Wednesday 14 April 2010

Kisah Sehelai Daun


"Hai, Daun. Mengapa kau bersedih begitu? Sampai warnamu hampir kuning, layu." Sapa Capung yang baru saja mampir di atas sehelai daun.

"Hai, Capung. Aku tak bersedih. Waktuku memang hampir tiba, garis takdirku hampir mencapai titik akhirnya. Semua daun pun akan layu dan terlepas dari rantingnya bukan?" Balas Daun yang berusaha terlihat baik-baik saja.

"Yaa, begitu... Hei, kenapa tubuhmu bolong-bolong begitu?" Tanya Capung dengan polosnya.

"Oh, tadinya ada Ulat yang tinggal disini, di bawah teduhnya tubuhku. Dia selalu memelukku erat agar tak terbawa angin, dan berlindung disana dari teriknya matahari juga dari hujan. Dan bolong-bolong ini yaa karena dia butuh makan. Aku merelakan tubuhku dimakan olehnya, agar dia tak perlu pergi jauh untuk makan." Jelas Daun panjang lebar.

"Hmmm, begitu.. Sekarang dimana Ulat itu?" Sepertinya Capung semakin penasaran dengan cerita Daun.

"Dia sudah pergi. Lihat itu disana, di atas setangkai Mawar yang indah itu. Cantik bukan?" Daun menghela nafas, letih, rasanya ingin segera terlepas dari ranting dan kemudian terjatuh di tanah, menjadi pupuk bagi pohonnya.

"Waw. Kupu-kupu itu? Yang berwarna cerah itu? Cantiknyaaa.. Ah, serasi benar dia bersanding dengan Mawar indah itu. Pasangan yang sempurna." Capung yang terus saja mengagumi keindahan Kupu-kupu dan Mawar tak menyadari kalau kata-katanya tambah membuat Daun bersedih.

"Ah ya, mereka memang serasi. Pantas lah dia melupakan aku. Aku yang tadinya selalu menjadi sahabatnya, tempatnya berlindung, dan mendengarkan seluruh keluh kesahnya. Aku yang menemaninya melalui seluruh proses metamorfosisnya. Yang selalu menyemangatinya bahwa satu saat dia akan menjadi Kupu-kupu yang cantik. Aku yang..." Daun tak mampu lagi melanjutkan kalimatnya.

"Kami dulu amat bahagia hidup bersama. Tapi sekarang dia.. Dia bahkan tak pernah lagi mendatangiku. Sama sekali tidak. Dia sudah lupa denganku. Dia kelewat asik dengan Mawar indah itu. Tapi biarlah.. Toh sebentar lagi aku tak akan ada lagi di dunia ini." Lanjut Daun tersendat.

"Hei, aku khan mendatangimu? Ayolah, jangan bersedih begitu. Satu saat dia pun pasti mengingatmu. Kamu tetaplah ada di dalam ingatannya. Eh tapi apa iya Kupu-kupu mampu mengingat? Setauku Gajah yang bisa mengingat. Kau tahu kan kalimat 'Elephant can remember'. Harusnya kau memberi tumpangan pada Gajah, bukan Ulat." Capung mencoba untuk menghibur Daun, walau tak yakin akan berhasil.

"Haha9, ada-ada saja kau ini. Yang ada langsung ludes aku dimakan Gajah sekali kunyah." Kata Daun sambil tertawa kecil.

"Nah gitu dong, tertawalah, pagi ini begitu cerah, kenapa pula harus bermuram durja." Balas Capung takzim bak seorang bijak.

"Yeah, kau benar. Makasih ya sudah menghiburku pagi ini. Hei, setelah ini kau akan kemana?" Balas Daun yang lambat laun kembali ceria. Daun tak ingin bersedih di saat-saat terakhirnya.

"Hmmm, aku akan terbang berkeliling lagi. Siapa tahu aku bertemu daun lain yang harus ku hibur. Haha9." Jawab Capung sambil bersiap-siap terbang lagi.

"Hei, kau menyindirku ya? Baiklah... Salam untuk siapapun yang kau temui ya.." Daun tersenyum melepas kepergian Capung. Dia berjanji tak lagi bersedih dengan yang sudah terjadi. Setidaknya dia pernah bahagia bersama Ulat. Dahulu. Di satu waktu di masa lalu.

Pagi itu sehelai daun gugur dari rantingnya, terlepas dan jatuh di pangkal pohonnya, dekat akar. Bagi dunia yang besar ini mungkin kejadian itu tak penting bahkan tak ada yang memperhatikan. Tapi tidak bagi Daun, kini sudah lunas segala garis takdirnya, dia bebas dan terjatuh ringan menuju pulang.

Kejadian tak penting, tapi tidak bagi Daun. Juga bagi Gadis di jendela yang sedari tadi terduduk diam memandangi kejadian itu.

"Mengapa kau gugur? Haruskah?"

No comments:

Post a Comment

Makasi udah baca ocehanku ini, apalagi kalau mau ninggalin komen, hehe.. ^^