Kalau ada orang yang bertanya padaku apa itu cinta, maka aku akan menjawab tanpa ragu. “Cinta itu persahabatan”. Ya, begitulah. Bagiku cinta itu persahabatan. Persahabatan yang tak lekang oleh waktu antara aku dan dia, seorang laki-laki yang kunikahi lima tahun lalu, seorang laki-laki yang ku kenal sejak kami masih berputih biru bahkan di hari pertama, seorang laki-laki yang sudah menjadi sahabatku sejak aku mulai menjejak masa remaja yang penuh dengan warna warni, ya dialah suamiku, Ardi Pradana Yuwawira. Seorang laki-laki yang kuserahi sepenuhnya hatiku padanya. Yang kuminta memegangi hatiku yang kadang kelewat rapuh untuk selalu dijaganya. Yang ku terima ajakannya untuk memenuhi cangkir teh kami bersama sampai akhir waktu.
Persahabatan kami amat manis meskipun sebenarnya biasa saja. Ya, biasa saja. Hanya sebuah persahabatan yang wajar, bukan persahabatan seperti dalam sebuah cerita sinetron yang seringnya kelewat berlebihan. Kami sama-sama dari keluarga baik-baik, jadi tak ada kasus salah satu dari kami pernah mencoba bunuh diri karena frustasi dengan masalah keluarga atau apalah itu seperti dalam film-film itu. Kami juga termasuk anak-anak baik yang sesekali bandel tapi masih dalam batas kewajaran.
Persahabatan kami masih terus berlanjut karena kami masuk ke sekolah menengah atas yang sama bahkan kami masuk ke universitas yang sama meski berbeda jurusan. Mas Ardi yang sebenarnya bercita-cita menjadi seorang tentara yang kelak akan membela tanah air dan berjuang untuk mempertahankannya bahkan sampai tetes darah penghabisan terpaksa harus mengalah dengan tatapan lemah lembut dari ibunda tercinta yang tak memberinya ijin atas cita-citanya itu. Alih-alih ingin tetap berbakti pada negara, Mas Ardi mengambil jurusan kedokteran sedangkan aku memilih mendalami psikologi karena aku begitu menyukai kegiatan memperhatikan sifat orang-orang juga segala sesuatu yang berkaitan dengan itu.
Meski begitu kami masih selalu saling mendukung. Kegiatan kami bersama pun masih sama, berlari pagi setiap sehabis subuh [untuk yang ini Mas Ardi lah yang menulariku, karena dia memang sangat suka berlari pagi], menonton pertunjukkan sendratari setiap Minggu di keraton atau sesekali pergi ke pantai, bermain sepakbola setiap Sabtu sore [tentu saja aku hanya menontonnya], atau sekedar bermain nintendo bersama di rumahku tiap kali kami pulang ke rumah. Ah ya, rumah kami hanya berjarak beberapa blok saja dan karena aku yang punya nintendo maka Mas Ardi lah yang lebih sering main ke rumahku. Well, kedua adikku laki-laki, dan mereka berdua berhasil merayu mama untuk membelikan mainan itu.
Awalnya kami sama-sama tak pernah membahas tentang apakah kami saling jatuh cinta satu sama lain, yah karena kami masing-masing punya pacar meski kemudian sama-sama putus. Sampai suatu pagi saat kami sedang sarapan bubur setelah lari pagi, tiba-tiba Mas Ardi menatap lurus ke dalam mataku, tersenyum simpul dan berkata kalau aku adalah satu-satunya wanita yang tidak ingin dia kecewakan selain ibunya. Berkata kalau aku adalah satu-satunya wanita paling pintar sekaligus paling ngeyel yang pernah dia kenal. Berkata kalau dia selalu berusaha untuk bisa berhasil dalam segala usaha yang dia lakukan terlebih bila aku mengetahuinya. Berkata bahwa akulah teman terbaiknya selama ini. Untuk sejurus kemudian bertanya apakah aku mau menjadi sahabatnya seumur hidup, sepanjang sisa hidupnya.
Aku hanya bisa terdiam sambil menopang wajahku dengan kedua telapak tangan yang sedari tadi tertopang di atas meja yang memisahkan kami. Selang lima detik aku masih terdiam memandangi mukanya yang mulai memerah sampai akhirnya aku tersenyum dan mengangguk. Ya, aku mengangguk mengiyakan. Mas Ardi sahabatku, sahabat terbaikku, jadi dia memang pilihan terbaik untuk ku jadikan teman menapaki perjalanan panjang yang membentang di hadapan kami, partner terbaik untuk menyusun tiap keping puzzle kami yang masih belum terkumpul dan terbentuk sempurna. Sejak saat itulah aku menambahkan panggilan “Mas” di depan namanya meski kami seumuran.
Pernikahan kami berjalan lancar tanpa satu halangan yang dilangsungkan setelah kami sama-sama lulus kuliah, Mas Ardi bahkan sudah mendapat gelar dokternya. Bila ada yang bertanya siapa pengantin wanita paling bahagia di dunia, maka itu adalah aku. Aku lah pengantin wanita yang paling berbahagia. Kami tak memerlukan waktu untuk penjajakan lagi karena kami memang sudah amat saling mengenal, dan dengan penuh kesadaran kami memang saling menyayangi meski awalnya hanya sebagai sahabat dengan cepat kami saling mencintai sebagai kekasih.
Kami memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah mungil yang kelak akan ramai dengan celoteh anak-anak kami. Rumah mungil yang cukup asri dengan sepetak kecil halaman yang ku penuhi dengan pohon dan bunga-bunga, yang kami cicil bersama. Ah ya, tentu saja, kami khan gak mungkin bisa membelinya dengan cash bukan, jadi kami mencicil. Dan kami sepakat kalau membeli rumah lebih baik ketimbang mengontrak sebuah rumah. Rumah mungil kami dengan warna cat yang berbeda di tiap ruang, menghadirkan suasana yang ceria ditambah dengan harum melati yang terkadang ikut terbawa masuk karena angin yang berhembus ke dalam. Mas Ardi berpendapat bahwa cinta kami seperti melati, sederhana, putih dan lembut seperti harum bunga ini jadi aku menanamnya di halaman kecil kami.
Setiap habis subuh kami masih selalu berlari pagi dan setelahnya sarapan berdua sambil sesekali mengomentari tayangan yang kebetulan ada di layar televisi, seringnya kami hanya sarapan sambil mengobrol saja. Setelah itu Mas Ardi berangkat ke rumah sakit umum daerah tempat tinggal kami untuk bekerja. Sedangkan aku berangkat ke kampus, melanjutkan program studi S2 bidang profesi psikologiku. Terkadang bila tak ada kuliah aku mampir ke kantor mbak Desi, kakak kelasku yang sudah punya biro konsultasi sendiri. Mampir untuk sekedar membantunya atau hanya memperhatikannya menangani klien-kliennya, belajar banyak hal darinya.
Terkadang bila kami sama-sama punya waktu luang maka kami akan menyempatkan untuk makan siang bersama. Bila tidak sempat ya terpaksa kami makan di tempat masing-masing. Sore hari kami bertemu lagi di rumah, biasanya aku sudah pulang lebih dahulu, memasak sambil menunggu Mas Ardi pulang. Malamnya kami makan malam bersama setelah sholat berjamaah dan mengaji bersama, saling menanyakan kabar masing-masing, berbincang tentang bagaimana hari ini berlalu, dan juga berceloteh tentang mimpi-mimpi kami yang belum terwujud. Kadang aku merindukan saat-saat seperti ini mana kala Mas Ardi harus jaga malam di rumah sakit. Malam jadi terasa lebih panjang tanpa Mas Ardi di sampingku. Tapi kami selalu bisa melewatinya, kami sama-sama tahu itu sudah jadi pekerjaan yang harus dijalani oleh Mas Ardi.
Ketika akhir pekan kami masih seperti dulu, melakukan berbagai hal yang dulu sering kami lakukan, meski sekarang kami jadi mengganti acara menonton sendratari dengan sesekali menonton film di bioskop. Kami juga masih sering bermain PS bersama, yeah kami tak bisa lagi memainkan Nintendo usang milik adikku jadi kami membeli PS2 dengan game yang lebih beragam dan mengasikkan. Setiap dua minggu sekali kami juga mengunjungi ibu bapak bergantian dengan mengunjungi mama papa. Bila kebetulan Mas Ardi sedang bermain futsal bersama teman-temannya dari rumah sakit, aku juga ikut menonton sambil membawa berbagai makanan kecil yang memang sengaja kubuat untuk kami semua. Tak heran bila aku mengenal hampir seluruh teman kerjanya. Selain aku, ada juga beberapa istri dari teman-temannya yang juga ikut menonton, jadi setidaknya aku punya teman ngobrol selama kegiatan menonton itu.
Kehidupan kami begitu indah meski sederhana. Mas Ardi begitu perhatian dan mencintaiku meski dia tak pernah bisa mengungkapkannya dengan cara yang romantis. Sejak tahun pertama kami menikah Mas Ardi sudah sibuk dengan rencananya tentang anak-anak kami kelak. Dia ingin anak pertama kami adalah laki-laki dan aku menyetujuinya, meski aku juga tetap ingin anak perempuan. Mas Ardi bercita-cita agar anak laki-lakinya nanti bisa menjadi seorang tentara mewujudkan mimpinya dulu, sedang aku tentu saja tak setuju. Tapi kami sama-sama setuju bahwa memperdengarkan alunan bacaan Al-Qur’an sejak kehamilan lebih utama sebelum musik-musik klasik dengan Mozart dan Bach-nya, walaupun setiap pagi Mas Ardi tak pernah lupa memutar Canon in D Mayor – Pachellbel-nya. Ya, dia memang amat menyukai lagu yang satu itu, katanya nadanya riang dan mengalun indah memberi semangat.
Tentang anak perempuan kami, kami sama-sama setuju untuk memasukkannya ke sanggar tari jawa klasik, agar dia bisa kenal dengan budayanya sendiri dan ikut melestarikannya. Meski begitu kami tetap akan memberinya kebebasan juga tentang hobi apa yang memang dia sukai. Yah, begitu lah, kami selalu suka membicarakan berbagai mimpi itu meski sampai tahun ketiga pernikahan, kami belum juga dikarunia seorang pun malaikat kecil yang meramaikan rumah mungil kami. Tapi Mas Ardi selalu menenangkanku, selalu berkata bahwa nanti akan datang pada waktunya bila Allah sudah mempercayai kami untuk merawat salah satu malaikat kecilNya. Bahwa itu tak mengurangi sedikitpun cintanya padaku, bahwa beberapa temannya juga baru memiliki anak setelah lima tahun pernikahan, dan itu biasa terjadi. Aku mempercaiyainya dengan sungguh, walau dalam hati terkadang aku masih saja sedih memikirkannya.
Kami menjalani hari dengan penuh cinta dan kasih, keseharian yang biasa saja, dengan rutinitasnya yang juga kadang membuat bosan. Tapi kami selalu menikmati hidup kami, mensyukuri tiap karunia yang dilimpahkanNya kepada kami. Kami begitu saling mencintai satu sama lain meski kadang juga bertengkar tentang hal remeh temeh, tapi itu adalah hal yang biasa dalam suatu rumah tangga. Kami hanya lah suami istri kebanyakan, yang ikut mengalir bersama harmoni kehidupan yang terus berjalan. Kisah kami hanyalah kisah cinta yang manis, namun biasa saja. Ya, biasa saja, tak berlebihan seperti kisah-kisah di sinetron atau film layar lebar seperti yang ku katakan sebelumnya. Dan ya, kami menikmati kisah kami yang manis ini. Persahabatan sepasang kekasih, persahabatan seumur hidup yang manis dan biasa. Yang kadang suka,kadang duka, kadang senang kadang sedih, tak jarang juga cemburu. Cinta kami hanya cinta biasa.
Namun itu semua terhenti terjadi sejak dua tahun lalu, sejak pagi dimana aku menemukan suamiku tidur untuk selamanya di sisi sebelah ranjang kami. Terhenti sejak pagi itu, pagi aku membangunkannya namun Mas Ardi tak juga bangun. Tetap tertidur dengan senyum di wajah teduhnya, tersenyum padaku yang panik membangunkannya. Setelahnya aku tak mampu lagi mengingat, aku kalang kabut keluar rumah berteriak pada siapa saja yang kebetulan kutemui. Pagi itu Mas Ardi dimakamkan, beristirahat untuk selamanya di peristirahatannya yang terakhir. Mas Ardi pergi tanpa mengajakku. Meninggalkan aku sendiri dengan segala mimpi kami yang menggantung memenuhi seluruh ruang di rumah mungil kami. Dan aku hanya mampu berdiam diri di kamar, kamar kami yang dulu hangat dan penuh cinta. Berdiam yang bukan hanya sehari atau dua hari, tapi sudah dua tahun berlalu. Dan aku bukan tak tahu bahwa yang kulakukan adalah salah, aku khan sarjana psikologi, aku bahkan tahu kalau seharusnya aku bangkit. Mama papa, ibu bapak, dan seluruh saudaraku juga saudara Mas Ardi tak pernah lelah membujukku, tapi aku tetap berdiam. Takut keluar dari tempatku yang dingin ini, takut menghadapi tiap mimpi kami yang berceceran dimana-mana. Aku sendiri, dan hanya berdiam, meratapi pagi yang kelabu itu. Dan aku masih berdiam.
~~ooOoo~~
P.S.: Well, awalnya saya cuma mau bikin satu cerita pendek tentang sebuah kisah cinta yang manis tapi biasa aja, ya udah cuma cinta yang emang kebanyakan kita temui sehari-hari. Bukan biasa dalam artian harfiah tapi biasa yang ya gitu, cinta yang berjalan dengan apa adanya tanpa ada begitu banyak hal dramatis yang kadang berlebihan diceritakan dalam sebuah sinetron. [Saya tidak mengatakan bahwa tak ada kisah cinta yang luar biasa, kisah cinta seperti itu juga pasti ada, dan banyak juga tapi tentu aja gak seperti kisah cinta dalam sinetron-sinetron jaman sekarang yang menurut saya terlalu mengada-ada.] Tapi ternyata saat saya berhenti pada kata “biasa” di akhir paragraf sebelum paragraf yang terakhir itu, saya jadi gak bisa menahan diri untuk menambahkan satu paragraf lagi.
Ya, satu paragraf yang membuat cerita manis namun biasa dan datar saja ini menjadi sebuah cerita dengan sad ending. Membuat seorang wanita bahagia [yang tak bernama karena memang sengaja gak saya kasih nama sih, haha] yang mempunyai kehidupan yang indah meski sederhana dan biasa saja menjadi seorang wanita yang menyedihkan dan kehilangan arah.
Ya, seharusnya saya bisa menahan keinginan saya. Seharusnya saya tahu kapan saya harus berhenti. Dan seharusnya saya berhenti pada tanda titik setelah kata “biasa” di paragraf itu, bukan malah membuat satu paragraf baru yang membuat cerita ini menjadi cerita sedih. Dan itu membuat saya menyadari bahwa terkadang kita harus berhenti dan merasa cukup pada sesuatu hal sebelum hal itu berubah menjadi sesuatu yang buruk. Begini, maksud saya adalah setidaknya kita tahu kapan kita harus berhenti saat kita merasa sesuatu akan berubah menjadi buruk. Nah udah, seperti sekarang, saya harus berhenti menulis dalam tulisan ini karena saya sudah terlalu banyak bicara. Dan terimakasih karena menyempatkan untuk membaca tulisan saya ini. Semoga tidak membuang waktu anda dengan percuma.
Selamat hari Jumat!
Semoga hari ini menyenangkan! :D
HAPPY WEEKEND!!!
HAPPY WEEKEND!!!
INi kisah sendiri kah ??
ReplyDeleteAtau cuman cerita pendek ??
Panjang banget,,,,,
%_%
yaaah
ReplyDeleteketauan deh kagak dibaca sampe abis, khan itu saya bilang euy kalo itu "saya mau bikin cerita pendek bla bla"
hehe..
tapi gak apa kok, makasi udah mampir
dan ya gitu, emang saya sukanya nulis panjang begitu, haha..
bener tuh. anak sekarang kadang begitu mendramatisir perasaan karena terpengaruh sinetron. kalo dah banyak korban, bakal jadi haram juga kali yak..? hehehe
ReplyDeleteWaduh panjang bener ni ros..tahun brapa tu kok mash ada netendo?hehehe
ReplyDeleteNtr blik lg dah blm tntas menyimaknya...salam sukses
wah, bisa jadi cerber nih. keren juga
ReplyDeleteWah...kenapa tuh ? tidur sampai ngga bangun2, jangan2 semalam salah kasih obat...hehehe. Mantap cerpennya tapi endingnya menyedihkan...hiks...hiks..
ReplyDeleteSalam hangat & sehat selalu...
Wah kupikir kisah nyata tadi baca dari awal sampai akhir.. Pas baca P.S nya he he baru nyadar.. Habis seperti meresapi sih :).. Untunglah bukan kisah nyata semoga kisah nyata mbak benar-benar happy ending.. Happy weekend juga ya
ReplyDeletecerpen di blog ini jga...
ReplyDeletetrus blog yg khusus cerpen gmana??
hehehe
kyaaa... akhirnya setelah me refresh mozila5 kali muncul jg kotak komennya..
ReplyDeletetadi pagi uda refres belasan kali tp nggak keluar2.. huh.. maklum.. tinggal di pedalaman.. hehe
kirain ini kisah nyata lho, soalny nama si suami lengkap bgt. eh cerpen.
knapa gak happily ever after?? huff.. sedih.. T.T
cinta adalah kebahagiaan . dimana kita selalu tertawa bahagia bila di dekatnya , hee(:
ReplyDeletedianauroradiaries.blogspot.com
T__________________________________T
ReplyDeleteendingnya sedih banget
kasihan si ibunya..........................
eh jangan salah, cinta yang biasa tanpa dibuat-buatlah cinta luar biasa yang sebenarnya :B)
ReplyDeleteCinta persahabatan itu lebih abadi ketimbang cinta kepada kekasih
ReplyDeletebeneran..aku merasakan itu..
kirain tadi kisah nyata (a.k.a kejadian langsung dialami sang penulis) hehehh
ReplyDeleteklo ngomongin cinta mang gk ada abisnya yaak, cinta itu abstrak yg pnya sejuta makna
anyway ajarin buat cerpen dunks :D
wah... panjang banget, saya lagi diwarnet.. jadi saya copy dulu ke flash disk ya... baru dirumah dibaca... :-)
ReplyDelete(mungkin) kaLo hanya menggunakan perasaan aja bisa jadi kaya begono, cinta tak tergantikan oLeh apapun kayak di sinetron-sinetron. yah seoLah Lebay banget gitu deh, hehehe...
ReplyDeleteseLamat berakhir pekan yah.
waaahhh,,,hari2 selalu menyenangkan mbak,,
ReplyDeleteumy turut berduka mbak atas 2 tahun yang lalu itu,,
umy harap mbak bisa tabah ya,,,
sayangi anak,,,
Kisah akhirnya sedih ni..hikz..hikz
ReplyDeleteUntung aja bukan pengalaman pribadi ya ros...ini kisahnya mash bersambung ngga?
Keren loh..met malaming
nice story sis :')
ReplyDeleteSeperti biasa.. always long writing.. :)
ReplyDeleteKeep writing, dan .. saya lebih memilih happy ending dounk..... :)
saat smu aku suka sekali nulis cerpen dengan sad ending karena bagiku dalam nyata tidak ada yg bener2 bahagia hal tu cm ada di sinetron hehehe
ReplyDeletewah lama enggak berkunjung kesini, tetap semangat yaaa mbak :)
ReplyDeleteKisahnya sedih.... :((
ReplyDeleteBTW, kenapa cerpen ini gak diikutkan dalam lomba menulis cerpen yg diadakan mbak Fanny..? Cerpennya bagus lho.
huaaaaaaa :(( bagus banget. menyentuuuh.
ReplyDeletewah cerita pendek yang gak jadi pendek yah? Hehe...kok gak ikutan lomba cerpen di blognya Fanny?
ReplyDeletepanjangnye..
ReplyDeleteudah baca doong di note wehehehehe
ReplyDeleteCintanya biasa tapi akibatnya luar bias
ReplyDeletesalam kenal :)
ReplyDeleteDirimyu emang jago yah Say bikin cerpen! bagus banet loh :-)
ReplyDeleteBtw maap yah baru sempet main kesini. Setengah bulan bo ekye ga ngeblog. Bu Bunting lagi sibuk neh ceritanya
Kiss kiss buat Aunty Ros dari Zahia. Mmmuuaaaaccchh
oot : boleh aja disebutkan keterangannya utk kalimat atau kata tertentu. ditunggu ya. jangan lupa pilihan novel yg menentukan juga. lihat kompetitormu pilih novel apa. tks ya
ReplyDelete