Tuesday 27 April 2010

ENOUGH!!!

Aku masih duduk di halte Bundaran HI ini. Menunggumu datang, sudah sejak pukul satu tadi, persis sama dengan jam yang ku ketik cepat-cepat sebelum aku berubah pikiran, untuk kemudian ku kirim ke nomermu yang masih saja ku ingat sempurna sebelas angka tanpa cela. Berharap kamu mau membacanya alih-alih kamu langsung menghapusnya tanpa membaca sedikitpun.

Tak banyak yang ku ketik, hanya sekalimat saja, berdoa dalam hati agar kamu bukan hanya akan membacanya saja, tapi juga setuju untuk menemuiku. Di sini, di tempat yang sama dengan lima tahun lalu, persis ketika kita pertama kali bertemu, suatu sore yang hangat di bulan April tahun 2005. Persis hari ini pada rentang waktu lima tahun yang lalu. Seandainya saja waktu mampu membungkus kenangan, mungkin derit detik lima tahun lalu bisa bercerita pada derit detik hari ini.

Aku melirik ponselku yang bisu sejak tadi, berharap dering khusus yang sengaja ku pasang hanya untuk nomermu tiba-tiba berbunyi untuk mengabarkan kau sudah hampir tiba atau apalah. Tapi ternyata masih sama, bisu. Limabelas lewat limapuluhdua, genap sudah seratustujuhpuluhdua menit aku di sini.


Entah sudah berapa banyak busway yang singgah di halte ini. Harap-harap cemas melihat ke arah penumpang turun dari dua arah berbeda, mungkin penumpan yang berikutnya turun adalah dirimu. Tapi ternyata untuk entah yang kesekian kalinya aku hanya menghela nafas kecewa. Karena lagi-lagi bukan kamu yang muncul. Lagi-lagi hanyalah wanita lainnya yang juga berambut sebahu, atau juga yang tingginya hampir sama denganmu, dan bahkan seorang ibu-ibu berwajah bundar yang dengan susah payah menenangkan anaknya yang sepertinya kelewat antusias. Kamu masih belum nampak nyata, masih tetap hanya sebentuk sosok yang berlarian di ruang pikirku yang sudah lama tak lagi jernih. Yang kadang sekali sentak, sosokmu langsung meruap serupa uap panas dari rebusan jagung kesukaanmu.

Aku sudah hampir jatuh bosan di halte busway ini. Bosan memperhatikan orang yang lalu lalang. Bosan jepret sana sini. Aku sudah bosan amat sangat andai saja aku tak ingat kalau aku sedang menunggumu. Kamu yang bahkan tak pernah bosan melakukan apapun untukku. Kamu yang kadang kelewat sabar menghadapiku. Kamu yang selalu ada tiap kali aku terjatuh. Kamu yang selalu rela berlari kecil untuk mengejarku karena aku selalu berjalan cepat-cepat, padahal kamu kesusahan di belakangku, kesusahan mensejajariku. Tapi kamu gak pernah protes, kamu hanya terus berusaha menyamakan langkahmu dengan berlari mengejarku. Ah, kenapa kamu begitu baik? Atau aku yang sudah kelewatan padamu?

Tapi apakah ini hukuman untukku? Separah ini kah? Setidaknya kamu setuju untuk bicara denganku, bukan malah diam seperti ini. Tak bisa kah kamu mengungkapkan apa yang kamu rasakan sekarang? Apa yang kamu inginkan. Atau apa saja lah. Bicaralah, agar aku tak pusing berputar-putar di tempat mencoba menerka-nerka apa yang kamu rasakan, apa yang kamu inginkan. Apakah kini tempatku sudah tergantikan? Tapi apakah semudah itu?

Matahari sudah terbenam sejak tadi, senja sempurna jingga menutup hari. Entah kamu ada dimana, apakah sedang menuju ke arahku atau malah menjauh dariku, tapi aku tahu pasti kamu juga melihat senja barusan. Aku belum lupa kalau kamu amat menyukai senja, selalu menarik lenganku untuk ikut keluar bersamamu, menikmati matahari yang beranjak terbenam, pamitan pada bumi yang kita jejaki ini untuk memberi pagi untuk bumi di sisi lain. Tapi kamu selalu penuh syukur, fajar atau senja, kesemuanya kamu nikmati dengan penuh syukur padaNya, memejamkan mata menyebut namaNya, sambil berusaha untuk merasai dan merengkuhnya dalam-dalam dengan satu tarikan nafas, membiarkan kulit halusmu dicumbu sang surya. Demi melihatmu begitu aku tak berminat lagi memperhatkan matahari yang entah akan terbit atau terbenam, yang mana saja, keduanya sudah menjadi bagian dari hari-harimu. Ah sebenarnya malah hanya satu, si matahari.

Aku kadang cemburu pada si matahari, entah kapan aku bisa menjadi matahari bagimu. Mungkin itu malah keinginan yang kelewat tinggi, ah tapi bukankah bermimpi itu tak berdosa?

Entah lah… Kamu tahu kalau aku masih di sini.

***

“Aku tunggu kamu jam satu siang hari ini, di halte biasanya”

Sekalimat pesan singkatmu itu benar-benar mengusikku pagi ini. Entah apa yang kamu pikirkan, mungkin kamu sudah lupa kalau cerita kita sudah benar-benar berakhir. Harus ku katakan dengan bagaimana lagi, dengan bahasa apa lagi, bahwa sekarang ini tak lagi ada yang bisa kita jadikan alasan untuk sekedar menapaki jalan yang sama bersama lagi. Sudah tak ada yang bersisa. Aku sudah mengatakannya dengan tegas berkali-kali, tapi aku yakin kamu akan berkata lagi soal aku tak pernah mengatakan apapun yang ku pikirkan atau rasakan. Pasti begitu.

Bukan, ini bukan tentang bagaimana kita menjalani hari bersama selama lima tahun terakhir ini. Aku juga tak lupa soal hari ini, tepat lima tahun sejak pertemuan itu. Aku berlari mengejar busway terakhir yang malangnya malah menabrakmu yang melangkah keluar sampai seluruh bawaanku berhamburan di lantai halte. Aku tetap saja ketinggalan busway terakhir itu. Sia-sia aku berlari mengejarnya.

Setelahnya aku jadi sering berlari kecil, mencoba mensejajari langkahmu yang kadang kelewat cepat. Jujur saja aku lelah selalu berusaha mengimbangimu, padahal kamu tetap saja seperti tak menaruh belas kasih padaku yang tertatih di belakangmu. Rasanya kamu malah lebih cepat lagi berjalan, meninggalkanku di belakang. Kamu selalu begitu, acuh dan cuek.

Sama cueknya ketika ku tarik tanganmu untuk menikmati senja tiap kali kebetulan kita sedang bersama. Kamu selalu enggan, malah lebih memilih untuk tetap berkutat dengan kameramu itu. Padahal seandainya kamu bisa melihat betapa indahnya senja ini, pasti kamu bisa merekamnya dengan sempurna menggunakan kameramu itu. Yang ada malah lagi-lagi kamu hanya memoto diriku, yang entah sedang melakukan apa saja. Huff, aku tak suka dipoto terus-terusan begitu. Rasanya aneh sekali melihat begitu banyak wajahku di dinding rumahmu, di kamarmu, di studiomu, di setiap jengkal rumah mungilmu.

Hari semakin beranjak siang, walau masih terbilang jauh menuju pukul satu, jam yang kamu pilih untuk pertemuan ini. Pertemuan setelah perpisahan yang ganjil, perpisahan yang ku rasa sudah mencapai pada titik klimaksnya. Atau malah sudah menemui antiklimaks. Aku mematut diri sekali lagi di cermin, merapikan blouse kuning yang kupadankan dengan rok hitam polkadot, padanan kesukaanmu. Tak sadar kemudian aku melihat layar ponselku yang mencetak sekalimat pendekmu tadi pagi. Terasa amat nyata, walau aku masih ragu bahwa pengirimnya sungguhan kamu.

Aku masih tak mengerti kenapa kamu memilih halte itu untuk menemuiku. Mungkin kamu mencoba membujukku dengan menyegarkan kembali ingatanku akan pertemuan pertama dulu, tentang bagaimana kita telah bahagia bersama. Tapi aku ragu hatiku bisa kembali merasakan hangat yang sama lagi. Merasakan percikan rindu yang bergemuruh kencang di dalam rongga dada, menyelusup merambati arteri, berdesir bersama darah segar yang mengaliri tubuhku. Entah rasanya aku tak mampu lagi merasakan itu semua. Aku kehilangan kemampuan merindu, kehilangan kecakapan mencinta. Hilang sudah.

Karena nyatanya hidupku bisa berjalan baik tanpa harus selalu melulu bersisian denganmu. Kamu yang selalu percaya diri, kadang malah kelewat percaya diri, tentang bagaimana aku selalu berusaha ada untukmu. Padahal andai saja kamu sadar kalau “kamu” yang muncul di tiap kali perkataanku, tulisanku, pengharapanku adalah variable, sosok yang bisa digantikan dengan sosok lain. Jadi bukan berarti “kamu” akan selalu kamu, atau kamu selalu jadi “kamu”. Variable, bisa digantikan. Selalu. Sama seperti rumus aljabar yang bervariable x dan y, maka pada akhirnya atau malah memang sejak awal, “kamu” dalam keseluruhan perkara ini adalah variable. Gak mesti kamu yang menempati posisi itu untuk kemudian menghasilkan penyelesaian untuk rumus tadi.

Walau ketika tak ada satu pun yang menempati variable itu bukan berarti kemudian kosong, tapi nol. Dan tetap saja dalam nol itu masih ada sesuatu, sesuatu yang berbilang walau tak mesti harus punya arti. Jadi kalau sekarang kamu masih saja berpikir bahwa perkara ini masih bisa diperbaiki, menurutku kamu amat keliru. Setidaknya aku lebih memilih untuk membiarkan variable itu ditempati nol untuk sementara waktu, agar aku pun dapat sedikit melihat ke dalam diriku lagi. Memiliki waktu untuk memahami ini semua dengan lebih dingin tanpa harus terganggu dengan kamu ataupun “kamu”.

 Seandainya kamu sadar, kamulah matahariku. tapi itu dulu. Yeah, you were the centre of my universe.

***

Busway terakhir sudah sampai di halte ini, aku harus segera memutuskan apakah akan ikut masuk atau keluar, ke jalan. Aku tahu, tahu sejak pagi tadi aku mengirim pesan itu padamu kalau kamu tak akan datang. Busway berwarna merah itu melintas acuh, aku urung melangkahkan kaki. Alih-alih duduk lagi di halte busway yang lengang aku berjalan melintasi jembatan penyebrangan, turun ke jalan, menuju air mancur. 

Merasa kecil di antara gedung-gedung megah ini, gemerlap lampu-lampu yang membuatku semakin silau. Lalu lalang kendaraan tak lagi begitu ramai, walau masih jauh lebih ramai ketimbang hatiku yang semakin merasa sunyi, hampa. Apa katamu waktu itu soal nol dan kosong, hanya gara-gara kamu gemas dengan orang yang menyebut 0 dengan kosong bukan nol. Nah begini, aku masih ingat.

"Nol bukan kosong.
Karena nol itu bernilai.
Tapi kosong sampai kapanpun tetap berarti gak ada.

Nol itu punya nilai, yaitu nol.
Kosong itu gak ada, kosong, gak ada, walaupun belum sampai hampa.

Karena segala sesuatupun dimulai dari nol, nol kilometer, nol derajat, nol persen, dan jutaan nol lainnya.
Bukan dimulai dari kosong.


Kosong itu gak ada.
Nol itu bernilai."

Nah sekarang aku sempurna merasa hampa. Bukan lagi merasa kosong.

Aku menengadah, memandangi langit malam, bintang berkedip genit satu sama lain, sedang bulan tak mau kalah, bersinar dengan cantiknya. Indah sekali malam ini, bahkan sesaat aku tak lagi merasa sedih. Benar katamu, seandainya saja kita mau memperhatikan alam sebentar saja, mencopot sejenak segala artribut material, maka kita akan merasakan banyak kebahagiaan kecil yang sebelumnya tak terasa.

Apa kamu juga melihatnya malam ini?

***

Maaf. Ternyata memang tak ada lagi yang perlu dibahas. Bahkan sekedar menemuimu. Aku tak bisa. Jadinya aku malah berhenti di halte Tosari. Satu halte sebelum halte tempat kamu menungguku siang tadi. Tepat sebelum pintunya tertutup aku melangkah keluar, nyatanya aku masih tak bisa menemuimu.

Aku tahu mungkin kamu bosan atau apa, tapi aku tahu kamu masih terus di sana, mungkin sampai malam, sampai tak ada lagi busway yang melintas, untuk kemudian dengan enggan kamu berjalan keluar. Dan aku, aku tak tahu harus kemana, jadinya aku hanya duduk di halte ini seharian, bertaruh pada angin kalau kamu akan memeriksa seluruh halte busway. Padahal aku yakin kamu gak akan kemana-mana. Hanya duduk di sana, tepat di halte berikutnya dari halte ini, menungguku.

Aku melangkah keluar dari halte sesaat setelah busway terakhir melintas. Terhenti sejenak, menengadah, memandangi langit berbintang, purnama bundar sempurna nyala di atas sana. Indah sekali malam ini.

***

7 comments:

  1. haiiiiii.... ros seneng skali menulis cerpen? or ni kisah nyata yg dibuat cerpen? hehehe...

    but aku tertarik ma model di pic.nya sapa tu? dirimukah n temen kantor? hehehehe

    ReplyDelete
  2. :44

    hahahahay
    siapa lagi nih korban sumber dari segala sumber cerita :D

    ReplyDelete
  3. ah si mbak..... romantis banget aku hanyuuuuttt...
    dan dia, entah bagaimana rindu ini hanyut tak bersisa.. kenangan lama emang susah dilepas

    ReplyDelete
  4. Wuiih...cerpennya bagus...
    Suka bikin cerpen ya???

    ReplyDelete
  5. wah, romantis amat kalimat2nya. mendayu2.

    ReplyDelete
  6. [mbakaish]
    ini cerpen aja kok, mbak.. hehe..
    kalo modelnya, ummm saha nya' eta....
    ouch... :p

    [yenyen]
    hasyaaah, eluuuu mah...
    kagak oi, kagak...

    [nengnong]
    hok oh, kenangan..........

    [riesta]
    hok oh, suka aja bikin cerpen, hehe..
    makasi.. ^^

    [mbakfanny]
    makasi, mbak... ^^

    ReplyDelete
  7. ini beneran karya pribadi atau ngopi di sini si?
    kok sama kayak karya penulis faforit ku di fb. https://www.facebook.com/notes/momobrutality-willdie-angelina/ini-cukup/130711203733791

    ReplyDelete

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^