Malam semakin matang, suara alam
semakin terdengar dari kejauhan. Derik jangkrik, dekuk burung hantu, bahkan
desau angin yang sejak tadi terus saja mengetuk-ngetuk jendela, derak kayu
terbakar di perapian serta satu lagu lama yang sedari tadi mengalun dari gramophon tua di sudut ruangan menambah komposisi orkestra malam. Sementara itu, seorang
gadis sedang duduk sambil membaca di sebuah sofa yang amat nyaman bersama
seorang pemuda yang sedang mengutak-atik sesuatu di tangannya. Sofa merah hati
kesukaan mereka berdua.
‘Hei, tidakkah kamu lelah dan
mengantuk?’ tanya si gadis pada si pemuda yang masih saja sibuk dengan sesuatu
yang sejak tadi diutak-atik.
‘Hmm.. lumayan..’ jawab si pemuda
tanpa melihat pada si gadis.
‘Kemarilah... sini...’ tanpa
menunggu persetujuan si pemuda, si gadis menarik si pemuda ke dalam dekapannya.
Sekarang si pemuda sudah nyaman berada di pangkuannya.
‘Kamu lelah bukan? Tidurlah..’
titah si gadis sambil mengusap lembut rambut si pemuda yang kini hanya diam
saja.
‘Ceritakan dongeng sebelum tidur
untukku? Bagaimana?’ pinta si pemuda sambil tersenyum, memasang wajahnya
sepolos mungkin.
‘Hmmm, baiklah... tapi setelah
itu kamu harus tidur? Deal?’
‘Deal...’
Sudah hampir tengah malam. Api di
perapian masih menguarkan kehangatan yang melingkupi ruangan kecil itu. Si
gadis masih membelai lembut rambut si pemuda yang sudah siap mendengarkan
dongeng sebelum tidur.
‘Ehem.. Ehem..’ si gadis mencoba
menjernihkan tenggorokannya sebelum memulai bercerita.
~~oOo~~
Nun jauh di sana, di sebuah
negeri yang amat jauh, hiduplah seorang Putri. Putri yang ini tak seperti
putri-putri dari negeri kerajaan yang lainnya. Putri ini bahkan tidak hidup
dalam sebuah istana. Putri hidup di sebuah rumah sederhana namun hangat. Rumah
peninggalan kedua orang tuanya yang sudah lama meninggalkannya sendirian. Namun
begitu, Putri selalu tegar menjalani hidupnya meski hanya seorang diri.
Putri adalah seorang gadis
pemberani, ia memiliki hobi berjalan-jalan berkeliling negeri. Menjelajahi
berbagai tempat yang mungkin tidak mudah dijangkau oleh seorang gadis. Setiap
kali Putri berpetualang, ia selalu menemukan banyak hal baru yang begitu
memukaunya. Putri begitu mencintai hobinya ini sampai-sampai ia terkadang lupa
sudah berapa lama pergi dari rumah. Bila sudah begitu maka ia akan kembali ke
rumah, tinggal untuk beberapa lama untuk kemudian berpetualang lagi.
Bila sedang di rumah, Putri akan
sibuk menulis, menulis semua petualangan yang baru saja dilewati. Kemudian
tulisannya akan dikirim ke penerbit untuk dijadikan buku. Sudah banyak buku
yang ditulis oleh Putri. Buku yang ditulis tak melulu soal petualangannya,
tetapi juga buku dongeng, cerita fiksi, puisi-puisi tentang alam, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Suatu ketika Putri memutuskan
untuk kembali bertualang. Putri ingin mengunjungi sebuah taman di belahan
negeri yang lain, Taman Seribu Mimpi. Taman ini begitu terkenal sampai-sampai
semua orang membicarakannya. Putri begitu penasaran pada taman ini. Ingin
melihat apakah taman ini benar-benar semenakjubka yang orang-orang katakan.
Pagi itu Putri pergi lagi meninggalkan rumahnya yang hangat.
Selama di perjalanan, Putri
bertemu dengan banyak orang, banyak cerita, yang semakin menambah wawasannya.
Putri berjalan dengan begitu riang, menerka-nerka akan seperti apa taman yang
sedang menunggunya. Hari-hari berlalu, hingga akhirnya tibalah Putri di Taman
Seribu Mimpi. Betapa terkejutnya Putri mendapati apa yang terhampar di depan
matanya kini.
Di hadapannya, terhampar sebuah
taman yang amat sangat indah. Seratus jenis bunga bermekaran bersamaan. Merah,
kuning, oranye, biru muda, pink, ungu, jingga, nila, bahkan ada yang berwarna
hitam. Mawar, melati, anggrek, daisy, lili, matahari, salvia, dan seratus jenis
bunga lainnya. Bunga-bunga yang bermekaran itu semakin cantik dan segar berkat
embun yang mengecup tiap kelopaknya. Sisa-sisa embun yang masih terlihat di mana-mana.
Tak kalah, kupu-kupu, kepik, burung-burung kecil, bahkan tupai yang memanjat
pohon terlihat di segala penjuru. Di sisi kiri taman mengalir sungai yang
airnya begitu jernih sampai-sampai Putri bisa melihat pantulan wajahnya di
sana. Angin yang lembut membelai wajah pun menambah indahnya suasana.
Putri masih terdiam karena
terhipnotis kecantikan Taman Seribu Mimpi ketika seorang pemuda tak sengaja
melewatinya. Demi melihat seseorang melewatinya begitu saja, Putri segera sadar
dan mencoba memanggil orang itu. Karena jujur saja, Putri masih belum tahu
bagaimana cara masuk ke dalam taman itu. Well yeah, sejak tadi Putri hanya
berdiri diam di luar taman, memandangi taman dari antara pagar-pagar yang
menjulang tinggi.
‘Hei, apakah kamu juga akan ke
dalam? Maukah kamu memberitahuku di mana pintu masuknya?’ tanya Putri pada
pemuda tadi.
‘Hmm ya. Aku juga akan masuk ke
dalam. Kamu mau ikut?’ pemuda itu balik bertanya.
‘Ya! Mau sekali. Terima kasih..’
Putri berjalan mengikuti pemuda
di depannya. Untuk beberapa waktu mereka berdua hanya berjalan dalam diam,
tanpa ada seorang pun yang berniat untuk memulai berbincang. Namun, Putri yang
memang tak bisa tahan berdiam diri lama-lama memutuskan untuk memulai
percakapan.
‘Aku Putri. Kamu siapa? Dan dari
mana kamu berasal?’ tanya Putri pada teman barunya.
‘Aku Ksatria. Aku dari negeri
seberang. Kamu tahu tentang Pasukan Kuda Hitam? Nah dari situ asalku..’ jawab
Ksatria sambil terus melangkah mantap.
‘Hmm, sepertinya aku pernah
mendengarnya. Jadi kamu salah satu dari pasukan itu?’
‘Begitulah...’
‘Wah, keren sekali...’
‘Hahaha, tunggu sampai kamu tahu
kalau kematian dan kehidupan hanya setipis pedang yang hampir menyentuh lehermu
maka kamu tak akan bisa berkata ‘wah keren sekali’ lagi seperti tadi.
Hahahaha.’
‘Errrr, jangan terlalu serius
begitu bisa kah? Kamu menakutkanku.’
Putri dan Ksatria terus berjalan
dan tibalah mereka di pintu gerbang Taman Seribu Mimpi. Yah, taman yang memang
membuat siapa saja yang datang jadi merasa sedang bermimpi termasuk Putri dan
Ksatria. Sekarang mereka sudah asik menikmati gemericik air yang mengalir di
bawah kaki mereka. Sengaja menjulurkan kaki-kaki mereka untuk merasakan
sejuknya air sungai itu. Mereka berbincang tentang apa saja, tentang bagaimana
Pasukan Kuda Hitam berhasil mengalahkan musuh di perbatasan, tentang seribu
tempat yang sudah dikunjungi oleh Putri, tentang purnama yang ternyata
sama-sama membuat mereka selalu takjub, tentang ternyata Ksatria juga begitu
mencintai berkeliling negeri yang selain karena memang tugasnya juga karena ia
begitu suka bertualang sama seperti Putri.
Dalam waktu yang sehari itu, Putri
dan Ksatria saling jatuh hati. Seperti menemukan belahan jiwa masing-masing. Putri
dan Ksatria begitu mirip satu sama lain. Hobi mereka, minat mereka, dan masih
banyak hal lainnya. Mereka bisa berbicang mengenai seribu satu topik dan tak
merasa bosan karenanya. Seperti berbicara pada diri masing-masing. Melihat pantulan
diri masing-masing tercermin pada di yang lainnya.
Untuk waktu beberapa lama Putri
dan Ksatria pergi bersama, berpetualang ke negeri-negeri yang belum pernah
mereka singgahi. Melakukan banyak hal baru bersama. Mencoba makanan-makanan, minuman-minuman
dari berbagai tempat yang mereka kunjungi. Malam ini makan malam di sebuah restoran
mewah dan nyaman, esok malam mereka terdampar di depan toko yang sudah tutup
melahap makanan pinggir jalan yang dibeli dengan harga murah. Mendengarkan musik
yang beragam-ragam jenisnya. Siang ini mereka menikmati alunan musik klasik di
sebuah ballroom indah dengan orkestra mahal yang membahana, esoknya mereka
hanya duduk terdiam di depan sungai, mendengarkan gemericik air keruh yang
mengalir menuju hilir. Menikmati segala yang mereka temui tanpa menetapkan
harapan yang muluk-muluk. Ya, buat mereka hidup ini adalah perjalanan,
petualangan. Bahwa hidup adalah detik ini, bukan sedetik sebelumnya atau detik
berikutnya. Dan mereka tak pernah membatasi mengenai apa yang akan mereka
hadapi di depan. Menerima segalanya dengan penuh suka cita.
Hidup jadi begitu berwarna. Memang,
tadinya pun hidup sudah begitu berwarna. Tetapi sejak mereka memutuskan untuk
bersama-sama berpetualang, hidup jadi lebih berwarna. Hidup jadi lebih semarak,
gemerlapan, meledak-ledak dan tak bisa ditebak. Hidup jadi selayaknya kembang
api tahun baru bagi keduanya. Begitu indah, begitu menyilaukan.
Namun seperti segala yang indah
ataupun buruk, segala sesuatu akan menuju pada suatu akhir. Suatu akhir yang tak
bisa dihindari meski siap atau tidak, ikhlas atau tidak. Saat Ksatria harus kembali
ke negerinya, kembali menunaikan tugasnya, meninggalkan Putri yang kini telah
terlalu terbiasa dengan kehadiran Ksatria dalam hidupnya.
‘Bolehkah aku ikut denganmu?’
tanya Putri dengan sedih.
‘Kamu tak bisa ikut. Kita sama-sama
tahu bahwa ini semua memang sementara. Jadi mengapa sekarang harus bersedih
begitu?’ Ksatria datar saja, mencoba menyembunyikan perasaannya yang
sebenarnya.
‘Apa kamu akan baik-baik saja
tanpaku? Apa segalanya akan berakhir sekarang? Tak bisakah kita bersama-sama
selamanya?’ Putri terus saja bertanya. Bening matanya hampir luruh menumpahkan
sungai yang akan mengaliri pipi tembamnya.
‘Putri, mengertilah... Aku akan
baik-baik saja, kamu juga akan baik-baik saja. Dan selamanya, pernahkah kamu
berpikir bahwa mungkin saja selamanya itu terlalu lama? Mungkin saja di tengah jalan
kamu akan merasa bosan padaku atau sebaliknya. Meski begitu, aku pergi bukan
karena tak ingin lagi bersamamu. Bila memang ditakdirkan untuk bertemu lagi,
maka sungai takdir kita pun bisa bersilang lagi nanti.’ Jelas Ksatria panjang
lebar. Matanya kini menatap ke dalam mata Putri.
‘Bosan padamu? Sepertinya tidak
akan pernah. Bersama denganmu, rasanya aku bisa menghabiskan seribu tahun. Dan itu
masih belum cukup. Bersama denganmu, seribu tahun pun belum cukup...’
‘Apakah batasan cukup atau tidak,
sayang? Buatku, bisa mengenalmu begini pun cukup. Buatku, bersama denganmu
kemarin-kemarin itu pun cukup. Mungkin memang jatah kita hanya sampai di sini
saja. Dan seandainya kamu tahu, kita tak pernah benar-benar meninggalkan yang
lainnya. Di dalam sini, aku menyimpan dan membawamu kemana saja aku melangkah.’
Kali ini Ksatria memegang dada kirinya seraya tersenyum setulus mungkin pada
Putri.
‘Tapi aku begitu mencintaimu. Rasanya
aku tak akan mampu lagi mencintai yang lain...’ Putri mendesah lirih.
‘Kamu tahu? Hatimu itu luas,
Putri. Jauh lebih luas dari yang kamu kira. Kamu masih akan selalu bisa
mencintai yang lain, jatuh cinta lagi berkali-kali dengan yang lain.’
‘Begitukah?’
‘Ya, begitulah...’
‘Jadi kamu akan bisa mencintai
yang lain selain aku?’
‘Ku rasa iya. Tapi bila kamu
bertanya padaku sekarang, ku katakan kalau aku hanya mencintaimu saja sekarang.
Esok atau lusa, mungkin aku akan mencintai yang lain. Entahlah. Kita tak pernah
tahu apa yang akan dibawa oleh hidup kepada kita bukan?’
‘Baiklah.... Maukah kamu
memelukku sekali ini saja?’
‘Kemarilah, Putri... kemarilah..’
Begitulah akhir kisah Putri dan
Ksatria. Ksatria kembali ke negerinya, begitupun Putri kembali ke rumahnya yang
hangat dan sederhana. Kembali menutup dirinya, menyibukkan dirinya menulis
segala yang pernah terjadi, sendirian.
Hari berganti hari, kabar yang
ditunggu Putri tak pernah sampai. Entah Ksatria sudah melupakannya atau terjadi
hal lain, Putri tak pernah tahu. Yang Putri tahu hanyalah seberapapun besar
usahanya untuk melupakan Ksatria, tak mampu sedikitpun menghapus segala
kenangan yang pernah ada. Hatinya patah, hatinya carut marut, hatinya bengkak
karena menanggung rindu yang tak lagi bisa dirajuk. Putri begitu merindukan
tawa itu, merindukan melihatnya makan dengan lahap, merindukan seribu satu
topik pembicaraan yang tak tentu arahnya, merindukan suaranya yang sedang
bersenandung, merindukannya sedemikian rupa. Tapi Ksatria seolah ditelan bumi,
menghilang sama sekali.
Malam itu purnama bersinar cerah
namun tetap tak mampu mengusir mendung yang menyelimuti hati Putri yang
lagi-lagi melamunkan Ksatria. Putri jadi berkhayal seandainya saja dirinya
adalah pedang yang selalu dibawa Ksatria. Ia jadi cemburu pada segala benda-benda
mati itu. Pada benda-benda yang masih akan selalu bersama-sama dengan Ksatria,
dimanapun ia berada. Pada pedangnya, pada baju zirahnya, pada topengnya, pada
pelananya, pada segalanya. Rasanya hampir-hampir hilang akal karena berharap
menjadi benda mati alih-alih dirinya yang sekarang.
Tanpa ia sadari, di langit malam
sebuah bintang meluncur jatuh menuju bumi. Bintang itu meluncur sedemikian
cepatnya, jatuh tepat mengenai jendela kamar Putri yang masih saja melamunkan
patah hatinya. Putri segera membuka jendela demi mendengar kegaduhan yang
merusak lamunannya. Betapa terkejutnya Putri ketika mendapati sebuah bintang
tergeletak begitu saja di bawah jendelanya. Dan lebih terkejut lagi ketika
seketika itu bintang tadi berubah menjadi seorang pemuda di hadapannya yang
kini sedang mengusap-usap wajahnya.
‘Ehmm, hai..’ sapa pemuda itu.
Putri masih diam mematung, tak tahu harus menjawab apa. Kepalanya masih sibuk
berpikir, mencoba mengingat-ingat apakah ia sudah jatuh tertidur ataukah masih
terjaga ketika tadi membuka jendela.
‘Maaf bila aku mengagetkanmu. Tapi
yah, aku tak bisa memilih untuk jatuh di sini atau di tempat lain kan?’ kali
ini si pemuda malah tersenyum renyah. Mencoba membuat Putri tersadar dari
keterkejutannya.
‘Kamu siapa?’ tanya Putri
akhirnya.
‘Aku Bintang Jatuh. Bintang yang
kebetulan jatuh di bawah jendelamu.’ Penjelasan Bintang Jatuh sama sekali tak
membantu Putri untuk memahami apa yang sedang terjadi.
‘Maksudku, mengapa kamu tiba-tiba
jatuh di sini? Dan apa tadi kamu bilang? Bintang Jatuh? Hahaha, kamu kira aku
anak umur sepuluh tahun atau apa? Jangan mengacau begitu...’ Putri yang kini
sudah sadar sepenuhnya malah tertawa sinis.
‘Aku sudah mengatakannya padamu
tadi. Aku Bintang Jatuh. Dan yah, aku tak bisa memilih dimana aku jatuh, di
bawah jendelamu atau di tempat lain.’
‘Mengapa kamu jatuh ke sini? Bukankah segalanya lebih indah di atas sana?’ kali ini Putri bertanya dengan
sungguh-sungguh. Tak lagi tertawa sinis atau semacamnya.
‘Hmmm...’ Bintang Jatuh mencoba berpikir
keras, dahinya berkerut. Sedang Putri masih menunggunya untuk menjawab.
‘Karena aku patah hati. Di atas
sana memang indah sekali, kamu bisa melihat segalanya dari atas sana. Hanya saja,
bintang pujaanku tak menerima cintaku. Dia lebih memilih bintang lain. Tak sanggup
terus ada di sana melihatnya bersama dengan bintang pilihannya, jadi aku
memutuskan untuk jatuh ke bumi. Begitulah...’ Bintang Jatuh mengatakannya
sambil menengadah ke atas, melihat ke langit malam yang begitu gelap.
‘Jadi, bolehkah aku berteman
denganmu?’ Putri pun hanya mengangguk samar. Masih bingung dengan yang terjadi.
Hari berganti hari, Putri dan
Bintang Jatuh berteman semakin akrab. Keduanya sering melakukan hal-hal
bersama. Berbeda dari kebersamaannya dengan Ksatria, kali ini Putri dan Bintang
Jatuh lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Hanya melakukan hal-hal remeh
temeh seperti membaca buku-buku yang pernah ditulis oleh Putri, membersihkan
rumah, berkebun, ke pasar, memasak, dan berbagai hal lainnya. Bintang Jatuh tak
begitu suka jalan-jalan keluar. Ia lebih suka duduk-duduk seharian di rumah. Pernah
suatu ketika Putri mengajak Bintang Jatuh untuk berjalan-jalan tetapi Bintang
Jatuh menolaknya. Ia tak suka bertemu dengan orang lain, orang asing, selain
Putri.
Hingga tiba suatu malam ketika
Putri berkata bahwa ia rindu untuk bertualang lagi, untuk kembali menjelajahi
negeri-negeri yang jauh. Ketika itu Bintang Jatuh hanya terdiam saja.
‘Putri, akankah kamu bersedih
bila aku pergi?’ tanya Bintang Jatuh tiba-tiba saja.
‘Kamu akan pergi? Kemana? Bukankah
kamu biasanya tak suka pergi?’
‘Entahlah. Aku bertanya saja. Seandainya
aku pergi, apakah kamu akan bersedih?’ Bintang Jatuh masih saja menanyakan
pertanyaan itu. Putri tak tahu bagaimana menjelaskan hal ini pada Bintang Jatuh. Putri sudah pernah terluka, dan ia sedang tak ingin terluka lagi. Hatinya masih terlalu perih bila harus terluka lagi. Begitupun ia tahu Bintang Jatuh juga baru saja terluka, dan demi ia, Putri tak ingin melukai Bintang Jatuh meskipun sedikit saja. Putri sama sekali tak ingin membuatnya terluka. Dan mereka akan selalu baik-baik saja dan tak terluka bila mereka tetap seperti ini saja.
‘Kamu tahu... hatiku ini baru
saja terluka. Patah sampai tak berbentuk. Aku begitu bersedih sampai aku kira
aku tak tahu lagi bagaimana rasanya berbahagia. Sampai rasanya aku tak bisa
mencintai yang lain. Namun begitu, aku mulai merasakan bahwa lambat laun hatiku
mulai sembuh. Mulai mampu merasakan apa itu bahagia. Dan sekarang, aku hanya
akan membiarkannya terbuka seperti ini. Seperti pintu yang terbuka. Siapapun,
termasuk kamu, boleh datang ke sini, kapan saja. Tapi aku tak akan
menjanjikanmu atau siapapun itu apa-apa, tak ada janji musim semi mengenai kita
akan selalu bersama-sama selamanya. Pun tak ada harapan-harapan akan keabadian
yang manis. Tak ada janji-janji... Dan bila kamu ragu, bila kamu tak yakin
untuk tetap tinggal, kamu bisa pergi kapan saja. Dan aku takkan merasa
kehilangan apa-apa. Takkan merasa sakitnya ditinggalkan seperti dulu.’
Putri mendesah, menghembuskan
napasnya setelah menyelesaikan kalimatnya yang panjang tadi. Bintang Jatuh
hanya terdiam memandangi Putri yang kini juga ikut terdiam.
‘Bila begitu, mungkinkah kamu
akan merindukanku bila aku pergi?’ Bintang Jatuh lagi-lagi bertanya. Putri tak
tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Beberapa waktu ini
mereka selalu bersama-sama, Bintang Jatuh tak pernah jauh dari pandangan
matanya. Bagaimana ia bisa merasa rindu pada Bintang Jatuh bila ia tak pernah
jauh darinya? Entah akan seperti apa rasanya bila nanti akhirnya mereka harus
berjauhan. Putri hanya tak ingin merasakan kesakitan itu lagi, kesakitan
menanggung rindu yang seolah tak berujung.
‘Entahlah. Mungkin saja. Tapi bilapun
aku merindukanmu, maka aku akan menyimpannya sendiri saja. Karena kamu tahu? Terkadang
ada hal-hal yang lebih baik kamu simpan sendiri. Sometimes, somethings are
better left unsaid...’ Putri tersenyum pada Bintang Jatuh yang kini juga ikut
tersenyum.
‘Mengapa kamu tak mengatakannya
padaku? Aku ingin kamu mengatakannya padaku bila kamu merindukanku.’
‘Hahaha, repot sekali. Repot sekali
kalau aku merindukanmu dan aku mengatakannya padamu, kamu harus sesegera
mungkin muncul di hadapanku. Kamu harus segera datang ke sini. Bukankah itu
akan merepotkanmu? Jadi lebih baik aku diam saja dan menyimpannya sendiri. Hehehe.’
Kali ini Putri tertawa lepas. Melepaskan semuanya.
‘Hmm, bisa saja. Bisa saja aku
langsung datang menemuimu. Dimanapun aku berada, aku pasti akan langsung
menemuimu.’ Bintang Jatuh berkata dengan sungguh-sungguh.
‘Oh, sudah ku katakan. Jangan pernah
berjanji. Karena aku pun tak mau berjanji. Sudahlah. Aku bosan, mau apa kita
sekarang?’
‘Hmm, kamu mau jalan-jalan?’
tanya Bintang Jatuh.
‘Jalan-jalan? Kemana?’ Putri
balik bertanya.
‘Ke langit. Aku rindu rumah.’
‘Bisakah?’
‘Tentu saja. Pegangan erat-erat.’
Malam itu, sekelebat cahaya
melesat ke langit malam. Menuju angkasa. Bertemu jutaan bintang lainnya.
~~oOo~~
‘Hei... kamu sudah tertidur?’
tanya si gadis pada pemuda yang ada di pangkuannya sambil membelai lembut kepala si pemuda.
‘Hmm...’
‘Pindah ke kamar? Di sini terlalu
dingin..’
‘Gadisku..?’
‘Ya?’
‘Akankah kamu merindukanku bila
aku pergi?’
‘Mengapa kamu bertanya begitu?
Kamu mau pergi kemana?’
‘Ah tidak, aku hanya bertanya
saja. Jawab sajalah...’
‘Begitu. Begini, sayangku, aku
tak tahu apa yang akan dibawa hidup ke hadapan kita esok. Tapi sekarang, saat
ini, aku bisa katakan padamu, saat ini aku ada di sini, kamu ada di sini, kita
di sini, dan yah kita bersama sekarang. Jadi kita tak perlu saling menanggung
rindu yang tak berujung bukan?’
‘Ya, kamu benar...’
‘Ya, kita toh sedang tidak pergi
kemana-mana. Hari sudah kelewat malam, mari kita tidur..’
Si pemuda menggandeng si gadis ke
kamar, kamar yang hangat dan nyaman. Malam itu mereka bermimpi indah, bermimpi
tentang negeri yang jauh di sana, tentang sebuah taman yang indah, tentang
seribu satu cerita. Dan esok, entah apa yang akan mereka hadapi. Tapi malam ini
mereka tahu bahwa mereka ada untuk satu sama lain. Itu saja sudah cukup. Untuk sekarang,
itu cukup.
Dan lamat-lamat masih mengalun indah dari gromophon tua, satu lagu itu.. Lagu pengantar tidur.
When i fall in love... it will be forver...
Or I'll never fall in love....
In a restless world like this is
Love is ended before it's begun
And too many moonlight kisses
Seem to cool in the warmth of the sun
When I give my heart it will be completely
Or I'll never give my heart
And the moment I can feel that you feel that way too
Is when I fall in love with you......
Or I'll never fall in love....
In a restless world like this is
Love is ended before it's begun
And too many moonlight kisses
Seem to cool in the warmth of the sun
When I give my heart it will be completely
Or I'll never give my heart
And the moment I can feel that you feel that way too
Is when I fall in love with you......
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^