“Oi, Non. Udah di mana lu? Lama amat yaa? Gw tunggu di toko buku aja yah..” Puteri yang sudah sedari tadi mengelilingi toko buku mulai merasa bosan menunggu sahabatnya yang biasanya hobi on time tapi entah angin apa yang membuatnya telat kali ini.
“Oke, oke.. ini udah di dalam mal kok. Tunggu situ aja. Maap yaaa.. hehe..”
“Ya udah cepet.” Lalu ‘klik’. Puteri kembali berkeliling, melihat satu persatu buku yang disusun dengan rapi sesuai dengan kategori. Sebetulnya sejak tadi tangannya sudah gatal ingin mengambil beberapa novel yang bersampul menarik. Tapi diurungkan niatnya mengingat bahwa baru minggu lalu ia sudah membeli hampir selusin novel. Puteri melanjutkan window shoppingnya ke rak yang memajang kartu-kartu ucapan yang manis-manis. Semanis gulali merah jambu. Ah, mengapa tetiba ia jadi teringat hal itu. Tanpa sadar Puteri menggelengkan kepala, seolah dengan begitu ingatan yang tiba-tiba datang tadi segera menghilang.
“Oi! Udah lama yak? Hehe. Maap ya, sayaaang…” Tanpa berbasa-basi sahabat yang sedari tadi ditunggu tiba-tiba saja mengagetkannya. Membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Bagaimana tidak kalau tadi Puteri sedang asik melamun soal gulali merah jambu dan tiba-tiba saja dikagetkan seperti itu.
“Ish udah deh. Geli gw dengernya.”
“Jiyeeee, yang dibacaaaa… Kayaknya ada yang kepengin cepet-cepet nih?” Puteri langsung saja menaruh kembali kartu ucapan selamat menempuh hidup baru berwarna baby pink dengan hiasan bunga mungil yang menggemaskan.
“Heh. Liat dong yang gw baca apaan. Ini gw lagi milih-milih buat kondangan minggu depan. Sih ada-ada aja deh lu.. Yuk ah gw udah laper.” Sambil memelototkan mata dan memasang wajah kesal Puteri langsung mengambil langkah panjang-panjang, ingin segera keluar dari toko buku yang sudah dikelilinginya hampir tujuh kali. Untunglah masih belum tujuh kali, dia kan sedang tidak latihan thawaf.
“Oi. Tunggu gw dong.. ck..”
Kedua sahabat yang sudah lama tidak bertemu itu segera saja mencair meski tadi sempat kesal. Segera saja mereka sudah asik dengan perbincangan soal segala macam, mulai dari gosip-gosip yang beredar di kantor masing-masing sampai dengan rencana perjalanan mereka yang berikutnya. Hingga jarak dari toko buku ke food court pun tak terasa.
“Enaknya makan apa nih? Lu mau makan apa, Put?”
“Makan orang. Lu mau jadi sukarelawan?”
“Ish.. Ngeri…”
Hari itu mal cukup ramai oleh pengunjung, maklum saja sedang malam Minggu. Food court yang cukup luas dengan pilihan makanan yang cukup beragam dipenuhi orang-orang yang juga bermacam-macam. Segera saja kedua sahabat tadi memilih makanannya masing-masing. Puteri menjatuhkan pilihannya pada paket nasi dan ayam goreng, sedangkan sahabatnya lebih memilih nasi gudeg dengan opor ayam. Setelah membayar makanan dan menerima struk serta nomor meja, keduanya menuju teras luar. Karena sepertinya lebih asik untuk duduk di luar ketimbang di dalam. Selain bisa menonton langsung pertunjukan band yang sedang berlangsung juga lebih cozy.
“Duh, non. Udah lama yah kita gak ke Hard Rock lagi,,, kangen gak sih lu? Jaman-jaman itu…”
“Err, iya sih.. Cuma emang ribet banget mau ke sana. Gw kan gak bisa nyetir, lu juga gak bisa. Repot deh taksi-taksian kayak biasanya itu.”
“Halah, ribet apa emang gak ada duit luuuu?”
“Hahahaha, you know me so well deh yaaaa.. Ekonomi lagi gak okeh. Lu gak baca berita ya? Inflasi naik, harga minyak dunia naik, jumlah jomblo semakin meningkat dan segalanya."
"Haelah. Kebanyakan deh lu ah."
"Omong-omong soal Hard Rock, inget gak lu pertama kali kita ke sana? Jaman masih kuliah dulu, jaman susah."
"Huahaha. Inget! Edan bener kita. Kok bisa sih? Awalnya gimana yah?"
"Awalnya lu ngajakin gw buat ke PRJ, lu kepengin nonton Glenn. Atau siapa ya, Put? Lupa gw."
"Ya Glenn kayaknya sih. Trus kita batalin karena udah kemaleman yah? Tapi udah tanggung di jalanan. Trus entah gimana kok kita malah masuk Hard Rock."
"Nah itu. Kok bisa malah ke situ yah? Padahal bawa duit juga enggak. Dandanan juga sama sekali gak oke. Ya lu bayangin aja kita mau nonton PRJ doang kan, eh kok tau-tau malah ke situ. Jadilah yang paling kucel. Hahaha." Keduanya tertawa geli mengingat kebodohan mereka yang tidak tertolong.
"Iyeh. Belom lagi menunya itu loh. Demi Tuhan deh, kita kan mahasiswa kere. Gak ada duit tapi sok iyeh masuk-masuk. Untung gak diusir."
"Ha ah euy. Itu es jeruk paling mahal pertama kali gw minum deh yah..."
"Hahaha. Sama dehhh.."
"Belum lagi kita udah berangkat ngangkot eh giliran pulang bingung. Trus malah lu ngajakin gw ketemuan sama temen-temen gamers lu itu, Put. Yang kita malah muter-muter Senayan lihat orang-orang kebut-kebutan."
"Ih iya edan. Ya kita kan bingung balik ke kosan gimana caranya ya? Jam 2 pagi mana ada bus deh. Naksi ya gak ada duitnya. Hahaha."
"Iyeh. Edan. Malah nunggu pagi bareng temen-temen lu itu di Senayan. Subuh baru pulang."
"Iyaaaa. Oh astaga, kelakuan..."
Keduanya masih tertawa-tawa mengingat kebodohan mereka. Kemudian percakapan di antara keduanya pun seperti biasanya, berganti-ganti topik dengan begitu cepat. Baru saja membicarakan tentang topik A langsung beralih ke topik B, anehnya keduanya sama-sama saling mengerti. Mungkin kalau ada orang lain yang berusaha untuk menguping pun tak bisa mengikuti alur percakapan kedua sahabat itu.
“Eh omong-omong, lu apa kabar sama cowok lu?” Puteri yang masih mengunyah makanannya dengan entengnya bertanya kepada sahabatnya. Yang ditanya malah tersedak karena tidak siap untuk ditanya soal itu. Bukannya tidak ingin menjawab atau apa, hanya saja ia sedang tidak ingin berbicara soal itu.
“Hah? Ya begitulah. Biasaaaa…”
“Maksud lu?”
“Eh, lu sekarang sama siapa?”
“Dih, ditanya malah balik tanya. Ya lu kan tau? Gw mah masih sama cowok gw lah..” Puteri yang kesal karena balik ditanya tanpa mendapat jawaban malah melengos. Kenapa juga malah bertanya balik soal dirinya.
“Maksud gw, selingkuhan lu sekarang siapa? Gak ada gitu? Bohong banget lah. Seorang Puteri Lakshita gitu loooh… hahahaha..”
“Eh mulut lu ya, nyetttt…”
“Huahahaha sewot diaaaa…”
Puteri cemberut, kali ini ia benar-benar kesal terhadap sahabatnya itu. Kenapa juga sih mesti membahas soal itu. Kebetulan band di depan pun sedang memainkan lagu yang benar-benar alay menurutnya. Lagu kok soal selingkuh itu gak selamanya indah. Meski kalau dipikir-pikir ya memang selingkuh itu gak selamanya indah sih, malah bikin pusing kepala.
“Kok jadi bengong lu? Mikirin selingkuhan yang mana lagi nih?”
“Eh mulut lu ya bener-bener deh… Gw tuh juga gak mau kok selingkuh begitu..”
“Nah terus? Kenapa lu malah selingkuh sana selingkuh sini?”
“Lu kan suka Harry Potter ya? Nah Voldemort kan ngebagi-bagi jiwanya jadi tujuh tuh, Horcrux yah namanya. Supaya kalo jiwanya yang satu mati, dia masih ada cadangan yang lainnya.”
“Trus hubungannya sama lu apa ya? Lu selingkuhannya Voldemort atau apa? Lu ngapain sih daritadi sibuk amat ketak-ketik hape? Chatingan sama Voldemort?”
“Dih.. Gw selingkuh juga milih-milih kaliiii..”
“Nah terus?”
“Lu jangan lemot amat gitu dong ah. Ya itu deh, semacam Horcrux itu, hanya aja bedanya gw ngebagi-bagi hati. Jadi kalo cowok yang ini nyakitin gw dan ninggalin gw, kan masih ada cowok yang lain. Jadi hati gw yang hancur gara-gara cowok tadi itu ya udah biarin aja. Toh dia cuma ngancurin sedikit bagian dari hati gw. Sisanya yang lain kan masih banyak.” Jelas Puteri panjang lebar. Meski sebetulnya dirinya sendiri pun tidak yakin dengan prinsipnya itu. Hanya saja, kali ini, untuk sekarang ia benar-benar berharap bahwa prinsipnya itu bisa diandalkan. Bisa menjamin bahwa meskipun ia akan merasa sakit hati, tapi itu akan sekedar saja, tidak seberapa.
“Oh… gitu.. paham deh gw. Jadi lu mencintai dengan membagi-bagi? Cinta lu buat si A itu misal seperempat hati? Cinta lu buat si B itu seperempat hati? Dan seterusnya, begitu?”
“Entahlah, nona.”
"Lu bahagia?"
Puteri menunduk, melihat pada piringnya yang masih menyisakan nasi dan ayam goreng sedikit. Walaupun ia punya prinsip aneh begitu, tapi hatinya tahu bahwa cinta bukanlah statistik yang bisa diukur-ukur. Bahwa ia tidak bisa mencintai laki-laki yang satu dengan seperempat hati, setengah hati, atau bahkan satu kilo hati. Nyatanya cinta tidak bisa diukur dan ditimbang dengan angka-angka atau hal lainnya yang masih kasat mata. Nyatanya cinta tak pernah terasa seperti itu. Karena setiap kali, setiap jatuh lagi, hatinya tetap saja hancur berkeping-keping, carut marut sekali lagi. Tak peduli berapa banyak laki-laki yang mengelilinginya, tetap saja ketika ada yang pergi, hatinya lagi-lagi membengkak biru. Perpisahan bukanlah salah satu hal favorit yang ingin dipilih oleh Puteri. Meski seringnya ia lah yang menyelenggarakannya. Satu perpisahan kepada perpisahan yang lain. Satu pertemuan kepada pertemuan yang lain.
Bukannya ia bahagia dengan yang selama ini ia lakukan. Puteri hanya sedang menjaga hatinya agar tidak hancur sebenar-benarnya hancur. Baginya laki-laki hampir sama saja. Bahwa laki-laki tidak baik jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan laki-laki baik yang semakin langka di luar sana. Bukannya ia sedang sinis, tetapi ia belajar langsung dari laki-laki yang seharusnya memberinya contoh teladan laki-laki paling baik sedunia. Yang ia dapat malah pelajaran mengenai sakit hati dan dikhianati. Dari satu-satunya laki-laki yang ia kira tidak akan mungkin tega menyakitinya.
“Eh, lu kok jadi bengong terus sih?” Puteri disadarkan dari lamunannya oleh suara cempereng sahabatnya yang sekarang sudah sempurna menghabiskan makan malam. Sedang ia sendiri masih belum menghabiskan separoh saja.
“Yeee, siapa juga yang bengong? Udah malem nih, lu gak dicariin sama nyokap?”
“Yaelah, emang gw anak tujuh belas tahun apa? Baru juga jam sepuluh gini..”
“Ish, ini udah setengah sebelas oi. Udah malem ini tauk… Pulang yuk ah?”
“Iya deh yuk.. Lu gak diabisin tuh makannya?”
“Gak usah lah. Udah males gw, gak napsu lagi.”
“Jiyee, diettttt…”
“Apa kata lu dehhh…”
Malam sudah pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, permainan band pun sudah berhenti sejak tadi, pengunjung pun hanya tinggal beberapa orang saja yang masih asik berkumpul dengan kelompoknya. Kedua sahabat pun bersama-sama menuju escalator untuk pulang.
“Lu naik apa ke sini?”
“Naik motor, kenapa, Put?”
“Oh, gak apa-apa. Err.. lu bisa turun sendiri kan yah?” Tiba-tiba saja Puteri menghentikan langkahnya di ujung tangga escalator yang sudah berhenti beroperasi.
“Lah? Lu gak jadi pulang?” Giliran sahabatnya ikut bingung dan berhenti di dekatnya.
“Pulang kok gw, tapi ntaran dulu. Eh, ada urusan bentar.” Jawab Puteri ragu-ragu. Sikapnya yang tadi santai berubah jadi gelisah.
“Eh urusan apaan lu malem-malem gini?”
“Udah ah, gak ngapa-ngapain kok gw. Sebentar aja. Ya? Lu pulang duluan. Oke?” Dengan setengah memaksa, Puteri mendorong punggung sahabatnya untuk pergi.
“Iye iye. Gw duluan ye. Ati-ati lu..”
Puteri menunggu sampai sahabatnya turun dan menghilang ke lorong menuju parkiran. Dengan langkah pasti, Puteri kembali lagi ke area food court yang sudah sepi pengunjung. Di salah satu meja, sudah menunggu seorang laki-laki yang sedari tadi sibuk berbalas pesan chat dengannya. Puteri sengaja memilih bangku di depan si laki-laki alih-alih duduk di sampingnya. Ya, memang ia yang meminta laki-laki itu untuk datang menemuinya di situ sekarang. Tapi entah mengapa ia masih belum siap untuk lebih dekat lagi dengan laki-laki itu. Atau ia hanya sekedar ingin memandang wajah laki-laki itu secara jelas. Entah yang mana. Hatinya belakangan ini memang melulu bimbang.
“Temenmu udah pulang?” tanya laki-laki itu berbasa-basi.
“Udah, barusan kan kamu juga lihat sendiri aku lewat sini sama dia.” Jawab Puteri seadanya.
“Ya gak usah sewot gitu dong. Aku kan cuma tanya.”
“Pertanyaanmu gak mutu.”
“Ya maaf.. trus, kita mau ke mana sekarang?” tanya si laki-laki dengan polosnya, karena sejujurnya ia memang tidak tahu mengapa ia harus jauh-jauh pergi dari kamar kosnya yang nyaman lalu naik bus selama dua jam untuk menemui wanita yang sekarang ada di depannya. Terkadang ia pun bingung mengapa ia begitu mudah menuruti semua permintaan wanita yang ada di depannya itu. Mungkin itu yang dikatakan cinta. Mungkinkah ia benar-benar sudah jatuh cinta? Dengan wanita ini? Si gulali merah jambu.
Sedang Puteri malah melamun. Tidak tahu juga harus kemana setelah ini. Entah mengapa juga ia meminta laki-laki itu untuk datang malam ini. Hatinya memang keterlaluan. Puteri menghela napas panjang. Lelah. Ingin segera tidur saja. Tapi lalu bagaimana dengan laki-laki yang ada di hadapannya ini? Oh….
***