama, piring sendok bahkan mug dan cangkir pun masih sama. Hanya keberadaan laki-laki itu saja yang membedakan.

"Kenapa kita gak beli meja makan? Kenapa kita masih makan di sini?" Maharani berusaha mencari tahu letak di mana ada kemungkinan kenyataan ini ternyata tidak seperti yang ia lihat.

"Karena aku suka seperti ini. Kayak gini keren kok. Ngapain kita repot-repot pake meja makan? Ini aja udah cukup. Mau saus lagi?" Jawab si laki-laki dengan santai sambil menawari Maharani saus tomat.

"Kamu masih suka saus tomat? Masih gak suka saus sambal?" Tanya Maharani yang sejujurnya terdengar agak aneh juga di telinganya.

"Well, time flies. But i still the same. Hehehe. Gak suka lah, pedes kan. Udah dong, jangan aneh-aneh gitu ah. Makannya diabisin ya. Terus habis ini kita ke dokter. Oke?" Laki-laki di depannya kini sudah menyelesaikan makannya. Bahkan ia masih seperti dulu, selalu begitu cepat menghabiskan makanannya.

"Kamu, ehh, gak pergi kerja? Ke kantor?" Maharani bertanya takut-takut sambil terus berusaha menghabiskan frittata-nya.

"Hahahah. Kamu makin lucu deh. Udahan dong becandanya. Kan aku masih nyusun thesis nih? Yang artinya aku belum lulus kuliah, yang artinya aku masih tugas belajar, yang artinyaaa... aku gak pergi kerja ke kantor. Udah ah, aku mandi dulu ya. Kamu cepet abisin makannya." Laki-laki itu segera saja menghilang di balik pintu kamar mandi, meninggalkan Maharani yang semakin kebingungan. Tiba-tiba sebentuk ingatan muncul di benaknya bahwa bila ia tidak salah mengingat, laki-laki itu memang sedang menyelesaikan thesisnya sekarang dan baru beberapa bulan lagi lulus. Setelahnya ia akan kembali ditempatkan ulang untuk bekerja lagi. Maharani menggigil saat kesadaran itu muncul. Bukannya ia tidak bahagia dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Semua ini adalah yang ia inginkan sejak lama. Tapi ia begitu ketakutan kalau ternyata ini hanya mimpi saja. Ia begitu takut tiba-tiba terbangun dan mendapati bahwa semua ini hanya bunga tidur semata. Kepalanya kembali berdenyut, rasa pusing dan mual itu datang lagi. Sendok di genggamannya jatuh begitu saja, tepat sebelum tubuh Maharani ikut jatuh terkulai.

~~~~
Maharani mencoba membuka matanya. Kepalanya masih berdenyut-denyut, tangannya gemetar, sementara piyamanya basah oleh keringat dingin. Maharani mencoba melihat ke langit-langit kamarnya seraya menajamkan telinganya. Tapi tak ada suara apapun yang ia tangkap. Hening. Bahkan dengung kulkas yang biasanya terdengar pun kali ini sama sekali tak ada dalam jangkauan ruang dengarnya. Dengan perlahan Maharani bangkit dari tempat tidur, menurunkan kakinya ke lantai yang dingin. Ia melihat sekeliling kamar dan mendapati baju kantornya terserak begitu saja. Perlahan-lahan prasangkanya muncul di permukaan. Spontan ia memegang perutnya, rata. Tangannya semakin gemetar, matanya jadi terasa pedas karena berusaha menahan luapan air yang tiba-tiba menumpuk di layar matanya, menunggu untuk tumpah. Tangannya tak lagi memegangi perut, tapi memegangi jantungnya yang berdetak tak karuan. Mengapa begitu menyakitkan? Mengapa jadi lebih menyakitkan? Seharusnya ia tak boleh membiarkan hal itu terjadi. Demamnya, ini semua pasti karena demam sialan itu. Tak mampu lagi dibendung, airmatanya tumpah begitu saja. Seandainya ia bisa tetap tinggal di sana saja, tak perlu lagi mendapati kesepiannya yang begitu menakutkan. Tapi itu tak mungkin. Tubuhnya ikut bergetar seiring isakannya yang semakin dalam, sakit kepalanya tak lagi ia rasakan digantikan dengan bilah pisau kepedihan yang menyayat jantungnya. Maharani hanya tak ingin terbangun seperti ini.

*photo's taken from google*

Friday, 30 January 2015

i lost my right one...

“So, how was your holiday? Wasn’t it great, eh?” Maharani meletakkan gelas plastik berisi cairan kental berwarna cokelat dengan tambahan cream kental berwarna putih sebagai toppingnya yang dijual dengan harga agak di luar nalar, sejujurnya. Tapi Maharani hanya bisa tersenyum sinis mengetahui bahwa toh setidak masuk akal apapun, nyatanya ia ada di situ menyeruput cairan kapitalisnya melalui sedotan ukuran besar yang begitu kaku. Toh ia tetap membelinya, lebih kepada seperti ia menyewa kursi beserta meja dan tempat tersebut untuk bisa mengobrol santai dengan sahabatnya yang baru pulang berlibur. Juga termasuk tisu putih segiempat tanpa cela yang tak ketinggalan merek glamour si cairan cokelat tertulis di atasnya.

“Well, it was really fun though. I never knew that it will going so great, exciting, fun, oh whatsoever you called it lah. Rasanya seperti baru aja dicharger ulang, tau gak? Seperti hidup. I do really alive, I can even feel my blood running in my vein, my heart’s beat, it’s  more than great. I cant help my self from smiling everytime. Yah you know, you did it once, didn’t you?” Gadis di hadapannya memang terlihat begitu bahagia, itu tak bisa dipungkiri. Lihat saja, sejak tadi ia tak berhenti tersenyum, seolah baru saja menang undian ratusan atau bahkan milyaran rupiah.

“Yeah, I did. I really miss it, anyway. I miss my past life. Miss that feeling when I’m travelling around. But well yeah, c’est la vie, ma cherie.. You can have it all, but you can't have it all at the same time. You get the A, but in other side you have to let the B go. Nah jadi kemana aja kemarin? Asik banget kayaknya yah?”

“Banget lah… banyak deh, kayak yang gw laporin tiap hari ke lu itu lah… Resume-nya yaaaa, hmmm, gak menyesal sudah nekad pergi ke sana meski sendirian. Meski tadinya gw nervous karena yah ini Thailand loh, bukan Indonesia, bukan juga Singapore atau Malaysia yang masih banyak orang melayunya dan tulisannya pun masih jelas huruf Latin, bukan aksara kriwil-kriwil yang gw gak tau artinya apa. Tapi overall, gw bahagia banget bisa melakukan perjalanan itu kemarin. Lebih dari sekedar manis gurihnya Sticky Rice with Mango, atau asam pedasnya Seafood Tom Yam, ohh atau manis nikmatnya Mango Rotee, lebih dari itu…. Juga lebih dari sekedar mewahnya Grand Palace, lebih dari sekedar cantiknya Phi Phi Island. Sulit, nona. I cant find words to describe my feeling. Lebih dari itu semua. Karena gw bisa berhasil mengalahkan ketakutan gw, lu tau sendiri gw gampang nyasar, kemarin aja gw bergantung banget sama Gmaps. Hahahaha. Seru lah…”

Maharani tersenyum mendengarkan cerita sahabatnya yang begitu bersemangat. Ia juga tahu betul bagaimana rasanya, persis. Tiga tahun lalu ia juga berada di posisi itu. Terpaksa harus pergi sendirian karena sahabatnya itu harus menjalani ujian tepat pada saat seharusnya mereka sedang menikmati keindahan Phi Phi Island. Dengan sekuat tenaga mengalahkan rasa takutnya, ia pun berangkat sendirian, tak tanggung-tanggung pergi ke dua negara dan empat kota dalam waktu sepuluh hari. Pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan. Bahkan sampai pada detail paling kecil sekalipun.

“Eh udah ah, kok jadi cerita gw terus sih? Ini ceritanya lu masih kekeuh nih mau nyari itu sandal? Lu bukannya udah ngobrak-ngabrik mall se-Bekasi ya? Emang gak ada sandal lain gitu?” Maharani menghela napas mendengar cerocosan pertanyaan dari sahabatnya itu.

“What can I say lah? Lu tau, seperti yang udah gw ceritain, sebetulnya ini kayak semacam love at the first sight sih…” jawab Maharani asal, malas mencari alasan lain.

“Hahahaha, apaan deh. Sama sandal aja pake love at the first sight segala lu. Tinggal beli aja sih yang ada, ngapain juga nyari yang gak ada, lu sih apa-apa dibikin ribet sendiri. Lagian yang kawin kan sepupu lu? Bukan lu kan yak? Gak usah ribet-ribet dah.”

“Eh mulut lu ya… Gak gitu, nona. Pertama kali gw lihat sandal ini tuh rasanya gw langsung suka aja gitu… manik-maniknya, modelnya, hak-nya, semuanya deh… kayaknya yang lain jadi gak ada cantik-cantiknya lah dibanding sandal ini.” Maharani sekarang malah sudah melamunkan sepasang sandal cantik yang sampai sekarang tak bisa ia temukan.

“Gw udah kelilingin nih mall se-Bekasi, gak ada di mana-mana. Haruskah gw ngelilingin mall di Jakarta?”

“Hahahaha, mulai lebay deh… emang bagus banget yah? Harganya berapaan, nona?” kini bahkan sahabatnya mulai penasaran dengan sandal yang sedang sibuk menari-nari di benak Maharani.

“Bagus banget.. Ehh, harganya yah, ehmm, lumayan sih… aslinya gopek, diskon sepuluh persen, hehe. Cuma sayang, ukuran gw gak ada. Kan, mengecewakan.”

“Muahahahaha, lagak diaaaa… ngapain lu beli sandal harga gopek dah? Itu sandal mau lu pake kemana? Kawinannya di Hotel Mulia? Atau Balai Sarbini?”

“Ih nyinyir dah… Kawinannya di lapangan doang sih, jadi di deket rumahnya ada lapangan luas gitu deh, biasa dipake buat resepsi gitu, tinggal pasang tenda aja.” Maharani menjawab sambil menyeruput minumannya yang sudah tidak dingin lagi.

“Lah, kan… udah deh, nyerah aja lah, pake aja sandal lu yang ada. Atau beli aja sandal murah-murah kan banyak tuh… Gopek mah mending buat kita jalan-jalan ke mana kek gitu, beli tiket pesawatnya atau keretanya.. Gak penting deh beli sandal harga segitu.”

“Hoooh… ya tapi gw kebayang-bayang terus sama sandal ini.. gimana dong? Kayak lu gak pernah aja gila sama sandal?” dengan bibir manyun, Maharani menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi empuk yang sudah hampir satu jam ini ia duduki. Ternyata memang mengobrol itu membuat lupa waktu.

“Lahh, emang gak pernah dah… I still have my mind, and the last I checked it’s still on the right track anyway…”

“Eh, did you ever hear one English proverbs that say, ‘every shoe has its own pair’? Jangan-jangan, gw ini sepatu kiri, dan temen lu yang lagaknya lima juta itu adalah sepatu kanannya? Karena itu, bagaimanapun gw coba, gak bisa cocok dengan yang lain, yah bukan pasangannya kok.” Maharani yang sejak tadi melamunkan sepasang sandal cantiknya, kini tiba-tiba berubah arah.

“Hadeuh, bahas itu lagi… Move on lu apa kabarnya ya, nona?”

“Move on kok gw. Santai atuh. Ini kan cuma permisalan. Gimana misalnya kalau gw ini sepatu, a customized one malah, yang bikinnya emang beneran diukur kakinya, bukan sekedar ukuran standar. Yang desainnya juga cuma untuk sepatu itu aja, yang manik-maniknya unik dan antik, yang eh yah cuma ada buat sepasang itu aja. The real customized handmade pair of shoes. Yang bahkan gak akan bisa ditemuin pasangannya di manapun lagi, kecuali pasangannya sejak mula-mula, yang dibuat memang untuk jadi sepasang, kayak uhmm sepatu-sepatunya Niluh Djelantik itu loh.. Tau kan? Atau ekstremnya lagi, kayak sepatunya Cinderella yang bahkan gak ada dua-nya di dunia. Nah lu kalau pake sepatu lain sebelah, even yang customized kek yang standar kek, emangnya nyaman? Enggak kan? Maksud gw,..,”

“Ah udah deh, there’s no such thing like that. You are human, so be a human, not a shoe or whatsoever. It’s enough ya, you’re not a shoe. Neither he is. Dan kalian, kalau memang kalian ditakdirkan untuk jadi sepasang, ya let see then. But for now, he’s just your past, so move on. Lagipula, sepatu Cinderella itu emang gak bakalan ada dua-nya di dunia, wong satu pasang aja gak ada kok. Itu khayalan, kha-ya-lan. Wake up dong.. jangan kayak anak umur lima tahun yang masih percaya kalo labu bisa berubah jadi kereta dan upik abu bisa jadi ratu.” Sahabatnya langsung memotong perkataan Maharani yang mulai mengarah pada topik yang tidak jelas solusinya. Bukannya tidak ingin mendengarkan, hanya saja yah memang tidak ada gunanya lagi membicarakan hal yang sudah jelas duduk perkaranya.

“Ish, iya iya,,, yaudah lah.. Lupakan saja, gw kadang suka ngaco sih memang.. Tapi omong-omong, kalo sepatunya Cinderella emang bener-bener pas di kakinya, which is like we and the rest of people in the world, know that it’s made for her, only her feet that fix with that damn shoes, why did it fall off then? Why?”

“Hahahaha… Mana gw tau lah? Peduli amat sama Cinderella dan sepatu kacanya yang gak eksis itu. Lagi pula, gw gak pernah dengar kata-kata tadi itu. ‘Every shoe has its own pair’. Dari mana lu dengar itu? Aneh. Yang gw tahu ya, ‘Try to put yourself in my shoes’ ya bukan?”

“Hahahaha bukannya yang bener itu, ‘Life is short, buy the damn shoes!’ setuju kagak?”

“Iyuhhh, belanja lagiiiiii,,, kagak setuju, gw bangkrut nih…”

“Beuhh, tau deh yang baru pulang pelesiran sampe bangkrut…. Hahahahah” Hari sudah mulai sore ketika kedua sahabat keluar dari kedai kopi yang semakin ramai dengan pengunjung. Suatu paradoks yang lagi-lagi membuat Maharani tersenyum sinis, merasa heran melihat yang akhir-akhir terjadi. Bahkan terlalu banyak terjadi hal-hal yang sepertinya saling bertentangan. Entahlah, mungkin orang-orang sudah terlalu lama tidak mendapat hiburan. Atau mungkin seperti yang akhir-akhir ini juga sering ia dengar, ‘Mungkin mereka cuma kurang piknik’. Hahahaha, jadinya ia juga menertawakan diri sendiri yang mungkin saja juga kurang piknik. Entahlah.

P.S.: Picture taken from Google