Friday, 20 December 2013
Pergilah saja....
Thursday, 21 November 2013
Gwenchana... Gwenchanayo....
Yang tersedih adalah bukan ketika tak ada seorangpun di sisimu saat kamu bersedih.
Tetapi adalah ketika tak ada seorangpun di sisimu saat kamu berbahagia.
Dan yang paling menyedihkan adalah ketika tak ada seorangpun di sisimu, tak peduli kamu bersedih atau berbahagia.
Saturday, 9 November 2013
Is it?
Is it a mistake that i met you?
Kesalahankah ini karena kita bertemu? Karena kemudian kita jatuh hati? Atau mungkin lebih tepat aku jatuh hati mati-matian kepadamu? Kesalahankah?
Karena jika memang ini kesalahan, apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya? Haruskah aku memperbaikinya? Atau ku biarkan saja?
Kamu.
Kesalahankah aku telah menempatkanmu di tempat terpenting? Sebagai salah satu hal paling berarti bagiku?
Kamu. Segalanya.
Atau mungkin memang aku tak sejatuh hati itu padamu? Karena, yah, aku masih merasa waras. Aku toh tidak sampai melakukan hal-hal gila demi untuk menyampaikan rasa ini kepadamu? Kan?
Tapi dusta bila aku tak mengakui kalau aku jatuh hati padamu. Berkali-kali. Sesering aku patah hati karenamu. Sebanyak kata 'tidak' yang pernah terucap darimu.
I love you this much.
I love you that much.
But, what did i do to prove that? Nothing. I did nothing.
So, it means i love you but not this much.
It means i love you but not that much.
But, still, i love you. Right?
And still, i did nothing to prove it.
That is why you never realized it.
Yeah.
Cause i did nothing to prove it except sat on my bed and cried all night long everytime my heart hurts while thinking bout you.
Cause i did nothing to prove it except wrote it down here, hoped you'll know what i'm feeling.
Kesalahankah ini yang aku lakukan? Jika iya, haruskah aku memperbaikinya? Atau ku biarkan saja?
Karena aku merasa bodoh mengenai ini semua. Semua yang telah terjadi. Bahwa buatmu, berartikah ini? I dont even know what it means for you. You never tell me. Or you did tell me and i didnt notice it?
Tapi apa itu penting sekarang? Bukankah sama saja? Tak peduli berarti atau tidak, kesalahan atau bukan, chapter terakhir toh sudah selesai ditulis?
Tapi suara di belakang kepalaku masih terus bertanya-tanya. Entah mengapa.
Is it a mistake that i met you?
Is it a mistake that i fall in love with you?
Is it?
In wonderland...
Living life with you is like living life in wonderland. It's amazing but still it isn't real.
It's true. And i don't know what should i feel. Should i feel happy that it's amazing or should i feel sad that it isn't real? Well, honestly i don't know.
Every single second i spent with you is like i'm living in a dream. I even feel like i can do everything, everything i want, everything that i don't even dare to think in real world.
With you, it really is in a wonderland. We always go around everywhere, every place that interesting us. It's like there is nothing that we can't do. There is nowhere that we can't visit. The 'impossible' word doesn't exist in this wonderland.
But still. When i wake up, i know that it isn't real. The picture that 'we are together having adventure around the wonderland' is just an imagination.
The wonderland isn't exist.
Even you.
When i wake up, i realize that you aren't even exist. You are just my imagination. Gone at the second i woke up.
You, the person that i love this much, aren't exist.
That adventure isn't exist.
That wonderland too.
And i just dreamt.
Friday, 25 October 2013
Sunday, 20 October 2013
Well... goodbye, dear.
Kadang aku bertanya-tanya, pernahkah sekali saja aku melintas di pikiranmu? Sekali saja kamu menyingkirkan segala hal lain dan hanya menyisakan tentangku?
Tapi sepertinya aku tahu, kamu tak pernah, meski hanya sekali, memikirkanku.
Tak pernah, meski hanya sekali, peduli tentangku.
Bahkan ketika aku sudah meminta padamu. Harusnya aku memang tak pernah meminta. Tak pernah ingin. Tak pernah harap.
Mungkinkah bila aku pergi selamanya darimu, kemudian kamu akan peduli?
Ku rasa aku sudah tahu jawabannya.
Saturday, 12 October 2013
Nothing.
Harusnya aku memang tak perlu memaksa sejak awal.
Aku memaksakan segalanya. Segalanya yang pada akhirnya memang bukan apa-apa. Segalanya yang pada akhirnya memang sia-sia.
Pendar cahaya laptop masih terus menyinari wajahku yang sudah mulai bosan mengerjakan skripsi yang seharusnya sudah selesai sejak dua minggu lalu. Targetku mundur lagi. Pikiranku mencari-carimu lagi. Mataku masih terpaku pada kedip kursor yang entah bagaimana kuharap bisa memberitahuku tentang kamu.
Kamu. Yang selalu saja sesuka hatimu untuk datang dan pergi.
Kamu. Yang selalu saja sesuka hatimu untuk kembali lalu kemudian menghilang lagi.
Kamu. Yang selalu saja sesuka hatimu.
Sesuka hatimu.
Datang.
Lalu pergi.
Kembali.
Kemudian menghilang lagi.
Segalanya ini memang bukan apa-apa buatmu, kan?
It's nothing. Right?
Monday, 7 October 2013
What should i do?
Please tell me.
I dont know what i should do or whatsoever thing that i have to do to fix this.
I messed up everything.
What should i do?
Please tell me....
Sunday, 6 October 2013
Fate, destiny, journey, and us.
Do you believe in fate?
I do.
Aku sungguh percaya pada takdir yang berkelitan di tiap lapis detikan waktu. Waktuku, waktumu.
Aku sungguh percaya pada takdir yang seolah bermain-main, bersembunyi untuk kemudian mengagetkanku dengan tiba-tiba, membawa kejutan-kejutan yang selalu saja tak terduga.
Aku sungguh percaya pada takdir yang telah mempertemukan kita senja itu. Di kota kecil yang sama sekali tak menarik. Kota kecil yang mungkin tak akan ku pilih untuk menjadi tempat pertama kita bertemu seandainya aku boleh memilih. Kota kecil tempat segalanya bermula.
Aku percaya pada takdir yang mempertemukan kita pada satu kesempatan itu setelah jutaan kesempatan lain terlewatkan. Kesempatan yang kamu buat. Kesempatan yang aku amini. Membuatku bertanya-tanya hingga kini, bagaimana seandainya jika kamu tak membuat kesempatan itu untuk mungkin terjadi. Bagaimana seandainya aku tak lantas mengamini kesempatan itu agar benar-benar terjadi. Di sana lah takdir campur tangan. Takdir lah yang mempertemukan kita senja itu, dalam kesempatan yang kamu buat dan aku amini.
Aku sungguh percaya pada takdir. Takdir yang terus meronce satu demi satu dalam untaian detikan waktu. Waktuku, waktumu. Sehingga sejauh apapun kita mencoba memisahkan diri, seolah-olah kita adalah kutub magnet yang saling tarik menarik, kita pun berakhir bersama lagi.
Aku sungguh percaya pada takdir. Juga pada takdir yang memisahkan kita. Takdir yang menjadi dinding pemisah. Tinggi dan kokoh. Namun masih saja menyisakan jendela yang terkadang kita gunakan untuk tetap bertemu.
Aku percaya pada takdir. Seperti sekarang. Entah bagaimana, hatiku sepertinya tahu bahwa ini bukan saatnya, belum. Dan bukankah kamu yang selalu berkata "it's worth the wait"? Yah, tak perlu terburu-buru. Nikmati saja. Semoga takdir memberi kita kejutannya yang terbaik.
Do you believe in fate? I do. From the start til the end.
Bagaimana?
Bagaimana?
Bagaimana?
Dan bagaimana?
Bagaimana membuatmu tertawa?
Bagaimana membuatmu tersenyum?
Bagaimana membuatmu bahagia?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang melulu berputar-putar di dalam kepalaku.
Mengapa begitu sulit membuatmu tertawa lepas? Membuatmu tersenyum? Membuatmu bahagia?
Seolah kamu memang sudah benar-benar mati rasa. Kehilangan seluruh perasaanmu. Semacam manusia tanpa hati. Seperti yang selalu kamu bilang.
Kalau sudah begitu lantas bagaimana?
Padahal aku hanya ingin membuatmu bahagia. Meski hanya sebentar saja. Tapi bagaimana?
Saturday, 5 October 2013
Seperti yang selalu....
Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti yang kamu pernah tahu.
Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti kembang api malam tahun baru yang pernah kita nikmati bersama. Semarak berwarna-warni.
Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti gulali merah jambu yang pernah kamu belikan untukku di pasar malam entah kapan itu. Manis yang lembut.
Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti lagu jazz yang selalu kamu putar berulang-ulang setiap malamnya. Merdu dan damai.
Hari ini aku bahagia.
Bahagia yang seperti itu. Seperti yang pernah kamu tahu.
Hari ini aku bahagia.
Meski semua orang mengatakan bahwa bahagiaku ini semu.
Hari ini aku bahagia.
Dan bila ini semu, mengapa hatiku mendadak merasa hangat? Kesemuankah ini? Atau bahagia?
Terserah lah.
Hari ini aku bahagia.
Monday, 30 September 2013
Wednesday, 11 September 2013
It's nothing
Ternyata memang sia-sia.
Bukan apa-apa.
Dan hanya sekedar.
Well, at least now i know what it meant. Maybe i already know it from the beginning. But i just ignore it or whatsoever.
Well, at least now i know...
Tuesday, 3 September 2013
Hatiku bengkak biru...
Ya, kamu benar. Karena saat ini bahkan diriku sendiri pun tak lagi bisa ku percaya. Tak ada yang bisa dipercaya lagi bukan?
Aku bahkan tak percaya pada apa yang ku pikirkan di dalam sini. Tak juga percaya pada apa yang ku rasakan di dalam sini. Terlebih lagi saat ini.
Belum pernah aku sangsi pada diriku sendiri. Tapi layar film yang terus menerus diulang meski aku terpejam adalah satu bukti bahwa pada akhirnya tak ada seorangpun yang bisa dipercaya. Bahkan diri sendiri.
Entah. Aku pun tak lagi mampu memerangkap kata-kata agar bisa menyampaikan apa yang tersurat pada tiap baris rangkainya. Memetakan apa yang tersirat dalam tiap rentet untainya.
Namun kemudian aku tersentak. Kata-kata yang ku ronce dengan hati-hati bertubrukan begitu saja dengan dinding yang kamu bangun. Pecah berkeping-keping bahkan sebelum sempat tersampaikan.
Pecah.
Dan hatiku bengkak biru. Memasung rindu. Beralas ragu.
Rasa ini (?)
Dengan ketergesaan dan tanpa pertanda, begitu saja kau meletakkannya di lidahku, menungguku mencecapnya, seraya melihat air mukaku yang kebingungan menerka-nerka rasa apa yang baru saja kau letakkan.
Manis? Ia tidak terasa seperti gulali merah jambu yang sering dibelikan ibuku tiap kali kami berkunjung ke pasar malam hingga ia bisa dikatakan manis. Jadi bukan.
Asin? Ia tak serupa air laut yang seringnya tertelan begitu saja manakala aku asik berenang hingga ia bisa dikatakan asin. Jadi bukan.
Asam? Ia tak membuatku menjengit seperti tiap kali aku memakan mangga muda hingga ia bisa dikatakan asam. Jadi bukan.
Pahit? Ia pun tak membuatku ingin memuntahkannya kembali seperti puyer yang dipaksakan untuk ku minum manakala demam menyerang hingga ia bisa dikatakan pahit. Jadi bukan.
Lalu, rasa apakah ini? Lidahku masih mencecapnya. Masih menerka rasanya. Meminta otakku untuk menggali ingatan mungkin saja entah di tumpukan kenanganku yang menggunung itu pernah terekam rasa ini. Tapi tidak.
Sekali lagi ku coba rasai ia yang baru saja kau letakkan dengan terburu-buru di lidahku. Tapi setiba-tiba kau meletakkannya, setiba-tiba itu pula ia menguap. Lidahku mencecap hambar.
Monday, 2 September 2013
Pukul dua dini hari.
Pukul dua dini hari. Aku masih nyalang, kantuk sudah lama pergi. Lalu lintas di dalam sini kelewat bising.
Pukul dua dini hari. Seharusnya aku sudah sejak tadi terlelap. Namun seolah enggan, detak jarum jam mengiris ruang dengarku.
Pukul dua dini hari. Dan yang ku inginkan hanya satu, sejenak lupa akan semua dan jatuh tertidur. Mengapa jadi begitu sulit?
Pukul dua dini hari..
Tuesday, 27 August 2013
Geez
Suddenly, i think about you. You just pop up that way in my head. I even start to sleep when you suddenly pop up.
Hmmm, it's a little bit lonely here without you. Do you feel the same when i'm not around? Or is it just me?
Yet i don't know. And i don't want to know honestly.
But.... by chance, are you doing well? Is everything alright?
Hey! Take care. Okay?
Sunday, 25 August 2013
Tadi malam...
Semalam aku bermimpi.
Ada kamu.... yang sedang bersamanya.
Bahkan dalam mimpipun, kamu bersamanya.
Semalam aku bermimpi.
Tentang kamu yang sedang bersamanya.
Thursday, 15 August 2013
...
Kamu mungkin lupa, tapi aku akan selalu mengingatnya. Tentang hari ini.
This i promise you.
Yeah. This i promise you.
Tuesday, 13 August 2013
[untitled]
Sunday, 11 August 2013
Because it's me.
"Kenapa putus? Aku salah apa?"
"Karena ternyata kamu sama saja dengan perempuan lain. Kita gak bisa bersama-sama lagi."
--------
"Kenapa kamu selalu jahat terhadapku?"
"Karena itu kamu. Bukan perempuan lain. Kalau dengan perempuan lain aku baik kok, gak jahat."
--------
"Kenapa kamu selalu kasar terhadapku? Padahal kamu bisa selembut itu memperlakukan dia?"
"Tentu saja berbeda. Kamu kan bukan dia."
--------
"Jadi sebenarnya seperti apa?"
"Sebenarnya kamu salah paham. Itu saja."
--------
Jadi aku salah paham. Begitu?
Yang aku pahami dari kamu, kamu, kamu, dan kamu, ya... dari kalian, lelaki-lelaki yang pernah mampir dan mencoret-coret halaman putih buku usangku, hanyalah bahwa aku tak layak untuk kalian perlakukan dengan baik.
Yang aku pahami dari kalian hanyalah bahwa memang salahku karena aku adalah aku, perempuan yang hanya pantas diperlakukan setengah hati atau bahkan tanpa hati.
Yang aku pahami dari kalian adalah bahwa aku tak cukup punya hak untuk mengetahui alasan mengapa aku bersalah karena aku adalah aku sehingga aku pantas diperlakukan dengan buruk sekalipun.
Dan aku cukup paham bahwa apapun alasan kalian untuk berlaku jahat, kasar, setengah hati, atau bahkan tanpa hati sekalipun, itu semua hanya alasan.
It's all okay. Aku masih tetap bisa menegakkan kepalaku ketika berjalan di depan kalian. Aku masih tetap bisa tersenyum manakala bersisian dengan kalian. Aku masih tetap bisa bertanya balik bagaimana kabar kalian ketika kalian menyapa.
Karena aku adalah aku.
Dan entah kapan atau dimana, aku yakin akan ada seseorang yang nantinya akan memperlakukanku dengan layak, dengan pantas, bukan karena seribu satu alasan, tapi karena aku adalah aku.
Dan selama itu, aku akan selalu baik-baik saja. Kalian toh hanya mampir saja. Bukan ingin menetap.
It's all okay.
Sunday, 30 June 2013
Be happy, will you?
Katakan saja aku yang sombong dan besar kepala. Percaya diri berlebihan karena pada awalnya mengira bahwa aku mampu memperbaiki carut marut yang sudah ditinggalkan. Mengira bahwa mungkin aku bisa membuatmu sadar bahwa kamu berarti minimal untuk dirimu sendiri. Entah dengan cara apa. Bahwa kamu tak seharusnya menjalani hidupmu seperti yang sudah. Bahwa segalanya masih akan bisa baik-baik saja. Aku yang besar kepala itu mencoba melakukan hal-hal yang ku kira bisa membuatmu menyadari bahwa hidup toh masih begini indah.
Tapi seperti semua yang besar kepala, aku lupa bahwa hanya kamu saja yang mampu mengendalikan hatimu. Bahwa mungkin segala yang aku lakukan memang takkan mampu memperbaiki apa yang sudah terlanjur carut marut di sana, di hatimu yang menurutku masih layak untuk merasa bahagia. Bahwa aku bukan siapa-siapa yang bahkan juga memiliki carut marutku sendiri.
Mungkin seharusnya aku tak pernah memulai untuk peduli pada carut marut yang kamu jaga itu. Mungkin hanya karena aku juga tahu rasanya carut marut. Sampai-sampai aku mengira jika aku mampu membuatmu sadar sedikit saja bahwa kamu masih bisa berbahagia, maka aku juga bisa bangun dari carut marutku sendiri. Mengira dengan mencoba membuatmu bisa bersenang-senang lagi berarti aku juga akan mampu kembali tertawa lepas.
Nyatanya tidak. Memang carut marutku mulai terurai menjadi benang tipis yang mampu ku jalin kembali meski kusut habis-habisan. Tetapi carut marutmu tetap tak bergeming. Malah semakin mengkristal.
Sehingga yang ada hanyalah aku yang sombong dan besar kepala. Dengan segala keangkuhanku. Dengan segala remah-remah yang telah ku lakukan, yang tadinya ku kira akan membuatmu merasa lebih baik. Yang tersisa hanyalah cetak buram diriku yang sok tahu di layar retinamu. Kamu yang sekarang mungkin saja mulai membenciku. Aku yang dengan angkuhnya malah menginjak-injak carut marut yang masih kamu jaga itu.
Mungkin memang seharusnya aku mulai berhenti peduli. Peduli pada segala tentangmu. Kamu toh tidak meminta untuk ku pedulikan. Malah aku yang dengan semena-mena tanpa ijin mengambil tempat yang sebetulnya tak pernah kamu berikan. Aku yang lupa diri. Lupa bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bahkan lebih tak kasatmata ketimbang bayangan masa lalumu.
Maaf karena ternyata aku salah. Maaf atas kelancanganku yang sok tahu ini. Kamu bisa pergi kapan saja. Aku toh tak pernah membukakan pintu. Jadi aku juga tak perlu menutup pintu sehingga kamu bisa tetap tinggal. Dan kamu juga tahu, aku hanya akan ada di sini. Tak kemana-mana.
Dan bila malam ini kamu melangkah pergi, ku harap kamu akan bisa berbahagia. Entah bagaimana.
Friday, 28 June 2013
seperti yang selalu, seperti yang melulu
Kalau tiga puluh menitmu saja tak mampu ku menangkan, lalu mengapa aku begitu percaya diri mampu mendapatkan sehari penuh milikmu?
Ku kira aku sudah hilang akal atau mungkin amnesia sesaat ketika tadi ku katakan padamu untuk pergi menemaniku. Entah mungkin aku lupa meletakkan akalku lalu bicara begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Tanpa memikirkan kemungkinan bahwa kamu akan menolaknya. Sekali lagi. Seperti yang sudah. Bahwa kamu lebih memilih melakukan hal lain. Aku lupa kalau kamu bahkan tak bersedia menukar tiga puluh menitmu yang mahal untuk mendengarkan keluh kesahku. Ku rasa aku benar lupa ingatan.
Tapi entah mengapa seolah otakku sengaja terprogram untuk langsung melupakan segala 'tidak' yang pernah keluar dari mulutmu. Seolah itu tak pernah menyakiti hatiku. Seolah itu memang bukan apa-apa, tak masalah. Untuk kemudian esok harinya otakku malah memerintahkanku untuk meminta yang lebih mustahil kamu kabulkan, yang lebih dari yang sudah. Yang sudah ku minta, yang sudah kamu jawab dengan 'tidak'.
Mungkin benar aku hilang akal. Atau hilang ingatan.
Atau mungkin saja, aku hanya membutuhkan kamu ada. Buatku saja.
Wednesday, 26 June 2013
Begitu saja cukup...
Aku lelah sekali. Jadi kemarilah. Pinjamkan bahu bidangmu dan biarkan aku mencari setitik damai di sana. Sekadar menyandarkan kepalaku yang bising sekali seharian ini. Lalu lintas di dalamnya kelewat ramai. Ingin rasanya aku membuat lampu merah menyala terus. Meski nyatanya melulu lampu hijau di semua persimpangan yang serentak nyala.
Jadi kini biarlah aku bersandar di bahumu sebentar saja. Kamu boleh menggenggam tanganku kalau memang mau. Meski aku tak yakin ada kehangatan yang bisa kamu temui di sana.
Kita sama-sama lelah. Lalu mengapa tak kita nikmati saja jeda ini bersama? Jeda sekian ratus detik yang belakangan ini sulit sekali mampir.
Kamu tak perlu mencari topik pembicaraan apapun. Aku juga tak perlu sibuk memikirkan jawaban dari bahan obrolan yang susah payah kamu cari tadi. Kita cukup diam saja. Dengan kepalaku yang bersandar di bahumu dan tanganmu yang menggenggam tanganku erat. Sejenak lupakan segala hiruk pikuk dunia.
Begitu saja cukup.
Sunday, 23 June 2013
.... tik tok tik tok
Dari sekian puluh kalimat yang bisa aku pikirkan, aku memilih satu kalimat itu yang tadinya ku kira bisa membuatmu mengalihkan perhatianmu sedikit saja kepadaku. Lima belas menit ku habiskan hanya untuk memikirkan kalimat yang tepat. Dengan meneguh-neguhkan hati yang mudah goyah karena belum sepenuhnya mampu berdiri tegak lagi, ku ucapkan satu kalimat itu. Kalimat yang ku pilih dengan hati-hati.
Tapi kamu, seolah tak pernah mendengarnya. Seolah sekalimat yang ku ucapkan hanya serupa desau angin yang bahkan tak terdengar karena jendelamu tertutup rapat. Dan aku hanya serupa kabut transparan, tak terlihat. Karena bahkan gorden jendelamu juga terbentang menghalangi segala pandanganmu agar tetap menekuri layar empat belas inchimu yang juga tak lelahnya menatap balik.
Padahal yang ku minta hanya tiga puluh menit saja. Tiga puluh menit yang hanya buatku saja. Tapi seolah stoples waktumu sudah punya label masing-masing, bahkan sampai satuan detik. Dan ya, tak ada namaku di sana, di antara puluhan label di stoples waktumu. Atau mungkin ratusan. Who's counting anyway?
Lalu aku sadar bahwa tiga puluh menitmu yang mahal itu memang takkan pernah mampu ku menangkan. Dengan cara apapun. Meski dengan kalimat yang berenda-renda atau beronce-ronce sekalipun.
Kakiku sudah lelah berdiri di depan pintumu. Pun tanganku lelah mengetuknya sejak entah kapan.
Aku pergi.
5 watt
Tengah malam dan mataku masih nyalang menekuri tiap jengkal langit-langit kamarku yang sebenarnya sama sekali tak menarik itu. Lihat saja, hanya sebidang plafon berwarna putih membosankan dengan sebuah lampu halogen menggantung tepat di tengahnya. Jauh dari kata menarik. Jujur saja. Tapi itulah yang kulakukan.
Tepatnya sejak tadi terakhir kalimat perpisahan yang menutup perbincangan elektronik kita. Terakhir kamu bertanya tentang lagu apa yang kira-kira enak didengar untuk pengantar tidur malam ini. Alih-alih menjawab lagu apa, aku malah mengatakan akan tidur sambil memikirkanmu saja. Yang malah kamu tertawakan.
Nyatanya, aku malah sungguhan memikirkanmu. Padahal sudah lewat tiga puluh menit sejak kita berpisah tadi. Memikirkanmu saja tanpa ada kejelasan tentangmu yang mana yang ku pikirkan. Aku juga tak mengerti. Tak mengerti juga untuk apa atau mengapa. Kamu hanya ada di sana saja, mengetuk-ngetuk, bolak-balik, atau malah diam saja di sudut. Tapi kamu ada di sana, di pikiranku yang sampai sekarang berhasil membuatku tetap terjaga, menekuri langit-langit kamarku yang sama sekali tak menarik. Padahal mungkin kamu yang nyata sudah terlelap sejak tadi.
Ah.. Aku juga sudah mulai mengantuk. Bolehkah aku tidur saja? Oh satu kali ini biarkan aku tidur tanpa mimpi. Tolong kamu diam saja di tempatmu, di sudut pikiranku. Tak perlu muncul tiba-tiba dan mengagetkanku dalam mimpi lagi seperti yang sering kamu lakukan akhir-akhir ini. Terima kasih bila kamu mau mengerti.
Nah selamat tidur, kamu.
Friday, 14 June 2013
A Day With You
Thursday, 13 June 2013
It's taste like a cupcake....
Sunday, 9 June 2013
Untitled
Friday, 10 May 2013
Jadi, ijinkan aku untuk mencinta yang lain selain kamu.....
Tuesday, 16 April 2013
atau....
Kamu,, memilih yang mana?
Aku... memilih yang belakangan. Aku ingin sekali bisa melepasmu dengan ikhlas dan tulus seperti itu. Aku ingin bisa mengenangmu sambil tersenyum. Tak seperti yang ku lakukan entah berapa kali sejak saat kamu pergi, menangisimu sampai kelelahan dan jatuh tertidur.
Aku ingin sekali bisa melepasmu dengan ucapan selamat tinggal yang layak. Dengan tawa yang selama ini kita bagi bersama.
Kamu, baik-baik saja kah?
Karena aku rasanya tidak bisa baik-baik saja. Aku merindukanmu. Aku ingin sekali bisa melepasmu tanpa perlu lagi merasakan rindu yang seperti ini. Mengapa sulit sekali?
Sudah... Aku hanya ingin bisa melepasmu. Kamu, baik-baik selalu yah....
Iya, kamu pernah ada saja itu sudah cukup.... :)