Ketika kita tahu bahwa waktu kita sudah lama habis, bukan berarti kita tak bisa lagi melaksanakan apa yang pernah direncanakan bukan? Begitulah. Kita sungguhan sama persis dalam berbagai hal. Bahkan sampai pada kesepakatan kita sama-sama akan tetap datang pada hari yang sudah kita tentukan bertahun yang lalu sewaktu kita duduk dengan kaki menjuntai ke bawah khusyu menikmati matahari yang akan tumbang di ujung barat langit sore itu. Aku ragu, ragu untuk bertanya padamu tentang rencana usang kita yang sudah tak relevan lagi. Mencoba meraba hatiku yang retak sejak siang kelabu itu, siang kita memutuskan bahwa kisah kita memang hanya sampai pada lembaran yang itu-itu juga. Bahwa kita tak lagi mampu berjalan bersisian lagi, bahwa langkahmu jadi semakin cepat dan aku semakin kesulitan berlari mensejajarimu. Dan aku, entah, aku sepertinya tahu bahwa hatimu pun retak. Retak yang aku sendiripun tak mampu lagi mengenalinya.
Aku sudah cemas sejak sehari sebelumnya kamu tak juga mengirimkan konfirmasi apapun padaku mengenai rencana kita itu. Dan tanganku kelewat gemetar hanya untuk sekedar mengirimkan satu pertanyaan itu. Jadinya aku malah tak bisa tidur, aku berguling kesana kemari, mencoba menghitung domba-domba. Tapi itu sia-sia saja. Aku mulai bermain ABC lima dasar* yang selalu kita mainkan bersama manakala kita sudah kehabisan ide akan melakukan apalagi. Aku mencoba menebak sebanyak mungkin kota yang berawalan huruf A atau nama pulau yang berawalan huruf S, dan aku juga melewatkan huruf Q, sama seperti kalau kita sedang memainkannya bersama. Ya, kita tak pernah bisa menemukan nama makanan apa yang dimulai dengan huruf Q. Tapi ternyata itupun sia-sia. Aku malah jadi pusing memikirkannya. Dan juga karena tak ada kamu yang selalu saja menyerah cepat-cepat sebelum merasa pusing dan melanjutkan pada huruf berikutnya. Sedangkan aku, kamu tahu aku selalu saja memikirkannya.
Mataku masih nyalang malam itu, ketika jam digital di samping tempat tidurku menunjukkan pukul dua pagi. Akhirnya aku berketetapan hati, aku tetap akan berangkat ke tempat itu. Entah kamu akan datang atau tidak. Aku hanya akan berangkat ke sana. Dan semoga hitunganku tidak salah. Purnama kelima setelah bulan biru pertama kita ada di tempat yang terpisah jarak dan waktu. Semoga kamu pun tak salah menghitungnya. Aku bahkan sudah mengambil cuti untuk tiga hari, sejak sebelum hari rencana pertemuan kita sampai Senin berikutnya. Bulan May, hari keduapuluhtujuh tahun duaribusepuluh. Akhirnya aku mampu terpejam setelah berkali-kali berdoa dalam hati semoga kamu pun tak salah menghitungnya, dan tetap datang ke sana.
Paginya dengan tubuh yang sedikit meriang, karena aku baru bisa tidur setelah pukul empat yang bahkan aku tak konsentrasi sewaktu melaksanakan sate[saat teduh], mencoba menopang diriku agar bisa berdiri tegak. Melihat tasku yang sudah selesai dipacking sejak kemarin siang membuatku teringat padamu lagi. Bagaimana kamu menyuruhku untuk membeli tas punggung saja dan bukan tas seperti punyaku sekarang yang akhirnya memang membuatku susah sendiri. Yah, bulan depan mungkin aku akan membeli tas punggung.
Aku akan datang kesana, tanpa kepastian apakah kamu juga akan ke sana atau tidak. Tapi jauh di lubuk hatiku aku yakin kamu akan datang, karena semoga saja kamu masih seperti yang ku kenal dahulu. Seorang yang selalu menepati janjinya. Yah, meskipun sebenarnya sudah tak ada lagi yang bisa kita perbaiki dari ini semua. Iya, kita sama-sama tau kalau hubungan kita tak pernah buruk, kita selalu saja mampu melewati hal bersama dengan baik. Hanya saja dasar dari hubungan kita ini lah yang kemudian tak bisa lagi menopangnya dengan kuat.
~~ooOoo~~
Tempat ini masih sama seperti bertahun lalu ketika kali pertama kita menjejakkan kaki di sini. Rasanya baru kemarin, tapi ternyata sudah jauh berlalu di belakang punggung kita yang kadang kelewat sibuk hanya untuk sekedar menoleh sejenak. Masih sama, bahkan udara yang ku hirup seolah masih seperti waktu itu, udara segar bercampur aroma parfum kesukaanmu. Dan aku seperti bisa merasakan bahwa kamu memang di sini, di tempat ini, dekat denganku. Bahwa kamu tidak salah menghitung tanggalnya, dan kemudian datang ke sini melaksanakan rencana kita yang usang itu.
Awalnya aku ingin segera mencari penginapan demi menurunkan segala bawaanku yang meskipun tak terlalu banyak tapi cukup membuat pegal kedua tanganku. Tapi aku keburu melirik pantai itu, pantai dengan pasir putihnya yang bersih. Jadinya aku malah berjalan menyusuri pantai untuk kemudian memutuskan duduk sejenak, melamunkan tentang banyak hal yang kebanyakan berlabel "kita di masa lalu". Entah lah, mungkin karena aku tak punya cukup keberanian untuk berkhayal tentang hal yang mungkin berlabel "kita di masa depan". Aku tak punya cukup keberanian untuk mereka-reka, atau mungkin hanya karena aku cukup tahu bahwa label itu memang hanya sebuah konsep yang hampir mustahil mampir menempati ruang lowong antara aku dan kamu. Sesuatu yang jauh, jauh dan tak terjangkau. Jadi lebih baik bila aku hanya melamunkan bagaimana dulu kita bisa bersama, tertawa dan menangis bersama, tergelak sampai hampir merasa bodoh dan membiarkan orang-orang menganggap kita adalah makhluk planet antah berantah yang sedang plesir di bumi mereka. Ah, itu manis sekali ku kira. Manis, bahkan manisnya masih terasa sampai sekarang.
Hari hampir sore ketika aku memutuskan untuk mencari penginapan, aku lupa bahwa aku belum makan sejak pagi tadi. Iya, aku hanya bisa menghabiskan sepotong roti yang diberi oleh si pramugari sebagai snack perjalanan tadi. Aku kelewat gugup menjalani hari ini, purnama kelima setelah bulan biru pertama, dan itu adalah malam ini. Ku harap kamu tak salah hitung. Dan mau datang. Entah berapa juta kali aku merapal doa ini dalam hati sejak kemarin pagi.
Dan itu, aku sudah terduduk menghadap matahari yang hampir tenggelam ditelan lautan. Aku duduk persis sama di tempat kita menunggu sunset kala itu, di tempat kita duduk menjuntaikan kaki ke bawah, tempat dimana tak sengaja sandalku melorot jatuh. Iya, tentu saja aku yang mengambilnya sendiri. Senja ini, matahari sempurna ditelan lautan. Aku tenggelam ke dalammu. Iya, kita sama-sama tergelak ketika itu. Ketika menyadari nama kita yang bisa saling bertautan tanpa sengaja senja itu.
"Ra.. Matahari.. Gracia Ra Jingga. Anugerah berupa matahari jingga."
"Iya.. Matahari Jingga. Waktu itu mataharinya jingga. Dan buat kedua orangtuaku aku ini anugerah tak terkira yang diberi Tuhan buat mereka. Emang kenapa?"
"Kamu tenggelam ke dalamku."
"Eh? Kok bisa?"
"Namaku, kamu lupa? Nero Purnama yang artinya air saat purnama. Nero itu khan artinya air kalo di bahasa Yunani. Dan kamu tau khan kalo tiap kali purnama, air laut selalu pasang. Sama seperti sekarang, nanti malam purnama, air laut sedang pasang dan matahari tenggelam sempurna ke dalam lautan. Kamu tenggelam ke dalamku. Matahari tenggelam ke lautan.""Haaa, iyaaa... Keren yah nama kita... Tapi aku lahirnya menjelang pagi kok yeee... Haha"
"Ya sama aja, yang penting khan sekarang mataharinya jingga tuh. Dasar sipittt"
"Yee, malah ngatain aku lagi..."
Dan kita seperti terhipnotis pemandangan yang begitu indah waktu itu. Seperti senja ini, aku tenggelam ke dalammu, sekali lagi. Dengan sempurna. Hanya saja kamu tak di sampingku sekarang. Tapi lagi-lagi, sepertinya aku selintas lalu mencium aroma parfum kesukaanmu. Atau mungkin saja ada orang lain yang juga menggunakannya. Entahlah.
Apa kamu ingat tentang cidomo yang mengantarkan kita mengejar sunset senja itu? Aku memang sudah tak ingat cidomo yang mana, hanya saja melihatnya di sekitar sini jadi membuatku teringat lagi. Tapi alih-alih menggunakan cidomo, aku malah menyewa sepeda untuk sampai di sunset bar ini. Yah, aku sendirian dan lebih praktis bila aku menyewa sepeda saja. Dan aku berkeliling di sepanjang jalan itu, jalan yang melewati sebuah komplek villa bagus yang pernah kita kicaukan dan khayalkan kapan bisa mencoba menginap barang semalam di tempat mahal itu. Tapi aku hanya melihatnya sekilas, melengos kembali ke jalan dan terus mengayuh sepeda sampai ke penginapan.
Tak banyak yang ku lakukan di penginapan, tentu saja, karena aku ke sini bukan untuk duduk di dalam kamar semalaman. Hanya mandi lalu bersiap menikmati purnama di pinggir pantai itu, sama seperti bertahun yang lalu. Meskipun kini mungkin aku hanya akan menikmatinya sendiri, purnama dan langit berbintang yang kelewat luas sekaligus indah hanya untuk dinikmati sendirian. Iya, indah, indah dan ironis. Mengapa sesuatu yang begini indah hanya ku nikmati seorang diri. Cepat-cepat ku gelengkan kepala, mencoba mengusir perih yang sempat berkelebat di dalam sini, agar segera hilang dan tak kembali meski untuk satu malam ini saja. Bukankah kita sudah berjanji untuk menikmati purnama ini meski hanya sendirian? Dan bila yang lain tak datang maka yang lainnya tak boleh menanyakan "mengapa". Iya, kita sudah sepakat.
Aku di sini, memandangi bulan yang sempurna bundar, terang cemerlang dengan halo berwarna cerah mengelilinginya. Bahkan purnama ini berhalo kembar. Bintang pun tak malu-malu nampak menghias langit yang cerah tanpa tersaput awan sedikitpun. Semesta malam ini seolah berkonspirasi untuk memberiku pemandangan indah tak terperi. Seandainya saja.. Seandainya...
Dan belum selesai aku berandai-andai, bagai mimpi yang jadi kenyataan, kamu, kamu duduk di sebelahku. Langsung bersila seolah tau aku sudah menunggumu sejak tadi.
"Udah lama, Ra?" tanyamu santai sambil membetulkan posisi dudukmu.
"Hmmm, belum juga. Kamu?" jawabku tak kalah santai.
"Oh, aku sampe tadi siang, trus jalan-jalan sebentar, cari penginapan, lihat sunset di sunset bar itu. Bagus banget tadi sunsetnya..." kali ini kamu menghela nafas sambil melihat ke sekeliling.
"Iya, bagus banget. Tadi aku juga lihat di sana."
"Oh ya?? Kok kita gak ketemu yah? Haha". Kamu tertawa, entah sungguhan tertawa atau hanya mencoba mencairkan suasana saja. Dan kamu melihat ke arahku seperti menunggu jawabanku, padahal ku kira itu hanyalah pertanyaan basa-basi.
"Mungkin belum waktunya kita ketemu. Buktinya sekarang kita ketemu. Kok kamu tau kalo aku di sini?"
"Loh? Khan kita udah janjian di sini, purnama kelima setelah bulan biru pertama kita berada di tempat yang terpisah jarak dan waktu. Lagian sebenernya aku tadi lihat kamu kok waktu sunset. Cuma aku belum merasa cukup kuat untuk ketemu kamu tadi." Kamu melihat ke arahku lagi seolah mencari jawaban iya dari mataku. Dan sungguh, lagi-lagi aku jadi tersasar dalam teduhnya pandanganmu, hampir tak tau dimana jalan pulang. Sungguh aku tak tau harus berkata apa demi mendengar kamu masih mengingat dengan jelas janji kita itu, janji dan rencana usang yang ku kira sudah kadaluarsa.
"Eh? Dasar kamu ini... Iya. Laut ini, laut yang selalu mengingatkanku tentangmu. Haha, aku selalu suka laut.... Laut, pantai, ombak..." kataku sambil mencoba mencubitmu berkali-kali karena sudah membiarkanku menikmati sunset sendirian.
"Iya, untuk yang ini kita beda, karena aku selalu lebih suka gunung. Hahaha9.." katamu sambil tergelak lagi. Iya, kamu memang lebih menyukai gunung, satu perbedaan kita diantara sekian juta persamaan.
"ABC lima dasar..! Nama pantai yang dimulai dari huruf K! Kuta!" kataku cepat sekaligus menjawab kemudian menoleh ke arahmu, menunggumu menjawab.
"Hmmm, Kosariiiii!" jawabmu setengah berteriak.
"Kosari? Pantai dimana tu?" tanyaku bingung.
"Di Makassar.. Haha9.." jawabmu lagi sambil tertawa lebih ramai.
"Kosari kembaran sama Losari kah?" tanyaku tambah bingung.
"Ya ampunnn, sipittttt.. itu aku cuma melesetin aja kok.. Kamu ini.." kamu malah mencubit pipiku sambil tertawa senang melihatku yang sudah seperti orang bodoh plus meringis kesakitan. Sedetik saja aku merasa ada yang berdesir di dalam sini ketika kamu memanggilku dengan panggilan itu.
"Jahat...!" desauku samar.
"Purnamanya bagus ya..." Kamu mulai mengalihkan pembicaraan dan melemparkan pandangan ke atas, ke langit malam, ke bulan purnama yang bersinar terang.
"Iya. Malam ini melihat purnama bersama seorang Purnama." aku pun ikutan memandangi purnama yang semakin indah.
"Haha, bisa aja kamu. Bulan biru** tahun lalu kamu lihat?" tanyamu tanpa melihatku, kamu terus saja memandangi purnama di atas sana. Sedangkan aku sudah sibuk mencorat-coret pantai dengan ranting yang sekenanya ku ambil tadi sewaktu berjalan ke tempat kami sekarang.
"Lihat dong.. Bagus banget, terang gitu, halonya juga ada, sama seperti malam ini. Aku lihat dari balkon atas, banyak kembang api juga. Kamu lihat? Atau lagi ngerayain tahun baruan entah dimana?" tanyaku balik, masih sambil asik mencorat-coret, mencoba menggambar hati yang utuh tanpa retakan yang membuatnya jadi berkeping-keping. Seperti retakan di hatiku siang itu, siang kita memutuskan kalau label "kita di masa depan" memang mustahil.
"Enggak, aku gak tahun baruan dimana-mana. Aku juga cuma bengong sendirian, lihat bulan biru itu di halaman kosan. Temen-temen yang lain pergi ke kota sih. Tapi aku lagi males hari itu." Sekarang kamu sudah tak memandangi purnama di atas sana, kamu malah ikutan mencorat-coret pasir yang sedari tadi ku gambari dengan entah berapa banyak bentuk hati. Kamu menuliskan inisial namaku dan namamu di antara banyaknya hati yang kugambar. Rasanya perih melihat itu semua.
"Kata siapa aku sendirian? Aku bilang aku lihat bulan biru dan gak tahun baruan khan gak berarti aku ngelihatnya sendirian.. wekz" aku menjulurkan lidah kepadamu, mencoba meledekmu yang kini berubah kaget.
"Oh,, sama siapa? Pacarmu kah?" tanyamu menyelidik, matamu menyipit membuatku ingin tertawa.
"Bukan, sama adek kok. Gak usah sok sipit deh, gak bakal bisaaaa... Hihi"
"Yeee, dasar sipitttt.... Kirain sama siapa! Huh.."
"Natal ini aku pulang lagi..." kataku menggantung, menunggu reaksimu yang entah akan seperti apa.
"Owh.." jawabmu pendek seolah tak peduli.
"Iya, mami mau aku natalan di rumah, sama seperti tahun lalu, kalau bisa sekalian cuti tahun baruan juga."
"Owh..." jawabmu lagi, terdengar lebih tidak peduli lagi.
"Nero.."
"Ya?"
"Kamu percaya surga itu ada?" tanyaku bimbang, setengah ragu. Dan sebenarnya aku tak peduli apakah kamu akan menjawabnya atau tidak. Karena aku memang tak membutuhkan jawaban itu.
"Kamu?"
"Kamu?"
"Aku percaya, sama dengan aku percaya Tuhan."
"Trus kenapa tadi ditanyain?"
"Aku percaya, tapi kenapa surga kita gak bisa sama.."
Setelah itu hanya ada hening, hening yang panjang. Hening yang selalu saja membuat lowong antara kita jadi semakin jauh dan pekat. Aku tak pernah suka hening ini, hening yang tiap kali juga menambah retakan di hatiku. Entah kamu tahu atau tidak, tapi lagi-lagi aku menangis dalam hati. Lelah bertanya tentang hal yang itu-itu juga.
Bukankah kita sama-sama tahu kalau kisah ini memang tak berujung? Lalu mengapa pertanyaan itu selalu menghantuiku? Mengapa harus bermula bila kita berdua sama-sama tahu kisah ini tak berujung? Ya, berujung, tapi bukan pada titik dimana kita bisa sama-sama menyebut sesuatu itu sebagai milik kita berdua. Karena pada kenyataannya kita toh memang sama-sama tak pernah memiliki sesuatu itu. Sesuatu yang selalu dimiliki oleh pasangan lainnya yang saling jatuh hati.
Kita hanya tahu bahwa kita sama-sama merasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya, sesuatu yang selalu saja sulit untuk kita uraikan apalagi untuk kita beri label. Seringnya kita hanya berdiam manakala topik pembicaraan sudah mulai bersinggungan dengan sesuatu itu. Berdiam dalam hening yang amat canggung. Sama seperti malam ini, hening yang panjang dan canggung. Sampai akhirnya kita memutuskan untuk kembali ke penginapan dan beristirahat di tempat masing-masing. Andai saja kamu tahu, aku tak mampu sedetikpun memejamkan mata. Gelisah sepanjang malam.
~~ooOoo~~
"Kamu udah di sini?" tanyaku setengah kaget melihatmu sudah duduk di tempat kita semalam.
"Iya, tadi habis subuh aku langsung ke sini, mau lihat sunrise." jawabmu sambil tersenyum dan memberiku isyarat untuk duduk di sebelahmu.
"Masih gelap ya, kayaknya kita kepagian deh, hehe..." kataku sambil mengambil posisi yang paling nyaman di sebelahmu, tak terlalu dekat tapi juga masih cukup untuk melihat senyum tengilmu.
Setelahnya kita tak banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing-masing, berdoa dalam hati semoga si matahari bersedia muncul tanpa terhalang awan pagi ini. Dan akhirnya setelah beberapa lama menunggu, si mataharipun muncul dengan anggunnya, menyinari semesta sedikit demi sedikit. Kamu yang sejak tadi diam tiba-tiba mengucapkan kalimat yang membuatku sedikit kaget, meskipun sebenarnya kamu hanya memodif sedikit dari kalimatku semalam.
"Pagi ini melihat matahari jingga bersama seorang Jingga." katamu sambil tersenyum dan melihat kepadaku.
"Gak kreatif." kataku sekenanya.
"Ra.."
"Ya?"
"Kamu mau pulang kapan?"
"Belum tahu, aku ambil cuti sampe Senin sih, kenapa? Kamu kapan?"
"Gak apa.. Aku juga sih. Ke Senggigi dulu gak?"
"Kamu mau ke sana?"
"Mungkin."
"Aku harus jawab nih?"
"Hahaha9, gak usah, aku tau kamu khan pasti ikut aja kemana aku pergi."
"Oh ya? Pede bener euyyy..."
"Emang khan? Mau ke Senggigi kapan? Setelah aku Jumatan, gimana? Di sini ada masjid sih, jadi aku Jumatan di sini aja"
"Hmmm, oke.. besok juga boleh. Aku lebih suka di sini dibanding di Senggigi."
"Sama. Jadi besok aja kalo gitu."
"Iya. Nero.."
"Apa?"
"Gak apa.."
Setelahnya hening itu datang lagi. Membuatku sesak, entah apa yang membuat kita jadi terasa asing. Jeda itu memberi ruang yang kelewat lebar untuk kita berpikir ke dalam. Kita sama-sama merasakan sesuatu itu, tapi kita juga sama-sama tak bisa meninggalkan apa yang membuat kita tak bisa bersama. Aku tak pernah bisa meninggalkanNya demi kamu. Karena bila aku mampu meninggalkanNya demi kamu, maka nanti di satu saatpun aku dengan mudah meninggalkanmu demi hal lainnya. Begitu juga denganmu.
Iya, sebenarnya perbedaan kita hanyalah satu, perbedaan yang takkan pernah bisa menjebatani lowong yang kelewat jauh di antara kita. Perbedaan yang membuat kisah ini memang tak berujung sejak awal bermula. Perbedaan yang kita sadari sejak awal tapi selalu coba kita sisihkan, hingga pada akhirnya kita memutuskan bahwa perbedaan ini memang tak akan pernah bisa jadi sama.
Kalaupun kita memaksakan untuk tetap bersama di atas perbedaan besar ini, satu saatpun kita akan sama-sama meledak karena selama itupula kita akan selalu merasa tak tenang. Aku takkan pernah sanggup mengkhianatiNya. Begitupun denganmu. Tapi sungguh, ku mohon, jangan pernah sekalipun kita bertanya padaNya, mengapa Dia tak menciptakan kita sama, sama dalam melihatNya, sama dalam menujuNya. Mengapa kita tak bisa melangkah bersama menuju surga yang sama.
Yah, bagaimana lah kita bisa berjalan bersama kalau surga yang kita tuju nyata-nyata berbeda.
"Nero.."
"Ya?"
"Kenapa surga kita gak bisa sama....?
~~ooOoo~~
P.S.:
* ABC lima dasar, sebuah permainan dengan cara menghitung jari-jari para pemain yang ditunjukkan, boleh berapa aja, setelah dihitung kemudian ditransfer ke abjad [hoyooh, apa sih?], trus masing-masing pemain harus menyebutkan apa yang diminta. Misal gini, setelah dihitung ternyata ada sepuluh jari, nah itu berarti jatuh di huruf J, lalu ditentuin misal "Sebutkan nama kota yang berawalan huruf J". Nah semua pemain harus kasih jawabannya, dan gak boleh sama dengan jawaban pemain lain. Tau khan ya? Ah kalian pasti juga pernah lah main permainan ini. Heheu.
** Bulan biru, bulan purnama kedua yang muncul dalam satu bulan. Jadi yang biasanya satu bulan hanya ada satu kali purnama, namun karena adanya perbedaan penanggalan masehi dengan peredaran bulan, maka terjadilah fenomena bulan biru. Bulan biru terjadi amat jarang, biasanya tiap dua sampai tiga tahun sekali. Bulan biru yang terakhir terjadi pada akhir tahun lalu [31 Dec 2009] yang merupakan purnama yang kedua di bulan itu.Sedangkan purnama yang pertama terjadi pada awal December. Istilah bulan biru atau blue moon sering digunakan dalam metafora yang menunjukkan keadaan jarang terjadi. Seperti dalam peribahasa Inggris yang berbunyi "Once in a blue moon" yang artinya sekali pada saat bulan biru yang amat jarang.
P.S. lagi :
Makasih buat Tirta yang udah rela saya jadiin inspirasi untuk cerpen ini juga buat Feri yang dengan senang hati mengeditkan poto-poto di atas, dan untuk Jerri yang udah ngambilin gambar paling atas itu dan untuk ide judulnya.
Thanks alot banget buat kalian bertiga, brads! ;)
Ah ya, yang gak kalah pentingnya, kisah ini sungguhan cuma cerpen aja. Bukan kisah cinta saya atau kisah cinta Tirta, apalagi kisah cinta saya dan Tirta. Bukan, bukan. Itu Tirta sebagai inspirasi atas namanya yang bagus itu kok, Tirta Purnama-nya, bukan karena ini kisah cintanya. Heheu..
P.S. lagi :
Makasih buat Tirta yang udah rela saya jadiin inspirasi untuk cerpen ini juga buat Feri yang dengan senang hati mengeditkan poto-poto di atas, dan untuk Jerri yang udah ngambilin gambar paling atas itu dan untuk ide judulnya.
Thanks alot banget buat kalian bertiga, brads! ;)
Ah ya, yang gak kalah pentingnya, kisah ini sungguhan cuma cerpen aja. Bukan kisah cinta saya atau kisah cinta Tirta, apalagi kisah cinta saya dan Tirta. Bukan, bukan. Itu Tirta sebagai inspirasi atas namanya yang bagus itu kok, Tirta Purnama-nya, bukan karena ini kisah cintanya. Heheu..
cerpen yang panjang
ReplyDeletetp bagus kreatif ya pinter nulis
hiks hiks aq suka sedih tiap dgr lagunya she yg apalah arti cinta.,,,aslinya dalem bgt ya ros,cocok bwt dijaddin critanya ros :o)
ReplyDeleteduh maap bgt y ros br mmpir lagi, mksh buanyak awardnya udh dipajang :-)
aq mw liat2 dl foto2 ros sblmnya deh :-)
wah, kok jadi main Pancasila lima dasar? Aku suka main itu tuh. hehehe
ReplyDeletemakasi, mbak ria.. ^^
ReplyDeletepanjang banget yaa, heheu
iya, ndaaaa...
lagunya sedih, huhu...
sip sip, ndak apa2, nda..
tugasnya udah selese semua kah? heheu...
iya, mbak fanny..
aku juga suka mainan itu, cuma kadang2 ngehang kagak nemu jawabannya, haha :p
Lum sempet baca semuanya Mbak, save as dulu nanti baru di baca, kayaknya bagus nih ceritanya.
ReplyDeleteBy :
Anak Rantau
panjang juga ya !!!
ReplyDeletehmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
ntar dilanjut bacanya !!!
Memang cukup panjang ceritanya non, tapi ada satu kalimat yang saya suka.." Aku tak pernah bisa meninggalkanNya demi kamu. Karena bila aku bisa meninggalkanNya demi kamu, maka nanti akupun bisa meninggalkanmu demi hal lainnya " Mantaplah...!!
ReplyDeleteSalam hangat & sehat selalu...
Maaf ngomentarin gambarnya doang
ReplyDeletei like sunset... :-)
Salute
ReplyDeletebuwel tak mampu menulis cerita sepanjang iytu...
ceritanya bagus lo kak . kreatif :ok
ReplyDeletepanjaaaang banget ceritanya...
ReplyDeletekisahnya Tirta ya???
oya,,,dia mau ke pekanbaru buat diklat kan????
di kantorku tuh...
hehehehe
cerpen tapi mirip kisah nyata...
ReplyDeleteceritanya bagus, boleh juga...
ReplyDeletemakasih
mbak. kebelet batuk aku
ReplyDeleteWalau panjang tapi nggak ngebosenin.
ReplyDeleteditunggu komentar di cerbung Q juga ya hehehe
sepi nih dunia bLogging, Lagi pada nonton word-cup kaLi yah.
ReplyDeletemohon maaf agak teLat ngabsen.
-------------
maLam ini Lagi enggak mood baca nih (maaf yah), ngemood jempoL aja. hehehehe....
------------
gimana ros kabarnya, Lukanya sudah sembuh kah?.
------------
kaLo si_om pacarnya cuma satu. satu di bandung, satu di surabaya, satu di semarang, satu di padang, satu di aceh, satu paLembang, dLL. pokoknya di setiap satu propinsi atau kota kabupaten pasti ada deh. kaLo ros mau daftar siLahken, masuken aja ke daftar antrian no.113. wkwkwkwkwwk..... piss ach (canda-red).
belajar memahami hidup memang saja susahnya dengan belajar mengeja huruf. seperti anakku yang baru bisa bilang A. ketika aku suruh bilang B, malah langsung E... Pas aku suruh bilang C, lompatnya malah makin jauh, oeeee oeeee...
ReplyDeletehehehe
waduh.. cerpennya panjang amat bu.. bisa dijadikan 4 atau 5 bagian biar bacanya ga terengah-engah.. hehe.
ReplyDeleteLam kenal balik.
Dan.. mampir lagi ya!
*Love Gili - dream to go there..
one day..
* jadi ingat lagunya.. "stairway to heaven" hmmmmmmm.
wew....lumayan pegel ne bacanya sob,...
ReplyDeletetpi gx apalah ...hehehhee
ros..ros...hayuk main... hehe
ReplyDelete...ni kisah nyata yg dijadikan cerpen? hehe
Met malem minggu say ^___^
ReplyDelete:hi fotonya lebih dikit y krg..
ReplyDeletenama asliku sukrawan madi. nama baliku sih di depannya isi i gede, jd nya: I gede sukrawan madi. hehe j:)
Panjang bener yah cerpennya, hhehe...
ReplyDeleteOh..ia, foto di Gili Trawangannya keren2 deh.
Nuansa indahnya dapet :)
Wew..cerpennya dalem banget ceritanya.
ReplyDeleteLanjutkan! :D
Met berhari minggu :)
makasi yaaa udah sempetin baca cerpen saya... :-)
ReplyDeletei appreciate it soooo much..
seneng banget tau kalo kalian mau luangin waktu buat baca tulisan saya ini.
oh iyaaa, ini cuma fiksi aja kok, murni cerpen, bukan kisah saya atau kisah Tirta, teman saya itu.
ini [mungkin] kisah orang lain, heheu.
khan banyak ya yang begini kisahnya, heu...