Friday 14 June 2013

A Day With You



Aku masih mengaduk-aduk bubur ayam yang sekarang sudah tak karuan lagi bentuknya. Rasanya penat sekali. Hari Sabtu cerah begini malah ku awali dengan melamun dan melamun. Tadinya aku berencana untuk tidur sampai siang mengingat lima hari kemarin aku selalu tidur larut malam. Tapi nyatanya sehabis subuh tadi aku tak lagi bisa memejamkan mata dan malah berguling-guling tak jelas di atas tempat tidur. Jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kompleks dan well berakhir di tukang bubur ayam Sukabumi ini. And here I am, mengaduk-aduk bubur ayam yang sudah tak karuan lagi bentuknya.

Ku lirik sekilas telepon genggamku yang sedari tadi bisu. Dan entah, aku jadi teringat kamu. Menimbang-nimbang sebentar, menggelengkan kepalaku mencoba menghalau ide gila yang barusan saja nyasar di kepalaku yang sepagian ini hanya kugunakan untuk melamun. Tapi dorongan itu lebih kuat, dan gelengan kepalaku tak mampu menghilangkannya. Mungkin pasangan di meja sebelah menganggapku agak kurang waras karena menggeleng-geleng sambil bicara sendiri. Haha, biar sajalah. Aku sudah terlajur mencari namamu di log telepon genggamku. Yah, nomermu masih menjadi nomer teratas frequently dialled di telepon genggamku. Bagaimana lagi?

“Halo?” sapamu setelah dering keempat yang membuatku hampir memutuskan sambungan.

“Hai... apa aku membangunkanmu?” tanyaku berbasa-basi. Tentu saja aku tak membangunkanmu, sudah hampir pukul sembilan sekarang. Kamu pasti sudah bangun sejak tadi.

“Hmm, sebenarnya iya. Ada apa?” jawabmu singkat dengan suara masih mengantuk yang membuatku kaget. Tak biasanya kamu tidur sampai sesiang ini.

“Jadi sekarang harus ada apa-apa kalau aku mau nelepon kamu?” tanyaku sambil memonyongkan mulut, cemberut, lupa kalau kamu tak bisa melihatku.

“Bukan begitu.... Tapi..”

“Hahaha, bercanda.. Aku kepengin naik kereta. Kita naik kereta ke Purwakarta. Ya?” cerocosku langsung menyela kalimatmu, sebelum aku berubah pikiran dan menghabiskan waktu seharian ini dengan melamun saja.


“Heh? Kok tiba-tiba mau ke sana? Kenapa?” kamu bertanya bingung, membuat suaramu yang tadi masih mengantuk menjadi tersadar sepenuhnya.

“Kepengin aja. Memangnya gak boleh? Ya? Kamu mandi sekarang ya? Kita naik kereta jam sepuluh. Ketemu di Stasiun Senen aja. Okay?”

“Eh sebentar dong. Siapa yang bilang aku setuju? Mau apa ke sana? Memangnya di sana ada apa? Dan ini kan Sabtu, aku kerja. Remember??” rentetan pertanyaanmu membuatku sedikit kesal. Kamu ini susah sekali sih diajak bersenang-senang?

“Setuju aja. Aku gak tahu sih di sana ada apa. Dan cuma sekadar kepengin aja. Entah apa yang bakal kita temuin di sana juga aku gak tahu. Tapi yang jelas di sana ada aku. Nah sekarang angkat pantat malasmu itu dan pergi ke kamar mandi. Aku tunggu sejam lagi di Stasiun Senen.”

Dengar dulu dong. Ini gak jelas banget sih kamu? Aku kerja yah, dan kamu gak jelas gini pagi-pagi. Aku gak bisa. Titik.”

“Ini Sabtu. Demi bubur ayam Sukabumi, siapa yang kerja di hari Sabtu? Hari ini kamu bolos dan temenin aku ke Purwakarta. Jangan debat aku. Aku gak mau debat. Kalau kamu mau debat, cari aja wanitamu itu. Omong-omong, dia sedang apa? Dia tak tahu kah kamu sedang berbicara denganku?”

“Perfect. Pertama, kamu ngebangunin aku. Kedua, minta yang aneh-aneh segala. Ketiga, aku memang kerja dari Senin sampai Sabtu, kalau perlu sampai Minggu dan kamu tahu itu. Keempat, lagi-lagi kamu membawa-bawa dia dalam percakapan kita. Kelima, memangnya kamu bisa sampai Stasiun Senen dalam waktu satu jam? Ngaco. Jadi siapa diantara kita yang mau debat pagi-pagi begini?”

“Ya kalau begitu sana mandi. Sejam lagi di Stasiun Senen. Aku gak melulu minta-minta ke kamu kan? Sekali ini aja, bisa kan? See you, Yong.” Sebelum kamu sempat memdebatku lagi aku langsung memutuskan sambungan telepon. Terserah kamu akan datang atau tidak, tapi aku akan ada di sana, menunggu kereta tujuan Purwakarta. Entah melakukan apa nanti di sana.

Aku membayar bubur ayam yang hanya kumakan beberapa sendok itu lalu segera berjalan pulang ke rumah. Senyum lebar menghiasi wajahku. Katakan saja aku memang gila. Yah, aku kan sudah kehilangan kewarasanku sejak memutuskan untuk menjalani entah apa ini namanya denganmu. Kamu yang kelewat mencintai pekerjaanmu, kamu yang sebenarnya hanya bisa ku temui sebentar-sebentar saja di sela-sela segala kesibukanmu yang tak pernah ada kesudahannya itu, kamu yang sudah menikah. Tapi yah, kamu juga yang selalu bisa ku telepon pada jam-jam yang kurang masuk akal tiap kali aku tak bisa tidur, karena kamu akan selalu ada di sana setiap dini hari itu, entah mengerjakan proyekmu yang mana lagi. Terserahlah, asal kamu masih ada di sana.
~~oOo~~

Sinting. Satu kata itu yang pertama kali mampir di kepalaku setelah kamu memutuskan sambungan telepon. Pagi-pagi, masih mengantuk begini malah sudah diminta yang aneh-aneh. Kamu itu memang selalu aneh yah? Pernahkah sekali saja kamu bersikap normal seperti gadis kebanyakan? Tak melulu meminta yang aneh-aneh begitu. Yah memang benar sih yang kamu bilang kalau kamu jarang sekali meminta-minta padaku. Sedikit banyak aku tahu mengapa. Jadi tak perlu lagi ku bahas.

Aku mengurut pelipisku, rasanya masih pusing mengingat aku baru saja tidur pukul setengah enam tadi. Deadline yang tak pernah ada habisnya itu. Gambar-gambar yang belum selesai. Hitungan-hitungan yang juga masih belum beres. Belum lagi ditambah atasanku masih mengurus proyek di Batam, semakin banyak saja tanggung jawabku di sini dengan acara mem-backup atasanku itu segala. Aku terus melamun sambil berpikir tentang banyak hal, terutama tentang pekerjaanku. Sejenak lupa dengan teleponmu barusan.

Sepuluh menit berlalu dan aku jadi kaget sendiri ketika melihat jam digital di atas nakas sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Aku bergegas ke kamar mandi, kembali teringat dengan permintaanmu yang aneh itu. Memangnya mau apa ke Purwakarta? Ada apa sih di sana? Tapi yah setelah ku pikirkan sebentar sepertinya asik juga kabur dari pekerjaan, sehari ini saja. Aku sedang lelah sekali setelah empat hari empat malam lembur tanpa jeda. Dan aku tahu, senyum tengilmu itu selalu bisa menjadi hiburan  yang mampu membuatku melupakan sejenak segala masalahku.

Tak membutuhkan waktu lama untuk mandi dan berpakaian. Sekarang aku sudah siap untuk berangkat ketika dia menghampiriku seperti biasa. Mencium pipiku sambil meletakkan kotak sarapan di tanganku. Dia sama sekali tak curiga, dikiranya aku akan berangkat kerja seperti biasa. Dia bertanya kapan aku akan pulang, apakah dia harus menungguku untuk makan malam atau tidak. Dan aku menjawab seperti biasa, tentang dia sebaiknya makan saja duluan, tak perlu menungguku karena aku tak tahu akan pulang kapan. Sesaat aku merasa bersalah berbohong padanya. Tetapi sudahlah, ide menghabiskan satu hari bersamamu sudah terlanjur meracuniku. Jadinya aku pergi dan melihatnya melambai padaku di depan pintu rumah kami. Sudahlah, aku melajukan mobilku secepat yang aku mampu. Takut membuatmu menunggu terlalu lama di stasiun.

Dan sekarang apa? Sudah lima menit aku menunggumu di peron ini. Tapi kamu malah tak juga datang. Dasar kamu. Lihat saja nanti kalau kamu datang, aku akan ngambek saja. Lihat saja. Ahh itu, tak perlu berlari begitu, kamu sudah membuatku menunggu. Dan satu lagi, tak perlu tersenyum begitu yang aku yakin sengaja kamu pasang supaya aku tak jadi marah padamu. Bagaimana aku bisa marah padamu yang tersenyum seperti itu. Hhhh....
~~oOo~~

Aku berlari kecil sambil berusaha memasang senyumku yang paling manis, ngeri melihat wajahmu yang sekarang seperti hendak memakanku. Padahal jarak kita masih cukup jauh, aku masih di peron sebelah, baru turun dari keretaku, sedang kamu sudah duduk menungguku di sana.

“Bagus. Kamu yang pagi-pagi ngebangunin aku, minta yang aneh-aneh, sekarang kamu yang telat sampai di sini. Kamu ini...” katamu sambil mengulurkan tangan hendak menjitakku seperti biasa. Tapi aku yang sudah hapal kebiasaanmu itu langsung menghindar.

“Hehehe, maaf... tadi agak macet di jalan.” Kataku sambil mengambil rokok yang sedang kamu pegang dan membuangnya ke tempat sampat terdekat. “Rokok lagi? Lupa aturannya? Kalo lagi sama aku gak boleh ada rokok.”

“Macet yang mana? Kamu kan naik kereta dari Bogor yah.. Lagian salah sendiri lama, jadinya ya aku ngerokok, bosen tahu?”

“Kan...  alasan lagi..  Heuh.. Oh ya, bilang apa ke dia? Bilang berangkat kerja?”

“Aku setuju buat nemenin kamu, tapi kamu harus setuju buat gak sebut-sebut dia selama kita pergi. Okay?”

“Hmmm... baiklah... Santai, sama aku, isinya senang-senang aja. Hehehe...”

“Heuh... bikin aku bolos kerja gini, namanya senang-senang yah?”

“Eh kamu ini, masih aja kerjaan, ngapain sih Sabtu-Sabtu gini masih aja kerja. Pengin cepet kaya ya? Lagian kamu gak ada sehari aja juga gak bakalan bikin berantakan proyeknya kok..” ledekku sambil ikut duduk di sampingmu yang kini membuka kotak makan, dua tangkup roti isi. Pasti buatannya. Yah, aku belum lupa kok kalau setiap pagi dia yang membuatkanmu sarapan.

“Bukan gitu, tapi ini kan tanggung jawab. Lagian coba aja tanya ke teman-temanmu yang kerja di perusahaan swasta, mereka juga kerja sampai Sabtu kok. Dan kalau aku gak ada, emang jadinya berantakan. Paham?” Kilahmu sambil mulai mengunyah sarapanmu. Kamu menyodorkan setangkup lainnya kepadaku yang hanya ku balas dengan menggeleng.

“Aku udah makan bubur ayam tadi. Lagian teman-temanku juga gak kerja di hari Sabtu. Dan satu lagi, aku paham kalau kamu orang penting, tuan maha penting. Oke?”

“Harusnya sih kerja, minimal setengah hari lah. Dan terima kasih atas pujiannya, nona yang agak kurang penting.”

“Ih? Siapa yang ngeharusin ih? Aneh... Eya, makasih loh buat julukannya.” Aku melipat tanganku di dada sambil cemberut. Terserah kamu menyebutku apa, tapi hari ini hanya akan ada kamu dan aku. Titik.

“Kamu yang aneh...”

Sisanya kita hanya mengobrol hal-hal yang semakin lama semakin tidak penting. Menunggu kereta yang akan membawa kita ke Purwakarta. Kabur dari segala yang membuat penat. Sehari saja. Hanya hari ini saja. Biarkan hari ini hanya ada kita. Yah, memang konsep ‘kita’ buat kita berdua hanyalah sesuatu yang melulu tak direncanakan, sesuatu yang tiba-tiba, sesuatu yang sementara. Seperti sekarang, ketika aku dan kamu bersama, maka ‘kita’ ada. Setelah perjalanan ini, entah konsep itu terbang kemana. Tapi itu tak apa. Aku toh tak pernah meminta sesuatu yang permanen padamu. Ketiba-tibaan seperti sekarang ini yang selalu ku suka dari ‘kita’.

Akhirnya kereta pun tiba. Kita naik bersama banyak orang lain yang entah memiliki tujuan apa. Mungkin hanya kita saja yang tak punya tujuan khusus ke sana. Mungkin saja ada lagi orang yang seperti kita. Peduli amat, yang terpenting sekarang kita sudah duduk cukup nyaman di bangku kereta yang keras, yang sekarang sudah mulai melaju ke tujuannya, Purwakarta.

“Di sana ada apa sih? Kok kamu ngotot banget pengin ke sana?” tanyamu lagi-lagi.

“Hahahahaaa... gak tahu.” Aku malah tertawa lepas, heran juga dengan diriku sendiri. Padahal aku tak tahu apa-apa tentang Purwakarta. Entah nanti setelah sampai di stasiun akan melanjutkan kemana. Aku hanya kepengin saja.

“Malah ketawa? Hahhhh....”

“Yah, kan aku sudah bilang tadi? Aku gak tahu di sana ada apa. Atau kita akan kemana sesampainya nanti di stasiun. Yang jelas, aku bisa janjiin ke kamu kalau di sana ada aku. Yah dari sekarang juga sih. Bukankah kita yang bersama-sama begini juga sudah cukup?”

Kamu tersenyum saja tanpa menjawab pertanyaanku. Yah, seharusnya memang begini saja sudah cukup kan? Sekali ini lupakan segala yang kita tinggalkan di belakang punggung kita, Jakarta dan segala isinya itu. Sekali ini jangan tetapkan ekspektasi apa-apa. Sekali ini biarkan semuanya lepas begitu saja. Bukannya selama ini aku berekspektasi apa-apa terhadapmu, toh selama ini juga aku tak pernah merengek-rengek padamu. Aku juga tak pernah mengusikmu ketika kamu sedang sibuk dengan segala pekerjaanmu yang begitu kamu cintai itu. Sehari ini saja…

Selama perjalanan yang hanya beberapa jam itu, akhirnya kereta tiba di Stasiun Purwakarta. Kita ikut turun bersama penumpang-penumpang lainnya. Bangku-bangku tempat penumpang menunggu berjejer di sepanjang peron, para penjaja makanan hilir mudik di sana sini, muka-muka orang yang tak ku kenal lalu lalang melewati kita. Aku menyukai ini, menyukai semua tempat baru, tempat yang belum pernah ku kunjungi. Melihat orang-orang yang tak ku kenal. Memuaskan mataku yang bosan dengan gedung-gedung pencakar langit yang kadang kelewat menyilaukan itu.

“Baru menang lotere yah? Mataharinya aja kalah cerah sama mukamu.”

“Hahaha, gombal.” Aku menjulurkan lidahku yang kamu balas dengan mengacak-acak rambutku. Ah, aku suka sekali kalau kamu sedang mengacak-acak rambutku begitu. Detik berikutnya kamu langsung menggenggam tanganku. Mengajakku berjalan keluar stasiun, menjauhi kereta yang kini mulai bergerak pergi.

“Setelah ini gimana?”

“Entah..”

“Eh, kamu yang ngajak, tanggung jawab.” Katamu sambil bersungut-sungut.

“Iya iya... kita naik angkot aja gimana?”

“Kemana? Angkot yang mana?”

“Kemana aja. Angkot mana aja yang pertama kali lewat di depan kita.”

“Sinting...”

Tapi kamu menurut. Kita berdiri diam di pinggir jalan itu, sambil terus saling menggenggam tangan. Tak berapa lama angkot pertama pun melintas di depan kita. Seolah tahu kemana akan menuju, tanpa ragu kita langsung naik ke dalam angkot. Entah akan kita sebut apa perjalanan ini, tapi aku merasakan kehangatan menyelimuti hatiku seiring genggaman tangan kita yang semakin erat.

“Aku laper, Yong.”

“Sama.”

“Ahhh, gimana kalau kita berhenti di mana aja yang ada tempat makan. Jadi selama di angkot ini, kita lihat ke luar, nah kalau kita lihat ada tempat makan kita langsung aja minta turun. Gimana?” usulku tiba-tiba sambil memamerkan deretan gigi-gigiku yang putih.

“Tuhan,,, sinting betulan...” Dan kita hanya saling memandang, kamu dengan mukamu yang entah berekspresi apa, aku dengan cengiran bodohku. Tapi aku yakin kamu juga mulai menikmati perjalanan ini. Kapan lagi kan seperti ini? Para penumpang lain mungkin mengira kita agak kurang waras atau apa. Tapi biar saja lah.

“Pak, kiri sini ya pak...” katamu tiba-tiba yang membuat pak sopir mengurangi laju angkotnya.

“Di sini?” tanyaku sambil ikut turun bersama kamu.

“Tuh di situ. Kayaknya enak makan mi ayam bakso. Kamu mau kan?”

“Apa aja boleeeehhh... cuss...”

Jadinya kita sama-sama memesan mi ayam bakso tanpa vetsin dan dua gelas es kelapa muda. Entah karena memang lapar atau memang enak, kita melahapnya dengan nikmat. Semilir angin masuk, membuat sejuk warung mi ayam yang ukurannya tidak begitu besar ini. Ternyata Purwakarta juga panas meski tentu saja tidak sepanas Jakarta. Setidaknya di sini tidak begitu banyak polusinya. Panas yang dirasakan betul-betul hanya berasal dari matahari, bukan dari sisa asap pembuangan kendaraan-kendaraan yang sebetulnya sudah tidak layak pakai lagi itu atau dari pantulan sinar matahari yang mengenai kaca-kaca jendela gedung-gedung.

“Sawinya dimakan dong, Yong. Kan enakkk...” kataku sambil terus melanjutkan mengunyah.

“Iya... Dasar Oyong bawel ih...”

“Hahaha...”

Aku jadi tertawa teringat asal muasal sebutan kita itu. Malam itu adalah satu dari sedikit sekali malam yang berhasil kita curi. Kita sedang makan di warung pecel pinggir jalan, pecel ayam untukku dan pecel lele untukmu. Aku yang memang begitu menyukai lalapan mengomentarimu, bawel seperti biasanya, ‘kok gak dimakan kemanginya? Kan enak..’. Lalu kamu malah memindahkan kemangi dari piringmu ke piringku, ‘nah buat kamu aja kalo enak. Aku gak suka.’ Yang aku balas dengan, ‘Ih.. aku suka semua daun-daunan. Enak. Coba aja kamu tinggalin aku di hutan seminggu, aku pasti masih bisa hidup, kan di hutan banyak daun.’ Kamu yang sedang makan tetiba langsung tertawa, ‘kamu lucu. Emangnya kamu bisa makan semua daun-daunan? Kan enggak. Coba makan pohon itu.’ Katamu sambil menunjuk pohon di seberang jalan. ‘Yah gak gitu juga sih... maksudnya sayuran...’ sahutku sambil bersungut-sungut sedikit. ‘Dasar oyong.’ Kamu mengatakannya untuk meledekku. ‘Kenapa oyong?’ protesku. ‘Kan kamu suka sayuran. Oyong kan sayuran. Atau mau dipanggil Ayang aja?’ tanyamu sambil memasang wajah polos. ‘Oyong is better.’ Sahutku singkat. ‘As you wish, nona.’

Setelah itu kita saling memanggil dengan sebutan ‘Oyong’. Alih-alih dengan sebutan yang satu lagi. Kita memang tak pernah membicarakan tentang satu hal itu. Tentang satu kalimat itu, rentet tiga kata yang seolah serupa mantra yang bila diucapkan akan membuat kita seketika menderita kutukan menyakitkan. Jadinya kita sebisa mungkin saling menahan diri untuk tak memulai topik yang satu itu. Kita akan selalu baik-baik saja asalkan tidak mulai membicarakannya, begitu yang kita saling pahami masing-masing.

“Alhamdulillah kenyang.... Yuk ah lanjut?”

“Bayar dulu ih?”

“Yaiyalah...”

Setelah membayar makan, lagi-lagi kita hanya berdiri diam di pinggir jalan. Menunggu angkot menuju entah. Sebenarnya bukan tanpa tujuan sama sekali sih. Tadi ketika kamu membayar makanan, aku sempat menanyakan kepada si mas pelayan kira-kira ada tempat wisata apa di Purwakarta ini. Dan dia malah tertawa geli, katanya di sini tidak ada apa-apa yang menarik, sama sekali bukan tujuan wisata. Aku hanya bisa manyun mendengarnya. Dan mungkin karena kasihan melihatku manyun begitu, dia langsung berusaha mengingat-ingat tempat apa yang mungkin bisa didatangi. Dan terucaplah satu tempat itu, Waduk Jatiluhur yang terkenal itu. Heran juga tadi aku tak ingat tentang waduk itu. Here we go, Waduk Jatiluhur.
~~oOo~~

Sinting. Entah sudah berapa kali aku mengucapkan kata itu sejak pagi tadi bangun tidur sampai siang ini. Bagaimana tidak, sekarang kita lagi-lagi hanya berdiri diam di pinggir jalan, menunggu angkot yang katamu akan membawa kita ke Waduk Jatiluhur? Sepertinya itu.

Tapi sejujurnya aku menikmati kebersamaan kita sejak tadi. Senyum yang tak lepas-lepas dari wajahmu itu, aku ingin sekali bisa melihatnya setiap hari, sepanjang hari seperti sekarang. Ketika hanya ada aku dan kamu saja. Dengan segala ketiba-tibaan dan ketertakdugaanmu itu. Iya, aku selalu tak mampu menebak apa yang akan terjadi kemudian tiap kali bersama denganmu.

Bersama denganmu artinya harus bersiap-siap untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi. Bersama denganmu yang seringnya hanya beberapa jam saja. Di antara sempitnya waktu yang ku punya. Tapi kamu tak pernah mengeluh. Kamu tak pernah menuntut. Kamu tak pernah protes. Seperti yang selalu, kamu hanya menerima saja. Menerima segala yang mungkin bisa kita dapat. Kamu tak pernah menetapkan ekspektasimu atas apa yang kita sebut ‘kita’. Bahkan tak pernah sekalipun kamu bertanya tentang apa yang sedang kita jalani sekarang. Tapi itu lebih baik, karena aku sendiripun mungkin tak tahu harus menjawab apa bila kamu menanyakannya.

Pintaku hanya satu, janganlah kamu memikirkan dia, membawa-bawa dia bila kita sedang bersama. Aku hanya ingin ada kita saja, aku dan kamu saja. Biarlah dia ada di sana, di kehidupanku yang itu. Tak perlulah kamu merusak kebersamaan kita yang hanya jarang sekali itu dengan menyebut-nyebut namanya. Aku hanya ingin bersama kamu saja saat itu, aku toh ada di hadapanmu saat itu, bukan di sampingnya. Kamu. Bukan dia. Seperti yang terjadi sejak tadi hingga sekarang.

Kamulah yang sekarang ada di sebelahku, mengutak-atik kamera polaroidmu itu. Ah, kameramu itu. Aku tak pernah tahu apa alasan sebenarnya kamu tak pernah mau berpoto denganku. Bahkan kita sama sekali tak mempunyai poto satu sama lain. Apalagi poto berdua. Orang-orang bilang, ‘kita hanya mengambil poto untuk mengabadikan apa yang ingin kita kenang. Bukan apa yang ingin kita lupakan.’ Karena itukah? Karena kamu tahu kita hanya sementara? Karena kita hanya detik ini saja? Atau karena alasan lain? Karena bahkan kamu tak ingin mengabadikan ‘kita’ dalam selembar poto polaroid? Aku tak tahu, kamu tak pernah mau menjelaskan kepadaku. Tapi terserah sajalah. Angkot kita sudah datang.

“Yuk, naik..” kataku sambil menggenggam tanganmu. Tanganmu yang selalu hangat.

“Daritadi kok diutak-atik aja sih kameranya? Rusak? Atau apa?” tanyaku padamu yang masih saja sibuk  dengan kamera polaroidmu itu.

“Gak tahu. Tadi pagi masih baik-baik aja kok....” jawabmu tanpa mengalihkan padangan dari kamera itu.

Kita kembali diam. Jadinya aku memperhatikan jalan raya saja. Purwakarta memang tak seramai Jakarta, tentu saja. Tapi dimana-mana sudah mulai terlihat perkembangan yang pesat. Yah bukannya aku pernah datang ke sini atau apa. Tetapi bukankah kita selalu tahu tempat-tempat yang sedang berkembang? Ataukah karena naluriku yang melulu memperhatikan pembangunan-pembangunan meski sekecil itu saja dimana-mana? Duh tidak bisakah kepalaku berhenti berpikir soal gedung atau bangunan apapun sebentar saja?

“Hei.. kok diam aja sih? Capek ya?” akhirnya aku kembali mencari bahan pembicaraan. Kenapa kamu tetiba jadi pendiam begini?

“Hehe.. gak kok...”

Sesuatu bergetar di saku celanaku. Ah, aku lupa mematikan telepon genggamku. Spontan aku mengeluarkannya, ku lihat namanya berpendar-pendar di layar. Aku melirik sekilas kepadamu yang juga melihat ke arah yang sama denganku.

“Angkat aja... aku gak apa-apa kok...”

“Gak usah. Biarin aja. Biasanya juga gitu kalau lagi kerja.” Aku menunggu dia memutuskan sambungan. Menyerah karena tak juga ku jawab teleponnya. Setelah itu memasukkannya kembali ke dalam saku.

“Pinjam dong? Bosan nih, mau ngegame.” Katamu sambil menengadahkan tangan kepadaku. Jadinya aku mengeluarkan lagi telopon genggamku itu.

“Aku tahu passwordnya... Hahaha. Masih yang lama kan? Tanggal ulang tahunnya.” Kamu mengatakannya dengan riang, seolah hal itu sama sekali bukan masalah bagimu. Atau memang bukan masalah? Yah, memang tanggal ulang tahunnya yang ku jadikan password, bukan hanya satu tapi seluruh passwordku adalah tanggal ulang tahunnya. Ku harap kamu tak cemburu soal itu. Atau kamu memang tak cemburu? Entahlah, aku tak pernah tahu. Lagipula aku tak tahu kapan ulang tahunmu. Kamu tak pernah mau memberitahukannya padaku.

Ya ya, bukannya tidak pernah. Tapi aku tak percaya saja. Kamu bilang ulang tahunmu 17 Agustus. Hah, itu pasti akal-akalanmu saja yang memang tak ingin ku ketahui tanggal ulang tahunmu yang sebenarnya. Dan lagi-lagi aku tak tahu alasanmu apa. Padahal aku ingin bisa memberimu kejutan di hari ulang tahunmu, seperti yang pernah kamu lakukan untukku. Membelikanmu bunga dan kado-kado. Tapi terserah sajalah.

Angkot masih melaju di jalan raya, jauh meninggalkan pusat kota Purwakarta menuju Waduk Jatiluhur. Namun tak lama kemudian, kitapun sampai di depan gerbang pintu masuk waduk ini. Kaget juga aku mendapati bahwa ternyata waduk ini sudah dikelola secara komersial. Tadinya ku kira hanya akan mendapati sebuah waduk membosankan yang yah tak ada apa-apa selain air saja. Tapi ternyata kawasan ini sudah dikelola menjadi sebuah tempat wisata yang lumayan bagus. Cukup bagus untuk rekreasi bersama keluarga.

Di sekitarnya pun sudah terdapat beberapa hotel dan bungalow dengan fasilitas yang beragam. Beberapa bar dan restaurantpun tak mau kalah. Fasilitas yang ada di kawasan ini juga ternyata dilengkapi dengan lapangan tenis, bilyard, perkemahan, kolam renang, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air, playground dan masih banyak fasilitas lainnya. Tak tanggung-tanggung olahraga air yang disediakan di sini diantarnya adalah mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air, boating dan lainnya. Cukup oke juga ternyata tempat ini.

Dan kamu, yang begitu mencintai air sedemikian rupa, sejak tadi sudah menarik-narik tanganku untuk segera ke dermaga. Di sana terdapat banyak perahu yang bisa disewa untuk mengelilingi waduk.

“Kita naik perahu yak? Yak? Aku mauuuuuu...” katamu merajuk seperti anak sepuluh tahun. Aku suka melihatmu begitu. Lucu sekali.

Kita memilih perahu berwarna biru muda. Tadinya kamu tidak setuju untuk menyewa satu perahu untuk kita berdua saja. Katamu terlalu boros, membuang-buang uang, bahwa sebenarnya kita bisa menyewa perahu bersama pengunjung yang lainnya, sehingga ongkosnya jadi lebih murah. Tapi buatku tak ada yang namanya membuang-buang uang. Hari ini hanya boleh ada aku dan kamu. Mana rela aku berbagi perahu dengan pengunjung lainnya alih-alih hanya berduaan denganmu saja. Hih... Tak seperti kamu yang begitu suka mengenal orang asing, aku lebih memilih hanya denganmu saja.

Tak perlu menunggu lama, perahu yang kita tumpangi mulai bergerak ke tengah waduk. Pemandangannya cukup indah. Untunglah hari ini cerah. Matahari, langit biru, gunung, dan waduk yang terhampar di hadapan kita membuat hari ini semakin indah. Terlebih karena ada kamu di sampingku. Kehangatan yang sejak tadi menyelimuti hatiku semakin bertambah hangat. Rasanya aku ingin seperti ini terus. Di sini saja. Bersama kamu.

“Yong, seneng kan? Jieee... daritadi kamu senyum-senyum terus loooohhh...” lamunanku buyar demi mendengarmu yang sekarang sedang menggodaku. Hah, memangnya kelihatan sekali yah kalau aku senang sekarang. Aku yang tak tahan digoda seperti itu olehmu malah meluncurkan serangan mautku, mengelitikimu sampai kamu berteriak-teriak. Rasakan itu.

“Aduh, aduh, udah dooong. Geli tahu? Ampun deh ampunnnnn...” katamu sambil memegangi perut.

“Makanya gak usah ngeledek gitu. Hih...” kataku sambil berpura-pura mengancam untuk menggelitikimu lagi.

“Tapi emang kamu seneng kan? Ya kan?”

“Hu um... Makasih ya...”

“Buat?”

“Ini semua. Udah ngajak aku kabur ke sini...”

“Hehehe, sama-sama. Makasih juga udah rela diajak kabur.”

“Heuhhh, sekali ini aja.” Aku mengeratkan genggaman tanganku. Tak ingin melepaskannya sama sekali. Tidak sekarang.

Satu jam telah berlalu, puas juga mengelilingi waduk ini. Seharusnya sudah berakhir sejak tadi, tapi aku meminta kepada si pemilik perahu untuk menambah setengah jam lagi. Biar saja ku bayar lebih sewanya, asalkan bisa terus menikmati keindahan ini. Hari sudah mulai sore ketika perahu kita menepi di dermaga. Tapi wajahmu masih secerah tadi, seperti tak pernah merasa lelah. Kadang-kadang aku berpikir bahwa kamu ini punya semacam batere cadangan sampai-sampai selalu terlihat cerah begitu.

“Kita duduk di sana yuuuukkk?” ajakmu sambil menunjuk satu tempat di pinggir waduk. Di situ ada bangku yang menghadap ke arah waduk, tepat di bawah sebuah pohon rindang. Oh rupanya, romantisme ini masih berlanjut. Aku jadi senyum-senyum sendiri karena entah bagaimana yang terlintas di benakku adalah adegan dari sebuah film drama Korea yang kebanyakan gula, film-film favoritmu itu. Percintaan antara Seo Entah Apa dengan Kim Entah Apalah Juga itu.

Selama beberapa waktu kita hanya duduk dalam diam, masih memandangi waduk yang terhampar di hadapan kita. Refleks aku menarik kepalamu untuk menyandar ke bahuku. Kali ini kamu tak menolaknya, tak seperti biasanya yang akan kamu jawab dengan ‘Gak mau ah. Habis sakit sih sandaran di situ, tulang semua gitu sihhh.. Hahaha.” Yah, kamu memang selalu saja mengejek-ejek badanku yang kurus ini. Tertawalah sampai puas. Aku rela asal kamu bisa tertawa senang.

“Yong..” panggilku pelan.

“Hmm...?” kamu mendangakkan wajahmu, melihat kepadaku.

Jarak kita jadi begitu dekat. Seharusnya tadi aku tak memanggilmu. Tetiba jantungku jadi berdetak lebih cepat. Aku lupa jarak terdekat kita seperti apa. Yang jelas belum pernah sedekat ini. Dan aku jadi tak bisa berpikir jernih lagi demi melihatmu begitu. Aku bahkan seperti bisa mendengar aliran darahku menderu naik ke otak. Yang malah membuatnya menjadi semakin tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang aku tahu cuma satu, yang aku inginkan saat ini cuma satu. Detik berikutnya aku sudah mencium bibirmu. Dari gerak tubuhmu aku tahu kamu pun kaget, aku juga kaget mengapa aku begitu tak bisa menahan diri. Tapi detik berikutnya kamu hanya diam, tak membalas ciumanku, tapi juga tak menjauh dariku. Lima detik berlalu ketika kamu menarik dirimu menjauh. Aku sudah sinting sepertinya karena bahkan aku menghitung berapa lama bibir kita bersentuhan. Kamu diam saja sampai kemudian kamu mengatakan kalimatmu yang mengada-ada itu.

“Bibirmu rasa nikotin..

“Hahahaa..” aku tertawa hambar, merasa masih canggung dengan yang baru saja terjadi. Seperti anak umur tujuh belas tahun saja. Sekarang kamu duduk bersandar pada sandaran bangku, kembali memandang waduk.

“Aku belum pernah ciuman sebelumnya...” katamu pelan, seperti berkata pada diri sendiri. Aku tentu saja kaget mendengar perkataanmu itu. Kamu itu kan sudah berumur 27. Tapi belum pernah berciuman?

“Aku mau ciuman pertamaku dengan suamiku. Tadinya.” Demi mendengar kalimatmu yang terakhir itu, aku seolah ditampar oleh tangan yang tak kasat mata. Jadi di sinilah aku, si lelaki brengsek yang merusak cita-cita seoarang gadis baik-baik.

“Maaf... Aku gak tahu....” kataku lirih. Bingung harus berkata apa.

“Hahahaha, jadinya malah ciuman sama om-om suami orang.” Sekarang kamu malah memaksakan tertawa yang membuatku jadi lebih sakit. Sudahlah, tak perlu berpura-pura tertawa seperti itu. Aku sudah total merusak hari ini, merusak kebahagiaan yang tadi kita nikmati bersama. Seharusnya aku bisa lebih menahan diriku. Kamu masih terus tertawa. Berhentilah tertawa begitu. Ku mohon...
~~oOo~~

“Berhentilah... ku mohon...” kamu masih saja menyuruhku berhenti tertawa. Sedang aku terus saja tertawa terbahak-bahak sejak tadi. Sejak aku menarik diriku dari ciumanmu itu. Aku hanya sedang menertawakan betapa kadang-kadang hidup jadi begitu lucu. Aku tahu kamu pasti kaget mengetahui aku belum pernah berciuman. Yah memang umurku sudah 27, tapi lalu mengapa? Aku hanya ingin semuanya terasa istimewa, dan benar. Ciumanmu tadi itu sama sekali tak bisa dikatakan benar, meski mungkin saja bisa dibilang istimewa. Atau juga tidak istimewa sama sekali. Bagaimana tidak? Itu adalah ciuman pertamaku dan aku hanya bisa mematung saja. Parahnya lagi, dengan suami orang. Bukan suamiku sendiri.

“Umurmu berapa?” tanyaku enteng.

“32? Kamu kan sudah tahu?”

“Ah yaa. Aku hanya lupa saja. Sudahlah, tak perlu merasa bersalah seperti itu.”

“Kamu marah padaku?”

“Hm? Buat apa?”

“Tentang yang tadi...”

“Ahh, buat apa marah padamu? Sudahlah, lupakan saja. Kita pulang sekarang?”
~~oOo~~

Di sinilah kita, di dalam sebuah bus kembali menuju kota seribu cahaya, kembali pada kenyataan. Tak seperti berangkat tadi, kita memutuskan untuk naik bus saja. Dan nanti naik taksi untuk mengambil mobilku yang ku parkir di stasiun pagi tadi. Kamu tertidur pulas di sebelahku, bersandar pada bahuku yang melulu kamu ejek itu. Sebenarnya aku sendiripun ragu, cukup nyamankah kamu bersandar di bahuku? Seharusnya aku bisa lebih gemuk sedikit yah... Sudahlah.

Hampir pukul sebelas malam ketika bus yang kita tumpangi sampai di terminal Rambutan. Aku memaksamu untuk ikut ke stasiun mengambil mobilku dan kemudian aku akan mengantarmu ke rumah. Iya, aku tak akan membiarkanmu pulang sendiri saja naik taksi. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Untunglah jalanan ibukota sedang lengang, jadinya kita tak perlu bermacet-macetan.
~~oOo~~

Kamu memaksaku untuk ikut ke stasiun. Padahal aku bisa saja pulang sendiri naik taksi. Seperti aku anak umur sepuluh tahun saja yang mesti diantar pulang ke rumah. Tapi ya sudahlah, terserahmu sajalah. Jadinya kita naik taksi ke stasiun dan mengambil mobil lalu kembali lagi ke jalanan, menuju rumahku.

“Aku laper ih,,, kamu laper gak?” tanyamu membuyarkan kantukku yang sudah semakin berat.

“Laper sih...”

“Beli nasi goreng yuk?”

“Boleh....”

Dan kitapun mampir sebentar di warung nasi goreng pinggir jalan. Kamu makan dengan lahapnya seperti habis puasa seharian saja. Aku yang tadinya sudah begitu mengantuk jadi segar kembali. Setelah makan kita kembali melanjutkan perjalanan menuju kota hujan, menuju rumahku.

Sesampainya di rumah aku jadi bingung harus apa. Butuh waktu satu setengah jam untuk bisa sampai ke rumahmu. Sudah dini hari sekarang. Mungkin subuh kamu baru akan sampai di rumah. Haruskah aku memintamu untuk tinggal saja dan kembali esok pagi? Aku tak tahu harus apa.

“Eh, kamu mau mampir bentar? Minum atau apa?” tanyaku canggung yang hanya dijawab dengan anggukan kecil darimu. Jadi kita masuk ke rumahku bersama-sama, sama-sama mengantuk dan kelelahan.
~~oOo~~

Jalan tol masih terlihat begitu lengang. Lagipula ini hari Minggu, tak ada orang yang buru-buru untuk mengejar waktu. Malah mungkin semua orang masih terlelap dengan nyenyaknya di ranjang yang hangat. Aku saja yang aneh, Minggu subuh malah sudah berada di jalan tol Jagorawi.

Yah, akhirnya aku malah jadi jatuh tertidur tadi. Lupa kalau seharusnya aku kembali pulang ke rumah setelah menghabiskan secangkir kopi yang kamu buatkan untukku. Aneh juga kopimu itu, bukannya membuatku melek malah membuatku mengantuk. Dan saat adzan berkumandang mau tak mau aku jadi tersadar dimana aku berada dan cukup kaget juga ketika aku menyadari sedang berada di ruang tamu rumahmu.

Setelah sholat subuh aku langsung pulang, kembali menuju kepada kenyataan. Meninggalkanmu di belakang. Entah kapan kita bisa bersama-sama lagi. Bersenang-senang seperti kemarin. Seharian bersama denganmu.
Kunyalakan telepon genggamku yang sengaja ku matikan sejak kemarin, beberapa pesan singkat berebut masuk, dua diantaranya dari dia sisanya dari kantor dan lain-lain. Padahal aku hanya ingin menghubungimu saja. Ah, kamu ini serupa candu atau apa?
~~oOo~~

-aku udah sampe di rumah. Makasih buat kemarin.-

Pesan singkatmu yang ku terima sesaat lalu. Jadi kamu sudah sampai. Sudah kembali lagi bersama dengannya. Dan aku di sini, sendirian. Lagi. Memandangi dengan lekat langit-langit kamarku yang terlihat begitu jauh. Seperti baru saja terbangun dari mimpi indah. Mencoba mengingat-ingat apakah kemarin itu nyata atau hanya mimpi. Tanpa sadar aku menyentuh bibirku. Teringat hidung mancungmu bersentuhan dengan hidungku. Tentang rasa bibirmu yang seperti nikotin, meski aku belum pernah merokok sekalipun. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berkali-kali. Mencoba menepis kenangan itu.

Aku menggigit bibirku, mencoba mengingatkan diri sendiri. Bahwa inilah hidup yang nyata. Hidup yang tanpa kamu. Lagi-lagi aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mencoba menepis segala tentangmu. Sudah, yang kemarin biarlah ku tinggalkan. Hari ini adalah hari ini.  Tak perlu berlebihan mengagung-agungkan kenangan yang begitu.


Aku melihat sekilas lagi pada pesan singkatmu. Masih enggan membalas. Jadinya aku malah menuju kamar mandi, mengguyur kepalaku, berharap semua kenangan itu ikut hanyut.

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^