Katakan saja aku yang sombong dan besar kepala. Percaya diri berlebihan karena pada awalnya mengira bahwa aku mampu memperbaiki carut marut yang sudah ditinggalkan. Mengira bahwa mungkin aku bisa membuatmu sadar bahwa kamu berarti minimal untuk dirimu sendiri. Entah dengan cara apa. Bahwa kamu tak seharusnya menjalani hidupmu seperti yang sudah. Bahwa segalanya masih akan bisa baik-baik saja. Aku yang besar kepala itu mencoba melakukan hal-hal yang ku kira bisa membuatmu menyadari bahwa hidup toh masih begini indah.
Tapi seperti semua yang besar kepala, aku lupa bahwa hanya kamu saja yang mampu mengendalikan hatimu. Bahwa mungkin segala yang aku lakukan memang takkan mampu memperbaiki apa yang sudah terlanjur carut marut di sana, di hatimu yang menurutku masih layak untuk merasa bahagia. Bahwa aku bukan siapa-siapa yang bahkan juga memiliki carut marutku sendiri.
Mungkin seharusnya aku tak pernah memulai untuk peduli pada carut marut yang kamu jaga itu. Mungkin hanya karena aku juga tahu rasanya carut marut. Sampai-sampai aku mengira jika aku mampu membuatmu sadar sedikit saja bahwa kamu masih bisa berbahagia, maka aku juga bisa bangun dari carut marutku sendiri. Mengira dengan mencoba membuatmu bisa bersenang-senang lagi berarti aku juga akan mampu kembali tertawa lepas.
Nyatanya tidak. Memang carut marutku mulai terurai menjadi benang tipis yang mampu ku jalin kembali meski kusut habis-habisan. Tetapi carut marutmu tetap tak bergeming. Malah semakin mengkristal.
Sehingga yang ada hanyalah aku yang sombong dan besar kepala. Dengan segala keangkuhanku. Dengan segala remah-remah yang telah ku lakukan, yang tadinya ku kira akan membuatmu merasa lebih baik. Yang tersisa hanyalah cetak buram diriku yang sok tahu di layar retinamu. Kamu yang sekarang mungkin saja mulai membenciku. Aku yang dengan angkuhnya malah menginjak-injak carut marut yang masih kamu jaga itu.
Mungkin memang seharusnya aku mulai berhenti peduli. Peduli pada segala tentangmu. Kamu toh tidak meminta untuk ku pedulikan. Malah aku yang dengan semena-mena tanpa ijin mengambil tempat yang sebetulnya tak pernah kamu berikan. Aku yang lupa diri. Lupa bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bahkan lebih tak kasatmata ketimbang bayangan masa lalumu.
Maaf karena ternyata aku salah. Maaf atas kelancanganku yang sok tahu ini. Kamu bisa pergi kapan saja. Aku toh tak pernah membukakan pintu. Jadi aku juga tak perlu menutup pintu sehingga kamu bisa tetap tinggal. Dan kamu juga tahu, aku hanya akan ada di sini. Tak kemana-mana.
Dan bila malam ini kamu melangkah pergi, ku harap kamu akan bisa berbahagia. Entah bagaimana.