Sunday, 9 June 2013

Untitled





Malam semakin matang, suara alam semakin terdengar dari kejauhan. Derik jangkrik, dekuk burung hantu, bahkan desau angin yang sejak tadi terus saja mengetuk-ngetuk jendela, derak kayu terbakar di perapian serta satu lagu lama yang sedari tadi mengalun dari gramophon tua di sudut ruangan menambah komposisi orkestra malam. Sementara itu, seorang gadis sedang duduk sambil membaca di sebuah sofa yang amat nyaman bersama seorang pemuda yang sedang mengutak-atik sesuatu di tangannya. Sofa merah hati kesukaan mereka berdua.

‘Hei, tidakkah kamu lelah dan mengantuk?’ tanya si gadis pada si pemuda yang masih saja sibuk dengan sesuatu yang sejak tadi diutak-atik.

‘Hmm.. lumayan..’ jawab si pemuda tanpa melihat pada si gadis.

‘Kemarilah... sini...’ tanpa menunggu persetujuan si pemuda, si gadis menarik si pemuda ke dalam dekapannya. Sekarang si pemuda sudah nyaman berada di pangkuannya. 

‘Kamu lelah bukan? Tidurlah..’ titah si gadis sambil mengusap lembut rambut si pemuda yang kini hanya diam saja.

‘Ceritakan dongeng sebelum tidur untukku? Bagaimana?’ pinta si pemuda sambil tersenyum, memasang wajahnya sepolos mungkin.

‘Hmmm, baiklah... tapi setelah itu kamu harus tidur? Deal?’

‘Deal...’

Sudah hampir tengah malam. Api di perapian masih menguarkan kehangatan yang melingkupi ruangan kecil itu. Si gadis masih membelai lembut rambut si pemuda yang sudah siap mendengarkan dongeng sebelum tidur.
‘Ehem.. Ehem..’ si gadis mencoba menjernihkan tenggorokannya sebelum memulai bercerita.
~~oOo~~


Nun jauh di sana, di sebuah negeri yang amat jauh, hiduplah seorang Putri. Putri yang ini tak seperti putri-putri dari negeri kerajaan yang lainnya. Putri ini bahkan tidak hidup dalam sebuah istana. Putri hidup di sebuah rumah sederhana namun hangat. Rumah peninggalan kedua orang tuanya yang sudah lama meninggalkannya sendirian. Namun begitu, Putri selalu tegar menjalani hidupnya meski hanya seorang diri.

Putri adalah seorang gadis pemberani, ia memiliki hobi berjalan-jalan berkeliling negeri. Menjelajahi berbagai tempat yang mungkin tidak mudah dijangkau oleh seorang gadis. Setiap kali Putri berpetualang, ia selalu menemukan banyak hal baru yang begitu memukaunya. Putri begitu mencintai hobinya ini sampai-sampai ia terkadang lupa sudah berapa lama pergi dari rumah. Bila sudah begitu maka ia akan kembali ke rumah, tinggal untuk beberapa lama untuk kemudian berpetualang lagi.

Bila sedang di rumah, Putri akan sibuk menulis, menulis semua petualangan yang baru saja dilewati. Kemudian tulisannya akan dikirim ke penerbit untuk dijadikan buku. Sudah banyak buku yang ditulis oleh Putri. Buku yang ditulis tak melulu soal petualangannya, tetapi juga buku dongeng, cerita fiksi, puisi-puisi tentang alam, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Suatu ketika Putri memutuskan untuk kembali bertualang. Putri ingin mengunjungi sebuah taman di belahan negeri yang lain, Taman Seribu Mimpi. Taman ini begitu terkenal sampai-sampai semua orang membicarakannya. Putri begitu penasaran pada taman ini. Ingin melihat apakah taman ini benar-benar semenakjubka yang orang-orang katakan. Pagi itu Putri pergi lagi meninggalkan rumahnya yang hangat.

Selama di perjalanan, Putri bertemu dengan banyak orang, banyak cerita, yang semakin menambah wawasannya. Putri berjalan dengan begitu riang, menerka-nerka akan seperti apa taman yang sedang menunggunya. Hari-hari berlalu, hingga akhirnya tibalah Putri di Taman Seribu Mimpi. Betapa terkejutnya Putri mendapati apa yang terhampar di depan matanya kini.

Di hadapannya, terhampar sebuah taman yang amat sangat indah. Seratus jenis bunga bermekaran bersamaan. Merah, kuning, oranye, biru muda, pink, ungu, jingga, nila, bahkan ada yang berwarna hitam. Mawar, melati, anggrek, daisy, lili, matahari, salvia, dan seratus jenis bunga lainnya. Bunga-bunga yang bermekaran itu semakin cantik dan segar berkat embun yang mengecup tiap kelopaknya. Sisa-sisa embun yang masih terlihat di mana-mana. Tak kalah, kupu-kupu, kepik, burung-burung kecil, bahkan tupai yang memanjat pohon terlihat di segala penjuru. Di sisi kiri taman mengalir sungai yang airnya begitu jernih sampai-sampai Putri bisa melihat pantulan wajahnya di sana. Angin yang lembut membelai wajah pun menambah indahnya suasana.

Putri masih terdiam karena terhipnotis kecantikan Taman Seribu Mimpi ketika seorang pemuda tak sengaja melewatinya. Demi melihat seseorang melewatinya begitu saja, Putri segera sadar dan mencoba memanggil orang itu. Karena jujur saja, Putri masih belum tahu bagaimana cara masuk ke dalam taman itu. Well yeah, sejak tadi Putri hanya berdiri diam di luar taman, memandangi taman dari antara pagar-pagar yang menjulang tinggi.

‘Hei, apakah kamu juga akan ke dalam? Maukah kamu memberitahuku di mana pintu masuknya?’ tanya Putri pada pemuda tadi.

‘Hmm ya. Aku juga akan masuk ke dalam. Kamu mau ikut?’ pemuda itu balik bertanya. 

‘Ya! Mau sekali. Terima kasih..’ 

Putri berjalan mengikuti pemuda di depannya. Untuk beberapa waktu mereka berdua hanya berjalan dalam diam, tanpa ada seorang pun yang berniat untuk memulai berbincang. Namun, Putri yang memang tak bisa tahan berdiam diri lama-lama memutuskan untuk memulai percakapan.

‘Aku Putri. Kamu siapa? Dan dari mana kamu berasal?’ tanya Putri pada teman barunya.

‘Aku Ksatria. Aku dari negeri seberang. Kamu tahu tentang Pasukan Kuda Hitam? Nah dari situ asalku..’ jawab Ksatria sambil terus melangkah mantap.

‘Hmm, sepertinya aku pernah mendengarnya. Jadi kamu salah satu dari pasukan itu?’

‘Begitulah...’

‘Wah, keren sekali...’

‘Hahaha, tunggu sampai kamu tahu kalau kematian dan kehidupan hanya setipis pedang yang hampir menyentuh lehermu maka kamu tak akan bisa berkata ‘wah keren sekali’ lagi seperti tadi. Hahahaha.’

‘Errrr, jangan terlalu serius begitu bisa kah? Kamu menakutkanku.’ 

Putri dan Ksatria terus berjalan dan tibalah mereka di pintu gerbang Taman Seribu Mimpi. Yah, taman yang memang membuat siapa saja yang datang jadi merasa sedang bermimpi termasuk Putri dan Ksatria. Sekarang mereka sudah asik menikmati gemericik air yang mengalir di bawah kaki mereka. Sengaja menjulurkan kaki-kaki mereka untuk merasakan sejuknya air sungai itu. Mereka berbincang tentang apa saja, tentang bagaimana Pasukan Kuda Hitam berhasil mengalahkan musuh di perbatasan, tentang seribu tempat yang sudah dikunjungi oleh Putri, tentang purnama yang ternyata sama-sama membuat mereka selalu takjub, tentang ternyata Ksatria juga begitu mencintai berkeliling negeri yang selain karena memang tugasnya juga karena ia begitu suka bertualang sama seperti Putri.

Dalam waktu yang sehari itu, Putri dan Ksatria saling jatuh hati. Seperti menemukan belahan jiwa masing-masing. Putri dan Ksatria begitu mirip satu sama lain. Hobi mereka, minat mereka, dan masih banyak hal lainnya. Mereka bisa berbicang mengenai seribu satu topik dan tak merasa bosan karenanya. Seperti berbicara pada diri masing-masing. Melihat pantulan diri masing-masing tercermin pada di yang lainnya.

Untuk waktu beberapa lama Putri dan Ksatria pergi bersama, berpetualang ke negeri-negeri yang belum pernah mereka singgahi. Melakukan banyak hal baru bersama. Mencoba makanan-makanan, minuman-minuman dari berbagai tempat yang mereka kunjungi. Malam ini makan malam di sebuah restoran mewah dan nyaman, esok malam mereka terdampar di depan toko yang sudah tutup melahap makanan pinggir jalan yang dibeli dengan harga murah. Mendengarkan musik yang beragam-ragam jenisnya. Siang ini mereka menikmati alunan musik klasik di sebuah ballroom indah dengan orkestra mahal yang membahana, esoknya mereka hanya duduk terdiam di depan sungai, mendengarkan gemericik air keruh yang mengalir menuju hilir. Menikmati segala yang mereka temui tanpa menetapkan harapan yang muluk-muluk. Ya, buat mereka hidup ini adalah perjalanan, petualangan. Bahwa hidup adalah detik ini, bukan sedetik sebelumnya atau detik berikutnya. Dan mereka tak pernah membatasi mengenai apa yang akan mereka hadapi di depan. Menerima segalanya dengan penuh suka cita.

Hidup jadi begitu berwarna. Memang, tadinya pun hidup sudah begitu berwarna. Tetapi sejak mereka memutuskan untuk bersama-sama berpetualang, hidup jadi lebih berwarna. Hidup jadi lebih semarak, gemerlapan, meledak-ledak dan tak bisa ditebak. Hidup jadi selayaknya kembang api tahun baru bagi keduanya. Begitu indah, begitu menyilaukan.

Namun seperti segala yang indah ataupun buruk, segala sesuatu akan menuju pada suatu akhir. Suatu akhir yang tak bisa dihindari meski siap atau tidak, ikhlas atau tidak. Saat Ksatria harus kembali ke negerinya, kembali menunaikan tugasnya, meninggalkan Putri yang kini telah terlalu terbiasa dengan kehadiran Ksatria dalam hidupnya.

‘Bolehkah aku ikut denganmu?’ tanya Putri dengan sedih.

‘Kamu tak bisa ikut. Kita sama-sama tahu bahwa ini semua memang sementara. Jadi mengapa sekarang harus bersedih begitu?’ Ksatria datar saja, mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

‘Apa kamu akan baik-baik saja tanpaku? Apa segalanya akan berakhir sekarang? Tak bisakah kita bersama-sama selamanya?’ Putri terus saja bertanya. Bening matanya hampir luruh menumpahkan sungai yang akan mengaliri pipi tembamnya.

‘Putri, mengertilah... Aku akan baik-baik saja, kamu juga akan baik-baik saja. Dan selamanya, pernahkah kamu berpikir bahwa mungkin saja selamanya itu terlalu lama? Mungkin saja di tengah jalan kamu akan merasa bosan padaku atau sebaliknya. Meski begitu, aku pergi bukan karena tak ingin lagi bersamamu. Bila memang ditakdirkan untuk bertemu lagi, maka sungai takdir kita pun bisa bersilang lagi nanti.’ Jelas Ksatria panjang lebar. Matanya kini menatap ke dalam mata Putri.

‘Bosan padamu? Sepertinya tidak akan pernah. Bersama denganmu, rasanya aku bisa menghabiskan seribu tahun. Dan itu masih belum cukup. Bersama denganmu, seribu tahun pun belum cukup...’

‘Apakah batasan cukup atau tidak, sayang? Buatku, bisa mengenalmu begini pun cukup. Buatku, bersama denganmu kemarin-kemarin itu pun cukup. Mungkin memang jatah kita hanya sampai di sini saja. Dan seandainya kamu tahu, kita tak pernah benar-benar meninggalkan yang lainnya. Di dalam sini, aku menyimpan dan membawamu kemana saja aku melangkah.’ Kali ini Ksatria memegang dada kirinya seraya tersenyum setulus mungkin pada Putri.

‘Tapi aku begitu mencintaimu. Rasanya aku tak akan mampu lagi mencintai yang lain...’ Putri mendesah lirih.

‘Kamu tahu? Hatimu itu luas, Putri. Jauh lebih luas dari yang kamu kira. Kamu masih akan selalu bisa mencintai yang lain, jatuh cinta lagi berkali-kali dengan yang lain.’

‘Begitukah?’

‘Ya, begitulah...’

‘Jadi kamu akan bisa mencintai yang lain selain aku?’

‘Ku rasa iya. Tapi bila kamu bertanya padaku sekarang, ku katakan kalau aku hanya mencintaimu saja sekarang. Esok atau lusa, mungkin aku akan mencintai yang lain. Entahlah. Kita tak pernah tahu apa yang akan dibawa oleh hidup kepada kita bukan?’

‘Baiklah.... Maukah kamu memelukku sekali ini saja?’

‘Kemarilah, Putri... kemarilah..’

Begitulah akhir kisah Putri dan Ksatria. Ksatria kembali ke negerinya, begitupun Putri kembali ke rumahnya yang hangat dan sederhana. Kembali menutup dirinya, menyibukkan dirinya menulis segala yang pernah terjadi, sendirian. 

Hari berganti hari, kabar yang ditunggu Putri tak pernah sampai. Entah Ksatria sudah melupakannya atau terjadi hal lain, Putri tak pernah tahu. Yang Putri tahu hanyalah seberapapun besar usahanya untuk melupakan Ksatria, tak mampu sedikitpun menghapus segala kenangan yang pernah ada. Hatinya patah, hatinya carut marut, hatinya bengkak karena menanggung rindu yang tak lagi bisa dirajuk. Putri begitu merindukan tawa itu, merindukan melihatnya makan dengan lahap, merindukan seribu satu topik pembicaraan yang tak tentu arahnya, merindukan suaranya yang sedang bersenandung, merindukannya sedemikian rupa. Tapi Ksatria seolah ditelan bumi, menghilang sama sekali. 

Malam itu purnama bersinar cerah namun tetap tak mampu mengusir mendung yang menyelimuti hati Putri yang lagi-lagi melamunkan Ksatria. Putri jadi berkhayal seandainya saja dirinya adalah pedang yang selalu dibawa Ksatria. Ia jadi cemburu pada segala benda-benda mati itu. Pada benda-benda yang masih akan selalu bersama-sama dengan Ksatria, dimanapun ia berada. Pada pedangnya, pada baju zirahnya, pada topengnya, pada pelananya, pada segalanya. Rasanya hampir-hampir hilang akal karena berharap menjadi benda mati alih-alih dirinya yang sekarang.

Tanpa ia sadari, di langit malam sebuah bintang meluncur jatuh menuju bumi. Bintang itu meluncur sedemikian cepatnya, jatuh tepat mengenai jendela kamar Putri yang masih saja melamunkan patah hatinya. Putri segera membuka jendela demi mendengar kegaduhan yang merusak lamunannya. Betapa terkejutnya Putri ketika mendapati sebuah bintang tergeletak begitu saja di bawah jendelanya. Dan lebih terkejut lagi ketika seketika itu bintang tadi berubah menjadi seorang pemuda di hadapannya yang kini sedang mengusap-usap wajahnya.
‘Ehmm, hai..’ sapa pemuda itu. Putri masih diam mematung, tak tahu harus menjawab apa. Kepalanya masih sibuk berpikir, mencoba mengingat-ingat apakah ia sudah jatuh tertidur ataukah masih terjaga ketika tadi membuka jendela.

‘Maaf bila aku mengagetkanmu. Tapi yah, aku tak bisa memilih untuk jatuh di sini atau di tempat lain kan?’ kali ini si pemuda malah tersenyum renyah. Mencoba membuat Putri tersadar dari keterkejutannya.

‘Kamu siapa?’ tanya Putri akhirnya.

‘Aku Bintang Jatuh. Bintang yang kebetulan jatuh di bawah jendelamu.’ Penjelasan Bintang Jatuh sama sekali tak membantu Putri untuk memahami apa yang sedang terjadi.

‘Maksudku, mengapa kamu tiba-tiba jatuh di sini? Dan apa tadi kamu bilang? Bintang Jatuh? Hahaha, kamu kira aku anak umur sepuluh tahun atau apa? Jangan mengacau begitu...’ Putri yang kini sudah sadar sepenuhnya malah tertawa sinis.

‘Aku sudah mengatakannya padamu tadi. Aku Bintang Jatuh. Dan yah, aku tak bisa memilih dimana aku jatuh, di bawah jendelamu atau di tempat lain.’

‘Mengapa kamu jatuh ke sini? Bukankah segalanya lebih indah di atas sana?’ kali ini Putri bertanya dengan sungguh-sungguh. Tak lagi tertawa sinis atau semacamnya.

‘Hmmm...’ Bintang Jatuh mencoba berpikir keras, dahinya berkerut. Sedang Putri masih menunggunya untuk menjawab.

‘Karena aku patah hati. Di atas sana memang indah sekali, kamu bisa melihat segalanya dari atas sana. Hanya saja, bintang pujaanku tak menerima cintaku. Dia lebih memilih bintang lain. Tak sanggup terus ada di sana melihatnya bersama dengan bintang pilihannya, jadi aku memutuskan untuk jatuh ke bumi. Begitulah...’ Bintang Jatuh mengatakannya sambil menengadah ke atas, melihat ke langit malam yang begitu gelap.

‘Jadi, bolehkah aku berteman denganmu?’ Putri pun hanya mengangguk samar. Masih bingung dengan yang terjadi.

Hari berganti hari, Putri dan Bintang Jatuh berteman semakin akrab. Keduanya sering melakukan hal-hal bersama. Berbeda dari kebersamaannya dengan Ksatria, kali ini Putri dan Bintang Jatuh lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Hanya melakukan hal-hal remeh temeh seperti membaca buku-buku yang pernah ditulis oleh Putri, membersihkan rumah, berkebun, ke pasar, memasak, dan berbagai hal lainnya. Bintang Jatuh tak begitu suka jalan-jalan keluar. Ia lebih suka duduk-duduk seharian di rumah. Pernah suatu ketika Putri mengajak Bintang Jatuh untuk berjalan-jalan tetapi Bintang Jatuh menolaknya. Ia tak suka bertemu dengan orang lain, orang asing, selain Putri. 

Hingga tiba suatu malam ketika Putri berkata bahwa ia rindu untuk bertualang lagi, untuk kembali menjelajahi negeri-negeri yang jauh. Ketika itu Bintang Jatuh hanya terdiam saja.

‘Putri, akankah kamu bersedih bila aku pergi?’ tanya Bintang Jatuh tiba-tiba saja.

‘Kamu akan pergi? Kemana? Bukankah kamu biasanya tak suka pergi?’

‘Entahlah. Aku bertanya saja. Seandainya aku pergi, apakah kamu akan bersedih?’ Bintang Jatuh masih saja menanyakan pertanyaan itu. Putri tak tahu bagaimana menjelaskan hal ini pada Bintang Jatuh. Putri sudah pernah terluka, dan ia sedang tak ingin terluka lagi. Hatinya masih terlalu perih bila harus terluka lagi. Begitupun ia tahu Bintang Jatuh juga baru saja terluka, dan demi ia, Putri tak ingin melukai Bintang Jatuh meskipun sedikit saja. Putri sama sekali tak ingin membuatnya terluka. Dan mereka akan selalu baik-baik saja dan tak terluka bila mereka tetap seperti ini saja.

‘Kamu tahu... hatiku ini baru saja terluka. Patah sampai tak berbentuk. Aku begitu bersedih sampai aku kira aku tak tahu lagi bagaimana rasanya berbahagia. Sampai rasanya aku tak bisa mencintai yang lain. Namun begitu, aku mulai merasakan bahwa lambat laun hatiku mulai sembuh. Mulai mampu merasakan apa itu bahagia. Dan sekarang, aku hanya akan membiarkannya terbuka seperti ini. Seperti pintu yang terbuka. Siapapun, termasuk kamu, boleh datang ke sini, kapan saja. Tapi aku tak akan menjanjikanmu atau siapapun itu apa-apa, tak ada janji musim semi mengenai kita akan selalu bersama-sama selamanya. Pun tak ada harapan-harapan akan keabadian yang manis. Tak ada janji-janji... Dan bila kamu ragu, bila kamu tak yakin untuk tetap tinggal, kamu bisa pergi kapan saja. Dan aku takkan merasa kehilangan apa-apa. Takkan merasa sakitnya ditinggalkan seperti dulu.’

Putri mendesah, menghembuskan napasnya setelah menyelesaikan kalimatnya yang panjang tadi. Bintang Jatuh hanya terdiam memandangi Putri yang kini juga ikut terdiam. 

‘Bila begitu, mungkinkah kamu akan merindukanku bila aku pergi?’ Bintang Jatuh lagi-lagi bertanya. Putri tak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Beberapa waktu ini mereka selalu bersama-sama, Bintang Jatuh tak pernah jauh dari pandangan matanya. Bagaimana ia bisa merasa rindu pada Bintang Jatuh bila ia tak pernah jauh darinya? Entah akan seperti apa rasanya bila nanti akhirnya mereka harus berjauhan. Putri hanya tak ingin merasakan kesakitan itu lagi, kesakitan menanggung rindu yang seolah tak berujung.

‘Entahlah. Mungkin saja. Tapi bilapun aku merindukanmu, maka aku akan menyimpannya sendiri saja. Karena kamu tahu? Terkadang ada hal-hal yang lebih baik kamu simpan sendiri. Sometimes, somethings are better left unsaid...’ Putri tersenyum pada Bintang Jatuh yang kini juga ikut tersenyum.

‘Mengapa kamu tak mengatakannya padaku? Aku ingin kamu mengatakannya padaku bila kamu merindukanku.’ 

‘Hahaha, repot sekali. Repot sekali kalau aku merindukanmu dan aku mengatakannya padamu, kamu harus sesegera mungkin muncul di hadapanku. Kamu harus segera datang ke sini. Bukankah itu akan merepotkanmu? Jadi lebih baik aku diam saja dan menyimpannya sendiri. Hehehe.’ Kali ini Putri tertawa lepas. Melepaskan semuanya.

‘Hmm, bisa saja. Bisa saja aku langsung datang menemuimu. Dimanapun aku berada, aku pasti akan langsung menemuimu.’ Bintang Jatuh berkata dengan sungguh-sungguh.

‘Oh, sudah ku katakan. Jangan pernah berjanji. Karena aku pun tak mau berjanji. Sudahlah. Aku bosan, mau apa kita sekarang?’

‘Hmm, kamu mau jalan-jalan?’ tanya Bintang Jatuh.

‘Jalan-jalan? Kemana?’ Putri balik bertanya.

‘Ke langit. Aku rindu rumah.’

‘Bisakah?’

‘Tentu saja. Pegangan erat-erat.’

Malam itu, sekelebat cahaya melesat ke langit malam. Menuju angkasa. Bertemu jutaan bintang lainnya.
~~oOo~~

‘Hei... kamu sudah tertidur?’ tanya si gadis pada pemuda yang ada di pangkuannya sambil membelai lembut kepala si pemuda.

‘Hmm...’

‘Pindah ke kamar? Di sini terlalu dingin..’

‘Gadisku..?’

‘Ya?’

‘Akankah kamu merindukanku bila aku pergi?’

‘Mengapa kamu bertanya begitu? Kamu mau pergi kemana?’

‘Ah tidak, aku hanya bertanya saja. Jawab sajalah...’

‘Begitu. Begini, sayangku, aku tak tahu apa yang akan dibawa hidup ke hadapan kita esok. Tapi sekarang, saat ini, aku bisa katakan padamu, saat ini aku ada di sini, kamu ada di sini, kita di sini, dan yah kita bersama sekarang. Jadi kita tak perlu saling menanggung rindu yang tak berujung bukan?’

‘Ya, kamu benar...’

‘Ya, kita toh sedang tidak pergi kemana-mana. Hari sudah kelewat malam, mari kita tidur..’

Si pemuda menggandeng si gadis ke kamar, kamar yang hangat dan nyaman. Malam itu mereka bermimpi indah, bermimpi tentang negeri yang jauh di sana, tentang sebuah taman yang indah, tentang seribu satu cerita. Dan esok, entah apa yang akan mereka hadapi. Tapi malam ini mereka tahu bahwa mereka ada untuk satu sama lain. Itu saja sudah cukup. Untuk sekarang, itu cukup.

Dan lamat-lamat masih mengalun indah dari gromophon tua, satu lagu itu.. Lagu pengantar tidur.

When i fall in love... it will be forver...
Or I'll never fall in love....
In a restless world like this is
Love is ended before it's begun
And too many moonlight kisses
Seem to cool in the warmth of the sun

When I give my heart it will be completely
Or I'll never give my heart
And the moment I can feel that you feel that way too
Is when I fall in love with you......

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^