Sama kamu, kayak lagi main FTV.
Iya, betulan. Kamu tahu FTV? Film pendek yang alur ceritanya juga pendek, tapi kadang-kadang kelewat manis itu, kelewat mengada-ada. Film yang biasanya ditayangkan siang hari di televisi-televisi swasta. Yah kadang juga malam hari sih. Dan tetiba aku berpikir kalau sedang bersama kamu seperti sedang main FTV, bahwa terkadang ketika bersama kamu, aku seperti sedang main FTV. Seperti ada lampu sorot yang menyinari kita berdua yang entah sedang melakukan apa, dengan roll film yang terus berjalan seiring adegan yang kita lakukan berdua, sutradara yang terus memelototi kita seolah takut kita akan berbuat kesalahan yang tak sesuai dengan skenario, serta para asisten dan tukang-tukang lainnya yang ada di sekitar kita.
Hahaha, sebetulnya bukan seperti itu. Sama sekali aku tak merasakan ada lampu sorot dan sebagainya itu. Tetapi, yang terjadi pada kita yang membuatku berpikir sedang berada dalam sebuah FTV. Yang terjadi pada kita mirip dengan skenario-skenario yang biasanya muncul dalam film pendek itu. Yang aku kira tadinya hanya ada dalam skenario saja. Tetapi, sama kamu, adegan-adegan yang kebanyakan gula itu, ternyata ada nyata. Dan sama sekali tak terasa dibuat-buat, seperti terjadi begitu saja, tanpa skenario ataupun rancangan-rancangan. Mau tak mau aku jadi tersenyum, geli sendiri mengingatnya.
Kamu tak tahu bagian yang mana? Sungguhan? Sini, duduk di sini. Aku kasih tahu bagian mana saja yang membuat aku berpikir sedang ada dalam sebuah FTV. Oh, kamu boleh sambil menghabiskan agar-agar yang memang sengaja aku buat untuk kamu kok. Sembari kamu menghabiskannya, aku akan menceritakan bagian mana saja tadi. Ah tapi kamu harus berjanji untuk tidak tertawa. Lagipula, kamu yang membuat aku merasa seperti itu, seperti sedang main FTV, jadi kamulah pelakunya. Nah begini, kamu sudah siap untuk mendengarnya? Tak perlu melihatku seperti itu, fokus saja pada agar-agarmu, okay?
Apa kamu ingat tentang subuh itu, ketika aku menemanimu menunggu bus yang akan membawamu kembali ke kota seribu cahaya, kembali kepada hidup yang nyata, meninggalkan dua hari kebersamaan kita yang sebetulnya kurang dari dua hari itu. Yah, kita di sana, di pinggir jalan besar, mencoba menghalau dingin yang menggigiti kulit, menunggu bus itu datang. Lalu kamu tetiba menggenggam tanganku seraya berkata ‘Pinjem yah? Dingin..’ Dan setelah kalimatmu itu, tanpa anggukan dariku, kamu langsung menggenggamnya dan memasukkan tangan kita ke dalam saku jaketmu. Lalu kita hanya saling tersenyum bodoh untuk kemudian kembali menekuri jalan raya, barangkali bus yang kita tunggu sudah datang.
Entah lah, hal itu masih membuatku tersenyum sampai sekarang, sepertinya manis sekali. Dan ku kira tadinya yang seperti itu hanya ada di film-film saja. Lucu sekali menyadari bahwa kita sedang tidak main film. Bahwa subuh itu adalah nyata. Tanganmu yang dingin itu nyata. Yah, tanganmu memang dingin sekali. Berbeda sekali dengan tanganku yang selalu hangat. Senyuman bodoh kita pun nyata. Dan hangat yang menguar di dalam saku jaketmu pun nyata. Meski semuanya terasa kelewat manis, kebanyakan gula seperti FTV-FTV itu.
Tapi perasaan itu hanya bertahan sebentar subuh itu, karena tetiba aku berpikir hal lain. Tentang wanitamu. Bertanya-tanya sendiri, ketika kamu menggenggam tangaku, tanganku kah yang menghangatkan hatimu? Ataukah bayangannya yang tak pernah lepas dari ingatanmu? Dan begitulah, aku mengucapkan sesuatu yang seharusnya tak pernah ku ucapkan padamu. Jadinya kamu mengeluarkan tangan kita dari saku jaketmu, lalu melepaskan genggaman tanganmu dari tanganku. Membuatku kembali merasakan angin yang dingin menggigiti kulit. Kamu jadi kembali dingin, senyum bodoh tadi langsung hilang, dan sisa lima menit sampai ketika bus yang kita tunggu datang hanya dihabiskan dalam diam. Aku diam karena merasa telah salah menyinggung soal wanitamu. Kamu diam karena entah apa. Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan. Lampu sorot pun sudah lama dimatikan sejak kamu mengeluarkan tangan kita dari saku jaketmu.
Dan ingatkah kamu ketika malam itu kita sedang berada di sebuah toko buku. Aku sedang mencari novel, sedang kamu mencari pulpen. Kemudian kamu memanggilku untuk mendekat padamu. Katamu ‘pulpennya enak deh buat nulis. Cobain deh...’ lalu aku mencobanya dan setuju denganmu. Aku melihat pulpen itu dengan lebih seksama dan menemukan kalau pulpen itu dibuat di Korea. Spontan aku berkata, ‘ihh pulpennya dari koreaaaa...’ Setelah itu aku kembali mencari buku, dan kamu kembali entah mencari apa lagi. Lalu kita pulang ke rumah.
Esok paginya sebelum kamu pergi, kamu memberikan aku pulpen yang kemarin. Ternyata kamu membeli dua buah, satu untukmu satu untukku. Aku malah berkata dengan datarnya bahwa aku tak membutuhkan pulpen. Tapi kamu menjawabnya dengan ‘tapi ini dari Korea... Mau gakkk? Kalau gak mau ya sudah.’ Dan aku mengambilnya. Aku tak tahu apakah pikiranku ini benar ataukah keliru, mungkinkah kamu membelinya hanya karena pulpen itu dibuat di Korea dan aku begitu menyukai segala sesuatu tentang Korea, sehingga kamu membelikannya untukku hanya sekadar itu saja? Karena Korea tadi. Bila begitu, itu manis sekali. Hahaha, entahlah, padahal pulpen itupun hanya seharga semangkok bubur ayam di depan kantor. Tapi, alasanmu itu, manis sekali. Dan kita jadinya punya pulpen yang sama. Begitukah? Hahaha, ini sungguh kebanyakan gula yah... Dan aku lagi-lagi malah merusaknya dengan berkata bahwa aku tak membutuhkan pulpen. Kesalkah kamu denganku?
Ah, belum lagi tentang paket yang kamu kirim langsung ke kantorku beberapa bulan lalu. Kamu tahu kalau aku begitu menyukai memandang langit, memandang bintang-bintang, bulan, dan segalanya. Kamu tahu kalau aku begitu menginginkan teropong bintang. Jadinya kamu mengirimkanku paket tanpa berkata apa-apa padaku. Bukan, paketmu memang bukan teropong bintang, tetapi adalah lampu kamar yang bila dinyalakan akan menghadirkan langit malam berserta bintang-bintang yang memenuhi kamarku, bukan hanya langit-langit saja tapi seluruh kamarku yang dipenuhi bintang-bintang. Yah, memang bukan pertama kali aku menerima kiriman tiba-tiba, kiriman kejutan. Tapi paketmu itu paket yang manis sekali. Kali ini aku tak merusaknya, aku langsung mengambil telepon selularku, mencari namamu di antara deretan kontak lainnya, memencet dial dan mengucapkan terima kasih padamu. Kamu yang sudah bisa kupastikan sedang tersenyum saat itu.
Nah, apakah semua itu mirip adegan-adegan di FTV? Menurutku iya. Menurutmu bagaimana? Kamu membuat aku merasakan hal-hal yang aku kira hanya ada dalam sebuah film. Atau aku saja yang berlebihan? Katakan saja aku berlebihan, dan payah karena tak pernah merasakan hal-hal seperti itu. Kemana saja aku selama ini? Di dalam gua mungkin, menunggu kamu datang. Hahaha.
Ah ya, juga tentang genggaman tangan. Ingatkah kamu tentang malam itu? Malam ketika kita berjalan dari parkiran menuju warung pecel ayam pinggir jalan? Malam itu kamu menggenggam tanganku terus-terusan. Tak sekalipun kamu melepaskanya. Lalu aku dengan isengnya malah berkata ‘Takut banget yah kehilangan aku sampai-sampai digandeng terus?’ Kamu yang mendengar kalimatku itu langsung melepaskan genggamanmu dan berjalan di depanku. Padahal seandainya kamu tahu, aku suka sekali bergandengan tangan seperti itu. Suka sekali berjalan beriringan. Seperti pasangan-pasangan muda di film-film yang kebanyakan gula itu. Bukan berjalan di belakangmu yang tetiba hilang mood. Aku memang pengacau bukan?
Oh lalu tentang siang itu, ketika kita makan siang bersama teman-temanku. Apakah kamu ingat? Ketika aku salah bicara tentang kaviar. Bahwa aku berkata, ‘biasanya gw sih minumnya kaviar’ lalu teman-temanku malah tertawa dan berkata bahwa aku salah karena kaviar bukan diminum, tetapi dimakan. Lalu kamu yang malah menenangkanku dengan berkata, ‘dia tahu kok kaviar dimakan, Cuma lagi ngelawak aja... Ya kan?’ sambil melihat kepadaku dan tersenyum. Saat itu rasanya aku hanya ingin memelukmu dan berkata terima kasih. Terima kasih karena telah membelaku dan menyelamatkanku dari rasa malu. Padahal aku sama sekali lupa apa itu kaviar. Kamu manis sekali. Jadi mirip tokoh-tokoh cowok romantis di film-film yang kebanyakan gula itu. Kan, lagi-lagi aku merasa sedang main FTV.
Atau tentang ketika beberapa kali kamu menjemputku sepulang dari kantor dan kemudian mengantarku ke rumah. Aku suka sekali dijemput begitu. Sebelumnya belum pernah ada orang yang menjemput kemudian mengantarku ke rumah sepulang kerja. Jadi seperti itu rasanya. Menyenangkan sekali. Bukan apa-apa, hanya saja, yah selama ini melulu ayah atau adikku yang mengantar-jemput. Kemudian kamu melakukannya, dan aku menyukainya, meski hanya beberapa kali saja. Selama ini hanya bisa melihatnya di film-film yang kebanyakan gula itu dan membayangkan bagaimana rasanya dijemput dan diantar oleh seorang cowok. Padahal dulu pun aku sering diantar jemput oleh teman-temanku semasa sekolah menengah. Tetapi dengan kamu, rasanya berbeda. Aku suka ketika tak sengaja radio di mobilmu memutar lagu yang kita suka. Aku suka melihatmu ikut bernyanyi sambil terus fokus menyetir mobil. Aku suka melihatmu menggoyang-goyangkan kepalamu seiring hentakan lagu yang kebetulan sedang diputar. Jadi seperti itu rasanya.
Tapi begitu, tak melulu kamu yang berbuat manis. Bukankah aku pernah melakukan hal manis padamu? Tentang hari itu, hari ulang tahunmu yang ke 26. Malam sebelumnya kita hanya menonton film, film action kalau aku tidak salah ingat. Sudah hampir tengah malam ketika filmnya selesai. Dan aku, alih-alih terus menemanimu mengobrol, malah memutuskan untuk tidur. Jadi aku masuk ke kamarku dan kamu tetap di sofa merah hati favorit kita itu. Melanjutkan menonton film dari laptopmu yang sudah nyala sejak semalaman itu. Entah kamu memikirkan apa, atau berharap apa, atau mungkin saja kamu tak berpikir dan berharap apa-apa. Kamu tak mengatakan apa-apa ketika aku beranjak pergi, masuk ke kamar.
Di dalam kamar, aku hanya terbaring, sama sekali tak berniat tidur. Aku malah mendownload satu lagu lama, lagu anak-anak. Menjadikannya ringtone alarm yang akan membangunkanmu tepat pukul 00.26 nanti, seperti umurmu yang akan menjadi 26 tengah malam nanti. Dari dalam kamar aku masih bisa mendengar kalau kamu belum tertidur. Jadinya aku keluar dan langsung menuju kamar mandi. Sambil lalu, aku mengingatkanmu untuk tidur yang hanya kamu jawab dengan gumaman. Pukul dua belas lewat, tengah malam, kamu akhirnya tertidur. Aku tahu karena aku ke dapur untuk mengambil minum.
Yang kamu tidak tahu adalah aku telah menyiapkan kejutan untukmu. Jadinya aku menata kue yang kita beli tadi sore, yang kamu kira adalah aku hanya sekedar kepingin saja. Dua potong kue tiramisu yang sebenarnya jauh dari kata layak untuk disebut sebagai kue ulang tahun. Ah ya, sebenarnya aku malah sudah membeli sepotong besar tiramisu sebelumnya, tapi hancur karena terguncang-guncang di dalam tas, membuat krimnya rusak. Aku meletakkan sebatang lilin di atas masing-masing kue.
Dan sedetik kemudian, ponselku yang sudah ku setting itu berdengking-dengking menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang baru saja aku download sebelumnya. Aku meletakkan piring berisi kue tadi di depan wajahmu yang masih tertidur, belum terganggu dengan dengkingan lagu yang semakin lama semakin besar volumenya ditambah dengan suaraku yang juga sama cemprengnya, menyanyikan lagu selamat ulang tahun buatmu. Beberapa detik kemudian kamu terbangun dan dengan satu gerakan cepat kamu meniup lilin-lilin itu sambil menyambar sumber suara berisik yang barusan membangunkanmu. Tanpa acara ‘make a wish’ atau semacamnya, lilin ulang tahunmu ditiup begitu saja. Dan kamu baru sadar sedetik kemudian ketika menyadari aku ada di situ, masih menyanyikan selamat ulang tahun sambil tersenyum bodoh.
Kamu mengucapkan terima kasih dengan mata yang masih mengantuk. Lalu aku bertanya apakah kamu mau mengulangnya lagi dan ‘make a wish’ terlebih dahulu yang kamu jawab dengan ‘gak usahlah, ngantuk. Makannya besok aja. Makasih yaaa...’ Aku tak tahu apa yang kamu rasakan saat itu. Hanya saja, aku berharap kamu bahagia. Meskipun hanya itu yang bisa aku lakukan. Tapi ku harap itu cukup manis buatmu, cukup untuk membuatmu tersenyum sepanjang hari itu. Membuatmu merasa kalau kamu berarti, meski hanya sekedar itu saja.
Tapi nyatanya, itupun tak cukup. Yang aku tahu, harimu malah rusak, bukan karenaku, siapalah aku mampu membuat harimu rusak? Tetapi karena wanitamu. Kamu jadi uring-uringan seharian itu. Seperti biasanya setiap kali wanitamu selalu mampu membuat perasaanmu naik turun. Dari seribu cerita yang kita lalui bersama, dia masih selalu menjadi pusat segala perasaanmu. Dia yang hanya dengan jentikan tangannya saja mampu membuatmu merasa kacau balau atau bahagia seketika itu juga. Dan aku hanya bisa diam mendengarkanmu bercerita betapa kesalnya kamu hari itu. Lagu selamat ulang tahun, lilin-lilin kecil, dan dua potong kue, tak lagi ada dalam ingatanmu yang melulu berisi tentangnya. Yang kulakukan masih kurang gula rupanya. Ah, yang seperti ini adakah dalam skenario FTV? Mengapa jadi cerita yang ini? Bukankah kita sedang membicarakan tentang adegan-adegan dalam FTV.
Hmmm, sudahlah. Ku rasa segitu saja dulu. Lagipula, agar-agarmu sudah habis kan? Nah kamu juga sudah mengantuk begitu. Jadi tidur saja lah. Besok lagi akan ku ceritakan cerita yang lainnya.
No comments:
Post a Comment
Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^