Dari sekian puluh kalimat yang bisa aku pikirkan, aku memilih satu kalimat itu yang tadinya ku kira bisa membuatmu mengalihkan perhatianmu sedikit saja kepadaku. Lima belas menit ku habiskan hanya untuk memikirkan kalimat yang tepat. Dengan meneguh-neguhkan hati yang mudah goyah karena belum sepenuhnya mampu berdiri tegak lagi, ku ucapkan satu kalimat itu. Kalimat yang ku pilih dengan hati-hati.
Tapi kamu, seolah tak pernah mendengarnya. Seolah sekalimat yang ku ucapkan hanya serupa desau angin yang bahkan tak terdengar karena jendelamu tertutup rapat. Dan aku hanya serupa kabut transparan, tak terlihat. Karena bahkan gorden jendelamu juga terbentang menghalangi segala pandanganmu agar tetap menekuri layar empat belas inchimu yang juga tak lelahnya menatap balik.
Padahal yang ku minta hanya tiga puluh menit saja. Tiga puluh menit yang hanya buatku saja. Tapi seolah stoples waktumu sudah punya label masing-masing, bahkan sampai satuan detik. Dan ya, tak ada namaku di sana, di antara puluhan label di stoples waktumu. Atau mungkin ratusan. Who's counting anyway?
Lalu aku sadar bahwa tiga puluh menitmu yang mahal itu memang takkan pernah mampu ku menangkan. Dengan cara apapun. Meski dengan kalimat yang berenda-renda atau beronce-ronce sekalipun.
Kakiku sudah lelah berdiri di depan pintumu. Pun tanganku lelah mengetuknya sejak entah kapan.
Aku pergi.
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^